Kedatangan Ptolemy XV Philopator Philometor Caesar (atau yang dijuluki Caesarion) tanpa undangan justru menarik perhatian dewan angin dan dedaunan di luar sana. Mereka seketika meronta-ronta ingin bergabung dalam perjamuan Augustus untuk bertatapan langsung dengan Caesarion putra Julius Caesar. Berbeda dengan angin yang bersusah payah menyelinap masuk dan mengintip pertemuan mereka, Augustus justru kehilangan kata-katanya. Bahkan ketika Caesarion kembali memberikan salam penghormatan, Augustus pun belum merespons.
Sementara seorang pria di samping Caesarion merasa tak nyaman berada di bawah atmosfer kediaman Augustus. Ia berpikir bahwa kedatangan tuannya tak akan pernah disambut dengan baik meskipun mereka menawarkan perdamaian. Sayang, ia hanyalah tangan kanan yang tak bisa memutuskan segalanya tanpa pertimbangan orang lain.
Tak ingin memberikan kesan buruk pada tamu undangan yang disambut dengan lapang oleh Augustus sendiri, Cornelia—putri tertua Augustus—berdiri dari kursinya dan memberikan hormat sehingga Caesarion menampakkan senyumannya. Kemudian istri, putra-putri, dan adik angkatnya melakukan hal serupa sementara Augustus masih terduduk di kursinya mencoba terbangun dari mimpi buruk dia.
"Di mana sopan santun kita? Pelayan seharusnya menyiapkan kursi tambahan untuk mereka." Cornelia mulai berdialog tanpa mendorong tubuhnya menuju kursi. Tepukan tangan ringan miliknya pun menuntun sepasang pelayan untuk menarik kursi lainnya.
Kemudian kedua kursi itu bergabung dalam lingkaran perjamuan. Entah apa yang sepasang pelayan itu rencanakan, tapi kebetulan saja kursi milik Caesarion berada tepat di seberang Augustus ketika sisi meja lainnya masih kosong.
Walaupun kehadiran Caesarion jelas mengejutkan semua orang yang mencoba ramah kepadanya seolah sepasang pria Timur Tengah ini tamu normal mereka, Caesarion tak tampak terganggu dan melontarkan sejumlah senyuman kepada Augustus meski tak mendapatkan balasan.
"Silakan, Caesarion, pilih jamuanmu. Masih ada yang lain apabila engkau bersedia tinggal lebih lama." Setidaknya begitulah yang diucapkan bibir manis istri Augustus meski napas kesulitan ia atur ritmenya.
Sementara Caesarion hanya mengambil segelintir anggur dari atas piring dan hidangan lainnya mulai berdatangan siap untuk dicicipi lidahnya, Fioretta justru menggerakkan bibirnya untuk berkata, "Bukankah dia sudah tiada?" Augustus selalu bisa membaca gerak bibir adik angkatnya itu. Mungkin karena keduanya terlalu sering mencuri waktu untuk mengucapkan satu dua patah kata ketika di meja makan.
Otak Augustus yang kosong seketika dipenuhi kata-kata akibat sentilan kalimat Fioretta. Genggaman tangannya segera menabuh meja dan Caesarion mengurungkan niatnya untuk memetik anggur lainnya. "Tidak mungkin," ucapnya terdengar seperti bisikan. Tepat setelah bisikan itu, datanglah guntur ketika Augustus bangkit dan mengambil langkah menuju Caesarion.
Setibanya di hadapan pria itu, genggaman tangannya beralih memelintir kerah aurum khas Firaun milik Caesarion. "Tidak mungkin! Caesarion sudah tiada! Kau jangan menipuku hanya karena penampilanmu yang seperti dia! Ini sudah lima tahun!"
Caesarion kehilangan senyumannya sementara orang-orang di atas kursi tampak panik meski sangat ingin menyaksikan perseteruan mereka. Caesarion pun membuang tangan Augustus jauh-jauh dari pakaian kehormatannya. "Ya! Ini sudah lima tahun dan lima tahun lalu kau seharusnya ada di sana untuk menyaksikan kematianku! Untuk melihat wajahku menjadi pucat dan memastikan jantungku tak lagi berdetak!" Ia terdiam sesaat untuk mengatur napas dan memuaskan Augustus menelisik setiap sisi wajahnya.
"Prasangkamu kali ini salah, Octavianus. Aku adalah Caesarion yang kau harapkan mati lima tahun silam! Caesarion yang kehilangan ibunya karena invasimu itu! Invasi yang seharusnya berimbas kepada Markus Antonius! Dan ini semua!" Caesarion menunjuk para hidangan yang menatap mereka terkejut. "Ini semua seharusnya menjadi milikku! Siapa dirimu?! Kau hanyalah kemenakan jauh ayahku dan tak memiliki hak apa pun atas Romawi! Hanya karena aku bukan orang Romawi asli, bukan berarti kalian bisa mengusirku dari tempat ini kemudian mengambil hak dan kekuasaanku serta ibuku!"
Augustus yang terbungkam karena lontaran ketidakadilan Caesarion akhirnya menjawab, "Aku tak peduli siapa dirimu. Katakan apa yang kau inginkan dan pergi dari sini."
Caesarion tersenyum meski tak seorang pun selain dirinya melakukan hal itu. "Aku ingin Romawi Timur menjadi milikku." Dan pernyataan Caesarion membulatkan lebih dari sepasang mata dalam ruangan terkecuali tangan kanannya. "Aku adalah satu-satunya putra Julius Caesar. Aku berhak atas Romawi dan karena aku tak serakah sepertimu, akan kubiarkan kau memimpin Romawi Barat."
"Itu tak akan terjadi," ucap Augustus dengan penekanan di setiap katanya sementara Caesarion dengan cepat menjawab, "Maka aku akan menyatakan perang."
"Perang?" Augustus tertawa kemudian. "Kau dan pasukan apa, Caesarion?" tanyanya dengan nada menghina ketika menyebut nama panggilan putra Julius Caesar.
Ia tak menjawab pertanyaan Augustus dan memilih memutar tubuhnya membelakangi pria itu. "Sesungguhnya ..." Ia menggantung ucapan itu sebelum tubuhnya kembali terputar untuk menghadap Augustus. "... aku tak membutuhkan banyak pasukan." Dan ketika Caesarion menyelesaikan kalimatnya, lengan kiri Augustus sudah tersayat dan darahnya pun mengalir bermuara di atas lantai tempatnya berpijak.
"Kau pikir selama lima tahun ini aku tak merencanakan sesuatu? Kau memang memiliki pasukan terbaik tapi aku cepat dan cerdik. Apabila kau menantangku berduel denganmu, kau bisa mati sebelum lima menit berlalu. Kemudian akan kubuatkan jalan kematian seperti milik ayahku. Dua puluh tiga sayatan, dua di antaranya bersemahyang di dada kirimu sehingga kau tak lagi bernyawa. Bahkan aku tak membutuhkan bantuan sekelompok senator untuk melakukannya."
Sungguh penuturan Caesarion tak bisa diremehkan. Apabila ia menyatakan perang, Augustus harus memperkirakan sebanyak dan seahli apa pasukan pria yang seharusnya mati lima tahun lalu. Dan ia tak akan mengambil risiko untuk berurusan empat mata dengannya selagi pria itu menggenggam belati berlumurkan darahnya. Gerakannya yang selembut angin tak menyisakan sedikit rasa sakit pun ketika mata pisaunya menyerempet lengan Augustus. Namun, beberapa detik setelah muara darahnya tercipta, sayatan itu justru berimbas memar seolah belati Caesarion menjilat ramuan sebelumnya.
"Aku tak merencanakan hal ini terjadi, Octavianus. Namun, harus kubuktikan siapa diriku setelah lima tahun lalu aku berhasil memperdayamu tentang kematianku. Katakan, apakah itu menghiburmu? Sayang sekali mimpi indah itu berakhir mulai detik ini."
Kini tangan Augustus mulai menekan lukanya yang dililiti rasa sakit luar biasa sehingga ia hampir kesulitan mengambil napas. Semampunya, ia berkata, "Pergi dari sini, Caesarion. Kau tak akan mendapatkan apa pun dari—" Dan begitulah Augustus menutup harinya. Dengan terbaring di atas lantai tak kuasa menahan rasa sakit. Pakaian cemerlang dia kini ternodai darahnya sendiri dan semua orang meninggalkan kursi mereka untuk membantu Augustus yang kesakitan.
Kata tak lagi terlontar dari bibirnya, tapi tatapannya menjelaskan semua yang dikatakan batinnya sehingga beberapa penjaga yang sudah di dalam ruangan semenjak Fioretta memanggil salah satu dari mereka, menyeret Caesarion dan tangan kanannya—yang belum sempat memperkenalkan diri—keluar. Meski Augustus tahu Caesarion tak akan bisa diusir semudah itu, setidaknya ia tak harus melihat wajah bocah ketakutan yang tak mengerti soal kepemimpinan berada di dalam satu ruangan dengannya.
Gambaran soal bocah menyedihkan yang dikenalnya sebagai Caesarion seketika berubah. Kini bocah itu tumbuh menjadi pria yang akan mengancam tahtanya dan Pax Romana-nya.
Namun, selagi Augustus merasa masih bisa berbicara di tengah-tengah rasa sakitnya, ia justru berkata, "Aku ingin dia mati. Bagaimanapun caranya." Sementara itu, di balik tamparan angin malam Roma dan di hadapan air mancur termasyhur ciri khas kediaman Kaisar Augustus, Caesarion bergumam, "Sebelum aku mati, kau akan mati terlebih dahulu, Octavianus."
*aurum = emas
*Pax Romana = kedamaian Romawi
Dalam hitungan menit saja, sekujur tubuh Augustus dibanjiri keringat dingin. Otot dan sendinya lumpuh untuk sementara sehingga Augustus hanya mampu menutup mata selagi memanjatkan doa kepada dewa-dewi yang melindungi Pax Romana. Kentara sekali kekhawatiran terlukis di wajah Livia Drusilla—istri kesayangan Augustus yang dicintainya dari awal pertemuan mereka—begitu pula putra dan putri Augustus sementara Fioretta Giulia Caesonia menghilang bak ditelan kegelapan. Untuk seperkian detik, Julia sempat berpikir Fioretta mencuri kesempatan demi menuliskan namanya pada perkamen kampanye Pax Romana berikutnya agar ia bisa meninggalkan Roma untuk sementara. Namun, prasangka Julia salah ketika Tiberius—putra tiri Augustus—berkata, "Kuharap kemba
Kaisar Augustus belum membuka mata. Meski demikian, jantungnya masih berdetak. Tabib Kekaisaran telah mencoba semampu mereka untuk menahan racun yang menggerogoti tubuh Augustus melalui sayatan pada lengan kirinya. Mereka memprediksi, racun itu akan terus menyebar hingga menggerogoti jantungnya dan tewaslah Augustus si Agung pencipta Pax Romana sekaligus kaisar pertama Romawi. Sementara itu, Tiberius justru tak di sana menemani keluarganya menanti Augustus membuka mata. Ia disibukkan dengan rapat senat dadakan yang diciptakannya. Mencoba menemukan jalan keluar dari masalah ini serta menentukan hukuman yang akan diimbaskan kepada Fioretta. Ia juga mencoba memikirkan nasib Caesarion dan Amun yang akan mengganggu kedamaian Romawi yang telah dibangun sejak lama. Di lain sisi, d
Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."
Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi. Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar. Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenja
Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka