Senja lainnya menyentuh setiap sisi tanah Roma dengan aroma kedamaiannya yang mengikat hati. Masa-masa kelam pasca Perang Akhir Republik Romawi tak lagi menghantui tanah Roma. Bayang-bayang yang sempat bergelantung di knop pintu menuju mimpi tengah malam pun telah sirna sepenuhnya. Dimulai dari Kaisar Augustus mendeklarasikan Pax Romana (kedamaian Romawi) hingga entah kapan hati nurani meneriakkan ketidakadilan dan ingin merayap keluar dari lubang kelinci.
Meski tak mudah untuk mencapai kedamaian bagi seantero Romawi, tapi akhirnya mereka bisa memahat patung tanpa memukul alat penyongkel ke arah yang salah ataupun menyelesaikan arsitektur Mausoleum tanpa memikirkan tempat untuk berlindung akibat invasi bangsa lain. Adakah celah di balik kedamaian Romawi yang diciptakan Augustus si Agung? Apabila ada pun, Augustus akan menutupinya dengan kerja nyata selama ini yang telah mencuri hati dua puluh satu persen populasi di muka bumi.
Kepergian kaisar beberapa hari terakhir ini bukan tanpa alasan. Dan apabila salah seorang senator berkunjung kemudian menatap singgasana Augustus yang kosong lantas bertanya-tanya, maka jawabannya terbaring di paling atas sebuah perkamen di ruang kerjanya. Pax Romana lah yang akan ditemukan di sana dan itu alasan di balik menghilangnya Augustus. Kemudian senator lainnya kembali berkunjung dan menyaksikan Augustus berdiri di hadapan adik angkatnya tampak berseteru—mereka selalu tampak berseteru untuk alasan yang tak pasti—maka prasangka dalam hati senator itu benar. Augustus menyudahi kampanye Pax Romana dan kembali ke Roma.
"Kau telah berjanji padaku, Octavianus. Kau mengatakannya tepat di kuil—di hadapan Jupiter. Tidakkah kau merasa malu?!" ucap seorang gadis berona merah muda pada pipinya.
Lantas Augustus sedikit mengembuskan napasnya. Gadis di hadapannya masih menunggu jawaban keluar dari bibirnya, dan gadis itu ia panggil, "Fioretta, kau tahu hukum yang telah diciptakan beratus-ratus tahun lalu. Jauh sebelum ayahmu menjadi diktator Republik Romawi ataupun aku berdiri di sini menyandang gelar Augustus. Kau tak akan pernah memimpin Romawi. Lantas, mengapa kau begitu peduli dengan Galia?"
Kendati menjawab, sudut mata Fioretta yang menangkap keberadaan salah seorang senator membuatnya menelan kata. Namun, bukan berarti ia mengurungkan niat untuk meluruskan kesalahpahaman ini, melainkan untuk mengurangi jumlah kata yang akan ia lontarkan. "Aku tak pernah menginginkan kekuasaan Romawi. Aku hanya ingin melihat dunia. Kau ingat percakapan kita sebelum Perang Akhir Republik? Janjimu padaku sebelum kau menjadi pemimpin tunggal Romawi."
Augustus sungguh ingin menanggapi, sayangnya Fioretta kembali berkata, "Dan aku senang kau telah kembali dari kampanye Pax Romana." Gadis itu pun memeluk kakak angkatnya singkat sementara emosi yang dikatakan wajah diubah.
Pria paruh baya yang masih tampak gagah dengan kain merah di sisi baju putihnya pun kini menampakkan senyuman setinggi milik Fioretta. Ketika gadis itu menarik diri, ia menambahkan, "Jangan terlambat untuk makan malam. Julia merindukanmu, Octavianus." Mendapatkan anggukan dari Octavianus, Fioretta pun mengubur keberadaannya.
Meski senator yang satu ini jelas tak bisa dibohongi dengan akting dadakan Fioretta, ia tak ingin kaisarnya mendapatkan sambutan tak hangat setelah perjalanan panjangnya. Dengan demikian, keduanya hanya berjabat singkat sebelum menaiki beberapa tangga mengisi jantung Forum Romawi.
Membicarakan beberapa topik tentang kemajuan Romawi yang akan mengukir sejarah, Augustus tak bisa membohongi dirinya bahwa ia ingin tersenyum setiap saat. Ia juga tak bisa membohongi dirinya bahwa ia ingin melupakan janji-janji ataupun agenda keluarga demi kejayaan Romawi yang mampu ia bayangkan. Pada titik ini ia tak ingin meninggalkan kekuasaannya, dan ia tahu Fioretta bukanlah ancaman. Ia mengenal hukum Romawi luar dalam. Fioretta tak akan bisa merebut posisinya bahkan sampai nyawanya berpisah dengan raganya.
Demi hubungan yang lebih baik—tentunya juga untuk penunjang kemajuan Romawi karena Fioretta menuruni kecerdasan ayahnya—ia menuruti perintah bohong Fioretta soal makan malam. Meski nyatanya Julia memang merindukan ayahnya—terbukti dengan melompatnya gadis itu ke pelukan Augustus—tapi Fioretta tak benar-benar ingin mengatakan itu kecuali untuk memperdaya si senator.
Walaupun ucapan gadis itu tak dimaksudkan secara langsung untuk kebaikan hubungan Augustus dan keluarganya, tapi lihatlah dampak di balik kalimat yang tak sengaja Fioretta utarakan. Setiap wajah kursi terisi masing-masing anggota keluarga Kekaisaran Romawi yang dihormati. Bahkan kebahagiaan yang tercetak di wajah Julia, menjalar layaknya listrik dan menarik setiap pasang sudut bibir semua orang di sana—tanpa terkecuali pelayan mereka.
Tak dapat diragukan lagi, Pax Romana yang diciptakan Augustus tak hanya membawa kedamaian bagi seantero Romawi, tetapi juga bagi keluarga yang telah ditinggalkannya sekian bulan.
Di tengah-tengah kebahagiaan makan malam keluarga Romawi yang satu ini, salah seorang penjaga muncul membuat dahi mereka mengerutkan tanda tanya. Lantas beberapa dari mereka bertukar tatap kebingungan, tanpa terkecuali si penjaga yang ragu-ragu menyampaikan informasi dalam otaknya.
Augustus tak tampak begitu terkejut. Ia meneguk beberapa tetes air dari gelas berlapis aurumnya sebelum angkat bicara. "Katakanlah apa yang kau ketahui." Suaranya cukup lantang dan mampu didengar siapa pun di dalam ruangan. Namun, pria yang bersimpuh itu belum juga melontarkan sepatah kata.
Ekspresi takutnya kini membuat Augustus bangkit dari kursinya. Tanpa berpindah tempat, ia kembali berkata, "Beri aku jawaban di balik wajah ketakutanmu itu, Penjaga. Sungguh Roma di bawah lindungan dewa-dewi yang agung sekarang. Mereka bersama Pax Romana. Lantas, apa yang membuatmu ketakutan?"
Penjaga yang belum menjawab, membuat Fioretta menggerakkan bibirnya untuk mengatakan, "Invasi bangsa barbar." Augustus yang mampu memahami gerak bibir Fioretta segera mengangguk pelan.
"Apakah bangsa barbar kembali menginvasi Roma? Apabila itu sungguh terjadi, ketahuilah kau tak seharusnya membuang waktu dengan cara ini. Bangkit dari simpuhmu itu dan perintah semua penjaga mempertahankan Roma selagi aku bersiap. Dengan demikian, kita pun memiliki waktu untuk mengevakuasi para wanita dan anak-anak."
"Bukan, Kaisar yang Agung," jawabnya setelah sekian lama. Kepala yang tadinya ditundukkan sekarang diangkat perlahan. Bahkan setitik keberanian membuat netranya kini menatap lurus milik Augustus. "Ada tamu yang ingin menemui Anda, Kaisar Augustus."
Apakah ini semacam lelucon? Apabila hanya tamu yang dihadapi penjaga ini, mengapa dirinya harus setakut itu? Agaknya begitulah aksara yang diungkapkan batin Augustus. Namun, alih-alih tertawa atau sekadar tersenyum seperti putri tertua dan adik angkatnya. Ia justru berkata, "Persilakan tamu itu masuk. Katakan Kaisar Augustus menyambutnya dengan lapang. Biarkan dia bergabung dalam perjamuan malam ini."
Namun, pria itu tak menyetujui atau kunjung pergi. Bahkan setelah Augustus kembali menduduki kursinya. Ia pun kemudian berkata, "Tapi, Kaisar. Tamu itu dari Mesir."
Augustus mengangguk. "Jangan buat tamu kita yang datang jauh-jauh dari Mesir menunggu begitu lama." Meski penjaga ini tampak tak percaya mendengar jawaban kaisarnya, Augustus tak memiliki pemikiran yang sama dengannya. "Di mana keramahan kita? Persilakan tamu itu untuk bergabung dalam perjamuan." Tak memiliki pilihan, penjaga itu pun mengangguk sebelum menghilang di balik pintu bersayap dua yang tampak mengkilat.
Menarik beberapa buah di atas piring hidangannya, Augustus yang menunggu tamunya dari Mesir tak kunjung bertatapan dengannya. Hingga beberapa menit terbuang sia-sia, pintu bersayap dua itu akhirnya menjemblang terbuka menampakkan sepasang pria dari Timur Tengah. Salah satu dari mereka mengenakan diadem khas Mesir yang khusus dipergunakan seorang Firaun. Sementara yang lainnya tampak memakai pakaian panglima biasa.
Sontak kehadiran keduanya membulatkan sepasang mata Augustus begitu pula Fioretta dan mereka yang duduk di atas kursi. Keterkejutan itu meledak dalam otak mereka ketika si pria berdiadem Firaun memberikan hormat singkat dan berkata, "Salam, Kaisar Augustus dari Romawi. Aku Ptolemy XV Philopator Philometor Caesar, Firaun Mesir."
*aurum = emas
*Galia = kawasan Eropa Barat yang saat ini adalah negara Italia bagian utara meliputi Prancis, Belgia, Swiss bagian barat, serta beberapa wilayah Belanda dan Jerman.
Kedatangan Ptolemy XV Philopator Philometor Caesar (atau yang dijuluki Caesarion) tanpa undangan justru menarik perhatian dewan angin dan dedaunan di luar sana. Mereka seketika meronta-ronta ingin bergabung dalam perjamuan Augustus untuk bertatapan langsung dengan Caesarion putra Julius Caesar. Berbeda dengan angin yang bersusah payah menyelinap masuk dan mengintip pertemuan mereka, Augustus justru kehilangan kata-katanya. Bahkan ketika Caesarion kembali memberikan salam penghormatan, Augustus pun belum merespons. Sementara seorang pria di samping Caesarion merasa tak nyaman berada di bawah atmosfer kediaman Augustus. Ia berpikir bahwa kedatangan tuannya tak akan pernah disambut dengan baik meskipun mereka menawarkan perdamaian. Sayang, ia hanyalah tangan kanan yang tak bisa memutuskan segalanya tanpa pertimbangan orang lain. Tak ingin memberikan kesan buruk
Dalam hitungan menit saja, sekujur tubuh Augustus dibanjiri keringat dingin. Otot dan sendinya lumpuh untuk sementara sehingga Augustus hanya mampu menutup mata selagi memanjatkan doa kepada dewa-dewi yang melindungi Pax Romana. Kentara sekali kekhawatiran terlukis di wajah Livia Drusilla—istri kesayangan Augustus yang dicintainya dari awal pertemuan mereka—begitu pula putra dan putri Augustus sementara Fioretta Giulia Caesonia menghilang bak ditelan kegelapan. Untuk seperkian detik, Julia sempat berpikir Fioretta mencuri kesempatan demi menuliskan namanya pada perkamen kampanye Pax Romana berikutnya agar ia bisa meninggalkan Roma untuk sementara. Namun, prasangka Julia salah ketika Tiberius—putra tiri Augustus—berkata, "Kuharap kemba
Kaisar Augustus belum membuka mata. Meski demikian, jantungnya masih berdetak. Tabib Kekaisaran telah mencoba semampu mereka untuk menahan racun yang menggerogoti tubuh Augustus melalui sayatan pada lengan kirinya. Mereka memprediksi, racun itu akan terus menyebar hingga menggerogoti jantungnya dan tewaslah Augustus si Agung pencipta Pax Romana sekaligus kaisar pertama Romawi. Sementara itu, Tiberius justru tak di sana menemani keluarganya menanti Augustus membuka mata. Ia disibukkan dengan rapat senat dadakan yang diciptakannya. Mencoba menemukan jalan keluar dari masalah ini serta menentukan hukuman yang akan diimbaskan kepada Fioretta. Ia juga mencoba memikirkan nasib Caesarion dan Amun yang akan mengganggu kedamaian Romawi yang telah dibangun sejak lama. Di lain sisi, d
Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."
Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi. Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar. Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenja
Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan