Share

Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami
Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami
Author: Alibn A.

1 Pesan yang tidak Dijawab

[Bang, sepertinya aku harus ke rumah sakit sekarang juga]

Dila, wanita berkulit kuning langsat itu masih menatap layar ponselnya, menunggu pesan jawaban dari suaminya. Rasa sakit di perutnya sudah tak tahan lagi.

Ia berusaha menahan sakit yang dirasakannya, sambil menunggu jawaban orang yang diharapkannya. Ia melirik kembali ponselnya dan pesan tersebut masih berwarna abu-abu, centang dua.

"Aduh ...!"

Ia meringis, kemudian menatap jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.

Sebentar lagi suaminya akan pulang dari kerja. Namun, pesannya di WA belum juga berwarna hijau. Ia mulai khawatir. Ia mengulang, mengirim pesan singkat tidak melalui WA, tetapi lewat pesan biasa

Air berwarna keruh perlahan merembes hingga ke kakinya. Sedikit, kemudian semakin banyak dan tidak bisa tertahan lagi.

Bila dihitung sesuai prediksi bidan, bulan itu merupakan waktu yang tepat untuk melahirkan.

Ia mencoba menghubungi saja nomor suaminya, karena menunggu jawaban lewat WA dan pesan biasa sepertinya akan sia-sia. Sejurus kemudian, panggilan tersambung.

"Halo!"

"Assalamualaikum, Bang! Bang ...."

Dila mengerutkan kening. Suara di balik sambungan telepon bukan suara lelaki, tetapi sebaliknya.

Nomor yang dihubungi sempat dijawab, kemudian tidak ada suara lagi. Tidak berselang lama diputuskan begitu saja.

"Kenapa dimatiin, sih?" Dila terlihat putus asa, juga kesal.

Pikiran buruk tentang suaminya, ia tepis. Mungkin, suaminya masih sibuk. Namun, suara tadi mengganggu pikirannya.

Degup jantungnya memompa makin kencang. Pikiran buruk itu tetap menghantuinya.

Siapa pemilik suara tadi? Kenapa dia memegang ponsel suaminya?

Sementara rasa sakit di perutnya sudah tidak tertahan lagi, ia masih berusaha menghubungi kembali nomor telepon suaminya. Nomor yang dituju sudah berada di luar jangkauan. Ia hanya bisa mengembuskan napas berat.

Karena tidak ada pilihan, ia pun menghubungi ibunya di rumah. Jarak rumah mertuanya dengan rumah kedua orang tuanya sekitar lima belas atau dua puluh kilometer.

Tidak ada siapapun di rumah mertuanya saat itu. Hanya dirinya bersama putrinya, Syifa yang berusia tiga tahun.

"Assalamualaikum. Gimana, Dil?"

"Waalaikumsalam. Bu, temanin Dila ke rumah sakit."

"Kamu kenapa?

"Sepertinya, saya mau lahiran, Bu."

"Mertuamu, Bu Lusi gak ada di rumah?"

"Gak ada, Bu. Dari pagi tadi keluar rumah dan belum kembali sampai sekarang."

"Sudah hubungi Radit?"

Dila menghela napas panjang. "Sudah, Bu. Tapi, gak dijawab."

"Ya, udah. Ibu akan ke situ sekarang. Tungguin ibu, ya."

Sambil menunggu ibunya datang, ia memesan taksi online. Dila kembali duduk dengan setengah berbaring di bangku panjang. Rasa sakit yang dirasakannya perlahan ditahan.

Ia mengusap perutnya berulang-ulang sambil membisikkan sesuatu, agar bayi di dalam tetap nyaman.

"Ma ... Mama kenapa?" Putri kecil mendekati ibunya sambil memegang bahu.

"Mama haus, Sayang. Tolong ambilkan air, ya!"

"Iya, Ma."

Beberapa menit kemudian, putri kecil itu datang dengan segelas air putih. "Diminum, Ma!"

***

Sementara dalam perjalanan menuju rumah sakit, ponsel milik Dila berbunyi berkali-kali. Sebuah notifikasi panggilan masuk dari Radit, suaminya.

"Kenapa tidak dijawab, Dil?"

"Ntar aja kalau sudah tiba, Bu."

"Kalian tidak ada masalah 'kan?"

"Tidak ada, Bu."

Bu Maria merasa ada sesuatu yang tidak baik dengan putrinya bersama anak mantunya. Ia akan menanyakannya nanti, tidak untuk saat itu. Mereka harus segera tiba di rumah sakit bersalin terdekat.

Dila tidak sempat menjawab panggilan tersebut karena rasa sakit sangat mengganggu fokusnya. Ibunya mengisyaratkannya untuk menjawab, tetapi tidak dia respon.

Ia sudah menduga, Radit akan beralasan lagi dan lagi. Ia sudah sangat khatam dengan alasan yang dijelaskan suaminya.

Bu Maria pun tidak melanjutkan untuk mendesaknya lagi menjawab panggilan tersebut. Bu Maria sadar dengan keadaan putrinya.

Beberapa menit pun berlalu dan mereka telah tiba di rumah sakit bersalin.

***

Dila masih terbaring lemas di bangsal. Ia belum siuman pasca operasi caesar. Operasi harus dilakukan karena jarak anak pertama dan kedua sangat dekat.

Anak pertama dilahirkan secara ceasar juga. Selain itu, bayi yang akan dilahirkannya juga sangat besar di atas normal. Sehingga, mereka memilih yang aman daripada mengambil resiko yang besar.

Bu Maria sangat khawatir dengan kondisi anaknya. Sebenarnya, ia kesal dengan Radit, mantunya. Putrinya sudah dua kali melahirkan, tetapi anak mantunya itu tidak pernah ada di sisi putrinya.

Ia sudah memberitahu Radit bahwa Dila sedang di rumah sakit bersalin Zarifah, tempat persalinan pertama. Namun, lelaki itu belum kunjung menampakkan wajahnya.

Bu Maria sibuk menyuapi cucunya. Mereka sangat lelah dan juga lapar menunggu Dila. Wanita tua itu memesan makanan lewat aplikasi.

Sementara itu, Dila masih di bangsal sedang berbaring dan belum juga siuman. Bayinya masih ditangani para perawat dan sedang ditempatkan di ruang yang aman.

"Ibu ...."

Wanita tua itu menoleh dan mendekati Dila yang mulai siuman. "Syukurlah. Kamu sudah siuman, Nak."

"Bayiku di mana, Bu?"

"Sedang ditangani perawat. Sebentar lagi akan diantar ke sini. Kamu istirahatlah dulu. Jangan banyak berpikir!"

"Iya, Bu."

Dila tersenyum melihat Syifa, putrinya yang tidak rewel dan tenang. Ia hanya mengusap kepala putrinya dengan satu tangan karena tangan yang lain sedang diinfus.

Ia menatap ke belakang ibunya, berharap orang yang dinantikan telah tiba.

"Radit belum datang," ucap Bu Maria seketika karena melihat Dila selalu melirik ke arah pintu. Ia tahu putrinya sedang menunggu suaminya.

"Kalian tidak ada masalah 'kan?"

"Tidak ada, Bu."

"Tapi, kenapa lelaki itu belum juga muncul? Ini sudah kedua kali kamu lahiran dan dia tidak ada." Ibu Maria mulai geram dan ingin meluapkan emosi yang sudah ditahannya.

Wajar saja, ia mulai marah karena hari sudah malam dan lelaki itu belum terlihat sama sekali.

"Kalau dia sibuk. Seharusnya, dia beritahu lewat pesan atau menjawab pesan dan panggilan Ibu."

Dila tidak punya jawaban karena keadaannya memang demikian. Lelaki itu sangat keterlaluan.

Suara seseorang mengetuk pintu. Mereka menoleh dan mempersilakan masuk.

Seorang lelaki masuk setelah membuka pintu. Ternyata, lelaki yang sedang mereka tunggu.

"Papa!" Syifa berlari dan memeluk ayahnya.

Lelaki itu menyambut dan memeluk putrinya.

"Ibu!" Lelaki dengan cambang yang tercukur rapi di pipinya itu mendekat dan menyalami ibu mertuanya.

Lelaki itu hanya melempar senyum ke mereka. Ia pun melirik ke istrinya yang sedang terbaring lemas.

"Aku pikir kau tidak akan pernah datang. Ternyata, kau datang juga. Apa kau serius menikahi putriku?" Ibu Maria sudah geram dan tidak bisa menahannya lagi.

"Maaf, Bu. Tadi, aku sangat sibuk dan pekerjaan menumpuk di kantor. Jadi, tidak sempat menjawab panggilan telepon."

"Tapi, jawab pesan bisa 'kan? Kau kan bisa jawab pesan ibu atau pesan istrimu. Masa jawab pesan saja gak bisa! Atau sengaja menyibukkan diri?"

Dila sedikit sangsi dengan jawaban suaminya. Pasalnya dia mendengar suara wanita yang menjawab panggilannya. Ia yakin pasti suaminya sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Sore tadi, aku hubungi nomormu, Bang. Tapi, suara cewek. Siapa?" Air muka Radit berubah pias seketika.

Dila menatapnya tajam, meskipun dia terlihat lesu. Ibu Maria juga menoleh kepada lelaki yang sedang berdiri tersebut. Wajah yang tenang saat datang tadi tidak terlihat lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya.Baru awal sudah dibuat kesel dengan kelakuan suaminya Dila
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status