[Bang, sepertinya aku harus ke rumah sakit sekarang juga]
Dila, wanita berkulit kuning langsat itu masih menatap layar ponselnya, menunggu pesan jawaban dari suaminya. Rasa sakit di perutnya sudah tak tahan lagi.Ia berusaha menahan sakit yang dirasakannya, sambil menunggu jawaban orang yang diharapkannya. Ia melirik kembali ponselnya dan pesan tersebut masih berwarna abu-abu, centang dua."Aduh ...!"Ia meringis, kemudian menatap jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.Sebentar lagi suaminya akan pulang dari kerja. Namun, pesannya di WA belum juga berwarna hijau. Ia mulai khawatir. Ia mengulang, mengirim pesan singkat tidak melalui WA, tetapi lewat pesan biasaAir berwarna keruh perlahan merembes hingga ke kakinya. Sedikit, kemudian semakin banyak dan tidak bisa tertahan lagi.Bila dihitung sesuai prediksi bidan, bulan itu merupakan waktu yang tepat untuk melahirkan.Ia mencoba menghubungi saja nomor suaminya, karena menunggu jawaban lewat WA dan pesan biasa sepertinya akan sia-sia. Sejurus kemudian, panggilan tersambung."Halo!""Assalamualaikum, Bang! Bang ...."Dila mengerutkan kening. Suara di balik sambungan telepon bukan suara lelaki, tetapi sebaliknya.Nomor yang dihubungi sempat dijawab, kemudian tidak ada suara lagi. Tidak berselang lama diputuskan begitu saja."Kenapa dimatiin, sih?" Dila terlihat putus asa, juga kesal.Pikiran buruk tentang suaminya, ia tepis. Mungkin, suaminya masih sibuk. Namun, suara tadi mengganggu pikirannya.Degup jantungnya memompa makin kencang. Pikiran buruk itu tetap menghantuinya.Siapa pemilik suara tadi? Kenapa dia memegang ponsel suaminya?Sementara rasa sakit di perutnya sudah tidak tertahan lagi, ia masih berusaha menghubungi kembali nomor telepon suaminya. Nomor yang dituju sudah berada di luar jangkauan. Ia hanya bisa mengembuskan napas berat.Karena tidak ada pilihan, ia pun menghubungi ibunya di rumah. Jarak rumah mertuanya dengan rumah kedua orang tuanya sekitar lima belas atau dua puluh kilometer.Tidak ada siapapun di rumah mertuanya saat itu. Hanya dirinya bersama putrinya, Syifa yang berusia tiga tahun."Assalamualaikum. Gimana, Dil?""Waalaikumsalam. Bu, temanin Dila ke rumah sakit.""Kamu kenapa?"Sepertinya, saya mau lahiran, Bu.""Mertuamu, Bu Lusi gak ada di rumah?""Gak ada, Bu. Dari pagi tadi keluar rumah dan belum kembali sampai sekarang.""Sudah hubungi Radit?"Dila menghela napas panjang. "Sudah, Bu. Tapi, gak dijawab.""Ya, udah. Ibu akan ke situ sekarang. Tungguin ibu, ya."Sambil menunggu ibunya datang, ia memesan taksi online. Dila kembali duduk dengan setengah berbaring di bangku panjang. Rasa sakit yang dirasakannya perlahan ditahan.Ia mengusap perutnya berulang-ulang sambil membisikkan sesuatu, agar bayi di dalam tetap nyaman."Ma ... Mama kenapa?" Putri kecil mendekati ibunya sambil memegang bahu."Mama haus, Sayang. Tolong ambilkan air, ya!""Iya, Ma."Beberapa menit kemudian, putri kecil itu datang dengan segelas air putih. "Diminum, Ma!"***Sementara dalam perjalanan menuju rumah sakit, ponsel milik Dila berbunyi berkali-kali. Sebuah notifikasi panggilan masuk dari Radit, suaminya."Kenapa tidak dijawab, Dil?""Ntar aja kalau sudah tiba, Bu.""Kalian tidak ada masalah 'kan?""Tidak ada, Bu."Bu Maria merasa ada sesuatu yang tidak baik dengan putrinya bersama anak mantunya. Ia akan menanyakannya nanti, tidak untuk saat itu. Mereka harus segera tiba di rumah sakit bersalin terdekat.Dila tidak sempat menjawab panggilan tersebut karena rasa sakit sangat mengganggu fokusnya. Ibunya mengisyaratkannya untuk menjawab, tetapi tidak dia respon.Ia sudah menduga, Radit akan beralasan lagi dan lagi. Ia sudah sangat khatam dengan alasan yang dijelaskan suaminya.Bu Maria pun tidak melanjutkan untuk mendesaknya lagi menjawab panggilan tersebut. Bu Maria sadar dengan keadaan putrinya.Beberapa menit pun berlalu dan mereka telah tiba di rumah sakit bersalin.***Dila masih terbaring lemas di bangsal. Ia belum siuman pasca operasi caesar. Operasi harus dilakukan karena jarak anak pertama dan kedua sangat dekat.Anak pertama dilahirkan secara ceasar juga. Selain itu, bayi yang akan dilahirkannya juga sangat besar di atas normal. Sehingga, mereka memilih yang aman daripada mengambil resiko yang besar.Bu Maria sangat khawatir dengan kondisi anaknya. Sebenarnya, ia kesal dengan Radit, mantunya. Putrinya sudah dua kali melahirkan, tetapi anak mantunya itu tidak pernah ada di sisi putrinya.Ia sudah memberitahu Radit bahwa Dila sedang di rumah sakit bersalin Zarifah, tempat persalinan pertama. Namun, lelaki itu belum kunjung menampakkan wajahnya.Bu Maria sibuk menyuapi cucunya. Mereka sangat lelah dan juga lapar menunggu Dila. Wanita tua itu memesan makanan lewat aplikasi.Sementara itu, Dila masih di bangsal sedang berbaring dan belum juga siuman. Bayinya masih ditangani para perawat dan sedang ditempatkan di ruang yang aman."Ibu ...."Wanita tua itu menoleh dan mendekati Dila yang mulai siuman. "Syukurlah. Kamu sudah siuman, Nak.""Bayiku di mana, Bu?""Sedang ditangani perawat. Sebentar lagi akan diantar ke sini. Kamu istirahatlah dulu. Jangan banyak berpikir!""Iya, Bu."Dila tersenyum melihat Syifa, putrinya yang tidak rewel dan tenang. Ia hanya mengusap kepala putrinya dengan satu tangan karena tangan yang lain sedang diinfus.Ia menatap ke belakang ibunya, berharap orang yang dinantikan telah tiba."Radit belum datang," ucap Bu Maria seketika karena melihat Dila selalu melirik ke arah pintu. Ia tahu putrinya sedang menunggu suaminya."Kalian tidak ada masalah 'kan?""Tidak ada, Bu.""Tapi, kenapa lelaki itu belum juga muncul? Ini sudah kedua kali kamu lahiran dan dia tidak ada." Ibu Maria mulai geram dan ingin meluapkan emosi yang sudah ditahannya.Wajar saja, ia mulai marah karena hari sudah malam dan lelaki itu belum terlihat sama sekali."Kalau dia sibuk. Seharusnya, dia beritahu lewat pesan atau menjawab pesan dan panggilan Ibu."Dila tidak punya jawaban karena keadaannya memang demikian. Lelaki itu sangat keterlaluan.Suara seseorang mengetuk pintu. Mereka menoleh dan mempersilakan masuk.Seorang lelaki masuk setelah membuka pintu. Ternyata, lelaki yang sedang mereka tunggu."Papa!" Syifa berlari dan memeluk ayahnya.Lelaki itu menyambut dan memeluk putrinya."Ibu!" Lelaki dengan cambang yang tercukur rapi di pipinya itu mendekat dan menyalami ibu mertuanya.Lelaki itu hanya melempar senyum ke mereka. Ia pun melirik ke istrinya yang sedang terbaring lemas."Aku pikir kau tidak akan pernah datang. Ternyata, kau datang juga. Apa kau serius menikahi putriku?" Ibu Maria sudah geram dan tidak bisa menahannya lagi."Maaf, Bu. Tadi, aku sangat sibuk dan pekerjaan menumpuk di kantor. Jadi, tidak sempat menjawab panggilan telepon.""Tapi, jawab pesan bisa 'kan? Kau kan bisa jawab pesan ibu atau pesan istrimu. Masa jawab pesan saja gak bisa! Atau sengaja menyibukkan diri?"Dila sedikit sangsi dengan jawaban suaminya. Pasalnya dia mendengar suara wanita yang menjawab panggilannya. Ia yakin pasti suaminya sedang menyembunyikan sesuatu darinya."Sore tadi, aku hubungi nomormu, Bang. Tapi, suara cewek. Siapa?" Air muka Radit berubah pias seketika.Dila menatapnya tajam, meskipun dia terlihat lesu. Ibu Maria juga menoleh kepada lelaki yang sedang berdiri tersebut. Wajah yang tenang saat datang tadi tidak terlihat lagi."Oh, itu teman yang iseng. Kamu tahu sendiri 'kan teman-teman di kantor selalu meminjam ponselku," ucap lelaki itu. "Abang sudah menghubungi kembali, tapi tidak dijawab."Wajahnya kembali berseri setelah memberi jawaban. Kedua wajah yang tadi menatapnya serius, mulai memudar. Ia pun duduk di samping istrinya dan mencoba memenangkan hati wanita yang sedang terbaring tersebut.Istrinya tetap saja merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Pasalnya, ketika dia mencoba menghubungi nomor suaminya kembali sudah di luar jangkauan. Untuk saat itu, dia tidak bisa membuktikan omongan suaminya benar atau tidak. Namun, dia harus membuktikannya suatu saat nanti. Instingnya lebih kuat daripada logikanya. Apalagi menerima alasan itu tanpa membuktikan sendiri.Saat itu kondisi tubuhnya sangat tidak memungkinkan untuk menampung banyak stres. Jadi, dia memutuskan untuk menghentikan sementara pertanyaannya yang terkesan investigatif. ***Hari itu merupakan hari ketiga di ruang inap. Mereka mulai berkemas
Dila menata gemuruh di dadanya. Dia tidak pernah menyangka ibu mertuanya yang selama ini baik padanya, hanya di depannya saja. Sesungguhnya Ibu Santi, mertuanya itu menjelek-jelekkan dirinya di depan Radit. Dila ingin membuka pintu dan melangkah keluar, tetapi dia urungkan, karena tiba-tiba sebuah notifikasi panggilan masuk. Ibu mertuanya itu menjawab kembali panggilan tersebut. "Iya, Dit!""Bu, Radit sudah transfer. Ibu jangan terlalu boros.""Oh, sudah transfer?" Matanya membulat. "Makasih, ya, Nak. Kamu memang anak ibu yang sangat berbakti." Ia sangat kegirangan. "Kok kamu nuduh ibu seperti itu, Dit?""Hanya peringatan saja, Bu. Radit khawatir jika tidak cukup gajiku yang akan aku kirim untuk Dila.""Iya, udah." Bu Santi cemberut dengan sikap putranya yang menuduhnya boros. Dila semakin terperangah. Bagaimana mungkin suaminya hanya mengirim uang untuk ibunya dan lelaki itu beralasan belum menerima gaji untuk membayar biaya operasinya. Wanita itu ingin marah saat itu juga, jik
Kening wanita itu semakin berkerut. Ia tidak menyangka dengan jawaban suaminya. Tidak diduga dia akan mendapatkan jawaban tersebut. Padahal, dia sudah tahu yang sesungguhnya. Ia hanya sengaja untuk mencoba kejujuran suaminya dan itulah yang didapatkan. Ia tidak mengerti lagi kenapa lelaki di depannya membohonginya. "Janji, ya, Mas. Besok ditransfer!" "Kamu kayak gak percaya Abang, Dil?" Lelaki itu merasa tersinggung. "Ya, aku hanya memperingatkan, Bang. Biaya kebutuhan bayi gak sedikit dan tidak bisa ditunda. Aku gak pegang duit lagi. Semuanya sudah habis untuk kebutuhan dapur di rumah ini.""Berarti benar yang ibu bilang kalau kau sangat boros?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Boros? Uang segitu apa cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur di rumah ini, juga kebutuhanmu? Asal Abang tau, aku disuruh memasak lauk pauk banyak di rumah karena kakakmu, Sela sering ke sini untuk membawa pulang beberapa lauk pauk itu ke rumahnya." Dila mulai tidak bisa menahan emosi karena dituduh boros
"Membentak? Apa aku gak salah dengar, Bang?""Kau tidak perlu berpura-pura, Dil. Aku sudah tahu seperti apa kau itu.""Abang terlalu cepat mempercayai sesuatu dan tidak menanyakan dulu padaku. Aku tidak terima difitnah seperti ini terus, Bang." Dila segera menutup panggilan telepon tanpa menunggu ucapan balik dari suaminya.Deru napas di dadanya naik turun. Jari-jarinya meremas ponselnya. Ia pun meletakkan ponselnya ke atas kasur dengan sedikit kasar. Rasanya sesak dan sakit mendengar orang-orang terdekat di rumah yang ditinggali itu menuduh apalagi menyalahkannya. Perasaan sabar yang ditahan tidak mampu lagi dibendung. Dila sangat marah karena ucapan suaminya dan juga fitnah ibu mertuanya. Kejam sekali Bu Susan memfitnahnya kemudian mengadu ke putranya. "Halo ... Halo .... Dila! Aku belum selesai berbicara .... "Huff, wanita itu sangat tidak menghargai siapa yang diajak berbicara," gumam Radit sambil meletakkan kembali ponselnya. Ia sudah mencoba, menghubungi, tetapi tidak dijawa
Sejurus kemudian, notifikasi pesan terbaru ke ponsel tersebut. Dila kembali menoleh untuk membaca pesan tersebut. Walaupun dia tidak bisa membuka ponsel tersebut dan membaca isi pesan secara keseluruhan, dia masih bisa membaca lewat notifikasi di depan layar. Pesan masuk masih dari emoticon bunga mawar tadi.[Aku sudah terima, Yang. Makasih, ya! Jangan bosan menyayangiku terus. Kamu memang sangat aku andalkan] emoticon memberi ciuman.Deru dadanya semakin bergejolak dan terasa panas. Pesan tersebut sangat jelas tertulis di sana. Dila semakin yakin kalau Radit pasti berselingkuh atau memiliki hubungan dengan suara wanita di sambungan telepon saban hari dan seseorang dengan nama ber-emoticon bunga mawar.Pintu kamar mandi bergeser. Lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan. Ia berjalan, mendekati nakas dan meraih ponselnya. Ia mengetik sesuatu di layar benda pipih tersebut, kemudian meletakkannya kembali. Ia menuju lemari sambil sesekali bersiul. Wajahnya sudah be
"Bang Radit! Trus dia ngapain ke restoran?""Nah, itu dia, Dil. Mungkin kau akan terkejut, Dil. Aku juga syok lihatnya. Tau gak siapa yang dia temui?""Maksudmu gimana, Nit?"Tidak berselang lama, Nita mengirim beberapa gambar yang diambilnya ke ponsel milik Dila. Dugaannya beberapa hari terakhir semakin membuatnya yakin. Ternyata, Radit memiliki wanita selingkuhan. Wajah wanita di dalam foto tersebut masih sangat muda dan tidak terlalu tua. Jelas sekali di gambar tersebut mereka terlihat sangat mesra. Radit beberapa kali mengelus tangan wanita di depannya dan mencubit dagu sambil tersenyum.Mata Dila menatap tajam ke gambar kemudian memerah karena sakit. Namun, perasaan jijik mulai membentuk dari sudut bibirnya. Lelaki itu sangat tidak malu mempertontonkan perlakuannya di depan orang banyak. Dila kemudian menutup video yang belum selesai ditontonnya. Nita merekam juga selain mengambil gambar kedua insan yang sangat intim dan mesra itu."Dil, kamu baik-baik saja 'kan?" Nita merasa
Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa. Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab. Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri."Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi." Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar. "Maaf, Non. Saya izin keluar!" Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang
Dila sudah berdiri tepat di tengah pintu sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapannya sangat tajam."Bang .... Siapa yang Abang ajak bicara? Jadi, seperti ini yang kau lakukan di belakangku? Abang punya hubungan dengan seseorang "kan? Jujur ...." Suara Dila sudah meninggi, kemudian terjeda. Seketika, lelaki itu membalikkan badan dan menoleh ke Dila. "Ssst ...." Ia memberi isyarat dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Jadi, gitu Wan caranya merayu agar hati istrimu luluh kembali." Radit seolah masih serius berbicara di dalam sambungan telepon. "Sudah dulu, Wan. Kita sambung lagi besok." Ponsel yang menempel di telinga sudah diturunkan.Dila mengernyitkan dahi. Dia sangat tidak mengerti."Tadi, teman sedang curhat. Dia minta saran bagaimana meluluhkan hati pasangannya. Mereka sedang tidak akur. Jadi, Abang hanya bantu sebisanya." Radit memberi penjelasan."Teman? Abang tidak berbohong 'kan? Aku sudah mendengar semua percakapanmu, Bang. Jangan berani menipuku." Dila m