Share

3 Alasan Lagi

Dila menata gemuruh di dadanya. Dia tidak pernah menyangka ibu mertuanya yang selama ini baik padanya, hanya di depannya saja. Sesungguhnya Ibu Santi, mertuanya itu menjelek-jelekkan dirinya di depan Radit.

Dila ingin membuka pintu dan melangkah keluar, tetapi dia urungkan, karena tiba-tiba sebuah notifikasi panggilan masuk. Ibu mertuanya itu menjawab kembali panggilan tersebut.

"Iya, Dit!"

"Bu, Radit sudah transfer. Ibu jangan terlalu boros."

"Oh, sudah transfer?" Matanya membulat. "Makasih, ya, Nak. Kamu memang anak ibu yang sangat berbakti." Ia sangat kegirangan.

"Kok kamu nuduh ibu seperti itu, Dit?"

"Hanya peringatan saja, Bu. Radit khawatir jika tidak cukup gajiku yang akan aku kirim untuk Dila."

"Iya, udah." Bu Santi cemberut dengan sikap putranya yang menuduhnya boros.

Dila semakin terperangah. Bagaimana mungkin suaminya hanya mengirim uang untuk ibunya dan lelaki itu beralasan belum menerima gaji untuk membayar biaya operasinya.

Wanita itu ingin marah saat itu juga, jika Radit ada di dekatnya. Ia tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya.

Wanita bermata hazel itu berpura-pura menjatuhkan kunci kamar saat membuka pintu. Ia sengaja menjatuhkannya dua kali agar ibu mertuanya itu menyadari keberadaannya.

"Dila? Kamu sudah lama datang?" Ibu mertuanya itu sedikit terkejut dengan keberadaan mantunya.

Ia masih berbalik sambil mengamati Dila. Namun kemudian, ia pun kembali menenangkan diri agar tidak terlihat grogi. Ia berharap Dila tidak dengar percakapan tadi.

Tetap saja, dia tidak tahu bahwa Dila telah mendengar semua percakapannya lewat telepon tadi. Bagaimanapun juga kedoknya perlahan sudah diketahui.

"Lumayan, Bu. Belum cukup lama." Dila sengaja menguap agar dianggap baru saja bangun.

Ia masih harus berpura-pura untuk mengetahui lebih banyak keburukan apalagi yang akan ibu mertuanya sebut tentangnya. Apalagi suaminya banyak menyembunyikan sesuatu darinya.

Selama ini wanita tua itu hanya bersikap baik, walaupun Dila sadar terkadang beberapa pekerjaan rumah dibebankan padanya. Alasan ibu mertuanya karena kelelahan atau alasan klasik bahwa usianya sudah terlalu tua untuk bekerja yang banyak, juga berat.

Dila tahu, ibu mertuanya itu keluar rumah untuk menemui teman-teman gengnya hanya untuk saling memamerkan barang milik mereka.

"Kamu mau ke mana?"

"Mau ke dapur, Bu, mau ambil air putih," ucap Dila dengan langkah gontai sambil menahan rasa perih di bagian perutnya.

"Oh, iya. Hati-hati, ya." Bu Santi berlalu darinya.

Bukannya ia akan membantu anak mantunya mengambilkan air putih, ia justru meninggalkannya dan hanya mengucapkan kata-kata tadi.

Mungkin dulu, Dila tidak akan menyadari sikap tak acuh seperti tadi. Akan tetapi, saat ini Dila sudah tahu sikap ibu mertuanya yang sebenarnya.

Untuk sementara, ia harus menahan diri demi kesehatannya dan juga kedua anaknya.

Siang itu, Dila cukup lapar dan juga lemas, tetapi tidak sempat memasak. Tubuhnya belum bisa beraktivitas yang banyak apalagi berat.

Ia melihat jam di layar ponselnya. Ia khawatir jika Syifa bangun akan mencari makan. Untungnya beberapa kue, biskuit dan buah masih banyak. Kebetulan, ibu dan bapaknya membawakan untuknya saat pulang dari rumah sakit tadi.

Ia kembali melihat jam di layar ponselnya karena mulai gelisah. Ia berharap ibunya akan datang. Buah-buahan dan kue tidak mampu mengganjal rasa laparnya. Bayinya sangat kuat menyusu.

Tidak berselang lama, ia pun merasa sedikit lega. Seseorang mengetuk pintu. Ia berharap yang mengetuk pintu rumah adalah ibunya. Benar saja suara tersebut sangat akrab di telinganya.

Ia ingin bangun dari ranjang tempat tidur, menuju pintu untuk membukanya. Namun, dia tidak bisa karena bayinya masih menyusu.

Suara seseorang menggerakkan gagang pintu. "Silakan masuk, Bu!"

"Maaf, ya, Sayang." Ibu Maria mempercepat langkahnya, kemudian mendekati putrinya. "Tadi, di kedai ibu terlalu ramai. Ibu khawatir jika kalian belum makan. Nih, dimakan ya." Ibu Maria mengeluarkan beberapa tempat makanan untuk disantap oleh anaknya.

"Makasih, Bu. Tapi, Ibu gak perlu repot bolak-balik seperti ini. Ntar ibu kecapean. Ibu ka bisa menggunakan jasa kurir untuk mengantarnya."

"Gak papa. Sekalian Ibu ingin mengetahui keadaan kalian juga. Ibu kangen kedua cucu Ibu." Dila hanya bisa menjawab dengan senyuman.

"Mari biarkan Ibu bantu kamu bersandar."

Setelah membantunya bersandar, Ia menyendok beberapa makanan dan menyuapi putrinya.

"Makasih, Bu." Dila terharu dengan kebaikan ibunya yang tidak pernah berkurang sedikit pun, walaupun dia sudah menikah.

"Iya, gak usah gitu. Kamu kan putri Ibu. Jadi, Ibu bertanggung jawab juga tentang kondisimu."

"Lain kali, ibu pakai jasa kurir aja yang antar."

"Iya, kalau Ibu gak sempat. Kalau Ibu sempat, ibu aja yang datang," ucap wanita tua di depannya sambil menyuapi makanan.

"Tapi, kasihan pekerjaan ibu terlalu banyak yang harus diperhatikan. Apa gak capek kalau bolak-balik terus?"

"Kalau gitu, kamu saja yang lanjutkan usaha Ibu. Kamu tahu sendiri Ibu sudah terlalu tua untuk mengurus kedua kedai itu."

Sebenarnya, ibunya sudah lama menawarkan putrinya untuk mengelola kedai. Sayang sekali, Dila masih bekerja di Bank saat itu, sebelum akhirnya dia memutuskan resign karena harus merawat putrinya, Syifa dan juga karena bekas operasi yang mengharuskannya belum bisa beraktivitas berat kala itu.

Selain itu, suaminya yang meminta untuk berhenti juga dengan kesepakatan bahwa dia akan dicukupkan nafkahnya. Seiring waktu, lelaki yang menikahinya itu mulai berubah. Apalagi mendengarkan kenyataan pahit pagi tadi.

Tawaran ibunya tersebut sudah kesekian kali. Tidak dapat dihitung lagi karena saking banyaknya.

"Iya, Bu. Nanti kalau Dila udah baikan."

Setelah memikirkan sejenak, Dila memutuskan untuk mengurus kedai milik ibunya. Ia tidak boleh berharap terus pemberian dari suaminya. Ia harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terburuk nanti. Apalagi mendengar percakapan tadi.

"Nah, gitu dong! Ibu udah lama nunggu jawabanmu." Senyum mengembang di bibir ibunya. "Tapi, nanti beritahu juga suamimu."

"Iya, Dila akan memberitahunya."

Setelah keheningan beberapa saat, Ibu Santi berkata, "Abangmu, Hendro akan tiba besok. Kebetulan dia cuti bulan ini."

"Bang Hendro pulang sendiri atau bersama anak dan istrinya?" Dila menatap ibunya yang sedang merapikan kembali tempat makanan.

"Bersama anak dan istrinya. Ibu dengar, cutinya sekitar sebulan. Jadi, mereka memutuskan untuk pulang."

***

"Tadi, Abang tidak sempat menemani kalian untuk pulang, Maaf, ya! Abang dengar dari ibu kalau kau akan diantar oleh ibu dan juga bapak," ucap Radit kepada istrinya yang sedang berbaring menyusu bayinya.

Lelaki dengan mata coklat itu baru saja membersihkan diri. Sudah sekitar dua jam yang lalu dia pulang dari kantor.

Dila sudah tidak peduli lagi dengan berbagai alasan yang disebutkan lelaki itu. Ia sudah kecewa dengan sikap suaminya yang tidak merasa bersalah.

Lelaki itu dengan mudahnya menyuruh untuk meminta ibunya membayar biaya operasi. Alasannya dia belum menerima gaji. Ternyata lelaki itu telah menerima gajinya. Buktinya, dia sudah mengirimkan uang untuk ibunya.

"Bang, jatah bulanan ini kamu udah kirim ke rekeningku? Aku mau pesan Pampers, susu dan juga kebutuhan bayi. ASI-ku belum terlalu banyak. Aku khawatir Nisya–bayi kita kehausan dan rewel."

"Oh, iya. Besok Abang akan kirim. Hari ini gaji Abang belum masuk."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status