Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa.
Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab.Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri."Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi."Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar."Maaf, Non. Saya izin keluar!"Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang biasa dipakai untuk tamu.Kamar tersebut sudah dibersihkan dan digunakan oleh Asti untuk menginap jika diperlukan. Biasanya, dia pulang ke rumahnya. Pagi hari baru dia datang lagi.Syifa yang mengikutinya tidak mengerti apa-apa. Ia hanya menuruti perintah Asti. Gadis kecil itu sudah sangat akrab dengan baby sitter adiknya tersebut."Wanita itu bisa berubah karena sikap dan perlakuan pasangannya, Bang.""Apa perlakuan Abang ada yang berubah?""Seharusnya, Abang ngaca dulu sebelum bertanya seperti itu. Atau bertanya pada diri sendiri.""Kamu yang semakin berubah, Dil.""Terserah penilaianmu. Aku mau ke kamar mandi."Radit hendak mendekatinya, tetapi Dila menepisnya. "Kenapa?""Aku ingin membersihkan diri, Bang, kemudian mau istirahat." Baginya lelaki di belakangnya telah menjadi asing. Bahkan, perasaan untuknya perlahan memudar."Abang sudah lama merindukan kita bersama seperti dulu, Dil." Radit tidak berhenti untuk mengambil hati istrinya yang semakin cuek padanya.Radit merindukan sikap Dila yang bermanja-manja padanya. Sikap itu telah hilang beberapa hari ini. Biasanya, dia akan disambut saat pulang kerja dengan senyuman.Terkadang membantunya membukakan kancing baju dan menyiapkan handuk. Namun, tidak ada lagi semua itu. Radit merasa ada yang kurang.Ia keluar kamar dengan perasaan kecewa. Lelaki dengan cambang tercukur rapi itu memutuskan duduk di sofa sambil memikirkan sesuatu."Radit. Kamu membelikan tas untuk istrimu dan tidak membelikan untuk ibu?" Bu Santi mendekati putranya dengan ekspresi marah.Wanita tua itu duduk di sebelah dan disusul oleh Sela."Iya, Bang. Kau tidak lagi memikirkan ibu. Kau lebih memilih memanjakan istrimu. Berapa duit yang kau berikan, Bang? Dila semakin glowing. Pasti dia menghabiskan semua duitmu."Radit menoleh ke mereka. "Apa kalian tidak dengar? Tadi, Dila sudah bilang sendiri dengan menggunakan gajinya. Jatah bulanannya pun sudah aku potong dan gak mungkin cukup untuk membeli tas dan perawatan lainnya.""Gak mungkinlah, Bang. Gaji karyawan biasa mana mungkin bisa membayar harga tas yang mahal tadi, ditambah lagi dengan biaya perawatan. Lagian dia belum sebulan bekerja." Sela masih tidak yakin."Ya, bisa saja dia nyicil. Gajian kan gak lama lagi," sambung Radit, mencoba menebak. Sebenarnya, dia juga penasaran dari mana uang yang digunakan oleh Dila."Dit, mana ART yang kau janjikan ke ibu?""Besok, Bu. Radit janji akan membawanya ke sini.""Janji, ya! Ibu sudah kelaparan. Beberapa hari terakhir kita kesulitan untuk makan. Tidak ada makanan yang tersedia. Masa mau mesan lagi?""Iya, Radit janji, Bu.""Trus, malam ini kita makan apa?""Yang ada saja!""Sela, buatkan ibu dan Abangmu makan malam, ya!"Sela menaikkan alis. Ia keberatan dan tidak terima. Maksud hati ingin makan gratis dan membawakan lauk pauk untuk anak dan suaminya, justru disuruh untuk memasak."Sela harus pulang, Bu. Kasihan Bang Andre dan Meli menunggu di rumah." Ia pun berlalu.Rumah Sela tidak terlalu jauh dari kediaman ibunya. Jaraknya sekitar lima ratus meter."Dasar! Giliran makan, tinggal nyambar aja." Bu Santi dongkol dengan putrinya tersebut.Sementara itu, Dila sudah berbaring bersama bayinya di kamar. Syifa sudah tertidur di kasur miliknya. Mereka sudah makan di kedai.Radit memilih tidur di sofa. Beberapa malam belakangan, dia lebih sering tidur di sofa.Dila terbangun di malam hari karena si baby mulai gelisah meminta susu. Wanita itu segera menuju dispenser untuk membuatkan susu, sebelum bayinya merengek.ASI-nya tidak banyak sehingga harus dibantu oleh susu formula. Ia mencari botol susu bayi yang diletakkan di atas nakas.Dia menoleh ke arah di mana suaminya tidur, tetapi tidak ada. Ia berpikir mungkin lelaki itu belum pulang karena Dila sangat cepat ketiduran.Dila memperlambat langkahnya saat mendengar suara seseorang di sebelah. Kebetulan kamarnya dan Radit berdekatan dengan teras samping rumah, tempat tanaman bunga dirawat.Suara tersebut terdengar seperti seseorang sedang berbisik, tetapi Dila masih bisa mendengarnya karena malam hari sangat hening, tidak ada suara selain embusan angin dan ranting yang bergerak.Kebetulan pintu kamar tidak tertutup rapat. Dila membuka pintu kamar dan memicingkan mata untuk melihat jelas siapa yang berbicara.Ia pun mendekat perlahan supaya tidak terdengar. Ia juga memutuskan berdiri di jarak yang agak jauh, agar keberadaannya tidak dilihat."Iya, Sayang. Besok saja biaya kosan-mu Abang transfer. Kan Abang selalu tepati janji. Kamu tidak percaya sama Abang?""Percaya kok, Bang. Sarli hanya ingatin Abang jangan sampai lupa seperti bulan lalu. Gak enak Bang, ditagih sama ibu kos." Suara di balik sambungan telepon dengan nada manja."Nah gitu, dong. Besok ketemuan di mana lagi? Kamu saja ya, yang tentuin tempatnya. Kangen nih suara desahanmu.""Ih, Abang bisa aja. Desahan atau yang lainnya juga.""Semuanya deh, sama jeritanmu juga.""Dasar nakal! Padahal kemarin udah masa masih kangen aja."Jelas sekali suara tersebut milik Radit. Dila syok mendengar percakapan tersebut. Ia yakin wanita yang dihubungi suaminya, wanita yang ada di foto pagi tadi."Besok Abang akan ke situ lagi, ya. Sampai jumpa besok. Mmuah! Kamu membuatku tersiksa malam ini. Awas kamu besok, ya."Dila masih mematung mendengar percakapan tersebut. Melihat gambar atau mendengar kabar dari orang lain sakit, tetapi tidak sangat menyakitkan. Berbeda halnya mendengar sendiri dengan telinganya.Lelaki itu benar-benar sangat di luar batas. Dila sudah sangat marah dan tidak mampu menahannya lagi. Ia pun melangkah keluar kamar dan menuju teras tersebut, di mana Radit berada.Lelaki itu pun hendak mengakhiri panggilan telepon. Dia sangat terkejut melihat siapa yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri juga. Matanya mengerjap berkali-kali.Deru di dadanya memompa sangat cepat. Dia tidak menyangka suaranya terdengar oleh Dila. Padahal dia sudah memelankan suaranya agar tidak terdengar.Radit ingin berbalik, tetapi wanita itu semakin mendekat. Keringat dingin mulai mengucur di dahi.Dila sudah berdiri tepat di tengah pintu sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapannya sangat tajam."Bang .... Siapa yang Abang ajak bicara? Jadi, seperti ini yang kau lakukan di belakangku? Abang punya hubungan dengan seseorang "kan? Jujur ...." Suara Dila sudah meninggi, kemudian terjeda. Seketika, lelaki itu membalikkan badan dan menoleh ke Dila. "Ssst ...." Ia memberi isyarat dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Jadi, gitu Wan caranya merayu agar hati istrimu luluh kembali." Radit seolah masih serius berbicara di dalam sambungan telepon. "Sudah dulu, Wan. Kita sambung lagi besok." Ponsel yang menempel di telinga sudah diturunkan.Dila mengernyitkan dahi. Dia sangat tidak mengerti."Tadi, teman sedang curhat. Dia minta saran bagaimana meluluhkan hati pasangannya. Mereka sedang tidak akur. Jadi, Abang hanya bantu sebisanya." Radit memberi penjelasan."Teman? Abang tidak berbohong 'kan? Aku sudah mendengar semua percakapanmu, Bang. Jangan berani menipuku." Dila m
Dila masih menatap foto tersebut. Pikirannya kembali membayangkan wajah wanita yang dibawa oleh Radit, kemudian membandingkannya. Ia sangat yakin mereka orang yang sama, hanya berbeda dari penampilan saja. Deru di dadanya memompa dan tidak menentu. "Ma, Papa dengan siapa tadi?" Dila menoleh pada putrinya sambil mengusap rambutnya. "Dengan ART yang akan membantu bersih-bersih di rumah nenek.""Kok, Mama sedih?""Tidak, Sayang." Dila buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin putrinya melihat kalau ibunya bersedih. Ia memikirkan nasib kedua putrinya di kemudian hari tanpa sosok ayah di samping mereka. Ia mulai memikirkan matang-matang tentang keputusannya. Keputusannya untuk berpisah nanti akan mengorbankan nasib kedua putrinya. Hal itu yang mulai mengganggunya belakangan ini.Radit semakin nekat. Dia mencoba untuk membohongi istri dan keluarganya. Namun ternyata, dia salah. Istrinya sangat mudah mengenal siasatnya. Mungkin juga karena lelaki itu tidak bisa men
Dorongan pintu sangat keras menghentak dinding. Cukup mengejutkan orang di dalam. Matanya sangat tajam seakan menembus setiap inci benda yang dipandangnya. Ia tidak menyangka lelaki itu sangat nekat membawa selingkuhannya di rumah. Deru jantungnya memompa makin tidak menentu. Kedua insan di dalam ruangan tersebut membeku. Seakan berubah menjadi batu. Lelaki bercambang itu kalang kabut. Ia tidak sempat menutup dirinya, begitu juga wanita yang berbaring itu. "Jadi, kalian yang berzina di rumah ini? Bang, kamu berzina dengan wanita pelacur ini?" teriak Dila, hingga suaranya terdengar di luar rumah.Dila berhenti di situ saja. Ia terus mencecar Radit dengan berbagai pertanyaan. Tentang pembicaraan lelaki itu di telepon saban hari dengan seorang wanita, dan suara yang menjawab di telepon. Ia baru ingat bahwa suara yang menjawab panggilannya di ponsel sangat mirip.Radit mulai mencari pakaiannya yang entah berserakan ke mana. Nafsu telah menguasai mereka, sehingga tidak sadar telah melem
Warga belum puas sehingga memutuskan tetap berkerumun. Mereka tidak pulang melainkan menunggu pihak yang berwajib untuk membawa kedua pasangan tersebut. Bu Santi masih syok. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mendengar kenyataan putranya berzina di rumahnya membuat hatinya perih. Putra yang dibanggakannya telah menodai kepercayaan dan kebanggaannya. "Nak Dila tunggu sebentar, ya. Pihak kepolisian sedang membuat informasi dan kesaksian Nak Dila." Pak RT meminta Dila agar tidak pergi. Dila hanya mengangguk. Ia tidak bisa menahan rasa sakitnya yang sangat dalam, karena dikhianati oleh lelaki yang telah menikahinya tiga tahun terakhir. Ternyata menyaksikan sendiri, terasa lebih sakit daripada mendengar dari kesaksian orang. Ia masih sangat terpukul. Beberapa warga masih mengira bahwa Radit membawa wanita itu untuk berhubungan di rumah tersebut. Namun, Bu Santi menjelaskan bahwa wanita yang bersama Radit, seorang ART yang akan bekerja di rumahnya. Ia yang meminta putranya mencarikan se
Enam pasang mata itu masih menatapnya tajam saat meninggalkan rumah. Ucapan Dila tadi membuat mereka meradang. Marah dan juga kesal sudah menyatu.Pisah memang pilihan yang berat. Namun untuk kondisinya saat ini merupakan pilihan yang tepat. Mempertahankan bahtera rumah tangga dengan Radit lambat laun akan rubuh juga fondasi yang dibangun. Lelaki itu yang merubuhkannya sendiri. Radit telah menodai perjanjian di atas altar nikah yang pernah diucapkannya. Hati Dila sakit melihat putrinya, yang terus-menerus memanggil ayahnya untuk mengikuti mereka. Dila mencoba menenangkan putrinya. Ia mencoba ikhlas menerima kenyataan pahit tentang nasib kedua putrinya. Ia sadar kedua gadis kecilnya masih membutuhkan sosok ayah di samping mereka. Anak kecil itu belum mengerti dengan apa yang terjadi. Ia hanya ingin ayahnya menyahut ajakannya. Gadis kecil berusia tiga tahun itu menghampiri, kemudian mencoba menarik tangan ayahnya, tetapi digagalkan oleh ibunya.Dia ingin bertanya kenapa. Ia tidak men
Ternyata pernikahan siri antara Radit dan Serli bukan sebelum kejadian tertangkap basah beberapa hari yang lalu itu, tetapi sebaliknya. Kebohongan yang dilakukan Radit bisa ditahu oleh warga sekitar, berkat kekuatan jejak digital yang ditelusuri warganet. Radit semakin tidak nyaman saat bekerja apalagi melintas di depan ruang kerja teman kantor. Pernikahan sirinya sudah menjadi buah bibir di kantor, tidak bisa disembunyikan lagi. ***"Aku muak kerja lagi!" Lelaki bercambang itu melempar tasnya begitu saja. "Kenapa, Dit?" "Muak, Bu dengan teman-teman di kantor. Apa tidak ada pembahasan lain selain menggosipkan tentangku?""Orang-orang memang seperti itu. Udah biarin aja!""Awalnya aku cuek, tetapi lama-kelamaan jadi jengkel juga," sungut Radit. "Dan ternyata mereka sudah tahu kalau ....""Kalau kenapa?" tanya ibunya penasaran. Radit tidak melanjutkan penjelasannya. Ia khawatir ibunya tahu kalau dia belum nikah siri dengan Serli. Ia pun memilih menutup mulut."Kalau a-ku nikah siri
"SERLI ... cepat buatkan kami makan! Abang sudah lapar." Radit sudah tidak bisa menahan diri. "Abang tunggu ya, di dapur!" Lelaki itu segera pergi dan tidak menunggu jawaban wanita itu. Ia tahu Serli akan memberikan alasan lagi. Jadi, dia memutuskan pergi dan menunggu di ruang makan saja. Wanita yang sedang berbaring itu membisu karena keterkejutannya. Bentakan keras suara lelaki tadi membuatnya sakit hati. Selama setahun memiliki hubungan dengan lelaki itu, dia tidak pernah diperlakukan seperti tadi. Lelaki itu selalu bersikap baik, romantis dan memanjakannya. Namun yang baru saja ia dengar telah mengubah pandangannya tentang lelaki itu. Hampir setengah jam, Serli belum keluar dari kamar. Radit mulai gelisah dan juga meradang. Wanita yang ditunggu belum juga menampakkan wajahnya atau pun beraktivitas di dapur. Radit pergi ke luar untuk memarkirkan kendaraannya yang sembarang saja disimpan saat tiba di rumah. Kesal dan jengkel di kantor belum hilang, kini muncul kekesalan baru te
"Teman, Bang. Taulah dia sedikit belok," jawab Serli sambil mencontohkan maksudnya dengan mengayunkan jemarinya. "Nih, aku sengaja dah siap kayak gini untuk bertempur lagi, dan tentunya menyenangkanmu." Serli kembali bergelayut manja di leher Radit dengan menautkan kedua tangannya.Lelaki itu tentu saja hilang kendali. Pikirannya pun teralihkan seiring aliran darah yang bergejolak tak karuan karena denyut jantung memompa semakin kencang. "Tapi, benar, ya. Jangan bohong. Awas kalau bohongin Abang!" Ia mencubit bibir wanita di depannya."Tentu dong, Bang. Kok, Abang gak percaya banget sama Serli?" ucap wanita itu dengan meyakinkan, walaupun sebenarnya dia juga terlihat sangat khawatir.Ia berharap Radit tidak melihat sosok di balik sambungan video call tadi. Serli masih terus merayu lelaki bercambang itu agar segera luluh. Radit kembali melepas rangkulan tangan wanita di sampingnya. "Kenapa, Bang?" Serli tidak mengerti dengan reaksi Radit, sangat cepat berubah."Aku rasa kau sedang b