Share

8 Kepergok

Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa.

Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab.

Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri.

"Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi."

Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar.

"Maaf, Non. Saya izin keluar!"

Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang biasa dipakai untuk tamu.

Kamar tersebut sudah dibersihkan dan digunakan oleh Asti untuk menginap jika diperlukan. Biasanya, dia pulang ke rumahnya. Pagi hari baru dia datang lagi.

Syifa yang mengikutinya tidak mengerti apa-apa. Ia hanya menuruti perintah Asti. Gadis kecil itu sudah sangat akrab dengan baby sitter adiknya tersebut.

"Wanita itu bisa berubah karena sikap dan perlakuan pasangannya, Bang."

"Apa perlakuan Abang ada yang berubah?"

"Seharusnya, Abang ngaca dulu sebelum bertanya seperti itu. Atau bertanya pada diri sendiri."

"Kamu yang semakin berubah, Dil."

"Terserah penilaianmu. Aku mau ke kamar mandi."

Radit hendak mendekatinya, tetapi Dila menepisnya. "Kenapa?"

"Aku ingin membersihkan diri, Bang, kemudian mau istirahat." Baginya lelaki di belakangnya telah menjadi asing. Bahkan, perasaan untuknya perlahan memudar.

"Abang sudah lama merindukan kita bersama seperti dulu, Dil." Radit tidak berhenti untuk mengambil hati istrinya yang semakin cuek padanya.

Radit merindukan sikap Dila yang bermanja-manja padanya. Sikap itu telah hilang beberapa hari ini. Biasanya, dia akan disambut saat pulang kerja dengan senyuman.

Terkadang membantunya membukakan kancing baju dan menyiapkan handuk. Namun, tidak ada lagi semua itu. Radit merasa ada yang kurang.

Ia keluar kamar dengan perasaan kecewa. Lelaki dengan cambang tercukur rapi itu memutuskan duduk di sofa sambil memikirkan sesuatu.

"Radit. Kamu membelikan tas untuk istrimu dan tidak membelikan untuk ibu?" Bu Santi mendekati putranya dengan ekspresi marah.

Wanita tua itu duduk di sebelah dan disusul oleh Sela.

"Iya, Bang. Kau tidak lagi memikirkan ibu. Kau lebih memilih memanjakan istrimu. Berapa duit yang kau berikan, Bang? Dila semakin glowing. Pasti dia menghabiskan semua duitmu."

Radit menoleh ke mereka. "Apa kalian tidak dengar? Tadi, Dila sudah bilang sendiri dengan menggunakan gajinya. Jatah bulanannya pun sudah aku potong dan gak mungkin cukup untuk membeli tas dan perawatan lainnya."

"Gak mungkinlah, Bang. Gaji karyawan biasa mana mungkin bisa membayar harga tas yang mahal tadi, ditambah lagi dengan biaya perawatan. Lagian dia belum sebulan bekerja." Sela masih tidak yakin.

"Ya, bisa saja dia nyicil. Gajian kan gak lama lagi," sambung Radit, mencoba menebak. Sebenarnya, dia juga penasaran dari mana uang yang digunakan oleh Dila.

"Dit, mana ART yang kau janjikan ke ibu?"

"Besok, Bu. Radit janji akan membawanya ke sini."

"Janji, ya! Ibu sudah kelaparan. Beberapa hari terakhir kita kesulitan untuk makan. Tidak ada makanan yang tersedia. Masa mau mesan lagi?"

"Iya, Radit janji, Bu."

"Trus, malam ini kita makan apa?"

"Yang ada saja!"

"Sela, buatkan ibu dan Abangmu makan malam, ya!"

Sela menaikkan alis. Ia keberatan dan tidak terima. Maksud hati ingin makan gratis dan membawakan lauk pauk untuk anak dan suaminya, justru disuruh untuk memasak.

"Sela harus pulang, Bu. Kasihan Bang Andre dan Meli menunggu di rumah." Ia pun berlalu.

Rumah Sela tidak terlalu jauh dari kediaman ibunya. Jaraknya sekitar lima ratus meter.

"Dasar! Giliran makan, tinggal nyambar aja." Bu Santi dongkol dengan putrinya tersebut.

Sementara itu, Dila sudah berbaring bersama bayinya di kamar. Syifa sudah tertidur di kasur miliknya. Mereka sudah makan di kedai.

Radit memilih tidur di sofa. Beberapa malam belakangan, dia lebih sering tidur di sofa.

Dila terbangun di malam hari karena si baby mulai gelisah meminta susu. Wanita itu segera menuju dispenser untuk membuatkan susu, sebelum bayinya merengek.

ASI-nya tidak banyak sehingga harus dibantu oleh susu formula. Ia mencari botol susu bayi yang diletakkan di atas nakas.

Dia menoleh ke arah di mana suaminya tidur, tetapi tidak ada. Ia berpikir mungkin lelaki itu belum pulang karena Dila sangat cepat ketiduran.

Dila memperlambat langkahnya saat mendengar suara seseorang di sebelah. Kebetulan kamarnya dan Radit berdekatan dengan teras samping rumah, tempat tanaman bunga dirawat.

Suara tersebut terdengar seperti seseorang sedang berbisik, tetapi Dila masih bisa mendengarnya karena malam hari sangat hening, tidak ada suara selain embusan angin dan ranting yang bergerak.

Kebetulan pintu kamar tidak tertutup rapat. Dila membuka pintu kamar dan memicingkan mata untuk melihat jelas siapa yang berbicara.

Ia pun mendekat perlahan supaya tidak terdengar. Ia juga memutuskan berdiri di jarak yang agak jauh, agar keberadaannya tidak dilihat.

"Iya, Sayang. Besok saja biaya kosan-mu Abang transfer. Kan Abang selalu tepati janji. Kamu tidak percaya sama Abang?"

"Percaya kok, Bang. Sarli hanya ingatin Abang jangan sampai lupa seperti bulan lalu. Gak enak Bang, ditagih sama ibu kos." Suara di balik sambungan telepon dengan nada manja.

"Nah gitu, dong. Besok ketemuan di mana lagi? Kamu saja ya, yang tentuin tempatnya. Kangen nih suara desahanmu."

"Ih, Abang bisa aja. Desahan atau yang lainnya juga."

"Semuanya deh, sama jeritanmu juga."

"Dasar nakal! Padahal kemarin udah masa masih kangen aja."

Jelas sekali suara tersebut milik Radit. Dila syok mendengar percakapan tersebut. Ia yakin wanita yang dihubungi suaminya, wanita yang ada di foto pagi tadi.

"Besok Abang akan ke situ lagi, ya. Sampai jumpa besok. Mmuah! Kamu membuatku tersiksa malam ini. Awas kamu besok, ya."

Dila masih mematung mendengar percakapan tersebut. Melihat gambar atau mendengar kabar dari orang lain sakit, tetapi tidak sangat menyakitkan. Berbeda halnya mendengar sendiri dengan telinganya.

Lelaki itu benar-benar sangat di luar batas. Dila sudah sangat marah dan tidak mampu menahannya lagi. Ia pun melangkah keluar kamar dan menuju teras tersebut, di mana Radit berada.

Lelaki itu pun hendak mengakhiri panggilan telepon. Dia sangat terkejut melihat siapa yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri juga. Matanya mengerjap berkali-kali.

Deru di dadanya memompa sangat cepat. Dia tidak menyangka suaranya terdengar oleh Dila. Padahal dia sudah memelankan suaranya agar tidak terdengar.

Radit ingin berbalik, tetapi wanita itu semakin mendekat. Keringat dingin mulai mengucur di dahi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status