Share

7 Jawaban Pedas

"Bang Radit! Trus dia ngapain ke restoran?"

"Nah, itu dia, Dil. Mungkin kau akan terkejut, Dil. Aku juga syok lihatnya. Tau gak siapa yang dia temui?"

"Maksudmu gimana, Nit?"

Tidak berselang lama, Nita mengirim beberapa gambar yang diambilnya ke ponsel milik Dila. Dugaannya beberapa hari terakhir semakin membuatnya yakin.

Ternyata, Radit memiliki wanita selingkuhan. Wajah wanita di dalam foto tersebut masih sangat muda dan tidak terlalu tua.

Jelas sekali di gambar tersebut mereka terlihat sangat mesra. Radit beberapa kali mengelus tangan wanita di depannya dan mencubit dagu sambil tersenyum.

Mata Dila menatap tajam ke gambar kemudian memerah karena sakit. Namun, perasaan jijik mulai membentuk dari sudut bibirnya.

Lelaki itu sangat tidak malu mempertontonkan perlakuannya di depan orang banyak. Dila kemudian menutup video yang belum selesai ditontonnya. Nita merekam juga selain mengambil gambar kedua insan yang sangat intim dan mesra itu.

"Dil, kamu baik-baik saja 'kan?" Nita merasa tak nyaman karena Dila belum bersuara semenjak mengirim gambar tadi. "Dila ...."

"Iya, Nit. Aku baik-baik saja."

"Tenang saja, aku akan beritahu lagi jika aku menemukan informasi yang lain tentang Radit. Mereka berdua sudah pergi, Dil."

"Makasih, Nit. Kalau tidak ada kau, mungkin aku akan hidup dalam kebohongan Bang Radit."

"Sebagai teman, aku harus membantu sebisa yang kulakukan, Dil. Oke, kalau gitu aku lanjut dulu, ya."

Nita menutup panggilan kemudian pergi melalui jalur lain agar tidak terlihat oleh Radit. Ia harus berhati-hati agar tidak diketahui, sedang mengintai lelaki itu.

Radit sudah berpisah dengan wanita di sampingnya. Ia seakan berat melepas genggaman tangan wanita itu.

"Aku akan semakin merindukanmu, Ser!" Lelaki bercambang itu masih menggenggam tangan wanita di depannya.

"Ntar malam kita masih akan ketemu, Bang," ucap wanita di depannya dengan memanyunkan bibirnya. "Kemarin kau sudah minta jatah. Tiap hari harus jatah lagi! Jalan-jalan ke mana, kek. Jangan di kosan mulu."

"Okay, ntar WA aja tempat yang kau mau. Asal kamu senang. Kau sangat menggairahkan!" cubitan manis itu kembali ia lakukan ke wanita di depannya.

"Okay, bye!"

Nita memasuki taksi setelah mengambil gambar mereka saat berpelukan dan saling menautkan bibir untuk perpisahan. Tak lupa, Nita mengirim gambar tersebut ke temannya.

Dila yang sedang duduk di kursi meraih kembali benda pipih miliknya dan membuka pesan masuk ke WA. Ia penasaran apa yang dikirim oleh temannya itu.

Hatinya kembali memanas saat gambar itu dilihatnya. Sangat menjijikkan!

"Baik, sudah cukup, Bang. Saatnya, aku harus membuat keputusan dengan caraku," gumamnya dengan hati memanas.

Dia harus bersiap dengan segala kemungkinan yang buruk terjadi. Wanita dengan bulu mata lentik itu harus mencari tahu siapa wanita yang bersama Radit.

Dari sikap keduanya, mereka bukan hanya sekedar teman, tetapi lebih dari itu. Apalagi pelukan dan ciuman itu.

***

Setelah beberapa jam di ruang pijat dan SPA, Dila kembali ke kedai. Perasaannya kembali segar setelah melakukan treatment tadi. Hampir sekitar tiga tahun, ia tidak pernah memanjakan dirinya.

Untuk mengobati rasa kangennya, ia pun pergi ke tempat tersebut.

"Selamat siang, Dila!"

"Se-lamat siang dokter Diana." Dila menoleh, juga terkejut mendengar suara tersebut. Pasalnya, sudah lama dia tidak bertemu.

"Di mana aja sih selama ini? Baru ketemu lagi."

"Iya, dok. Maklum mama baru. Super ribet! Baru ketemu lagi nih. Udah kangen banget sama SPA milikmu." Dila mendekati pemilik SPA tersebut dan saling cipika-cipiki.

"Sama pemiliknya, tidak?"

"Sekalian sama pemiliknya juga." Dila melempar senyum.

"Kamu kelihatan kurus sekarang. Apa suamimu gak manjain kamu?" Tatapan dokter Diana kembali serius ke Dila.

Pertanyaan dokter Diana membuat Dila membisu sejenak. Ia masih bingung bagaimana harus menjawabnya. Ia tidak tahu apakah dokter serius atau sedang bercanda. Namun, pertanyaan itu sedikit menyentil hatinya.

"Gak perlu jawab, kok kalau kau keberatan. Tapi, biasanya bila istri terlihat kurus dan tidak terawat, berarti suaminya pelit atau mungkin kurang peka," bisik dokter ke wanita di dekatnya dengan senyum.

"Bu dokter bisa aja."

"Ya, sepanjang yang aku tahu sih, gitu. Tapi, semoga kalian baik-baik saja, Dil."

Dila tidak mampu berbicara banyak karena apa yang diucapkan oleh dokter Diana sangat tepat sasaran dan benar. Ia tidak mampu berkilah.

"Benar 'kan kau baik-baik saja?"

"Iya, dok. Minta doanya saja. Semoga tidak ada masalah yang sangat besar."

"Iya, aku doakan yang terbaik untuk kalian."

Mereka berjalan hingga ke depan pintu keluar. Mereka bercakap-cakap sehingga tanpa sadar telah sampai di pintu.

"Sampai jumpa lagi, dok."

"Okay, sampai jumpa. Salamku sama putri kecilmu."

Dila berbalik dan masuk ke taksi yang telah lama menunggunya di depan gedung. Rasa kangennya untuk memanjakan diri telah terobati.

Tiga tahun bersama Radit, ia lebih banyak menyibukkan diri mengurus kebutuhan suaminya dan juga keluarga lelaki itu. Ia sampai lupa dengan merawat dirinya. Fokusnya telah terbagi. Apalagi dengan hadirnya buah hati di antara mereka.

Hari semakin sore. Dila selalu mengecek keadaan bayi dan putrinya lewat ponselnya. Baby sitter yang disewanya sangat dapat diandalkan.

Ia pun memutuskan pulang ke rumah mertuanya. Sebelumnya, dia sudah mengecek sebuah rumah minimalis modern. Ia berencana untuk menempati rumah tersebut agar terhindar dari keluarga toxic. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang buruk.

Mobil yang mereka tumpangi ialah pemberian kedua orang tuanya. Ibunya menyarankan untuk memakai mobil tua milik bapaknya. Walaupun mobil tua, setidaknya mobil tersebut masih bisa dikendarai dan digunakan.

"Pekerjaan apa sih yang membolehkan membawa anak dan juga baby sitter segala?" tanya Sela dengan sedikit heran.

"Ada dong. Kan milik sepupu." Dila menjawab santai dan berlalu. Ia tidak ingin meladeni terlalu banyak pertanyaan iparnya itu.

"Apa jangan-jangan jadi pengemis," sambung Sela dengan sedikit mencibir.

Tiba-tiba mata Sela fokus ke tas yang dipegang oleh Dila. Ia tidak menyadari keberadaan tas tersebut sejak tadi.

"Loh, itu tas milikmu?"

"Iya. Emangnya kenapa?" Dila baru sadar, Sela akan terkejut dengan tas yang dipegangnya.

Sela masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mereknya saja sangat mudah dikenal dan tentunya harga tas tersebut lumayan mahal. Ia tentu tidak tahu bahwa Dila membelinya di salah satu tokoh milik seseorang yang dikenalnya.

"Di mana kau mendapatkannya? Bu, coba ke sini!" Kebetulan ibunya keluar dari kamar. "Lihat tas yang dipegang oleh Dila. Apa dia menghabiskan uang Bang Radit hanya untuk membeli tas itu?"

"Apa? Tapi, harganya bisa sekitar dua kali lipat gaji Radit, Sel. Di mana kau mendapatkannya, Dil? Jangan bilang kau memeras uang suamimu. Dasar pemboros!"

"Hei, kamu baby sitter. Siapa namamu?"

"Asti."

"Ya, Asti. Kamu kan mengikuti Dila. Emang dia kerja di mana?"

"Di sebuah tempat yang bagus, Mba."

"Hei, aku serius bertanya. Semua tempat kerja itu pasti bagus. Aku nanya di mana?" Sela menjadi marah karena jawaban Asti seperti mempermainkannya.

Dila tersenyum puas. Ia tidak menyangka Asti akan menjawab seperti tadi. Baby sitter-nya tersebut sangat cepat mengerti maksudnya. Beberapa hari yang lalu Dila memberitahunya untuk tidak menyebut tempatnya bekerja.

"Asti benar, kok. Lagian untuk apa kau kepo dengan pekerjaan orang," sambung Dila.

"Nah, itu Bang Radit sudah pulang."

"Ada apa ini? Serius amat!"

"Lihat tuh, Bang. Istrimu itu emang boros. Ternyata, duit yang kau berikan selama ini hanya digunakan untuk beli tas semacam itu." Sela tidak mau menunggu lama. Ia langsung mengeluarkan kata-kata tajamnya yang langsung to the target.

Lelaki itu masih mengernyitkan dahi. Pikirannya masih berkelana. Selama ini dia tidak pernah memberi istrinya jatah bulanan dua juta pas atau pun lebih, kadang kurang sedikit.

"Oh, mengenai tas ini!" Dila langsung menyahut. "Ini tas dari jerih payahku. Kebetulan aku mendapatkan bonus dari tempat kerja. Ya, lumayan untuk membeli tas yang bisa diisi banyak keperluanku. Lagian duit Bang Radit gak bakal mampu membelinya, kok. Jadi, kalian tidak perlu khawatir. Jatah bulanan saja tidak bisa untuk menutupi keperluan kedua bayiku."

"Maksudmu apa? Kamu menganggap Abang tidak mampu membiayai kalian?" Radit tersinggung kalau direndahkan.

"Ya, kenyataannya seperti itu." Dila berlalu.

Lelaki itu naik pitam. Namun, Radit merasa, melihat Dila yang berbeda. Dila semakin rapi dan modis. Wajahnya juga terlihat bersih dan tidak kusam seperti sebelumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status