Share

6 Kabar dari Nita

Sejurus kemudian, notifikasi pesan terbaru ke ponsel tersebut.

Dila kembali menoleh untuk membaca pesan tersebut. Walaupun dia tidak bisa membuka ponsel tersebut dan membaca isi pesan secara keseluruhan, dia masih bisa membaca lewat notifikasi di depan layar.

Pesan masuk masih dari emoticon bunga mawar tadi.

[Aku sudah terima, Yang. Makasih, ya! Jangan bosan menyayangiku terus. Kamu memang sangat aku andalkan] emoticon memberi ciuman.

Deru dadanya semakin bergejolak dan terasa panas. Pesan tersebut sangat jelas tertulis di sana. Dila semakin yakin kalau Radit pasti berselingkuh atau memiliki hubungan dengan suara wanita di sambungan telepon saban hari dan seseorang dengan nama ber-emoticon bunga mawar.

Pintu kamar mandi bergeser. Lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan. Ia berjalan, mendekati nakas dan meraih ponselnya.

Ia mengetik sesuatu di layar benda pipih tersebut, kemudian meletakkannya kembali. Ia menuju lemari sambil sesekali bersiul. Wajahnya sudah berubah ceria.

Dila mencoba, menguasai dirinya agar tetap tenang. Sakit melihat lelaki itu tersenyum menatap layar ponsel di tangannya. Dia sudah menduga bahwa Radit menjawab pesan tadi.

Radit bergegas keluar kamar, setelah selesai memakai pakaian. Ia hanya mengenakan kaos dan short pants dari jeans. Lelaki itu sudah sering keluar sore hari dan entah ke mana.

Awalnya, Dila tidak berpikir yang aneh-aneh. Namun, perasaannya semakin tidak enak dan terganggu semenjak pesan tadi dan juga suara wanita yang menjawab panggilan telepon darinya saban hari.

Ia berpikir sejenak untuk mencari tahu yang sesungguhnya. Rasa penasarannya sudah tidak bisa ditahan lagi. Tiba-tiba, Ia mendapatkan ide.

Dia pun meraih ponselnya dan menghubungi seseorang di kantor, tempat Radit bekerja.

[Assalamualaikum. Sore, Nit. Mau nanya, apakah malam ini ada lembur di kantor?]

Pesan telah terkirim dan belum ada jawaban. Dila masih menunggu jawaban dari temannya di seberang.

Lima menit berlalu!

Dila membalikkan badan tatkala mendengar notifikasi pesan masuk.

[Waalaikumsalam. Sepertinya tidak ada, Dil. Aku dan suamiku masih di rumah bersama anak-anak, kok] balasan dari Nisa, temannya.

Dila dan Nita mulai akrab semenjak Radit bekerja di kantor yang sama dengan temannya tersebut. Selain itu, mereka sering bertemu di acara yang diadakan oleh kantor, tempat suaminya bekerja.

[Baik, makasih ya, Nit]

[Emangnya, ada apa Dil?]

Dila ragu untuk menjawab pertanyaan dari temannya. Ia belum yakin dengan kecurigaannya. Namun, dia juga tidak tahu bagaimana harus membuktikannya. Ia masih bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut.

[Cerita saja ke aku, Dil. Mungkin aku bisa bantu] pesan masuk lagi. Dila membaca pesan tersebut.

Nita merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh temannya. Ia juga wanita dan bisa merasakan hal itu.

[Aku juga bingung, Nit. Mau mulai dari mana. Akhir-akhir ini, Bang Radit terlihat berbeda]

Nita mulai teringat dengan gelagat Radit yang berbeda beberapa bulan terakhir. Ia yakin ada sesuatu. Mungkin saatnya untuk memberitahu temannya.

Kalau dulu ia masih ragu untuk memberitahu karena tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Namun, curhatan Dila mengingatkannya kembali.

[Aku juga merasakan ada yang aneh dengan suamimu, Dil. Biasanya, dia makan siang bersama Bang Tyar di kantin. Tapi beberapa bulan ini dia selalu keluar dan ngomong pengen makan di luar]

Tyar merupakan suami Nita, juga teman Radit. Mereka sering nongkrong di kantin untuk makan siang sekaligus membahas segala hal.

Kadang, Nita ikut bergabung dengan mereka. Ia juga bekerja di kantor tersebut.

Dila mengerutkan kening, membaca pesan dari Nita.

[Sudah berapa lama, Niy? Kamu tahu dia ke mana?]

[Sekitar tiga atau empat bulan terakhir. Aku gak tahu dia ke mana. Aku pikir ke rumahnya mau makan siang di situ]

[Makasih ya, Nit, infonya]

[Kalau kau butuh sesuatu, aku bisa bantuin, Dil]

[Iya, Nit. Makasih, ya. Nanti aku WA lagi. Mau momong si baby dulu]

[Okay, Dil. See you! Jangan sungkan ya, kalau butuh bantuan atau info lagi]

Nita tahu bahwa Dila harus menjaga kesehatannya dan juga bayinya. Apalagi setelah operasi caesar. Ia akan berusaha membantu yang bisa dia lakukan untuk temannya.

***

Dila sudah rapi dengan pakaiannya. Sebuah mobil sudah menunggu di depan rumah. Syifa dan adiknya ia bawa ditemani oleh baby sitter-nya.

Hanya itu salah satu cara agar dia bisa selalu mengecek keadaan bayinya. Lagi pula, pekerjaan di kedai dilakukan oleh karyawan. Dia hanya mengecek dan memerhatikan segala sesuatu yang diperlukan.

"Mau ke mana sepagi ini? Rapi banget!"

"Mau kerja. Assalamualaikum, Bu!"

Radit terdiam sepersekian detik melihat istrinya sudah rapi dengan dandanannya.

"Loh, sarapan pagi belum dibuat?" Bu Santi terkejut karena tidak melihat sarapan di atas meja. "Radit, istrimu tidak membuatkan kopi untukmu?" Radit juga sudah duduk di kursi, kemudian berdiri lagi.

Mereka mengira makanan sudah tersedia. ART yang akan dipekerjakan belum dapat. Lebih tepatnya, Radit belum mencari.

"Dila, buatkan dulu kopi untuk Abang! Jangan lupa kudapannya."

"Bukannya sudah ada ART? Aku gak pegang duit banyak kalau buat kudapan. Kenapa tidak menunggu ART saja?"

Dila sengaja mengungkit ART kepada Radit agar tidak pura-pura lupa. Keperluan dapur dan rumah sudah dipangkas oleh lelaki itu. Dila sudah tidak memegang duit untuk keperluan rumah.

"Radit, mana ART yang kau janjikan ke ibu?" Bu Santi senang karena mendengar dari Dila bahwa putranya sudah menyewa ART.

Ia masih menunggu jawaban putranya.

"Radit sudah hubungi jasa penyalur, Bu. Mungkin besok datangnya. Ditunggu aja."

"Trus, hari ini gak ada ART?" Wanita tua itu mulai kesal dengan jawaban putranya.

"Dil, bisa kau buatkan kami sarapan dulu, kemudian kau pergi?" pinta Radit.

"Kau sudah membeli bahan makanan untuk dibuat? Aku gak mau bolak-balik hanya untuk membeli bahan makanan itu."

"Kau itu istri, Dil. Harusnya, kau menyiapkan sarapan."

"Mungkin bang Radit lupa. Aku tidak memegang duit untuk keperluan rumah. Itu yang diucapkannya."

"Atau tidak, suruh baby sitter-mu itu membuatkan kami sarapan."

"Aku akan terlambat bekerja. Belum lagi menunggunya membeli bahan makanan dan membuat sarapan untuk kalian. Kenapa tidak menunggu ART yang kalian sewa aja?

Baby sitter-ku hanya bekerja untukku dan ikut denganku. Permisi, aku pergi dulu! Assalamualaikum ...." Dila beranjak pergi.

Mereka terpaku seketika mendengar ucapan Dila.

"Tuh, kan, Dit. Kamu bisa lihat sendiri seperti apa sikap istrimu."

"Hei ... Hei ... Rapi banget! Mau ke mana?" Dila berpapasan dengan Sela, iparnya.

"Biasa, mau ngantor."

"Ih, sombong amat! Baru aja diterima kerja udah belagu. Palingan sebulan udah resign. Hahaha ...."

"Oh, ya. Sorry, aku mau telat. Bye!" Dila tidak peduli dengan ejekan iparnya itu.

Sela dari dulu tidak pernah menghargainya sebagai kakak ipar. Justru selalu membanding-bandingkan dirinya yang bekerja dengan Dila.

Dila memang tidak bekerja lagi semenjak menikah dengan Radit. Itulah kenapa dia dianggap remeh. Dila tidak terlalu ambil pusing.

Namun, sampai saat ini sikap iparnya itu semakin menyakitkan. Mungkin dia juga harus memberi pelajaran kepada orang seperti Sela suatu saat nanti.

Dila memasuki mobil yang menjemputnya. Sela sempat membelalakkan mata saat melihat Dila memasuki mobil. Secepatnya, dia tepis pikirannya. Mungkin saja taksi yang menjemput Dila.

***

Dila berisitirahat sebentar setelah mengecek semua perlengkapan dan kebutuhan di kedai setelah tiba. Dia hanya bisa berkabar lewat panggilan telepon bersama ibunya tentang perkembangan kedai.

Ibunya tidak bisa datang karena harus menemani bapaknya yang sakit. Dila berencana akan menjenguk mereka setelah dari kedai.

Sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun meraih ponselnya.

"Dila, ada yang harus kuberitahu."

"Tentang apa, Nit?"

"Tadi itu saat kami ke kantor bersama Bang Tyar, aku lihat Radit berbelok menuju sebuah restoran. Jadi, aku putuskan berhenti untuk mengikutinya dan Bang Tyar kubiarkan pergi sendiri ke kantor."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status