Ternyata pernikahan siri antara Radit dan Serli bukan sebelum kejadian tertangkap basah beberapa hari yang lalu itu, tetapi sebaliknya. Kebohongan yang dilakukan Radit bisa ditahu oleh warga sekitar, berkat kekuatan jejak digital yang ditelusuri warganet. Radit semakin tidak nyaman saat bekerja apalagi melintas di depan ruang kerja teman kantor. Pernikahan sirinya sudah menjadi buah bibir di kantor, tidak bisa disembunyikan lagi. ***"Aku muak kerja lagi!" Lelaki bercambang itu melempar tasnya begitu saja. "Kenapa, Dit?" "Muak, Bu dengan teman-teman di kantor. Apa tidak ada pembahasan lain selain menggosipkan tentangku?""Orang-orang memang seperti itu. Udah biarin aja!""Awalnya aku cuek, tetapi lama-kelamaan jadi jengkel juga," sungut Radit. "Dan ternyata mereka sudah tahu kalau ....""Kalau kenapa?" tanya ibunya penasaran. Radit tidak melanjutkan penjelasannya. Ia khawatir ibunya tahu kalau dia belum nikah siri dengan Serli. Ia pun memilih menutup mulut."Kalau a-ku nikah siri
"SERLI ... cepat buatkan kami makan! Abang sudah lapar." Radit sudah tidak bisa menahan diri. "Abang tunggu ya, di dapur!" Lelaki itu segera pergi dan tidak menunggu jawaban wanita itu. Ia tahu Serli akan memberikan alasan lagi. Jadi, dia memutuskan pergi dan menunggu di ruang makan saja. Wanita yang sedang berbaring itu membisu karena keterkejutannya. Bentakan keras suara lelaki tadi membuatnya sakit hati. Selama setahun memiliki hubungan dengan lelaki itu, dia tidak pernah diperlakukan seperti tadi. Lelaki itu selalu bersikap baik, romantis dan memanjakannya. Namun yang baru saja ia dengar telah mengubah pandangannya tentang lelaki itu. Hampir setengah jam, Serli belum keluar dari kamar. Radit mulai gelisah dan juga meradang. Wanita yang ditunggu belum juga menampakkan wajahnya atau pun beraktivitas di dapur. Radit pergi ke luar untuk memarkirkan kendaraannya yang sembarang saja disimpan saat tiba di rumah. Kesal dan jengkel di kantor belum hilang, kini muncul kekesalan baru te
"Teman, Bang. Taulah dia sedikit belok," jawab Serli sambil mencontohkan maksudnya dengan mengayunkan jemarinya. "Nih, aku sengaja dah siap kayak gini untuk bertempur lagi, dan tentunya menyenangkanmu." Serli kembali bergelayut manja di leher Radit dengan menautkan kedua tangannya.Lelaki itu tentu saja hilang kendali. Pikirannya pun teralihkan seiring aliran darah yang bergejolak tak karuan karena denyut jantung memompa semakin kencang. "Tapi, benar, ya. Jangan bohong. Awas kalau bohongin Abang!" Ia mencubit bibir wanita di depannya."Tentu dong, Bang. Kok, Abang gak percaya banget sama Serli?" ucap wanita itu dengan meyakinkan, walaupun sebenarnya dia juga terlihat sangat khawatir.Ia berharap Radit tidak melihat sosok di balik sambungan video call tadi. Serli masih terus merayu lelaki bercambang itu agar segera luluh. Radit kembali melepas rangkulan tangan wanita di sampingnya. "Kenapa, Bang?" Serli tidak mengerti dengan reaksi Radit, sangat cepat berubah."Aku rasa kau sedang b
Radit tidak menyangka bahwa mantannya itu sangat sukses. Padahal rasanya baru saja kemarin dia berpisah. Ia penasaran sesukses apa butik yang dimiliki oleh Dila sehingga menarik perhatian perusahaannya untuk bekerjasama.Butik tersebut sebenarnya sudah lama ada. Hanya saja akhir-akhir ini telah menarik perhatian warganet di media sosial. Terobosan inovasi-inovasi barulah yang mulai melambungkan nama butik tersebut.Radit segera berangkat ke tempat yang dimaksud. Sebenarnya, dia sedikit ragu karena orang yang dihadapinya merupakan mantan. Namun perasaan yakin lebih menguasainya. Ia sangat yakin bahwa Dila pasti masih merindukannya. Apalagi putri dari pernikahan mereka akan gembira dengan kedatangannya. Seketika, sebuah ide melintas di pikirannya. Ia punya alasan yang tepat untuk berkunjung yaitu menemui putrinya. Ia hampir lupa keberadaan kedua putrinya. Sekitar tiga minggu lebih, dia tidak sempat memikirkan mereka karena fokusnya teralihkan ke calon istrinya, yang sangat menggelorak
Dila menoleh kemudian memeluk putrinya. "Putri Mama, yang cantik! Syifa udah bangun?""Iya, Ma. Ma, Syifa ketemu Papa. Tuh, dia di sana." Putri kecil itu berbalik, menunjuk ke arah papanya.Dila mengelus rambut hitam putrinya. "Kamu sehat-sehat ya, walaupun tidak ada Papa.""Kenapa, Ma? Papa ke mana?"Radit mendongak, menatap serius ke Dila. Ia menunggu ucapan yang keluar dari mulut wanita yang sedang duduk di kursinya tersebut.Dila menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. "Dia sangat sibuk mengurus status barunya ...." Putrinya seakan sulit memahami maksud ibunya. Begitu juga Radit yang mengerutkan kening. "Maksud Mama pekerjaan baru Papa-mu."Putri kecil itu menghampiri Papanya. "Jadi, Syifa gak akan ketemu Papa terus?" "Ketemu, kok. Papa akan sering menemuimu di sini." "Asyik ... Syifa akan ketemu Papa telus," ucap Syifa dengan girang sambil melompat-lompat. Radit tidak akan kehilangan cara. Menemui putrinya merupakan salah satu cara yang baik agar bisa berbicara lebih s
"Radit sangat kecewa kepada Ibu." Setelah mengatakannya, lelaki itu melangkah pergi dengan hati dongkol."Bang! Dia ibu kita, Bang. Kenapa ngomong kayak gitu?""Kamu diam! Abang tidak ingin berdebat."Bu Santi hanya bisa mengelus dada. Putra yang ia banggakan telah berkata kasar padanya, hanya karena seorang wanita. Hatinya sakit dan juga terluka. Sela dan ibunya hanya bisa menatap Radit dari kejauhan. Bayangan lelaki itu hilang seiring mobil melaju meninggalkan rumah. Radit berkali-kali memukul setir mobil. Ia bersungut-sungut dan menyalahkan kebodohannya. Ia tidak peka dari awal. Setidaknya, bertanya dulu atau mencari tahu sendiri. Bukan memercayai langsung tanpa mengecek kembali kebenarannya.Tidak hanya kecewa, rasa sakit pun menguasainya. Mendengar pengakuan dari ibunya membuat hatinya sangat terluka.Pikirannya kembali membayangkan Dila dan kedua putrinya. Bagaimana kabar mereka. Ia mulai merindukan mereka. Padahal, pagi tadi dia baru saja bertemu putri dan mantan istrinya. Na
Dila marah dan kesal. Ia sangat tidak nyaman dengan ucapan Radit karena didengar oleh para karyawannya. Lelaki itu tidak memikirkan akibat dari ucapannya. Ia ingin sekali menghardik, tetapi tidak mungkin. Situasinya tidak memungkinkan. Dila memutuskan pergi, meninggalkan lelaki tersebut kebingungan sendiri menunggu jawabannya. "Dila ... Abang serius!""Maaf, kamu siapa, ya? Apakah kamu sudah bercermin? Berani sekali mengatakan itu di depanku," bentak Dila karena geram dengan sikap Radit yang merasa biasa saja dengan ucapannya."Tawaranku tadi untuk kebaikan kita dan juga putri ki ....""Stop, aku tidak ingin mendengar kata-katamu menyebut kedua putriku. Aku katakan sekarang juga bahwa aku tidak mau, apalagi sudi kembali denganmu," ujar Dila kemudian berlalu. Mengingat perlakuan lelaki itu dan keluarganya pada dirinya, membuat Dila harus mendahulukan logikanya daripada perasaannya. Perlakuan mereka tidak bisa ditoleransi, apalagi mantan suaminya. Ia sadar bahwa kedua putrinya akan
"Bagaimanapun juga Syifa itu putriku."Dila merasa aneh, mendengar ucapan Radit. Lelaki itu bermaksud untuk menyampaikan pesan kepada dirinya bahwa dia juga punya andil dan tanggung jawab kepada putri mereka. "Jadi, kau ingin memperingatkan aku?" Radit ingin menyampaikan sesuatu. Ia sadar bahwa Dila menangkap maksudnya. Namun kemudian, ia mendelik. Ia tidak ingin wanita itu semakin kesal padanya. Mengambil hati itu butuh usaha dan pengorbanan. Ia sangat pahami hal itu."Bukan begitu, Dil. Aku hanya ....""Sudahlah, aku lagi malas mendengar pembelaanmu." Dila melangkah pergi kemudian mengejar putrinya yang sudah menjauh bersama Desri. "Kok, Papa gak ada? Papa mana, Ma?""Dia akan nyusul, katanya. Kita pergi lebih dulu." "Tapi ...." Syifa cemberut. Wajahnya nampak kecewa."Papa-mu ke kantor sebentar, ntar juga dia nyusul kita. Buruan masuk ke mobil!"Dengan berat hati putri kecil itu masuk ke dalam mobil. Wajahnya kembali terlihat masam. Tidak butuh waktu lama ia kembali ceria karen