"Radit sangat kecewa kepada Ibu." Setelah mengatakannya, lelaki itu melangkah pergi dengan hati dongkol."Bang! Dia ibu kita, Bang. Kenapa ngomong kayak gitu?""Kamu diam! Abang tidak ingin berdebat."Bu Santi hanya bisa mengelus dada. Putra yang ia banggakan telah berkata kasar padanya, hanya karena seorang wanita. Hatinya sakit dan juga terluka. Sela dan ibunya hanya bisa menatap Radit dari kejauhan. Bayangan lelaki itu hilang seiring mobil melaju meninggalkan rumah. Radit berkali-kali memukul setir mobil. Ia bersungut-sungut dan menyalahkan kebodohannya. Ia tidak peka dari awal. Setidaknya, bertanya dulu atau mencari tahu sendiri. Bukan memercayai langsung tanpa mengecek kembali kebenarannya.Tidak hanya kecewa, rasa sakit pun menguasainya. Mendengar pengakuan dari ibunya membuat hatinya sangat terluka.Pikirannya kembali membayangkan Dila dan kedua putrinya. Bagaimana kabar mereka. Ia mulai merindukan mereka. Padahal, pagi tadi dia baru saja bertemu putri dan mantan istrinya. Na
Dila marah dan kesal. Ia sangat tidak nyaman dengan ucapan Radit karena didengar oleh para karyawannya. Lelaki itu tidak memikirkan akibat dari ucapannya. Ia ingin sekali menghardik, tetapi tidak mungkin. Situasinya tidak memungkinkan. Dila memutuskan pergi, meninggalkan lelaki tersebut kebingungan sendiri menunggu jawabannya. "Dila ... Abang serius!""Maaf, kamu siapa, ya? Apakah kamu sudah bercermin? Berani sekali mengatakan itu di depanku," bentak Dila karena geram dengan sikap Radit yang merasa biasa saja dengan ucapannya."Tawaranku tadi untuk kebaikan kita dan juga putri ki ....""Stop, aku tidak ingin mendengar kata-katamu menyebut kedua putriku. Aku katakan sekarang juga bahwa aku tidak mau, apalagi sudi kembali denganmu," ujar Dila kemudian berlalu. Mengingat perlakuan lelaki itu dan keluarganya pada dirinya, membuat Dila harus mendahulukan logikanya daripada perasaannya. Perlakuan mereka tidak bisa ditoleransi, apalagi mantan suaminya. Ia sadar bahwa kedua putrinya akan
"Bagaimanapun juga Syifa itu putriku."Dila merasa aneh, mendengar ucapan Radit. Lelaki itu bermaksud untuk menyampaikan pesan kepada dirinya bahwa dia juga punya andil dan tanggung jawab kepada putri mereka. "Jadi, kau ingin memperingatkan aku?" Radit ingin menyampaikan sesuatu. Ia sadar bahwa Dila menangkap maksudnya. Namun kemudian, ia mendelik. Ia tidak ingin wanita itu semakin kesal padanya. Mengambil hati itu butuh usaha dan pengorbanan. Ia sangat pahami hal itu."Bukan begitu, Dil. Aku hanya ....""Sudahlah, aku lagi malas mendengar pembelaanmu." Dila melangkah pergi kemudian mengejar putrinya yang sudah menjauh bersama Desri. "Kok, Papa gak ada? Papa mana, Ma?""Dia akan nyusul, katanya. Kita pergi lebih dulu." "Tapi ...." Syifa cemberut. Wajahnya nampak kecewa."Papa-mu ke kantor sebentar, ntar juga dia nyusul kita. Buruan masuk ke mobil!"Dengan berat hati putri kecil itu masuk ke dalam mobil. Wajahnya kembali terlihat masam. Tidak butuh waktu lama ia kembali ceria karen
"Maksud aku? Kamu nanya maksud Abang? Jangan pura-pura bego, Ser. Katakan saja. Kamu dari mana?" tanya Radit dengan menajamkan tatapannya."Aku kan udah bilang, Bang. Aku di kampus. Apa aku membohongimu? Nih, silakan lihat draft bimbinganku dan tanda tangan pembimbing, Serli. Perhatikan hari dan tanggalnya!" Radit menautkan alisnya ke atas ketika melihat beberapa kertas berisi draft bimbingan. Ekspresi wajahnya berubah sangat marah, seolah dia dicundangi oleh wanita di depannya. Ia tidak menyangka Serli sangat pandai menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal jelas sekali dia melihat Serli berduaan dengan seorang pria di mall siang tadi. Akan tetapi, wanita itu masih menampik.Memang benar tanggal yang tertulis di draft bimbingan tersebut hari ini. Namun, Radit tidak mudah dibohongi karena dia melihat sendiri Serli di mana. Ia menduga bahwa Serli ke mall setelah bimbingan. Pakaian yang dikenakan Serli pun sama dengan di mall tadi. "Siapa lelaki itu?""Lelaki yang mana? Lelaki di balik
"Ja-di, Abang ....""Ya, dari tadi aku menunggumu. Karena lama menunggu, aku pun tertidur lagi dan tidak tahu sudah berapa lama," ucap lelaki bercambang itu. Serli terdiam setelah mendengar jawaban Radit. Ia masih menunggu ucapan berikutnya dari Radit. Ia tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh lelaki di sampingnya itu. Tiba-tiba, Radit menarik tubuh Serli agar mendekat padanya. "Kau sangat menakjubkan dan membuatku takluk. Aku sampai lupa waktu!" Serli lega karena lelaki itu tidak membahas tentang percakapannya lewat telepon barusan. Suatu pertanda bahwa lelaki di sampingnya tidak tahu atau tidak mendengar."Siapa dulu, dong. Serli gak pernah ngecewain. Iya 'kan?" sahut Serli dengan melepaskan senyuman. Ia sangat puas karena pujian Radit padanya. "Kamu ...." Radit mencubit pipi wanita itu. Mereka pun kembali tidur karena malam semakin larut dan hening. ***"Bagaimana perkembangan usahamu melobi pemilik butik tersebut?" tanya Herjunot, Kepala Direktur tempat Radit bekerja.Ra
Tatapan Radit belum berkedip memerhatikan Dila yang berjalan menuju ke depan. Di sana terletak meja dan bangku yang tersedia untuk para petinggi dan juga mitra yang bekerjasama dengan perusahaan. Radit bertanya-tanya di dalam hati dan kepalanya. Ia sebenarnya masih penasaran dengan dengan kedatangan Dila ke acara tersebut. Dila sengaja belum memberi jawaban atas tawaran Radit, karena sebelumnya dia sudah didatangi oleh David, sekretaris perusahaan. David langsung turun tangan karena tidak melihat progres yang baik dari Radit. Herjunot sendiri yang memintanya langsung menemui Dila. "Dit, kamu belum pulang?" Seorang teman menegurnya. Radit belum bergeming dari tempatnya duduk, sedangkan acara telah usai. Entah bagaimana menggambarkan raut wajah dan perasaannya. Ia menjadi bahan lelucon di antara teman-teman yang lain, karena sebelumnya dia mengira akan diundang ke depan untuk menerima bonus atas usahanya. Ia pun menyesali ucapannya tadi. Kalau saja dia tidak mengucapkannya di depa
Hatinya benar-benar sakit. Ia baru melihat sikap Radit padanya, membentak keras dan menatapnya tajam seperti tadi. Sepanjang hubungan mereka, dia selalu diperlakukan dengan baik, tetapi tidak dengan beberapa hari belakangan. Semua telah berubah.Lelaki yang menikahinya secara siri itu telah berubah sikapnya. Serli menutup pintu kamar dengan perasaan dongkol. Ia mendengus kesal. Serli tidak mengerti dengan perubahan Radit yang sangat besar. Lelaki itu tidak seromantis seperti dulu ketika menyapa dan memperlakukannya. Justru semakin dingin. Terlihat banyak berpikir dan cuek padanya. Sudah sekitar dua jam, Serli di dalam kamar dan sangat gelisah. Ia belum bisa tidur karena kepikiran. Radit belum juga masuk ke kamar. Serli mencoba, melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.47 waktu setempat. Lagi-lagi dia mendengus. Karena tidak bisa menahan diri, Serli memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan menuju pintu kamar. Ia mendongakkan kepala setelah membuka p
"Maaf, suaraku tadi meninggi. Aku hanya kesal dengan sikapmu yang acuh tak acuh dengan usahaku. Aku lakukan ini untuk membiayai putriku juga 'kan." Radit berusaha merendahkan suaranya. Ia tidak ingin Dila semakin membencinya. Cara tersebut ia lakukan agar Dila tidak menjauhinya. Ia berharap Dila masih memiliki rasa untuknya."Aku sudah tidak peduli dengan itu. Perihal bonusmu dari perusahaan, tempatmu bekerja bukan urusanku. Sebaiknya, kau pergi sekarang dari sini. Aku khawatir putriku melihat pertengkaran ini." Dila tahu ucapan Radit hanya alibi, pasalnya lelaki itu belum pernah mengirim biaya hidup atau kebutuhan sekolah untuk putrinya. Selama ini, Dila sendiri yang meng-cover biaya kebutuhan putrinya. Dila tidak mempermasalahkan itu. Baginya, ia sudah bersyukur bila berpisah dengan lelaki itu, daripada harus menahan sakit hati yang berkepanjangan."Dengar, aku ayah dari putrimu. Jadi, kamu tidak berhak mengusirku seperti ini," bentak Radit. Ia mulai naik pitam karena Dila terkesan