Share

5 Teringat Suara Wanita

"Membentak? Apa aku gak salah dengar, Bang?"

"Kau tidak perlu berpura-pura, Dil. Aku sudah tahu seperti apa kau itu."

"Abang terlalu cepat mempercayai sesuatu dan tidak menanyakan dulu padaku. Aku tidak terima difitnah seperti ini terus, Bang." Dila segera menutup panggilan telepon tanpa menunggu ucapan balik dari suaminya.

Deru napas di dadanya naik turun. Jari-jarinya meremas ponselnya. Ia pun meletakkan ponselnya ke atas kasur dengan sedikit kasar.

Rasanya sesak dan sakit mendengar orang-orang terdekat di rumah yang ditinggali itu menuduh apalagi menyalahkannya.

Perasaan sabar yang ditahan tidak mampu lagi dibendung. Dila sangat marah karena ucapan suaminya dan juga fitnah ibu mertuanya. Kejam sekali Bu Susan memfitnahnya kemudian mengadu ke putranya.

"Halo ... Halo .... Dila! Aku belum selesai berbicara ....

"Huff, wanita itu sangat tidak menghargai siapa yang diajak berbicara," gumam Radit sambil meletakkan kembali ponselnya. Ia sudah mencoba, menghubungi, tetapi tidak dijawab.

Dila masih kesal dan tidak menghiraukan panggilan masuk lagi. Ia tidak keluar dari kamarnya. Waktu sudah siang dan sangat terik.

Tidak ada tegur sapa lagi di dalam kamar saat suaminya pulang. Dila malas merespon kode yang diberikan oleh lelaki itu. Suaminya ingin istrinya menyiapkan makanan untuknya, tetapi Dila tidak merespon.

Dila sudah makan bersama putrinya siang tadi. Seperti biasa, ia menikmati makanan yang dikirim ibunya untuk dirinya dan putrinya.

Syifa, gadis kecil itu berlari kecil menghampiri ayahnya, kemudian bergantung di paha lelaki yang dipanggilnya ayah.

***

"Bang! Kenapa jatah untuk kedua putrimu dikurangi bulan ini?"

Ia ingin memesan lewat online beberapa kebutuhan bayi karena hampir semua telah habis. Namun, dia kecewa setelah melihat saldo di rekeningnya. Nominalnya semakin sedikit. Sekitar satu setengah juta.

Suaminya sudah ketiga kali mengurangi jatah bulanannya tanpa diberitahukan sebelumnya. Ia tidak mengerti kenapa suaminya memangkas lagi jatah bulanan untuk kedua putrinya.

"Iya, Abang sengaja kurangi untuk membayar gaji ART? Kan selama ini jatah yang aku berikan untuk keperluan dapur. Karena kau belum bisa beraktivitas, jadi aku alihkan saja ke gaji ART," jawab lelaki itu dengan entengnya.

"Okay, baiklah. Kalau begitu, besok aku akan bekerja."

"Bekerja! Untuk apa?" Lelaki itu penasaran.

"Untuk kebutuhanku dan juga kedua putriku," jawab Dila enteng. Lelaki itu telah melepas tanggung jawab yang seharusnya dia tunaikan.

Ia tahu suaminya akan keberatan memberikan izin padanya bekerja, karena lelaki itulah yang memintanya berhenti bekerja agar bisa fokus mengurusi putri mereka. Alasan lainnya karena suaminya tidak ingin Dila berinteraksi dengan banyak orang, apalagi cowok.

Lelaki itu juga berjanji akan memenuhi kebutuhan mereka. Ternyata, Radit itu telah lupa dengan janjinya.

Dila ingin menjelaskan ke suaminya bahwa pemberian dari suaminya tidak akan cukup memenuhi kebutuhan dia dan putrinya, belum lagi setelah dipotong jatah bulanan mereka. Putrinya sekarang sudah dua, bukan satu saja. Kebutuhan sangat banyak.

Setidaknya, Dila merasa sedikit tidak berat lagi karena harus memikirkan kebutuhan dapur yang sangat banyak, sehingga menyerap jatah mereka juga.

Selain itu, Dila memang ingin mengembangkan usaha milik kedua orang tuanya. Ia sudah telanjur menyetujui permintaan ibunya beberapa hari yang lalu.

Lagi pula, Dila sangat mengharapkan pemasukan untuk menutupi kebutuhannya.

Ia masih kesal dengan keputusan suaminya yang tanpa memberitahunya. Justru memutuskan sendiri tanpa dirinya, hanya berdiskusi di antara dia dan ibunya.

Mungkin, dia sudah tidak dibutuhkan lagi persetujuannya atau pun usulannya.

"Tapi, siapa yang akan merawat kedua putri kita?"

"Iya, benar, Dila. Ibu tidak setuju kau akan mempekerjakan orang lagi untuk mengurus kedua putrimu. Kamu akan membayarnya dengan apa? Dengan gaji suamimu?" Mertuanya ikut menimpali.

Kebetulan, Bu Santi mendengar pembicaraan mereka. Ia pun keluar dan bergabung dengan mereka.

"Tenang saja, itu urusanku."

"Ibu tidak setuju kalau kau akan meminta Radit untuk membayar gaji baby sitter-mu."

Ibu mertuanya tidak setuju karena khawatir jatah bulanannya terpotong untuk membiayai baby sitter lagi. Itulah kenapa dia sangat menolak. Dila sadari itu. Makin lama, dia semakin paham karakter ibu mertua sebenarnya.

"Apa? Baby sitter? Manja amat jadi cewe! Gak usah sok sok-sokan mau kerja, Dil. Emang kantor mana yang mau menerima? Lagi pula, jahitan di perutmu belum sembuh total." Sela, adik iparnya ikut mengompori.

Kebetulan saat itu dia datang untuk mengambil lauk pauk. Ia langsung membuka tudung saji. Padahal, dia baru saja datang dan tidak sempat mengucapkan salam. Namun sayang, di atas meja makan belum ada lauk yang diharapkannya.

"Tidak usah pikirkan itu. Aku sendiri kok yang akan membayar gaji baby sitter dengan gajiku," ucap Dila masih dengan santai dan hendak beranjak.

Ia malas meladeni pertanyaan mereka. Ia sadar mereka akan mengulik informasi darinya tentang kantor yang akan menerima pekerja.

"Biarin aja, Bang. Paling juga dua bulan dia mampu. Setelah itu, akan kembali lagi. Percaya deh. Sombong amat! Belum diterima aja udah belagu," sungut Sela.

Dila bisa mendengar ucapan Sela, tetapi tidak mengindahkannya. Tidak ada gunanya kembali merespon, justru akan semakin meluas.

Ia belum memberitahu mereka bahwa dia akan menjalankan bisnis kedua orang tuanya. Ia ingin melihat sejauh mana keluarga suaminya memperlakukannya.

Ia ingin tahu sikap mereka sesungguhnya yang selama ini ditutupi darinya. Perlahan-lahan sikap mereka mulai terbuka.

"Tetap saja, Abang tidak izinkan." Radit memberi penekanan.

"Kalau begitu penuhi semua kebutuhan putrimu. Minimal kembalikan hak jatah mereka yang lama," tatap Dila dengan tajam.

Jatah yang lama saja tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan putrinya. Apalagi dengan hadirnya putri kedua mereka.

Lelaki itu menggaruk kepalanya. "Arghhh ...." Lelaki itu pun berlalu juga.

Dila tahu lelaki itu tidak akan berani mengambil jatah ibunya dan ditambahkan ke mereka. Radit sudah telanjur menyewa ART. Itu artinya dia harus mengalokasikan dana untuk menggaji pekerja yang disewanya.

Dila membuka pintu kamar dan menuju ranjang tidur. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponsel Radit. Suaminya sedang di kamar mandi untuk membersihkan badan.

Dila menatap layar ponsel tersebut. Ia memicingkan mata karena sebuah pesan masuk ke WA. Ia memicing bukan karena bunyi pesan tersebut, tetapi isi pesan.

[Gimana, Yang?] pengirimnya tidak bernama, hanya gambar emoticon bunga mawar.

Segera, ia meraih ponsel tersebut dan ingin membukanya sekaligus membaca isi pesan yang lain. Sialnya, ponsel tersebut sudah dikunci dengan pola. Tidak seperti biasanya. Dulu saat awal menikah, Dila bisa membuka ponsel suaminya. Tidak untuk saat ini.

"Sial! Siapa gambar emoticon bunga mawar ini? Dan sebutan 'Yang' untuk siapa? Radit?" Perasaan Dila mulai tidak menentu.

Instingnya mengatakan sesuatu. Pikirannya kembali mengingat suara wanita yang menjawab panggilannya di ponsel suaminya saat itu. Dia harus mencari tahu apa yang disembunyikan suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status