Share

4 Aduan Wanita Tua

Kening wanita itu semakin berkerut. Ia tidak menyangka dengan jawaban suaminya. Tidak diduga dia akan mendapatkan jawaban tersebut.

Padahal, dia sudah tahu yang sesungguhnya. Ia hanya sengaja untuk mencoba kejujuran suaminya dan itulah yang didapatkan. Ia tidak mengerti lagi kenapa lelaki di depannya membohonginya.

"Janji, ya, Mas. Besok ditransfer!"

"Kamu kayak gak percaya Abang, Dil?" Lelaki itu merasa tersinggung.

"Ya, aku hanya memperingatkan, Bang. Biaya kebutuhan bayi gak sedikit dan tidak bisa ditunda. Aku gak pegang duit lagi. Semuanya sudah habis untuk kebutuhan dapur di rumah ini."

"Berarti benar yang ibu bilang kalau kau sangat boros?" tanya lelaki itu penuh penekanan.

"Boros? Uang segitu apa cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur di rumah ini, juga kebutuhanmu? Asal Abang tau, aku disuruh memasak lauk pauk banyak di rumah karena kakakmu, Sela sering ke sini untuk membawa pulang beberapa lauk pauk itu ke rumahnya."

Dila mulai tidak bisa menahan emosi karena dituduh boros.Mendengar suaminya yang mengatakan hal tadi begitu menyakitkan hatinya.

Suaminya sangat berbeda. Sikap Radit yang sudah tidak terlihat peduli pada dirinya, kesehatannya, juga putrinya. Bahkan di depannya sendiri lelaki itu menuduhnya seperti tadi. Ia tidak tahu siapa yang meracuni pikiran suaminya.

Namun tidak dapat dipungkiri orang di dalam rumah mereka hanya mertuanya. Bisa jadi, iparnya juga yang sering ke rumah untuk sekedar numpang makan.

Alasannya tidak sempat memasak karena sibuk di kantor kelurahan sebagai administrator. Bahkan iparnya tersebut membawa sedikit lauk pauk untuk bekal di rumah KPR yang mereka tinggali.

Sela, iparnya itu sengaja menghemat pengeluaran karena mendahulukan bayaran cicilan rumah. Itu yang sering diucapkannya ke ibunya jika bertandang ke rumah. Sela memaksakan diri membeli rumah KPR agar terlihat mapan.

"Kok, kamu nuduh kakak iparmu seperti itu, Dek?"

"Bukan nuduh, Bang. Tapi, kenyataannya seperti itu. Abang jarang lihat karena sedang kerja di kantor." Dila ingin melanjutkan jika yang menyuruhnya membuat masakan yang banyak ialah ibu mertuanya sendiri.

"Sudah .... Abang tidak ingin berdebat lagi."

Seharusnya, Dila yang marah karena suaminya tidak bertanggung jawab tentang biaya operasi caesar. Bukan hanya kali ini, tetapi yang terdahulu juga.

Ia masih sangat kesal, tetapi ditahannya. Dila masih harus mendahulukan kesembuhannya. Setelah itu, wanita yang sudah bersandar di ranjang tidur tersebut akan mempertimbangkan kembali tentang dirinya dan keluarga toxic dari suaminya.

Masih banyak hal yang harus dia ketahui. Tentang kebohongan suaminya mengenai suara wanita di ponselnya, biaya persalinannya yang terkesan dibiarkan, dan masalah gaji tadi.

Semua masih menjadi tanda tanya. Dila merasakan sesuatu yang berbeda dari cara suaminya menyapa dan berbicara padanya semenjak pulang tadi.

Di ruang makan, Radit sedang serius mendengarkan keluhan Ibunya. Bu Santi, Radit, dan Sela belum beranjak setelah menikmati makan malam bersama.

Sela sengaja datang untuk meminta lauk, tetapi tidak banyak. Akhirnya, dia memutuskan makan bersama.

Dila tertidur di kamar setelah menikmati sup ubi yang dikirimkan oleh ibunya lewat kurir. Beruntung, Dila mendengar suara kurir mengantar pesanan untuknya. Kalau tidak, makanan tersebut akan dibawa lagi oleh Sela, iparnya itu.

"Radit, ibu sudah sangat tua jika harus mengurus rumah ini sendiri." Tiba-tiba, Bu Santi berbicara.

"Hmm ... Ibu bersabar dulu. Dila tidak lama lagi akan sembuh, kok dan membantu Ibu."

"Kelamaan, Dit ...."

"Jadi, ibu maunya gimana?" tanya putranya penasaran, mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangan.

"Kamu harus menyewa ART."

"ART? Gaji Radit gak cukup, Bu untuk membayar ART."

"Kamu bisa kurangi jatah istrimu. Kan jatah kebutuhan rumah ini ada di istrimu."

"Ibu benar, Bang. Kasihan ibu kalau harus bekerja. Belum lagi jika harus mengurus putrimu karena Dila belum sembuh total," sambung Sela.

Ia nampak senang mendengar usulan ibunya. Sebuah ide seketika muncul di kepalanya. Jika Radit menyewa ART, itu artinya dia bisa leluasa membawa makanan lagi. Tidak butuh drama sindiran pedas bersama iparnya jika datang ke rumah.

Radit nampak berpikir lama, kemudian berkata, "Radit akan beritahu Dila dulu, Bu."

"Gak perlu izin segala. Kamu itu kepala keluarga, masa harus izin segala. Istri mesti nurut keputusan suami. Ntar, Dila menolak lagi. Pokoknya besok kamu sudah bawa pembantu di rumah ini. Kamu rela ibumu sakit-sakitan hanya karena mengurus rumah ini?" keluh Bu Santi dengan wajah memelas.

"Baik. Kalau begitu Radit akan cari besok." Lelaki itu tidak punya pilihan selain menyetujui permintaan ibunya. Ia tidak rela melihat ibunya bersedih.

"Nah, gitu dong! Ibu gak akan sakit-sakitan lagi. Kamu memang putra ibu yang sangat pengertian." Wajah Bu Santi seketika berubah ceria.

***

Minggu kedua dari pasca operasi, Dila sudah bisa beraktivitas pagi itu meskipun belum bisa aktivitas yang banyak dan padat. Terkadang rasa nyeri tiba-tiba muncul.

Setidaknya, dia sudah bisa melakukan kegiatan kecil. Berbaring lama di ranjang membuat persendiannya terasa kaku.

"Dila, kamu sudah sehat 'kan?"

"Kenapa, Bu?" Dila menoleh karena teguran ibu mertuanya.

"Ibu minta bantuan kamu nyuci pakaian ibu."

"Bukannya sudah ada ART, Bu?"

"Kalau nunggu ART kelamaan. Dia masih kerja yang lain. Apalagi ini sudah musim hujan. Pakaian ibu gak bakal kering kalau nunggu sampai sore."

"Maaf, Bu. Dila belum bisa aktivitas berat."

"Jadi, kamu menolak permintaan ibu mertuamu? Kamu tega membiarkan ibu jatuh sakit?"

"Bukan nolak, Bu. Dila lagi tidak sehat seratus persen. Jahitan di perut ini masih perih."

"Lagian, kenapa sih meminta lahiran dengan operasi segala? Coba kalau lahiran normal, kamu sudah bisa beraktivitas. Gak seperti sekarang."

"Itu bukan Dila yang minta, Bu. Justru, Dila mengharapkan lahiran normal, tetapi memang keadaannya yang tidak memungkinkan. Dokter kandungan yang memutuskan seperti ini."

"Kalau tau seperti itu, seharusnya kalian tahan dulu program anak. Biar gak resiko seperti sekarang. Belum lagi biayanya sangat mahal."

Wanita tua itu mengira Dila sengaja meminta operasi caesar saat lahiran untuk mengikuti trend dan tidak merasakan sakit. Dia tidak mengerti bahwa operasi juga melewati rasa sakit yang sangat lama.

Ia hanya tahu lewat gosip-gosip dan kabar lewat orang lain tentang operasi. Tidak perlu lewati drama melahirkan secara normal yang sangat menyakitkan.

Ia tidak pernah merasakannya dan jarang memerhatikan anak mantunya, sesakit apa operasi itu. Karena semenjak lahiran pertama, dia memerhatikan anak mantunya tidak pernah mengeluh saat berjalan.

"Kalau anak itu emang amanah, Bu. Dila juga sudah usaha meminum pil KB."

Dila baru saja masuk ke kamarnya, kemudian duduk sambil bersandar. Tiba-tiba, sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya.

Wanita itu meraih ponselnya dan menjawab panggilan masuk. "Assalamualaikum. Iya, Bang."

"Apa yang baru saja kau katakan ke ibu, Dil? Dia baru saja meneleponku dan menangis di sambungan telepon. Kau membentak ibuku?" Seketika, Dila terperanjat. Ia mengerutkan dahi.

Nada suara Radit terdengar keras di telinga. Dila menjauhkan sebentar ponselnya dari telinga, kemudian mendekatkan kembali.

Ia masih bingung. Keluhan apa yang disampaikan ibu mertuanya ke Radit?

Wanita tua itu mengadu ke putranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status