Share

2 Alibi Radit

"Oh, itu teman yang iseng. Kamu tahu sendiri 'kan teman-teman di kantor selalu meminjam ponselku," ucap lelaki itu. "Abang sudah menghubungi kembali, tapi tidak dijawab."

Wajahnya kembali berseri setelah memberi jawaban. Kedua wajah yang tadi menatapnya serius, mulai memudar. Ia pun duduk di samping istrinya dan mencoba memenangkan hati wanita yang sedang terbaring tersebut.

Istrinya tetap saja merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Pasalnya, ketika dia mencoba menghubungi nomor suaminya kembali sudah di luar jangkauan.

Untuk saat itu, dia tidak bisa membuktikan omongan suaminya benar atau tidak. Namun, dia harus membuktikannya suatu saat nanti. Instingnya lebih kuat daripada logikanya. Apalagi menerima alasan itu tanpa membuktikan sendiri.

Saat itu kondisi tubuhnya sangat tidak memungkinkan untuk menampung banyak stres. Jadi, dia memutuskan untuk menghentikan sementara pertanyaannya yang terkesan investigatif.

***

Hari itu merupakan hari ketiga di ruang inap. Mereka mulai berkemas dan akan bersiap-siap kembali ke rumah.

Ibu Maria sudah tiba sejak pagi untuk menemani putri dan cucunya pulang. Ia pun membantu mengemas semua pakaian mereka agar cepat selesai.

Dua hari dia menemani putrinya di rumah sakit bersalin. Besannya hanya sekali mengunjungi mantunya kemudian pergi lagi karena sibuk. Itu yang dikatakannya saat akan pergi.

"Bu, ini ...." Dila menyerahkan sebuah kertas ke ibunya dengan sedikit berat hati dan tentunya menahan malu.

Bu Maria meraih kertas yang diberikan oleh Dila. Ia menaikkan alis. Sebuah kertas tagihan administrasi di rumah sakit.

"Kamu tidak punya duit atau tidak minta ke suamimu, Dil?"

"Tadi, dia bilangnya pinjam dulu ke ibu. Dia belum punya duit." Suaminya sempat datang dan pergi lagi ke kantor, mungkin untuk meminta izin mengantar istrinya pulang.

"Lakimu itu emang gak benar. Dari awal ibu sudah sangat curiga. Masa lahiran kedua juga harus ibu yang bayar, Dil?" Bu Maria sudah naik pitam dan sangat murka.

"Mungkin nunggu gajian, Bu."

Dila mencoba memberikan alasan agar ibunya tidak terlalu meninggikan suara di ruang tersebut. Ia khawatir beberapa perawat yang melintas akan mendengar, meskipun dia juga sudah kesal dengan sikap suaminya terkesan tidak merasa bersalah.

"Tapi, gak gini juga, Dil. Kalau dia tahu persalinanmu udah dekat, seharusnya dia sudah nabung. Masa, lahiran pertama dan kedua dia gak biayain persalinanmu? Okelah kalau persalinan pertama gak ada persiapan, tapi ini sudah kedua kalinya. Suami seperti apa dia? Di mana tanggung jawabnya? Pokoknya, ibu gak bisa diam kalau tentang masalah ini. Dia harus diberitahu." Bu Maria sudah berapi-api. Suaranya pun sudah menggelegar seperti yang dikhawatirkan Dila.

Dila juga sangat kesal dengan sikap suaminya, yang selalu saja memberi alasan yang tidak masuk akal.

Ke mana atau berapa sebenarnya uang yang dimiliki suaminya? Atau berapa gaji yang diterimanya?

Uang bulanan pun, Dila hanya memegang dua juta. Ia tidak tahu berapa sisanya. Ia tidak pernah tahu.

Dua juta di tangannya pun, Dila harus pandai menghemat untuk membagi kebutuhan dirinya, popok putrinya, dan semua kebutuhan dapur. Dila tidak pernah meminta ke ibu mertuanya, bahkan tidak berani karena malu.

Justru, ibu mertuanya meminta Dila yang memesan gas jika habis.

Radit tidak pernah memberitahunya, berapa gaji sebenarnya yang diterima oleh suaminya tersebut. Dila hanya menerima pemberian suaminya, karena biasanya Radit hanya meletakkan uang tersebut di atas nakas dekat tempat tidur. Biasanya, suaminya hanya memberitahu lewat WA atau pesan.

Awalnya, dia tidak ingin berburuk sangka. Namun, lelaki itu semakin membuatnya bertanya-tanya dengan sikapnya yang seolah-olah menyembunyikan sesuatu jika ditanya tentang gaji.

"Kamu gak percaya sama Abang, Dek?"

Itulah pertanyaannya yang selalu dilontarkan ke Dila. Istrinya pun tidak melanjutkan bertanya lagi, bila sudah diberi jawaban yang tepatnya pertanyaan balik untuknya.

Ia masih bersabar dan tidak lagi untuk kesekian kalinya dibohongi.

"Assalamualaikum ...." Suara seseorang mengetuk pintu.

Dila sangat mengenal suara tersebut. Suara seseorang yang sangat dia segani dan juga rindukan. Beberapa hari terakhir dia belum bertemu lelaki tua itu.

Lelaki tua itu mendekat, "Bagaimana kabar, Nak?"

"Alhamdulillah, baik, Pak." Bapaknya baru saja menjenguknya karena berada di kampung halaman neneknya.

"Dia cantik seperti kamu, Nak." Pak Heri mendekati bayi mungil yang sedang berbaring di ranjang bayi. Ia tersenyum sambil menatap lebih dekat. "Cucuku yang cantik!"

"Ibumu ke mana?" Ia menoleh.

"Ke lantai bawah, Pak. Mungkin di ruang administrasi."

"Suamimu masih di kantor?"

"Iya, Pak. Sudah sejam yang lalu."

***

Sekitar setengah jam, Dila tiba di rumah mertuanya. Ia diantar oleh kedua orang tuanya.

"Mari, Ibu bantu keluar dari mobil!"

Dila berusaha, berjalan pelan hingga masuk ke dalam rumah. Rasa perih di perut masih sangat terasa. Di dalam rumah nampak sepi.

Setelah memberi salam beberapa kali, mereka pun memutuskan masuk karena tidak ada jawaban. Kebetulan Dila memiliki kunci rumah.

Dila sudah menduga jika ibu mertuanya sedang keluar. Biasanya waktu seperti itu, Ibu Santi, mertuanya sedang hang out bersama teman-teman sosialitanya.

"Rumah kok sepi, ya, Dil?"

"Iya, Bu."

"Mertuamu ke mana?"

"Biasanya bertemu rekan-rekannya, Bu. Sebentar lagi pasti akan datang."

"Kalau kamu ingin istirahat di rumah, beritahu Ibu, ya."

Bu Maria mengkhawatirkan kesehatan dan kondisi putrinya. Apalagi hanya mereka bertiga di rumah tersebut. Sebenarnya, ia enggan akan meninggalkan putrinya sendiri.

"Iya, Bu. Dila memberitahu Bang Radit dulu."

"Kamu gak apa-apa 'kan Ibu dan bapak tinggal sebentar?"

"Iya, Bu. Dila tidak kenapa-kenapa, kok. Dila akan hubungi Ibu kalau butuh sesuatu."

"Ibu akan kembali lagi setelah menemani bapak. Kalau begitu, Ibu pamit dulu." Dila hanya mengangguk dan tersenyum.

Dengan berat hati, Ibu Maria meninggalkan mereka. Ia berjalan mendekati cucunya, kemudian menunduk. "Jaga ibu dan adikmu, ya! Syifa jangan rewel." Sambil mengusap kepala gadis kecil di depannya.

"Iya, Nek. Syifa akan jaga adik Syifa."

Anak kecil itu menjawab dengan tingkah polosnya. Ia sangat kegirangan melihat bayi imut di samping ibunya. Ia sangat antusias dan ingin memeluknya segera.

Ibu Maria kembali ke mobil di mana suaminya menunggu.

***

Sementara itu di sebuah kantor, Radit sedang bekerja bersama teman-teman yang lain. Tiba-tiba, sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya.

Ia melirik sebentar kemudian meraihnya. "Iya, Ma. Ada apa?"

"Radit, minggu ini kamu akan gajian 'kan? Tolong ditambahi ya, bulanan Mama. Soalnya, adekmu sakit lagi. Uang Ibu banyak yang terkuras karena si Nely. Belum lagi kebutuhan di dapur kadang Ibu makai uang Ibu juga," gerutu wanita tua di balik sambungan telepon.

Radit bingung harus menambah dengan apalagi bulanan ibunya. Semua sisa gajinya ia berikan ke ibunya. Dia hanya memegang sekitar lima ratusan ribu. Ia sedikit ragu dan tidak punya pilihan selain harus memotong lagi jatah istrinya.

"Oke, Ma. Tapi, Radit udah berikan tanggung jawab ke Dila untuk kebutuhan dapur. Ibu hanya memakai uang yang kuberikan untuk keperluan ibu saja."

"Kamu kayak gak tau aja istrimu. Pelit dan perhitungan! Udah, ya. Ibu mau matiin telepon."

Radit hanya mengehla napas berat.

"Gaji kamu kan lima juta. Masih bisa ditambahin ke ibu lima ratus. Jangan terlalu banyak diberikan ke Dila. Ntar, dia boros," lanjut ibunya lewat sambungan telepon.

Dila terkejut mendengar ucapan Ibu mertuanya. Mungkin mertuanya tersebut tidak menyadari jika Dila sudah lama berada di dalam rumah. Suaranya sangat besar sehingga Dila dapat mendengarnya dari dalam kamar.

"Jadi, ibu memfitnahku seperti itu di depan suamiku? Dan gaji Radit sekitar lima jutaan," gumam Dila dengan mata memerah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar suami gak bertanggungjawab terhadap istrinya melahirkan dua anak yang bayar mertua nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status