Share

Dikhianati Tunangan, Dilamar Mantan Tampan
Dikhianati Tunangan, Dilamar Mantan Tampan
Author: Kharamiza

Bab 1

“Ah terus, Sayang…. Habis ini, kamu gak akan ninggalin aku, kan?”

Sayup-sayup kudengar lenguhan dan erang manja dari kamar Alana, sepupuku yang memang sedang ditinggal paman dan tanteku ke luar kota.

Sebenarnya, aku datang ke rumah ini karena ingin mencari Alana yang belum juga ke kantor karena setengah jam lagi kami ada meeting.

Aku khawatir dia sakit, tahu-tahunya dia asyik berbuat mesum?

Gila!

Kakiku sontak hendak menjauh. Namun, suara pria yang sangat familiar tiba-tiba terdengar dari dalam kamar.

“Gak akan. Sudah kubilang kalau aku cuma pura-pura peduli dan sayang padanya supaya perusahaan keluarganya dapat segera kuakusisi.”

“Kau jahat sekali, Adrian!” Suara Alana terdengar pura-pura iba, tetapi diikuti kekehan kecil yang bisa kupastikan itu sebuah ejekan. “Tapi, aku suka.”

“Kita sama saja. Kau sendiri memacari pacar sepupumu sendiri, kan?”

Deg!

Adrian? Tanganku sontak terkepal menahan gemetar hebat yang kini kurasa.

Jadi, selama ini sepupuku bermain gila dengan kekasihku sendiri?

Tangan ini terangkat, siap menggedor-gedor pintu dengan keras.

Namun, aku mengurungkan niat karena agaknya lebih baik langsung menangkap basah saja.

BRAK!

Pintu kamar yang tak terkunci itu pun terbuka.

Kutemukan sepasang insan pengkhianat itu tengah asik bergelut di atas kasur.

Ini adalah pemandangan paling menjijikan dalam hidupku! Namun, kutahan rasa mualku dengan menatap mereka tajam. Tak akan kubiarkan diri ini terlihat lemah di hadapan mereka.

“Divya, jangan salah paham! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” Adrian berusaha membela diri, sementara Alana cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi tubuh yang nyaris telanjang.

Aku menahan tawa sinis.

Dasar brengsek!

Sudah tertangkap basah, masih juga mengelak.

“Alana, kenakan pakaian lu! Gue tunggu di kantor 15 menit dari sekarang. Kalau telat, lu tanggung sendiri akibatnya,” ketusku tak menghiraukan ucapan Adrian.

Setelahnya, aku berlalu begitu saja.

Kulihat Adrian tergesa-gesa turun dari ranjang dan mengenakan kembali pakaiannya.

“Div, tolong jangan salah paham tentang kami. Yang harus kamu tahu, aku cuma cinta sama kamu.”

Begitu akan menaiki mobil, tiba-tiba Adrian sudah berdiri di hadapanku dengan tampang memelas, tapi aku tak merasa iba.

“Gue banyak urusan. Gak punya waktu untuk membahas itu.”

Aku pun mendorong tubuhnya. Namun, ia justru bergeming di tempat.

“Div, kok kamu ngomong lu gue ke aku sih?”

“Terserah gue, dong. Selain donatur, dilarang ngatur,” ketusku, “oh iya! Mulai sekarang, kita putus!”

Aku langsung mendorong Adrian agar ia menyingkir dari jalanku. Namun, dia tak tinggal diam, terus saja mengikuti langkahku.

“Div, jangan begini. Tolong dengarin penjelasan aku dulu. Aku dan Alana gak ada hubungan apa-apa.”

Mataku sontak menatapnya tajam. “Lu sadar kan, lu udah ngerusak Alana?”

Pria 28 tahun itu susah payah meneguk ludah. “Div, tapi aku selalu pakai pengaman kalau ngelakuin itu sama dia. Lagian dia gak ....”

“Pokoknya, kita akan menikah. Besok, aku akan ke rumahmu dan bicara sama orang tuamu untuk mempercepat pernikahan kita.”

Plak!

Satu tamparan kulayangkan dan mendarat sempurna di pipi Adrian. “Gue ternyata salah menilai lu selama ini, Adrian,” ucapku, “Btw, kalau mau membela diri, minimal kancing baju lu gak miring sebelah.”

Seketika itu juga, Adrian mengamati tubuhnya. Barangkali setelah sadar kalau kancing bajunya miring sebelah, raut wajahnya berubah pias.

Tanpa sepatah kata lagi, aku bergegas masuk ke mobil dan membanting pintunya dengan kasar.

Detik kemudian, kupacu pedal gas dengan kecepatan tinggi menuju kantor.

Kuharap meeting hari ini bisa mengalihkan fokusku dari masalah ini.

Memang cukup berhasil.

Sayangnya, Alana yang tak hadir di meeting tadi, justru menyampaikan ingin bertemu.

Jadi dengan segenap rasa malas, kuminta sekretarisku mempersilakannya masuk.

“Kak Div, aku–”

“Sejak kapan lu diam-diam berhubungan dengan Adrian?” potongku langsung dengan tatapan menghujam.

Ia tak kunjung menjawab. Hanya menunduk bak orang bisu, tapi aku sama sekali tak melihat aura penyesalan di wajahnya yang munafik itu.

“Lihat gue, Alana!” tegasku membuatnya sedikit tersentak. “Sejak kapan?!”

“Seminggu setelah Kakak jadian dengan Adrian,” jawabnya lugas, tanpa sedikit pun merasa terbebani.

Kini, giliran aku yang terperangah mendengar pernyataannya yang seolah-olah sengaja dikirim untuk menamparku.

Jadi, selama tiga bulan ini aku dikhianati, tapi aku tak tahu?

Belum sempat aku menguasai diri dari rasa sakit, sepupuku itu malah langsung berkata lagi, “Maaf, Kak. Tapi, aku sudah mencintai Kak Adrian, jauh sebelum Kak Divya berpacaran dengannya.”

Hahahaha….

Ingin sekali kutonjok wajah munafik Alana yang tidak sedikit pun punya malu ini.

Bukannya pamrih, tapi aku selama ini sudah berbaik hati padanya.

Di saat ia kesusahan mencari pekerjaan setelah di-PHK dari perusahaan lamanya dan saat itu ibunya juga sedang dirawat karena jantung koroner, aku memberinya pekerjaan dengan posisi yang sangat bagus.

Sebagai manajer pemasaran pada Departemen Pemasaran dan Promosi di perusahaan milik keluargaku!

Lalu, apa balasannya?

Kadang-kadang, ada saja manusia yang tak tahu terima kasih.

“Kuharap Kak Divya mengerti,” ucapnya lagi, sebelum benar-benar keluar dari ruanganku.

Luar biasa sekali.

“Dunia ini terlalu lawak,” gumamku pada akhirnya.

Sekarang, berada di kantor pun, aku tak bisa fokus bekerja dengan pikiran yang mumet seperti ini.

Jadi setelah memastikan tak ada pekerjaan yang urgent-urgent amat, aku pun menuju parkiran untuk pulang.

Tak terasa, aku kini sudah sampai di rumah.

Tangis yang sedari tadi kutahan tak lagi mampu terbendung.

Bunda sampai sesekali ke kamar untuk memastikan keadaanku baik-baik saja.

Aku yakin beliau bingung.

Hanya saja, aku belum bisa mengatakan apa pun pada orang tuaku.

Aku takut kabar ini akan melukai mereka, walau nyatanya cepat atau lambat mereka juga akan tahu.

Namun keesokan harinya, aku yang berada di balkon kamar melihat Adrian benar-benar datang ke rumah. Ia bahkan membawa serta perwakilan keluarganya.

Entah apa maksudnya? Padahal jelas-jelas kemarin kami sudah putus.

Beberapa saat kemudian, Bunda mengetuk pintu kamarku dan meminta untuk turun ke lantai 1 menemui mereka.

Mau tidak mau, aku pun menuruti sebagai bentuk menghargai tamu.

Ternyata, maksud kedatangan mereka untuk mempercepat jadwal pernikahan seperti ucapan Adrian kemarin.

“Maaf sebelumnya, Tante, Om. Tapi, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”

Ucapanku sontak membuat seisi ruang tamu terdiam menatapku dengan segudang tanya.

“Maksudnya?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status