[Apanya yang mampus, Saroh? Sekata dia sendiri yang bikin bayi, tapi kasian tau dia lemas gak berdaya gara-gara bayi hasil karyanya sendiri.]
[Hahaha! Burung Pipit, gue mules ketawa baca chat lu, bjir!][Makasih, gue emang selucu itu.][Iyain, daripada nangis. Tapi, gini ya Burung Pipit gue yang tersayang. Emang ada beberapa kasus tuh, istrinya hamil suaminya yang ngidam. Konon katanya, kalau suami ngidam pas istri hamil, itu cintanya suami ke istrinya gede. Lebih gede daripada utang negara. Jadi, lu paham kan sesayang apa Nizar ke lu?][Masa?][Di dapur.][Tau ah!][Komunikasi efektif aja sama suami lu. Dengarin curahan hatinya dan kasi perhatian lebih. Berikan feedback-nya jika dia ingin sesuatu. Saling mendukung sih intinya, ya. Semangat sampai launching hasil keringat kalian. Haha.]Pesan terakhir Sarah hanya kuberi react love karena melihat Nizar sudah keluar dari kamar mandi.Aku bangkit dari sofSepupuku itu sontak menoleh. Namun, buru-buru membuang pandangan ke arah lain barangkali karena tak ingin aku melihat wajahnya yang memerah, juga basah karena air mata. Hanya saja, walaupun ia susah payah menyembunyikan tangis, tapi ak tak tuli. Jelas-jelas, tadi aku mendengar isakannya. Bahkan, tubuhnya yang saat ini terlihat kurus itu pun sedikit terguncang. Tidak mungkin kam terguncang tanpa sebab?Pelan, aku mendekati Alana. Harap-harap cemas kalau kali ini tak mendapatkan penolakan seperti yang lalu-lalu. Di mana, dia seolah tak mau melihatku, sampai menganggap diri ini sebagai penyebab luka hati dan batinnya. Padahal, jika ditelisik, aku lebih terluka karena ulahnya. Tapi, ah sudahlah! Aku tak ingin membahas masalah itu lagi. Sekarang, aku sudah sangat bahagia bersama Nizar. Dan sudah kututup perihal Adrian dari hidup ini sedari ia berkhianat tanpa belas kasih. “Alana, apa yang kau lakukan di sini sendirian?” tanyaku s
BRAK!Seorang pria tiba-tiba datang dan menarik tubuh Adrian hingga terpental beberapa meter dan langsung tersungkur ke lantai.Aku mengatur napas ketakutan sampai Nizar yang sejatinya gak kutahu kenapa bisa berada di sini mendekatiku.Raut cemas tercetak jelas di wajahnya.“Kamu gak apa-apa kan, Sayang?” tanyanya khawatir sambil mengusap-usap pipi ini. Aku menggeleng pelan, sontak memeluknya dengan sangat erat. Paling tidak, hati ini sedikit tenang karena menemukan perlindungan darinya. Dapat kurasakan, tangan Nizar bergerak mengusap-usap kepalaku. Sesekali mencium daun telinga ini.“Jangan takut. Aku sudah ada bersamamu, Sayang,” lirih Nizar.Usut punya usut, api pertengkaran yang kupikir sudah padam, justru kembali disiram bensin oleh Adrian.Dia menarik tubuh Nizar dengan kasar hingga terpaksa lepas dari pelukanku. Karena tak siap dengan serangan Adrian, sehingga Nizar tak bisa mengendal
Di rumah, sepulang dari kantor, Ibu mertua syok melihat wajah anak semata wayangnya babak belur. Dengan raut cemas, Ibu bertanya. “Astaga, Nak. Kenapa muka kamu jadi babak belur begini?”“Berantem tuh anak Ibu,” jawabku langsung duduk di sofa. Tanpa segan mencomot potongan apel pada piring di pangkuan Putri.“Ini cuma luka memar dikit, Bu. Gak perlu cemas gitu, ah,” simpul Nizar tak mau membuat sang ibu cemas berlarut-larut. Demi menyakinkan surganya itu, ia melepaskan tangan sang ibu dari wajahnya dan menuntun wanita itu untuk duduk. “Kadang-kadang, pria kalau punya masalah menyelesaikan kudu baku hantam, Bu.”“Halah! Sok-sokan menyelesaikan masalah dengan baku hantam. Uncle udah babak belur begitu. Gimana coba kalau matanya keluar sebiji?” Putri geram, “amit-amit punya uncle matanya juling.”Nizar mendelik tajam ke arah keponakannya itu. “Heh, ngomong sembarangan kamu!”“Udah, jangan berantem mulu.” Ibu menengahi kuc
“Ah terus, Sayang…. Habis ini, kamu gak akan ninggalin aku, kan?” Sayup-sayup kudengar lenguhan dan erang manja dari kamar Alana, sepupuku yang memang sedang ditinggal paman dan tanteku ke luar kota. Sebenarnya, aku datang ke rumah ini karena ingin mencari Alana yang belum juga ke kantor karena setengah jam lagi kami ada meeting. Aku khawatir dia sakit, tahu-tahunya dia asyik berbuat mesum? Gila! Kakiku sontak hendak menjauh. Namun, suara pria yang sangat familiar tiba-tiba terdengar dari dalam kamar. “Gak akan. Sudah kubilang kalau aku cuma pura-pura peduli dan sayang padanya supaya perusahaan keluarganya dapat segera kuakusisi.” “Kau jahat sekali, Adrian!” Suara Alana terdengar pura-pura iba, tetapi diikuti kekehan kecil yang bisa kupastikan itu sebuah ejekan. “Tapi, aku suka.” “Kita sama saja. Kau sendiri memacari pacar sepupumu sendiri, kan?” Deg! Adrian? Tanganku sontak terkepal menahan gemetar hebat yang kini kurasa. Jadi, selama ini sepupuku bermain gila dengan kekas
“Divya, please….” Adrian kini buka suara. Namun, aku mengalihkan pandangan, tak mau melihatnya. “Div, aku mohon! Aku ingin menikah denganmu,” mohonnya padaku, seolah tersakiti. Bukankah di sini aku yang harusnya menangis? Jelas-jelas, dia sudah ketahuan selingkuh dengan Alana, tetapi masih ngotot mempertahankanku. Adrian terus mengiba, hingga dari sudut mata, kulihat ibu Adrian tampak geram. “Tidak usah mengemis seperti itu pada wanita sepertinya, Adrian. Di luar sana, masih banyak wanita yang lebih pantas bersamamu!” cecarnya tiba-tiba. “Dan kau, Divya!” Tante Bella menunjukku. “Kau membatalkan pernikahan dengan putraku tanpa alasan. Jangan harap kami bisa menerimamu kembali sebagai menantu jika kelak kau datang padanya lagi.” Aku bergeming tanpa ekspresi. Membiarkan ucapan ibu Adrian itu tanpa tanggapan. Nyatanya, aku tidak mungkin memutuskan sesuatu tanpa alasan. Tapi jika aku mengatakannya tanpa bukti, mereka tak akan percaya. Pastinya, mereka akan berpihak pada Adrian. B
“Lu jangan gila, Adrian!” sungutku. “Lu sekarang sudah menikah dengan Alana. Jangan lupakan jika pernikahan kalian bermula karena pengkhianatan kalian juga.” Jujur saja, aku tak habis thinking dengan Adrian yang masih memintaku untuk kembali bersamanya, padahal jelas-jelas kini ia sudah menikah dengan Alana—sepupuku. Entah apa yang ia mau? Di saat semua orang ber-euforia dengan acara pernikahannya, dia justru pergi dan mengejarku. “Aku gak peduli, Divya. Percaya sama aku ... aku cinta sama kamu.” Susah payah kuteguk ludah yang terasa keras lewat kerongkongan. Adrian sepertinya sengaja menyiram bensin pada percikan bara api. Baru saja ingin berbicara, sosok yang kukira motornya sedang mogok tadi datang dan membuka helm-nya. Membuatku melongo tak percaya. Apa jangan-jangan Adrian memang sengaja ingin menjebakku? Licik sekali dia. “Dia ….” Aku menunjuk pria berambut gondrong itu, menatapnya bergantian dengan Adrian. Adrian tersenyum licik. “Ya, dia temanku.” “Sialan!” Aku menend
“Gimana maksudnya?” tanyaku dengan alis yang sedikit terangkat. “Kamu kan lagi galau sekarang abis dikhianati pacar, ditinggal nikah pula. Makanya aku tawarin, mau diobatin, gak? Mumpung aku lagi buka praktik pengobatan gratis untuk hati yang terluka.” Aku menggigit pipi bagian dalam, susah payah menahan senyum, tapi rada kesal juga. Dipikir luka hati kayak luka terbuka yang bisa dijahit, lalu diperban apa? Ingin sekali aku memakinya, tetapi yang keluar dari mulut malah, “Caranya?” Kayaknya, aku ketularan anehnya Nizar deh! “Minum sianida,” jawab Nizar sambil tertawa. Aku menatap bengis pria bercambang tipis yang sedang tertawa puas di atas penderitaanku itu.Sebenarnya dia mau mengobati atau menyuruh mati? Kuhela napas berat, lantas mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. “Ide yang cemerlang, tapi aku belum tau mau dikuburin di mana?” “Janganlah. Amal kamu walaupun banyak gak akan membawamu ke surga kalo matinya bunuh diri,” ucapnya. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis m
Mata indah ini menatap orang tuaku dan Nizar secara bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah Bunda. “Nah, itu orangnya sudah ada. Baiknya Nak Nizar tanyakan sendiri padanya,” kata Papa tersenyum kecil ke arah Nizar, lalu melirikku sekilas.Kali ini, kulihat Nizar tampak salah tingkah begitu pandangan kami bertemu beberapa detik. Kenapa dia? Tak biasanya seperti itu. Dia yang tadinya tampak senyum-senyum ketika bersama Papa dan Bunda, seketika senyum manis itu memudar begitu ada aku. Senyum manis? Jangan berlebihan memujinya, nanti dia besar kepala. “Memang ada apa, Pa?” tanyaku dengan alis terangkat.Tak ada jawaban.Baik Papa dan Bunda hanya sama-sama tersenyum tipis. Di sofa lain, Nizar juga bergeming dengan wajah datarnya. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan sebelumnya?Kenapa malah perasaanku yang tiba-tiba jadi dag dig dug ser?“Ini, Sayang....” Bunda buka suara. Tangannya bergerak mengusap pelan bahu ini. “Nak Nizar ke sini mau melamar kamu.”De