“Gimana maksudnya?” tanyaku dengan alis yang sedikit terangkat.
“Kamu kan lagi galau sekarang abis dikhianati pacar, ditinggal nikah pula. Makanya aku tawarin, mau diobatin, gak? Mumpung aku lagi buka praktik pengobatan gratis untuk hati yang terluka.”Aku menggigit pipi bagian dalam, susah payah menahan senyum, tapi rada kesal juga.Dipikir luka hati kayak luka terbuka yang bisa dijahit, lalu diperban apa?Ingin sekali aku memakinya, tetapi yang keluar dari mulut malah, “Caranya?”Kayaknya, aku ketularan anehnya Nizar deh!“Minum sianida,” jawab Nizar sambil tertawa.Aku menatap bengis pria bercambang tipis yang sedang tertawa puas di atas penderitaanku itu.Sebenarnya dia mau mengobati atau menyuruh mati?Kuhela napas berat, lantas mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil.“Ide yang cemerlang, tapi aku belum tau mau dikuburin di mana?”“Janganlah. Amal kamu walaupun banyak gak akan membawamu ke surga kalo matinya bunuh diri,” ucapnya.Tanpa sadar, aku tersenyum tipis mendengar perkataan pria berkacamata bening itu.Walau memang sedang terluka, tapi setidaknya aku masih waras.“Ya ... namanya asmara, kalau gak menikah, ditinggal nikah.” Nizar kembali bersuara.Aku berdehem sebagai reaksi. Menoleh sebentar ke arah Nizar yang fokus menyetir mobil.Entah dari mana ia tahu kalau aku dikhianati dan ditinggal nikah?Setelah 2 tahun menghilang dari hidupku, apa dia sedang mencoba kursus jadi cenayang?“Niz, kamu kenapa bisa tiba-tiba ada di sana nolongin aku?” tanyaku memicingSungguh, aku juga penasaran dengan dia yang tiba-tiba datang menolongku di saat yang tepat.Jika boleh bilang, kedatangannya adalah definisi dari ungkapan terima kasih sudah hadir di waktu yang tepat.Kalau tidak ada dia, aku pun tak tahu lagi bagaimana kondisiku sekarang?Mungkin, ah … sudahlah, aku tak kuasa mengingat kejadian itu lagi.Cit!Belum sempat dijawab, mobil pun sudah berhenti tepat di depan rumahku.Ternyata dia masih ingat alamatku.Kupikir setelah memutuskan pergi, dia juga akan melupakan segalanya tentangku.“Terima kasih atas semuanya, Niz,” ucapku saat hendak turun dari mobil.“Semuanya apa itu?” tanyanya.Aku menoleh sebentar ke arahnya yang saat ini menatapku dengan alis tertaut.“Ya semuanya. Kamu sudah menolongku tadi, terus diantar pulang. Maaf merepotkan.”“Gak masalah. Tapi, semua itu gak gratis, kok.”“Hah? Maksudnya?”Nizar tertawa pelan. Senang sekali rupanya menertawaiku. “Masih telmi aja kamu tuh. Masuk dan istirahatlah, Vy. Kejadian tadi gak usah terlalu dipikirkan, ya.”Aku bergeming cukup lama hingga tersentak saat Nizar berdehem pelan, menyadarkan kalau aku harus segera turun dari mobilnya.“Kalau masih rindu, besok aku ke sini lagi,” kekeh Nizar membuatku melongo tanpa kata.Apa-apaan dia? Siapa yang rindu coba?“Najis!” Cepat, aku turun dari mobil dan membanting pintunya dengan kasar.Setelah itu, berlalu masuk rumah tanpa menoleh lagi, walaupun dari dalam sana ada dorongan batin untuk menoleh.Untung saja egoku lebih kuat kali ini, jadi aku berlalu saja ke kamar tanpa menoleh ke belakang.Sialnya, karena sampai di kamar aku malah buru-buru berjalan ke balkon. Menyaksikan mobil Nizar yang baru melaju meninggalkan halaman rumah.Entah ada magnet dari mana sehingga senyumku tercipta. Darahku berdesir mengingat pertemuan singkat dengan Nizar tadi.Sebenarnya aku kenapa?Aku termenung dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk memenuhi pikiran.Jujur, sampai sekarang aku masih tak menyangka, jika setelah 2 tahun tak bersua, kami kembali dipertemukan entah berantah di kebetulan apa namanya ini?Dia datang menolongku, seolah-olah tak rela terjadi hal buruk padaku.Sedikit kepeduliannya tadi paling tidak membuatku tersentuh.Walau, nyatanya aku sendiri bingung kenapa harus tersentuh?Itu biasa saja dan tak perlu dimasukkan ke hati, kan?Tok … tok … tok!Lamunan ini buyar begitu mendengar seseorang menggedor pintu kamarku berulang kali. Aku yang baru rebahan sedikit, bergegas bangkit untuk membuka pintu.“Kamu baik-baik aja, Sayang? Adrian gak ngapa-ngapain kamu, kan?” tanya Bunda panik.Dia sampai memutar-balikkan tubuhku barangkali untuk mengecek anggota tubuh anak gadisnya tak ada yang hilang.“Aku baik-baik aja, Bunda. Gak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Bagaimana gak khawatir? Bunda tadi cari-cari kamu di acaranya Alana, tapi gak ketemu. Bunda hubungi kamu malah gak bisa. Takut kamu diculik Adrian, apalagi Bunda liat dia gak ada bahkan sebelum acara selesai. Bilang sama Bunda, tadi kamu ke mana, apa Adrian menemuimu?” Bunda menatapku penuh selidik.Kuhela napas panjang, sebelum akhirnya berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang.“Iya, Bunda. Adrian tadi menemuiku, dan … dia hampir saja melecehkanku, untungnya karena Nizar datang dan nolongin Divya. Dia juga yang antar pulang karena mobil rusak nabrak pohon.”“Astaga, Sayang. Kenapa bisa nabrak pohon segala, hah?!”Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai menceritakan detail kecelakan tunggal yang kualami tadi pada Bunda secara saksama, tanpa terlewat sedikit pun.Tentu saja, termasuk Adrian yang telah merencanakan hal tersebut.Bunda emosi, Papa yang entah sejak kapan berdiri di dekat pintu pun ikut emosi dan ingin melaporkan Adrian ke polisi karena menurut Papa tindakan Adrian sudah di luar batas.Tetapi, aku melarang untuk menjaga perasaan keluarga Om Benny.Terlebih Alana, dia pasti sedih kalau suaminya ditangkap polisi di saat mereka seharusnya menikmati secawan madu pernikahan.Walaupun, aku sekarang sudah lost respect pada Alana, tetapi aku juga tak setega itu membuatnya menderita.“Kali ini, Papa akan mendengar apa katamu, Nak. Tapi, jika sampai dia berani macam-macam lagi, maka Papa tidak akan pernah mau memaafkannya!” tegas Papa yang kemudian berlalu keluar kamar disusul Bunda.***“Heh, burung pipit, lu baik-baik aja kan? Gue kaget banget tau liat berita kecelakaan lu tadi malam. Lu juga kenapa susah banget dihubungi, kebiasaan ngilang tanpa kabar kayak orang HTS,” cecar Sarah saat kami melakukan panggilan video pagi ini.Sahabatku satu-satunya itu memang perhatiannya tak nanggung-nanggung. Sudah seperti saudara kandung.Walaupun dia sudah punya anak, tetapi persahabatan kami yang terjalin semenjak kuliah tak pernah luntur.“Hampir mati, tapi kuburan gue belum digali,” ucapku santai.“Astojim. Serius dikit napa?”Di balik layar, wajah Sarah terlihat cemberut membuatku tak bisa menahan tawa.“Baek-baek aja. Itu gue sendiri yang inisiatif nabrakin mobil ke pohon. Sakit ati soalnya ditinggal nikah.”“NAJIS BANGET!” pekik Sarah dari seberang.Aku sedikit menjauhkan ponsel mendengar suaranya yang melengking keras, bikin kuping tersumbat.“Hahaha. Itu ulahnya si Adrian sialan. Dia sengaja bikin rem mobil gue blong. Pas gue udah kecelakaan dia sama teman-temannya datang dan keknya emang rencana mau nyulik dan perkaos gue. Gak ada akhlak emang si Adrian tuh. Untungnya ada yang nolongin.”“What the?! Seriusan lu?”“Kagak, gue ngarang. Ya seriuslah, Maesaroh! Dia gak mau putus dari gue jadi bikin rencana yang setidaknya bikin gue gak punya alasan untuk mutusin dia.”“Gila! Udah kayak di felem-felem aja. Betewe, gue penasaran siapa yang nolongin lu?”“Nizar.”“Hah? Gue gak salah dengar kan? Nizar mantan lu?”“Divya!” teriak Bunda tiba-tiba.Aku sontak menoleh mendengar namaku dipanggil. Sudah berdiri Bunda di pintu pembatas antara balkon dan kamarku.“Ada yang nungguin di bawah,” ujar Bunda menginfokan.“Siapa, Bun?” tanyaku mengernyit. “Kayaknya Divya gak ada janji hari ini.”“Teman kamu katanya. Sana temuin dulu,” pinta Bunda, kemudian pergi begitu saja.Teman? Teman yang mana?Kutarik napas pelan, lalu kembali menatap layar ponsel.Di sana, masih ada Sarah yang saat ini tengah melukis alisnya.Entah mau ke mana dandan sepagi ini?Dia memang pintar dandan, beda denganku yang boro-boro pintar dandan, bedain maskara dan eyeliner saja tidak bisa.“Eh, Maesaroh. Udah dulu ya. Mau nemuin orang gak tau siapa juga yang iseng nyariin gue ke rumah.”“Pertanyaan gue belum dijawab, oyy! Jawab dulu!” teriak Sarah. “Nizar siapa?”“Nanti gue ceritain.” Aku langsung memutuskan sambungan video call.Biarin aja penasaran sampai lebaran monyet.Aku menyimpan ponsel di atas kasur, lalu beranjak keluar kamar menuju ruang tamu.Sampai di ruang tamu, aku terperangah beberapa saat melihat keberadaan Nizar yang tengah duduk di sofa sambil senyum-senyum ke arah orang tuaku.Deg!Apa dia tamu yang dimaksud Bunda? Tapi, ada perlu apa dia ke sini?Mata indah ini menatap orang tuaku dan Nizar secara bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah Bunda. “Nah, itu orangnya sudah ada. Baiknya Nak Nizar tanyakan sendiri padanya,” kata Papa tersenyum kecil ke arah Nizar, lalu melirikku sekilas.Kali ini, kulihat Nizar tampak salah tingkah begitu pandangan kami bertemu beberapa detik. Kenapa dia? Tak biasanya seperti itu. Dia yang tadinya tampak senyum-senyum ketika bersama Papa dan Bunda, seketika senyum manis itu memudar begitu ada aku. Senyum manis? Jangan berlebihan memujinya, nanti dia besar kepala. “Memang ada apa, Pa?” tanyaku dengan alis terangkat.Tak ada jawaban.Baik Papa dan Bunda hanya sama-sama tersenyum tipis. Di sofa lain, Nizar juga bergeming dengan wajah datarnya. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan sebelumnya?Kenapa malah perasaanku yang tiba-tiba jadi dag dig dug ser?“Ini, Sayang....” Bunda buka suara. Tangannya bergerak mengusap pelan bahu ini. “Nak Nizar ke sini mau melamar kamu.”De
“Apa kamu sedang uji coba remot langit untuk menggantikan Mbak Rara jadi pawang hujan di Mandalika?”Pertanyaan Nizar membuatku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya yang tadi menahan tubuh ini ala-ala drama bollywood. Apa-apaan sih dia meluk-meluk kayak gitu? Jangan-jangan dia sengaja lagi cari kesempatan dalam kesempitan. Dasar mantan!“Siapa juga yang mau jadi pawang hujan? Ngaco aja kalo ngomong,” sungutku.Melipat tangan di depan dada sambil mengerucutkan bibir kesal.Enggan melihat wajahnya yang sedari tadi sok manis itu. Tapi, dia emang manis sih!“Kamu tuh. Dibilangin mau hujan juga, tetap ngotot pergi. So-soan gak mau diantar,” cecar Nizar. “Sejak kapan sih kamu jadi gengsian begitu?”Aku bergeming, tak ingin menanggapi perkataannya lagi. Hingga tak lama, security kantor datang membawa payung yang kuduga itu permintaan Nizar. Dia membentangkan payung tersebut dan memaksaku ikut bersamanya. Dengan segenap rasa malas, daripada tinggal di kantor lebih lama dalam situa
Sebab kesalahpahaman itu, aku dan Nizar diarak warga hingga ke rumah yang memang sudah tak begitu jauh lagi. Padahal, tadi sudah membela diri sampai memohon agar dilepaskan saja, tapi tak membuahkan hasil. Sialnya lagi, karena beberapa warga yang memergokiku sedang berduaan dengan Nizar di mobil tadi, sebagian mengenal baik keluargaku. Kalau tidak salah, ada Pak RT juga. Aku ingat wajahnya, dia beberapa kali datang ke rumah bertemu Papa. Jadi, manalah mungkin aku bisa berkilah untuk sekadar memalsukan alamat, karena mereka sudah tahu tanpa kuberi tahu sekalipun. Ini tuh semua gara-gara si Nizar, seandainya dia gak maksa-maksa aku ikut mobilnya tadi, kita gak bakal dihakimi.Dituduh mesum, padahal kami gak ngapa-ngapain juga. Hanya sebatas meluk doang, itu pun karena terpaksa. Tau begini, gak mau aku ikut pulang si Nizar. Emang dasar, dia selalu membuat hidupku runyem. “Pak Bima!” teriak Pak RT menggedor-gedor pintu rumahku.Caranya menggedor macam mau menggerebek istri sah yan
“Papa dan Bunda kenapa sih pake acara menyetujui permintaan warga? Itu konyol banget asli! Apa Papa sama Bunda udah gak percaya Divya lagi?” Nada suaraku sedikit meninggi, tapi bukan bermaksud untuk membentak dua orang tercintaku itu. Hanya saja, diri ini sudah tak bisa menahan kekesalan yang sedari tadi meluap-luap.Sehingga setelah Nizar pamit pulang, aku sengaja menemui mereka di kamarnya untuk meminta alasan kenapa menyetujui pernikahan konyol itu?Bukannya membela di depan warga, malah membiarkan terjebak dalam dilema pernikahan yang tak kuharapkan. Kini, Bunda turun dari ranjang dan menghampiriku yang tengah berdiri kaku di depan pintu. “Eh... eh, datang-datang malah nyolot. Perasaan Bunda gak pernah ngajarin Divya bicara pake nada tinggi depan orang tua.” Suara Bunda yang selembut sutera sampai dalam hati. Sukses membuatku mati kutu. “Maaf, Bun,” lirihku. Mengangkat wajah, menata
Bunyi bising masjid-masjid dari segala penjuru kota terpaksa membuatku mengerjap.Seingatku baru tidur sebentar, tapi ternyata hari sudah subuh lagi. Eh, tapi bentar... bentar deh!Ini kenapa aku tiba-tiba tidur di bantalnya Nizar? Mana aku meluk seolah-olah dia guling lagi?Sialan! Ini jadinya kayak aku yang nempel-nempel dia gak sih? Huwaa!Gak bisa! Gak bisa dibiarin ini!Amit-amit meluk cicak tubin.Aku mendongak sedikit, melihat wajahnya. Memastikan dia masih tidur.Dan syukurlah, tidurnya masih nyenyak. Gawat kalau dia bangun, mau ditaruh di mana mukaku yang cantik paripurna ini? Masa pindah ke pergelangan kaki?Aku juga gak sudi dia jadi besar kepala kalau tau insiden peluk-pelukan ini, bisa saja diungkit sampe lebaran haji dengan tujuan untuk melemahkanku di hadapannya.Detik berikutnya, aku berusaha memindahkan kaki yang menimpa kakinya dengan gerakan san
Sedikit panik, aku tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Sarah?Dijawab bohong, urusannya bakal panjang. Gak dijawab pun sama aja. Bakal berurusan sampe anak kucing jadi anak singa.Detik berikutnya, Nizar memecah keheningan di antara kami. “Sayang, aku pamit ya. Kamu semangat kerjanya.” Dia sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku mengerang sebal dalam hati. Cukup dalam hati. Gak bisa mengamuk di sini.Walaupun kesal banget dia manggil-manggil sayang, di depan Sarah lagi. Bikin malu aja.“Sarah, duluan ya!” teriak Nizar yang dibalas Sarah dengan anggukan singkat. Kulihat ibu anak 1 itu melongo sampai mobil berwarna hitam milik Nizar melewati gerbang kantor.Sesaat kemudian Sarah mengendus-endus tubuhku seakan mencium ada bau bangkai tikus.Aku sampai ikut mencium bau tubuh sendiri. Harum bau parfum.“Ngapain?”“Gue mencium aroma-aroma cinta lama belum kelar.”
Kupejamkan mata sebentar, sembari menelan ludah yang terasa getir.Memang, aku tak sempat mengabari Sarah tentang pernikahan ini, bukan gak mau? Tapi tadi malam, buat bernapas aja susah. Yang kurasakan cuma sesak dan hampa.“Gue gak kepikiran sampe sana,” lirihku menggeleng pelan.Membuang napas kasar. Lantas, beranjak. Duduk di sofa, diikuti Sarah. Aku menceritakan awal mula kenapa bisa menikah dengan mantan kekasihku yang sudah putus selama 2 tahun itu? Dimulai dari Nizar yang sebelumnya memang sempat datang ke rumah untuk melamar, tapi aku tolak matang-matang.Berlanjut pada ajakan pulang bareng yang ternyata menyisakan masalah serumit memecahkan sandi rumput.Sampai akhirnya, menikah, di atas label kepergok mesum di tempat umum. Sialnya, karena bukannya prihatin mendengar ceritaku, Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Seolah melupakan rasa ibanya tadi.Seakan apa yang telah kusampaikan i
“Bagus gimana, njir?! Malu-maluin aja itu kalau dipake. Lu niat gak sih ngasih hadiah? Ya kali ngasih baju tipis banget, menerawang lagi.” Aku ngedumel, menyampaikan isi hati. Seandainya Sarah ada di sini, kutimpuk wajahnya pake baju tipis ini. Serius!Tapi, kalau sama Sarah memang sudah terbiasa blak-blakan dan buka-bukaan. Bisa dibilang, tidak ada rahasia di antara kita. Bukannya merasa bersalah dengan kado pemberiannya, kudengar Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Tuh kan, tuh kan! Dia kalau ketawa, Mbak Kunti pun jadi insecure. “Itu baju mahal, njir!” “Mahal dari mana kurang bahan begini? Yang ada gue kena siraman rohani 7 tanjakan, 7 turunan, 7 tikungan dari Bunda kalo nekat pake baju dari lu. Gak ada bagus-bagusnya!” semburku. “Kayak jaring ikan tau gak sih?”“Woylah, Burung Pipit!” Sarah tertawa lagi.Lucunya di mana sih?“Lu polos banget sih, njir! Yang ada gue malah kas