Share

Bab 4

“Gimana maksudnya?” tanyaku dengan alis yang sedikit terangkat.

“Kamu kan lagi galau sekarang abis dikhianati pacar, ditinggal nikah pula. Makanya aku tawarin, mau diobatin, gak? Mumpung aku lagi buka praktik pengobatan gratis untuk hati yang terluka.”

Aku menggigit pipi bagian dalam, susah payah menahan senyum, tapi rada kesal juga.

Dipikir luka hati kayak luka terbuka yang bisa dijahit, lalu diperban apa?

Ingin sekali aku memakinya, tetapi yang keluar dari mulut malah, “Caranya?”

Kayaknya, aku ketularan anehnya Nizar deh!

“Minum sianida,” jawab Nizar sambil tertawa.

Aku menatap bengis pria bercambang tipis yang sedang tertawa puas di atas penderitaanku itu.

Sebenarnya dia mau mengobati atau menyuruh mati?

Kuhela napas berat, lantas mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil.

“Ide yang cemerlang, tapi aku belum tau mau dikuburin di mana?”

“Janganlah. Amal kamu walaupun banyak gak akan membawamu ke surga kalo matinya bunuh diri,” ucapnya.

Tanpa sadar, aku tersenyum tipis mendengar perkataan pria berkacamata bening itu.

Walau memang sedang terluka, tapi setidaknya aku masih waras.

“Ya ... namanya asmara, kalau gak menikah, ditinggal nikah.” Nizar kembali bersuara.

Aku berdehem sebagai reaksi. Menoleh sebentar ke arah Nizar yang fokus menyetir mobil.

Entah dari mana ia tahu kalau aku dikhianati dan ditinggal nikah?

Setelah 2 tahun menghilang dari hidupku, apa dia sedang mencoba kursus jadi cenayang?

“Niz, kamu kenapa bisa tiba-tiba ada di sana nolongin aku?” tanyaku memicing

Sungguh, aku juga penasaran dengan dia yang tiba-tiba datang menolongku di saat yang tepat.

Jika boleh bilang, kedatangannya adalah definisi dari ungkapan terima kasih sudah hadir di waktu yang tepat.

Kalau tidak ada dia, aku pun tak tahu lagi bagaimana kondisiku sekarang?

Mungkin, ah … sudahlah, aku tak kuasa mengingat kejadian itu lagi.

Cit!

Belum sempat dijawab, mobil pun sudah berhenti tepat di depan rumahku.

Ternyata dia masih ingat alamatku.

Kupikir setelah memutuskan pergi, dia juga akan melupakan segalanya tentangku.

“Terima kasih atas semuanya, Niz,” ucapku saat hendak turun dari mobil.

“Semuanya apa itu?” tanyanya.

Aku menoleh sebentar ke arahnya yang saat ini menatapku dengan alis tertaut.

“Ya semuanya. Kamu sudah menolongku tadi, terus diantar pulang. Maaf merepotkan.”

“Gak masalah. Tapi, semua itu gak gratis, kok.”

“Hah? Maksudnya?”

Nizar tertawa pelan. Senang sekali rupanya menertawaiku. “Masih telmi aja kamu tuh. Masuk dan istirahatlah, Vy. Kejadian tadi gak usah terlalu dipikirkan, ya.”

Aku bergeming cukup lama hingga tersentak saat Nizar berdehem pelan, menyadarkan kalau aku harus segera turun dari mobilnya.

“Kalau masih rindu, besok aku ke sini lagi,” kekeh Nizar membuatku melongo tanpa kata.

Apa-apaan dia? Siapa yang rindu coba?

“Najis!” Cepat, aku turun dari mobil dan membanting pintunya dengan kasar.

Setelah itu, berlalu masuk rumah tanpa menoleh lagi, walaupun dari dalam sana ada dorongan batin untuk menoleh.

Untung saja egoku lebih kuat kali ini, jadi aku berlalu saja ke kamar tanpa menoleh ke belakang.

Sialnya, karena sampai di kamar aku malah buru-buru berjalan ke balkon. Menyaksikan mobil Nizar yang baru melaju meninggalkan halaman rumah.

Entah ada magnet dari mana sehingga senyumku tercipta. Darahku berdesir mengingat pertemuan singkat dengan Nizar tadi.

Sebenarnya aku kenapa?

Aku termenung dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk memenuhi pikiran.

Jujur, sampai sekarang aku masih tak menyangka, jika setelah 2 tahun tak bersua, kami kembali dipertemukan entah berantah di kebetulan apa namanya ini?

Dia datang menolongku, seolah-olah tak rela terjadi hal buruk padaku.

Sedikit kepeduliannya tadi paling tidak membuatku tersentuh.

Walau, nyatanya aku sendiri bingung kenapa harus tersentuh?

Itu biasa saja dan tak perlu dimasukkan ke hati, kan?

Tok … tok … tok!

Lamunan ini buyar begitu mendengar seseorang menggedor pintu kamarku berulang kali. Aku yang baru rebahan sedikit, bergegas bangkit untuk membuka pintu.

“Kamu baik-baik aja, Sayang? Adrian gak ngapa-ngapain kamu, kan?” tanya Bunda panik.

Dia sampai memutar-balikkan tubuhku barangkali untuk mengecek anggota tubuh anak gadisnya tak ada yang hilang.

“Aku baik-baik aja, Bunda. Gak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Bagaimana gak khawatir? Bunda tadi cari-cari kamu di acaranya Alana, tapi gak ketemu. Bunda hubungi kamu malah gak bisa. Takut kamu diculik Adrian, apalagi Bunda liat dia gak ada bahkan sebelum acara selesai. Bilang sama Bunda, tadi kamu ke mana, apa Adrian menemuimu?” Bunda menatapku penuh selidik.

Kuhela napas panjang, sebelum akhirnya berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang.

“Iya, Bunda. Adrian tadi menemuiku, dan … dia hampir saja melecehkanku, untungnya karena Nizar datang dan nolongin Divya. Dia juga yang antar pulang karena mobil rusak nabrak pohon.”

“Astaga, Sayang. Kenapa bisa nabrak pohon segala, hah?!”

Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai menceritakan detail kecelakan tunggal yang kualami tadi pada Bunda secara saksama, tanpa terlewat sedikit pun.

Tentu saja, termasuk Adrian yang telah merencanakan hal tersebut.

Bunda emosi, Papa yang entah sejak kapan berdiri di dekat pintu pun ikut emosi dan ingin melaporkan Adrian ke polisi karena menurut Papa tindakan Adrian sudah di luar batas.

Tetapi, aku melarang untuk menjaga perasaan keluarga Om Benny.

Terlebih Alana, dia pasti sedih kalau suaminya ditangkap polisi di saat mereka seharusnya menikmati secawan madu pernikahan.

Walaupun, aku sekarang sudah lost respect pada Alana, tetapi aku juga tak setega itu membuatnya menderita.

“Kali ini, Papa akan mendengar apa katamu, Nak. Tapi, jika sampai dia berani macam-macam lagi, maka Papa tidak akan pernah mau memaafkannya!” tegas Papa yang kemudian berlalu keluar kamar disusul Bunda.

***

“Heh, burung pipit, lu baik-baik aja kan? Gue kaget banget tau liat berita kecelakaan lu tadi malam. Lu juga kenapa susah banget dihubungi, kebiasaan ngilang tanpa kabar kayak orang HTS,” cecar Sarah saat kami melakukan panggilan video pagi ini.

Sahabatku satu-satunya itu memang perhatiannya tak nanggung-nanggung. Sudah seperti saudara kandung.

Walaupun dia sudah punya anak, tetapi persahabatan kami yang terjalin semenjak kuliah tak pernah luntur.

“Hampir mati, tapi kuburan gue belum digali,” ucapku santai.

“Astojim. Serius dikit napa?”

Di balik layar, wajah Sarah terlihat cemberut membuatku tak bisa menahan tawa.

“Baek-baek aja. Itu gue sendiri yang inisiatif nabrakin mobil ke pohon. Sakit ati soalnya ditinggal nikah.”

“NAJIS BANGET!” pekik Sarah dari seberang.

Aku sedikit menjauhkan ponsel mendengar suaranya yang melengking keras, bikin kuping tersumbat.

“Hahaha. Itu ulahnya si Adrian sialan. Dia sengaja bikin rem mobil gue blong. Pas gue udah kecelakaan dia sama teman-temannya datang dan keknya emang rencana mau nyulik dan perkaos gue. Gak ada akhlak emang si Adrian tuh. Untungnya ada yang nolongin.”

“What the?! Seriusan lu?”

“Kagak, gue ngarang. Ya seriuslah, Maesaroh! Dia gak mau putus dari gue jadi bikin rencana yang setidaknya bikin gue gak punya alasan untuk mutusin dia.”

“Gila! Udah kayak di felem-felem aja. Betewe, gue penasaran siapa yang nolongin lu?”

“Nizar.”

“Hah? Gue gak salah dengar kan? Nizar mantan lu?”

“Divya!” teriak Bunda tiba-tiba.

Aku sontak menoleh mendengar namaku dipanggil. Sudah berdiri Bunda di pintu pembatas antara balkon dan kamarku.

“Ada yang nungguin di bawah,” ujar Bunda menginfokan.

“Siapa, Bun?” tanyaku mengernyit. “Kayaknya Divya gak ada janji hari ini.”

“Teman kamu katanya. Sana temuin dulu,” pinta Bunda, kemudian pergi begitu saja.

Teman? Teman yang mana?

Kutarik napas pelan, lalu kembali menatap layar ponsel.

Di sana, masih ada Sarah yang saat ini tengah melukis alisnya.

Entah mau ke mana dandan sepagi ini?

Dia memang pintar dandan, beda denganku yang boro-boro pintar dandan, bedain maskara dan eyeliner saja tidak bisa.

“Eh, Maesaroh. Udah dulu ya. Mau nemuin orang gak tau siapa juga yang iseng nyariin gue ke rumah.”

“Pertanyaan gue belum dijawab, oyy! Jawab dulu!” teriak Sarah. “Nizar siapa?”

“Nanti gue ceritain.” Aku langsung memutuskan sambungan video call.

Biarin aja penasaran sampai lebaran monyet.

Aku menyimpan ponsel di atas kasur, lalu beranjak keluar kamar menuju ruang tamu.

Sampai di ruang tamu, aku terperangah beberapa saat melihat keberadaan Nizar yang tengah duduk di sofa sambil senyum-senyum ke arah orang tuaku.

Deg!

Apa dia tamu yang dimaksud Bunda? Tapi, ada perlu apa dia ke sini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status