Sedikit panik, aku tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Sarah?
Dijawab bohong, urusannya bakal panjang. Gak dijawab pun sama aja. Bakal berurusan sampe anak kucing jadi anak singa.Detik berikutnya, Nizar memecah keheningan di antara kami.“Sayang, aku pamit ya. Kamu semangat kerjanya.” Dia sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku mengerang sebal dalam hati.Cukup dalam hati. Gak bisa mengamuk di sini.Walaupun kesal banget dia manggil-manggil sayang, di depan Sarah lagi.Bikin malu aja.“Sarah, duluan ya!” teriak Nizar yang dibalas Sarah dengan anggukan singkat.Kulihat ibu anak 1 itu melongo sampai mobil berwarna hitam milik Nizar melewati gerbang kantor.Sesaat kemudian Sarah mengendus-endus tubuhku seakan mencium ada bau bangkai tikus.Aku sampai ikut mencium bau tubuh sendiri. Harum bau parfum.“Ngapain?”“Gue mencium aroma-aroma cinta lama belum kelar.”Kupejamkan mata sebentar, sembari menelan ludah yang terasa getir.Memang, aku tak sempat mengabari Sarah tentang pernikahan ini, bukan gak mau? Tapi tadi malam, buat bernapas aja susah. Yang kurasakan cuma sesak dan hampa.“Gue gak kepikiran sampe sana,” lirihku menggeleng pelan.Membuang napas kasar. Lantas, beranjak. Duduk di sofa, diikuti Sarah. Aku menceritakan awal mula kenapa bisa menikah dengan mantan kekasihku yang sudah putus selama 2 tahun itu? Dimulai dari Nizar yang sebelumnya memang sempat datang ke rumah untuk melamar, tapi aku tolak matang-matang.Berlanjut pada ajakan pulang bareng yang ternyata menyisakan masalah serumit memecahkan sandi rumput.Sampai akhirnya, menikah, di atas label kepergok mesum di tempat umum. Sialnya, karena bukannya prihatin mendengar ceritaku, Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Seolah melupakan rasa ibanya tadi.Seakan apa yang telah kusampaikan i
“Bagus gimana, njir?! Malu-maluin aja itu kalau dipake. Lu niat gak sih ngasih hadiah? Ya kali ngasih baju tipis banget, menerawang lagi.” Aku ngedumel, menyampaikan isi hati. Seandainya Sarah ada di sini, kutimpuk wajahnya pake baju tipis ini. Serius!Tapi, kalau sama Sarah memang sudah terbiasa blak-blakan dan buka-bukaan. Bisa dibilang, tidak ada rahasia di antara kita. Bukannya merasa bersalah dengan kado pemberiannya, kudengar Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Tuh kan, tuh kan! Dia kalau ketawa, Mbak Kunti pun jadi insecure. “Itu baju mahal, njir!” “Mahal dari mana kurang bahan begini? Yang ada gue kena siraman rohani 7 tanjakan, 7 turunan, 7 tikungan dari Bunda kalo nekat pake baju dari lu. Gak ada bagus-bagusnya!” semburku. “Kayak jaring ikan tau gak sih?”“Woylah, Burung Pipit!” Sarah tertawa lagi.Lucunya di mana sih?“Lu polos banget sih, njir! Yang ada gue malah kas
“Mau jalan-jalan dulu gak?” tanya Nizar memecahkan keheningan saat kami berada dalam perjalanan ke rumahnya. Aku yang bersandar dengan pandangan lurus ke depan, menoleh sebentar ke arahnya.“Ke mana?” tanyaku.“Ke hatimu.”Sialan!Ini sama saja membangunkan singa yang lagi tidur. Padahal, tadi aku sudah lembut banget bertanya padanya. Gak ada nada ketus-ketus lagi. Namun, dia sepertinya sengaja memancing perdebatan. Dasar laki-laki. Gak tenang hidupnya kalau melihat perempuan tak mengomel dalam sehari saja.Aku membuang pandangan ke luar jendela. Kesal banget sama si Nizar. Sumpah!“Ke mana aja yang kamu mau.”Gak ada! Gak mood ke mana-mana lagi sekarang. Padahal tadi mau-mau aja diajak ke manapun untuk melepaskan kesedihan karena pisah sama Papa dan Bunda.“Gak usah!” ketusku. “Langsung ke rumah aja. Tapi, mampir beli martabak dulu ya. Mau beliin buat Ibu.”Tidak lucu juga kalau per
Aku berdiri mematung, mengedarkan pandangan ke segala penjuru dapur, tanpa tahu harus melakukan apa pagi ini? Niat awal tadi, mau ala-ala istri sholehah yang menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat kerja. Tapi masalahnya, aku....Menggigit jari, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. Sadar, kalau dari dulu aku cuma bisa masak air dan indomie doang.Tapi kalau gak ngapa-ngapain, takut malah nanti dikira istri yang tidak becus melayani suami. Walaupun ibu mertua sangat baik, tapi kan gak enak hati juga kalau sepagi buta ini tinggal ongkang-ongkang kaki di kamar.Seketika itu, jadi ingat sahabatku yang baik hati walau kadang rada gak waras. Aku merogoh ponsel dari saku switer dan segera menelponnya. “Halo,” ucapnya pelan. Suaranya ada serak-serak manja menggoda. Aku tebak dia baru bangun tidur. “Maesaroh. Bantuin gue pliss!” Aku to the point.“Apaan? Lu gak bis
Aku mengarahkan pandangan menatap punggung lebar pria itu dengan perasaan yang entahlah!Bingung. Ah, pokoknya macam-macam rasanya. Perhatian Nizar padaku masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya. Aku hanya melihatnya berubah dari segi penampilan. Dulu, ia tak pernah memakai kacamata di hari dan waktu biasa. Sekarang, di setiap keluar rumah, selalu pakai. Berada di rumah pun, kadang dipakai. Seolah menjadi identitas baru untuk seorang Nizar Ghifari.Lekas kutepis pujian yang terlintas dalam pikiran tentangnya, tetapi sisi lain senantiasa mengingat cara pria bercambang tipis itu meninggalkan dan mencampakkan diri ini setelah menjalin kasih selama 5 tahun. Saat itu, aku merasa tak melakukan kesalahan, walau memang sedikit egois dan sering ngambek. Tapi, bukankah itu sifat umum yang dimiliki wanita? Tapi, dia pergi begitu saja. Hanya meninggalkan pesan, ‘Kamu terlalu baik buat aku.’Luka
Kedatangan Sarah sontak saja memutuskan ketegangan yang tercipta antara aku dan Nizar. Aku bangkit dari dudukku. Berpelukan dan cipika-cipiki dengan Sarah ala-ala perempuan sosialita kalau bertemu.Tak ketinggalan, kulihat Nizar dan Mas Irfan juga bersalaman, lalu saling melempar senyuman. “Kalian udah lama?” tanya Sarah menatapku bergantian dengan Nizar. “Mayan, udah karatan pantat gue duduk di sini,” sindirku membuat Sarah tertawa sambil memukul lenganku. Kebiasaan dia kalau gemas malah main tangan. Anehnya, karena ia hanya kerap ringan tangan kalau sama aku. Jika dengan orang lain, dia bisa tenang. “Dih, kek besi aja pantat lu. Udah, ah. Ayo ke depan, mumpung belum banyak orang. Gak ikhlas gue kalo berdiri paling belakang, yang ada niat nonton Fabio Asher malah dapatnya cuma liatin kepala orang doang,” ujar Sarah, kemudian berlalu lebih dulu. Aku mengikutinya. Sedang para suami berjalan di belakang kami. Malah k
Aku mundur seolah membiarkan sepasang insan itu melepaskan kerinduan.Tanganku yang tadinya tertaut dengan tangan Nizar pun sedikit merenggang, tapi saat ingin melepas, Nizar justru mengeratkan genggamannya. Entah, siapa gerangan gadis muda itu? Dia pasti habis nonton Fabio Asher juga. Terlihat dari pakaiannya yang basah kuyup, sama seperti kami. “Gak nyangka ketemu Kak Nizar di sini. Ibu baik-baik aja, Kak?” tanya wanita yang tidak kutahu namanya itu setelah mengurai pelukan. Dilihat-lihat, mereka sudah saling mengenal lama agaknya. Kalaupun belum, gak mungkin sedekat itu. Apalagi sampai membahas Ibu mertuaku. Tapi, tetap saja, dada ini agak sesak melihatnya.Aku gak cemburu kan? Tolong siapa pun di sini, katakan kalau aku gak cemburu!Lagian, gak mungkin juga aku cemburu sama Dia? Aku tersenyum kecut sambil menunduk. Menghela napas berat, menoleh ke arah Sarah sebentar yang ternyata saat ini jug
Minggu pagi, yang biasanya selesai salat subuh kembali tidur dan bangun ketika lapar, kini aku harus bangun pagi-pagi sekali. Ikut membantu Bi Sumi di dapur. Walaupun, lebih banyak nonton dan nanya soal masakan ke Bi Sumi layaknya reporter yang sedang wawancara di acara masak-masak. Namun, aktivitasku terhenti ketika Nizar datang dengan pakaian olahraganya.“Vy, joging bareng, yuk!” ajaknya.Aku yang memang tergolong pribadi yang malas olahraga tentu saja menolak, tetapi bukan Nizar namanya kalau menyerah begitu saja. Dia baru berhenti mengajak, ketika aku dengan sangat terpaksa memutuskan ikut joging bersamanya.“Ya udah, iya. Tapi aku ganti baju dulu,” ujarku. Setelah ganti baju dengan pakaian olahraga lengkap dengan sepatu kets, kami pun mulai joging dari rumah hingga ke lokasi car free day yang tak jauh dari rumah.“Vy, tanding lari, yuk! Kalau menang kamu boleh jajan apa aja sepuasnya di sini.” Nizar me