Aku mundur seolah membiarkan sepasang insan itu melepaskan kerinduan.
Tanganku yang tadinya tertaut dengan tangan Nizar pun sedikit merenggang, tapi saat ingin melepas, Nizar justru mengeratkan genggamannya.Entah, siapa gerangan gadis muda itu?Dia pasti habis nonton Fabio Asher juga. Terlihat dari pakaiannya yang basah kuyup, sama seperti kami.“Gak nyangka ketemu Kak Nizar di sini. Ibu baik-baik aja, Kak?” tanya wanita yang tidak kutahu namanya itu setelah mengurai pelukan.Dilihat-lihat, mereka sudah saling mengenal lama agaknya. Kalaupun belum, gak mungkin sedekat itu. Apalagi sampai membahas Ibu mertuaku.Tapi, tetap saja, dada ini agak sesak melihatnya.Aku gak cemburu kan? Tolong siapa pun di sini, katakan kalau aku gak cemburu!Lagian, gak mungkin juga aku cemburu sama Dia?Aku tersenyum kecut sambil menunduk. Menghela napas berat, menoleh ke arah Sarah sebentar yang ternyata saat ini jugMinggu pagi, yang biasanya selesai salat subuh kembali tidur dan bangun ketika lapar, kini aku harus bangun pagi-pagi sekali. Ikut membantu Bi Sumi di dapur. Walaupun, lebih banyak nonton dan nanya soal masakan ke Bi Sumi layaknya reporter yang sedang wawancara di acara masak-masak. Namun, aktivitasku terhenti ketika Nizar datang dengan pakaian olahraganya.“Vy, joging bareng, yuk!” ajaknya.Aku yang memang tergolong pribadi yang malas olahraga tentu saja menolak, tetapi bukan Nizar namanya kalau menyerah begitu saja. Dia baru berhenti mengajak, ketika aku dengan sangat terpaksa memutuskan ikut joging bersamanya.“Ya udah, iya. Tapi aku ganti baju dulu,” ujarku. Setelah ganti baju dengan pakaian olahraga lengkap dengan sepatu kets, kami pun mulai joging dari rumah hingga ke lokasi car free day yang tak jauh dari rumah.“Vy, tanding lari, yuk! Kalau menang kamu boleh jajan apa aja sepuasnya di sini.” Nizar me
Wanita yang sebenarnya cantik itu menghentakkan kaki sebelum akhirnya pergi bersama segudang kekesalannya. Aku menatap punggungnya hingga menjauh, tersenyum penuh kemenangan. Setelah itu, menghela napas lalu membuka botol air minum yang konon akan diberikan khusus untuk Nizar. Lumayan ini, gak perlu beli lagi. Kadang-kadang rezeki datangnya tak terduga. Dan aku pun meminumnya hingga tandas setengah. Entah emang haus atau karena masih kebawa kesal dan aura-aura panas melihat wanita tadi sok manis banget di hadapan Nizar?Aku saja yang notabene istri sah gak pernah tuh mau nempel-nempel begitu. Kayak memang terkesan memamerkan bukit kembarnya pada Nizar. “Gak usah cemburu gitu, ah, Sayang. Aku milik kamu, kok.” Nizar tersenyum lebar. Tuh, kan, kebiasaan besar kepala dia. “Tapi, aku suka kalau kamu cemburu.”“Siapa yang cemburu? Kagak ya! Cuma gak enak aja liat pemandangan kek gitu,” semburku. Nizar berdehem pelan. Dari raut wajahnya, sepertinya ia tak bisa percaya begitu saja dengan
“Aw!” ringisku saat hendak beranjak dari tempat tidur.Area sensitif di bawah sana rasanya perih banget astaga. Aku jadi ingat, Sarah pernah bilang kalau melakukan itu pertama kali tubuh berasa kayak remuk redam. Tapi, aku juga tidak pernah membayangkan bakal sesakit dan se-perih ini. Sepertinya, Nizar memang suka sekali menyakitiku. Sudah menyakiti hati, malah sekarang badanku yang dibikin sakit dan pegal-pegal.“Mau aku bantu?” tanya Nizar, sigap menahan tubuhku yang sedikit tertatih. Pandangan kami sempat terkunci satu sama lain. Ya ampun! Aku jadi malu ber-semuka dengannya kalau mengingat kejadian tadi. Semacam gak ada harganya banget aku jadi cewek. “Aku bisa sendiri,” ketusku menolak sontak memutuskan kontak mata dengannya. Aku tetap melangkah pelan, walau kurasa sedikit mengangkang karena yang di bawah gak nyaman banget kalau jalan. Mana belum pakai baju lagi, jadi kudu pakai selimut untuk membalut tubuh. Lengkaplah ke
“Maaf, harusnya aku bisa lebih hati-hati dan gak ngebiarin kamu minum air itu tadi.” Nizar tertunduk lesu. Sesekali membuang napas berat. Padahal bukan salahnya, tapi malah menyalahkan diri. “Terus, kalau aku gak minum, kamu yang mau minum begitu?” tanyaku ketus. Sengaja menyerangnya dengan pertanyaan ambigu yang memicu perdebatan. Bukan wanita namanya, kalau tidak senang memancing. Memancing keributan sama pasangannya.Lagian, aku tak suka dia jadi menyalahkan diri begitu. Aku merasa kehilangan sosok Nizar yang kelebihan dosis percaya diri.“Bukan begitu, Sayang. Tapi....”“Gak usah dibahas lagi, Niz. Keadaan gak akan bisa diubah,” ucapku cepat.“Vy... aku harap kamu gak nyesal karena udah ngasi semuanya ke aku.” Aku tertawa sinis. “Kalau aku nyesal, kamu mau apa? Mau balikin yang udah kamu renggut?”Nizar diam, menunduk. Tetapi, kulihat ia tersenyum tipis. “Gak, Vy.”Detik berikutnya, pri
Aku bangkit bersama emosi yang menggebu. Membalas tak kalah tajam tatapan Alana yang seolah menghakimiku. Dan sekarang kami saling beradu tatapan kebencian mendalam beberapa detik.Hingga akhirnya aku memutuskan aliran aksi tatap-tatapan ini dengan tawa licik.“Alana... Alana....” Aku tertawa sambil memegangi perut. Kesannya malah kayak orang gila. “Lu pikir gue doyan suami orang?!” Nada suaraku meninggi. Tawaku terhenti, berganti dengan gelengan. “Kagak, Alana! Kagak!”“Dan lu harus tau....” Aku mengacungkannya jari telunjuk tepat di depan wajahnya, seperti yang ia lakukan padaku tadi. “Gue sudah menikah.”Mendengar perkataanku, paling tidak aku melihat raut wajah Alana berubah syok bukan kepalang. Perlahan tapi pasti, kepalan tangannya yang tadi mengeras kayak batu pun pelan-pelan mengendur.“Kak Div, lu...?” tanyanya sedikit terbata. Barangkali, sulit untuk percaya dengan kenyataan ini. “Apa? Mau bilang gue ngarang
Aku membulatkan mata lebar-lebar bersamaan dengan jantung yang hampir saja bertukar peran dengan paru-paru melihat kenyataan di depanku. Beberapa kali, aku meneguk ludah, menggeleng pelan, lalu mengucek mata barangkali sedang mengantuk jadi salah lihat, tapi pemandangan itu tak berubah sama sekali. Dia memang Nizar--suamiku. Di sana, ia tengah tersenyum manis. Sungguh, aku tak menyangka jika aku yang penasaran dengan pekerjaannya, langsung dipertemukan dalam posisi kami sama-sama bekerja. Pertanyaanku tentang impian Nizar sekarang sudah terjawab. Ia sudah meraih impiannya untuk bekerja di perusahaan periklanan. Bahkan, mencapai lebih dari itu, karena sampai menjadi CEO.Sialnya, karena aku hanya sebatas tahu KreatifLumina Advertising yang memang saat ini sedang naik daun walau masih tergolong baru, tapi aku tidak pernah tahu jika orang penting di baliknya adalah Nizar Ghifari.Pantas saja, tadi waktu aku mengabarinya kalau ada urusan sampai malam, dia yang biasanya banyak tanya, ti
“Namanya juga usaha, biar kamu datang ke kantorku. Kalau gak dengan cara begitu, aku bingung mau ngajak kamu ke sana dengan cara apa? Kalau alasan pekerjaan, paling juga sama-sama perwakilan yang ketemu,” ungkap Nizar bersamaan dengan mobil yang berhenti di garasi.Mendengar pengakuannya membuatku hanya bisa menghela napas kasar. Bersiap untuk turun dari mobil. “Kan kamu bisa ngomong ke aku langsung. Bukan malah bikin rumit banyak orang. Kamu tuh senang banget cari gara-gara tau gak?” cecarku enggan menghentikan perdebatan ini. Biarkan larut hingga damai pada waktunya. Aku membuka pintu mobil. Turun. Menutupnya kembali dengan kasar. Lantas, berjalan cepat meninggalkan Nizar.Namun, langkahku mendadak terhenti saat Nizar mencekal tangan ini saat kaki sudah menjejaki teras. “Gak surprise dong kalau ngomong langsung. Kan ceritanya aku mau nunjukin ke kamu kalau udah berhasil mewujudkan impian bekerja di perusahaan periklanan. Kenapa? Kare
Gara-gara Nizar yang suka gantung perasaan, maksudku gantung kalimat, aku jadi kepo soal perkataannya tentang pelakor kemarin. Tapi, masalahnya dia sampai sekarang tutup mulut. Setiap aku ingin membahas, dia mengalihkan pembicaraan. Seolah enggan membahas. Kan... rasa penasaranku sudah sampai ubun-ubun. Kayak apa saja, main rahasia-rahasiaan segala. Keesokan harinya, ia masih tak mau mengatakannya. Aku jadi kesal sendiri, kenapa coba pake disebutin kalau pada akhirnya bicara setengah-setengah? Sudah kayak film Fast and Furious. Sampe sekarang masih gantung.Dasar suami, tidak bisanya diajak ghibah tipis-tipis.Malam ini, di tengah rasa kepo yang meronta, Nizar mengajakku nongkrong ke cafe Gemilang Rasa dengan alasan bahwa kami semenjak menikah 2 pekan lalu belum pernah nongkrong berdua.Padahal, aku tahu dia cuma cari cara untuk mengalihkan perhatianku agar tak mengorek informasi pelakor yang disebutnya kemarin. Kala