Share

Bab 6

“Apa kamu sedang uji coba remot langit untuk menggantikan Mbak Rara jadi pawang hujan di Mandalika?”

Pertanyaan Nizar membuatku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya yang tadi menahan tubuh ini ala-ala drama bollywood.

Apa-apaan sih dia meluk-meluk kayak gitu?

Jangan-jangan dia sengaja lagi cari kesempatan dalam kesempitan.

Dasar mantan!

“Siapa juga yang mau jadi pawang hujan? Ngaco aja kalo ngomong,” sungutku.

Melipat tangan di depan dada sambil mengerucutkan bibir kesal.

Enggan melihat wajahnya yang sedari tadi sok manis itu.

Tapi, dia emang manis sih!

“Kamu tuh. Dibilangin mau hujan juga, tetap ngotot pergi. So-soan gak mau diantar,” cecar Nizar. “Sejak kapan sih kamu jadi gengsian begitu?”

Aku bergeming, tak ingin menanggapi perkataannya lagi.

Hingga tak lama, security kantor datang membawa payung yang kuduga itu permintaan Nizar.

Dia membentangkan payung tersebut dan memaksaku ikut bersamanya.

Dengan segenap rasa malas, daripada tinggal di kantor lebih lama dalam situasi dan kondisi hujan begini, sendirian pula, mending pulang.

Gak apa-apa kali ini ngalah sama mantan. Sekali ini aja.

Iya sekali ini aja. Besok-besok gak lagi.

‘Semoga aja gak ada sesuatu yang membuatku harus ngalah lagi.’

“Kenapa kamu nolak lamaranku kemarin?” Sudut mata pria itu tampak melirikku ketika mobil sudah melaju membelah derasnya hujan di sore menjelang magrib ini.

Aku mendelik judes, lantas berkata. “Kenapa katamu?”

Tidakkah ia menyadari kesalahannya?

Kini, Nizar memperbaiki posisi kacamatanya.

Tanpa menoleh ke arahku, ia pun kembali berujar singkat, “Iya.”

“Sekarang aku tanya, kenapa kamu melamarku? Apa karena kamu kasihan dengan apa yang kualami?” tanyaku memicing.

Bisa saja, ’kan? Nizar hanya kasihan padaku yang dikhianati kekasih, lalu ia mencoba menghibur dengan cara melamar.

Kalaupun demikian, sungguh caranya itu kejam sekali.

Pria pemilik rahang tegas itu tertawa keras, seolah tak punya beban.

“Aku tak sekejam kekasihmu itu, Sayang,” katanya ringan, “yang berselingkuh dengan sepupumu sendiri.”

Pakai sayang lagi. Geli banget, cak!

“Bukankah kita sudah berjanji untuk sama-sama membangun kehidupan rumah tangga kita? Apa kamu lupa?” Alis tebal Nizar terangkat, sudut matanya sesekali melirikku.

“Apa kau juga lupa janjimu kala itu untuk membersamaiku dalam situasi dan kondisi apa pun?” tanyanya lagi.

Aku menelan ludah kuat-kuat mendengar perkataan demi perkataan Nizar yang kurasa malah membuatku terpojok.

Padahal, seharusnya aku yang bertanya begitu padanya. Karena dulu ia dengan teganya memutuskan hubungan dengan alasan kamu terlalu baik untukku?

Tapi, jujur... aku tak melupakan apa pun, tapi sedang kuusahakan untuk lupa segalanya.

“Kemarin, aku datang melamarmu karena sedang mencoba menepati janjiku padamu, Divya Ayunindya,” lanjut Nizar kemudian.

Bahasanya yang lugas seketika membuat bulu romaku berdiri. Padahal ini gak lagi nonton film dedemit.

“Aku ingin menjadi suami yang mencintai, menyayangi, dan yang berhak atas kamu.”

Entah kenapa, mendengar perkataan Nizar mengundang kaca-kaca di mata?

Buru-buru kualihkan pandangan ke luar jendela agar kerapuhan ini tak terlihat olehnya.

Begitu suasana hati sedikit membaik, kutarik napas pelan. “Tapi, kita sudah putus. Aku anggap semua janji dan ucapan apa pun saat kita bersama sudah tak berlaku.”

Raut wajah Nizar tiba-tiba berubah.

“Itu hakmu, tapi aku pastikan suatu hari nanti kau menikah denganku.”

Aku menatap tajam Nizar yang saat ini sedang tersenyum penuh kemenangan.

“Kok maksa?”

“Kamu sukanya dipaksa.”

Aku tak menjawab lagi, memilih memanyunkan bibir kesal sambil menatap jendela mobil yang memburam karena air hujan.

Hingga dingin menyeruak menembus tubuh. Ternyata gara-gara air hujan tadi pakaianku jadi basah.

Aku memeluk erat tubuh sendiri karena dinginnya semakin menusuk.

“Kenapa? Dingin?”

Padahal malas sekali menjawab, tetapi kepalaku yang tak bisa bohong ini malah mengangguk.

Dalam sekejap, Nizar menepikan mobil tepat di bawah pohon, tetapi baru saja berhenti, suara petir menggelegar membuatnya memajukan mobil agar menjauh dari pohon tersebut.

Konon katanya, kita memang tidak boleh berteduh di bawah pohon ketika ada petir.

Nizar mengeluarkan jasnya dan menyodorkan padaku.

Awalnya, enggan menerima, tetapi ia memaksa dan justru memakaikannya padaku.

“Jangan gengsi, aku tau tubuh kamu paling anti sama air hujan. Abis ini palingan juga pilek.”

Aku tak menggubris, cuma mengerucutkan bibir mendengar pria itu mengomel.

JEDRR!

Kali ini, gelegar petir membuatku refleks memeluk Nizar dan menyembunyikan wajah di bahu yang dulu kerap menjadi sandaranku itu.

“Niz... petir.” Suaraku bergetar.

“Kenapa?”

Buru-buru kulepaskan tangan dari lengan Nizar begitu menyadari sesuatu.

Dih, amit-amit, kenapa aku mau saja bersentuhan dengannya?

Nanti dia kegeeran lagi.

JEDRR!

“Aww!” pekikku panik, buru-buru pindah ke jok tengah.

Di sini, aku menaikkan kaki ke kursi dan menutup telinga dengan kedua tangan dan menenggelamkan wajah di antara lutut.

Aku tak bisa. Tak bisa jika terus begini.

Tak berselang lama, sebuah tangan merengkuh tubuh ini dan membawaku ke dalam pelukannya.

“Aku bersamamu. Jangan takut ya.” Bisikannya membiusku.

Pelan, aku menyembunyikan wajah di dada Nizar dan entah ada magnet dari mana sehingga aku dengan sukarela melingkarkan tangan di pinggangnya.

Sialnya, aku nyaman. Seakan memang sedang ada sebait rindu yang berusaha untuk diobati dengan temu.

Jangan biarkan cepat berlalu.

Eh... tidak!

Maksudku, tolong waktu cepatlah berlalu, aku tidak ingin terjebak lebih jauh.

Aku tidak suka berada di situasi ini!

“Aku takut petir,” ucapku nyaris berbisik.

“Aku tau,” balas Nizar. Kurasakan tangannya bergerak pelan mengusap-usap lembut kepala ini.

Dalam keheningan yang berlangsung lama, aku merasakan di dalam sana jantungku menggila.

Entah sedang apa di dalam sana? Rame sekali. Macam acara hajatan saja.

“Aku tidak mau menikah denganmu,” lirihku lagi.

Nizar tak menjawab, tetapi embusan napasnya terdengar sangat berat.

Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang?

Beberapa saat kemudian, kudengar kaca mobil diketuk berulang kali.

Aku dan Nizar menoleh bersamaan, terlihat di luar sana banyak warga yang mengintip ke dalam mobil melalui kaca yang tak tembus pandang itu.

Terlepas dari itu, ternyata hujan juga sudah reda.

Astaga, ada apa ini?

“Woi, keluar!” teriak salah satu warga sambil terus menggedor-gedor pintu mobil.

Aku panik, tanpa sadar menggenggam tangan Nizar seakan butuh perlindungan.

“Niz, ada apa?” tanyaku.

“Gak tau. Kamu tenang dulu, ya,” ucapnya.

Detik kemudian, Nizar membuka pintu mobil dan sialnya karena langsung diseret keluar oleh beberapa bapak-bapak yang saat ini mengerumuni mobil kami.

“Dasar anak muda zaman sekarang, berbuat mesum gak tau tempat!” maki pria berkumis tebal itu.

Hah?

“Bapak-Bapak, kami gak ber—” Nizar berusaha membela diri.

“Halah, alasan! Mana ada maling yang mau ngaku?” cibir pria bertopi itu. “Ayo Bapak-Bapak kita nikahkan saja mereka. Daripada berbuat kotor di sini. Bikin malu aja.”

Aku buru-buru keluar dan berdiri di dekat Nizar. Menatap silih berganti pria-pria yang tampaknya salah paham tentang kami.

“Maaf, Pak. Kami gak berbuat mesum, kok. Tadi kami cuma....”

Aku berusaha membela diri. Sialnya, karena aku tak tahu harus mengatakan apa?

“Hei, Mbak. Berani berbuat, berarti berani menerima konsekuensi. Mbak gak malu apa? Mbak ini perempuan, gak kasihan apa sama keluarga di rumah?”

Ya ampun, bagaimana ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status