“Apa kamu sedang uji coba remot langit untuk menggantikan Mbak Rara jadi pawang hujan di Mandalika?”
Pertanyaan Nizar membuatku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya yang tadi menahan tubuh ini ala-ala drama bollywood.Apa-apaan sih dia meluk-meluk kayak gitu?Jangan-jangan dia sengaja lagi cari kesempatan dalam kesempitan.Dasar mantan!“Siapa juga yang mau jadi pawang hujan? Ngaco aja kalo ngomong,” sungutku.Melipat tangan di depan dada sambil mengerucutkan bibir kesal.Enggan melihat wajahnya yang sedari tadi sok manis itu.Tapi, dia emang manis sih!“Kamu tuh. Dibilangin mau hujan juga, tetap ngotot pergi. So-soan gak mau diantar,” cecar Nizar. “Sejak kapan sih kamu jadi gengsian begitu?”Aku bergeming, tak ingin menanggapi perkataannya lagi.Hingga tak lama, security kantor datang membawa payung yang kuduga itu permintaan Nizar.Dia membentangkan payung tersebut dan memaksaku ikut bersamanya.Dengan segenap rasa malas, daripada tinggal di kantor lebih lama dalam situasi dan kondisi hujan begini, sendirian pula, mending pulang.Gak apa-apa kali ini ngalah sama mantan. Sekali ini aja.Iya sekali ini aja. Besok-besok gak lagi.‘Semoga aja gak ada sesuatu yang membuatku harus ngalah lagi.’“Kenapa kamu nolak lamaranku kemarin?” Sudut mata pria itu tampak melirikku ketika mobil sudah melaju membelah derasnya hujan di sore menjelang magrib ini.Aku mendelik judes, lantas berkata. “Kenapa katamu?”Tidakkah ia menyadari kesalahannya?Kini, Nizar memperbaiki posisi kacamatanya.Tanpa menoleh ke arahku, ia pun kembali berujar singkat, “Iya.”“Sekarang aku tanya, kenapa kamu melamarku? Apa karena kamu kasihan dengan apa yang kualami?” tanyaku memicing.Bisa saja, ’kan? Nizar hanya kasihan padaku yang dikhianati kekasih, lalu ia mencoba menghibur dengan cara melamar.Kalaupun demikian, sungguh caranya itu kejam sekali.Pria pemilik rahang tegas itu tertawa keras, seolah tak punya beban.“Aku tak sekejam kekasihmu itu, Sayang,” katanya ringan, “yang berselingkuh dengan sepupumu sendiri.”Pakai sayang lagi. Geli banget, cak!“Bukankah kita sudah berjanji untuk sama-sama membangun kehidupan rumah tangga kita? Apa kamu lupa?” Alis tebal Nizar terangkat, sudut matanya sesekali melirikku.“Apa kau juga lupa janjimu kala itu untuk membersamaiku dalam situasi dan kondisi apa pun?” tanyanya lagi.Aku menelan ludah kuat-kuat mendengar perkataan demi perkataan Nizar yang kurasa malah membuatku terpojok.Padahal, seharusnya aku yang bertanya begitu padanya. Karena dulu ia dengan teganya memutuskan hubungan dengan alasan kamu terlalu baik untukku?Tapi, jujur... aku tak melupakan apa pun, tapi sedang kuusahakan untuk lupa segalanya.“Kemarin, aku datang melamarmu karena sedang mencoba menepati janjiku padamu, Divya Ayunindya,” lanjut Nizar kemudian.Bahasanya yang lugas seketika membuat bulu romaku berdiri. Padahal ini gak lagi nonton film dedemit.“Aku ingin menjadi suami yang mencintai, menyayangi, dan yang berhak atas kamu.”Entah kenapa, mendengar perkataan Nizar mengundang kaca-kaca di mata?Buru-buru kualihkan pandangan ke luar jendela agar kerapuhan ini tak terlihat olehnya.Begitu suasana hati sedikit membaik, kutarik napas pelan. “Tapi, kita sudah putus. Aku anggap semua janji dan ucapan apa pun saat kita bersama sudah tak berlaku.”Raut wajah Nizar tiba-tiba berubah.“Itu hakmu, tapi aku pastikan suatu hari nanti kau menikah denganku.”Aku menatap tajam Nizar yang saat ini sedang tersenyum penuh kemenangan.“Kok maksa?”“Kamu sukanya dipaksa.”Aku tak menjawab lagi, memilih memanyunkan bibir kesal sambil menatap jendela mobil yang memburam karena air hujan.Hingga dingin menyeruak menembus tubuh. Ternyata gara-gara air hujan tadi pakaianku jadi basah.Aku memeluk erat tubuh sendiri karena dinginnya semakin menusuk.“Kenapa? Dingin?”Padahal malas sekali menjawab, tetapi kepalaku yang tak bisa bohong ini malah mengangguk.Dalam sekejap, Nizar menepikan mobil tepat di bawah pohon, tetapi baru saja berhenti, suara petir menggelegar membuatnya memajukan mobil agar menjauh dari pohon tersebut.Konon katanya, kita memang tidak boleh berteduh di bawah pohon ketika ada petir.Nizar mengeluarkan jasnya dan menyodorkan padaku.Awalnya, enggan menerima, tetapi ia memaksa dan justru memakaikannya padaku.“Jangan gengsi, aku tau tubuh kamu paling anti sama air hujan. Abis ini palingan juga pilek.”Aku tak menggubris, cuma mengerucutkan bibir mendengar pria itu mengomel.JEDRR!Kali ini, gelegar petir membuatku refleks memeluk Nizar dan menyembunyikan wajah di bahu yang dulu kerap menjadi sandaranku itu.“Niz... petir.” Suaraku bergetar.“Kenapa?”Buru-buru kulepaskan tangan dari lengan Nizar begitu menyadari sesuatu.Dih, amit-amit, kenapa aku mau saja bersentuhan dengannya?Nanti dia kegeeran lagi.JEDRR!“Aww!” pekikku panik, buru-buru pindah ke jok tengah.Di sini, aku menaikkan kaki ke kursi dan menutup telinga dengan kedua tangan dan menenggelamkan wajah di antara lutut.Aku tak bisa. Tak bisa jika terus begini.Tak berselang lama, sebuah tangan merengkuh tubuh ini dan membawaku ke dalam pelukannya.“Aku bersamamu. Jangan takut ya.” Bisikannya membiusku.Pelan, aku menyembunyikan wajah di dada Nizar dan entah ada magnet dari mana sehingga aku dengan sukarela melingkarkan tangan di pinggangnya.Sialnya, aku nyaman. Seakan memang sedang ada sebait rindu yang berusaha untuk diobati dengan temu.Jangan biarkan cepat berlalu.Eh... tidak!Maksudku, tolong waktu cepatlah berlalu, aku tidak ingin terjebak lebih jauh.Aku tidak suka berada di situasi ini!“Aku takut petir,” ucapku nyaris berbisik.“Aku tau,” balas Nizar. Kurasakan tangannya bergerak pelan mengusap-usap lembut kepala ini.Dalam keheningan yang berlangsung lama, aku merasakan di dalam sana jantungku menggila.Entah sedang apa di dalam sana? Rame sekali. Macam acara hajatan saja.“Aku tidak mau menikah denganmu,” lirihku lagi.Nizar tak menjawab, tetapi embusan napasnya terdengar sangat berat.Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang?Beberapa saat kemudian, kudengar kaca mobil diketuk berulang kali.Aku dan Nizar menoleh bersamaan, terlihat di luar sana banyak warga yang mengintip ke dalam mobil melalui kaca yang tak tembus pandang itu.Terlepas dari itu, ternyata hujan juga sudah reda.Astaga, ada apa ini?“Woi, keluar!” teriak salah satu warga sambil terus menggedor-gedor pintu mobil.Aku panik, tanpa sadar menggenggam tangan Nizar seakan butuh perlindungan.“Niz, ada apa?” tanyaku.“Gak tau. Kamu tenang dulu, ya,” ucapnya.Detik kemudian, Nizar membuka pintu mobil dan sialnya karena langsung diseret keluar oleh beberapa bapak-bapak yang saat ini mengerumuni mobil kami.“Dasar anak muda zaman sekarang, berbuat mesum gak tau tempat!” maki pria berkumis tebal itu.Hah?“Bapak-Bapak, kami gak ber—” Nizar berusaha membela diri.“Halah, alasan! Mana ada maling yang mau ngaku?” cibir pria bertopi itu. “Ayo Bapak-Bapak kita nikahkan saja mereka. Daripada berbuat kotor di sini. Bikin malu aja.”Aku buru-buru keluar dan berdiri di dekat Nizar. Menatap silih berganti pria-pria yang tampaknya salah paham tentang kami.“Maaf, Pak. Kami gak berbuat mesum, kok. Tadi kami cuma....”Aku berusaha membela diri. Sialnya, karena aku tak tahu harus mengatakan apa?“Hei, Mbak. Berani berbuat, berarti berani menerima konsekuensi. Mbak gak malu apa? Mbak ini perempuan, gak kasihan apa sama keluarga di rumah?”Ya ampun, bagaimana ini?Sebab kesalahpahaman itu, aku dan Nizar diarak warga hingga ke rumah yang memang sudah tak begitu jauh lagi. Padahal, tadi sudah membela diri sampai memohon agar dilepaskan saja, tapi tak membuahkan hasil. Sialnya lagi, karena beberapa warga yang memergokiku sedang berduaan dengan Nizar di mobil tadi, sebagian mengenal baik keluargaku. Kalau tidak salah, ada Pak RT juga. Aku ingat wajahnya, dia beberapa kali datang ke rumah bertemu Papa. Jadi, manalah mungkin aku bisa berkilah untuk sekadar memalsukan alamat, karena mereka sudah tahu tanpa kuberi tahu sekalipun. Ini tuh semua gara-gara si Nizar, seandainya dia gak maksa-maksa aku ikut mobilnya tadi, kita gak bakal dihakimi.Dituduh mesum, padahal kami gak ngapa-ngapain juga. Hanya sebatas meluk doang, itu pun karena terpaksa. Tau begini, gak mau aku ikut pulang si Nizar. Emang dasar, dia selalu membuat hidupku runyem. “Pak Bima!” teriak Pak RT menggedor-gedor pintu rumahku.Caranya menggedor macam mau menggerebek istri sah yan
“Papa dan Bunda kenapa sih pake acara menyetujui permintaan warga? Itu konyol banget asli! Apa Papa sama Bunda udah gak percaya Divya lagi?” Nada suaraku sedikit meninggi, tapi bukan bermaksud untuk membentak dua orang tercintaku itu. Hanya saja, diri ini sudah tak bisa menahan kekesalan yang sedari tadi meluap-luap.Sehingga setelah Nizar pamit pulang, aku sengaja menemui mereka di kamarnya untuk meminta alasan kenapa menyetujui pernikahan konyol itu?Bukannya membela di depan warga, malah membiarkan terjebak dalam dilema pernikahan yang tak kuharapkan. Kini, Bunda turun dari ranjang dan menghampiriku yang tengah berdiri kaku di depan pintu. “Eh... eh, datang-datang malah nyolot. Perasaan Bunda gak pernah ngajarin Divya bicara pake nada tinggi depan orang tua.” Suara Bunda yang selembut sutera sampai dalam hati. Sukses membuatku mati kutu. “Maaf, Bun,” lirihku. Mengangkat wajah, menata
Bunyi bising masjid-masjid dari segala penjuru kota terpaksa membuatku mengerjap.Seingatku baru tidur sebentar, tapi ternyata hari sudah subuh lagi. Eh, tapi bentar... bentar deh!Ini kenapa aku tiba-tiba tidur di bantalnya Nizar? Mana aku meluk seolah-olah dia guling lagi?Sialan! Ini jadinya kayak aku yang nempel-nempel dia gak sih? Huwaa!Gak bisa! Gak bisa dibiarin ini!Amit-amit meluk cicak tubin.Aku mendongak sedikit, melihat wajahnya. Memastikan dia masih tidur.Dan syukurlah, tidurnya masih nyenyak. Gawat kalau dia bangun, mau ditaruh di mana mukaku yang cantik paripurna ini? Masa pindah ke pergelangan kaki?Aku juga gak sudi dia jadi besar kepala kalau tau insiden peluk-pelukan ini, bisa saja diungkit sampe lebaran haji dengan tujuan untuk melemahkanku di hadapannya.Detik berikutnya, aku berusaha memindahkan kaki yang menimpa kakinya dengan gerakan san
Sedikit panik, aku tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Sarah?Dijawab bohong, urusannya bakal panjang. Gak dijawab pun sama aja. Bakal berurusan sampe anak kucing jadi anak singa.Detik berikutnya, Nizar memecah keheningan di antara kami. “Sayang, aku pamit ya. Kamu semangat kerjanya.” Dia sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku mengerang sebal dalam hati. Cukup dalam hati. Gak bisa mengamuk di sini.Walaupun kesal banget dia manggil-manggil sayang, di depan Sarah lagi. Bikin malu aja.“Sarah, duluan ya!” teriak Nizar yang dibalas Sarah dengan anggukan singkat. Kulihat ibu anak 1 itu melongo sampai mobil berwarna hitam milik Nizar melewati gerbang kantor.Sesaat kemudian Sarah mengendus-endus tubuhku seakan mencium ada bau bangkai tikus.Aku sampai ikut mencium bau tubuh sendiri. Harum bau parfum.“Ngapain?”“Gue mencium aroma-aroma cinta lama belum kelar.”
Kupejamkan mata sebentar, sembari menelan ludah yang terasa getir.Memang, aku tak sempat mengabari Sarah tentang pernikahan ini, bukan gak mau? Tapi tadi malam, buat bernapas aja susah. Yang kurasakan cuma sesak dan hampa.“Gue gak kepikiran sampe sana,” lirihku menggeleng pelan.Membuang napas kasar. Lantas, beranjak. Duduk di sofa, diikuti Sarah. Aku menceritakan awal mula kenapa bisa menikah dengan mantan kekasihku yang sudah putus selama 2 tahun itu? Dimulai dari Nizar yang sebelumnya memang sempat datang ke rumah untuk melamar, tapi aku tolak matang-matang.Berlanjut pada ajakan pulang bareng yang ternyata menyisakan masalah serumit memecahkan sandi rumput.Sampai akhirnya, menikah, di atas label kepergok mesum di tempat umum. Sialnya, karena bukannya prihatin mendengar ceritaku, Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Seolah melupakan rasa ibanya tadi.Seakan apa yang telah kusampaikan i
“Bagus gimana, njir?! Malu-maluin aja itu kalau dipake. Lu niat gak sih ngasih hadiah? Ya kali ngasih baju tipis banget, menerawang lagi.” Aku ngedumel, menyampaikan isi hati. Seandainya Sarah ada di sini, kutimpuk wajahnya pake baju tipis ini. Serius!Tapi, kalau sama Sarah memang sudah terbiasa blak-blakan dan buka-bukaan. Bisa dibilang, tidak ada rahasia di antara kita. Bukannya merasa bersalah dengan kado pemberiannya, kudengar Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Tuh kan, tuh kan! Dia kalau ketawa, Mbak Kunti pun jadi insecure. “Itu baju mahal, njir!” “Mahal dari mana kurang bahan begini? Yang ada gue kena siraman rohani 7 tanjakan, 7 turunan, 7 tikungan dari Bunda kalo nekat pake baju dari lu. Gak ada bagus-bagusnya!” semburku. “Kayak jaring ikan tau gak sih?”“Woylah, Burung Pipit!” Sarah tertawa lagi.Lucunya di mana sih?“Lu polos banget sih, njir! Yang ada gue malah kas
“Mau jalan-jalan dulu gak?” tanya Nizar memecahkan keheningan saat kami berada dalam perjalanan ke rumahnya. Aku yang bersandar dengan pandangan lurus ke depan, menoleh sebentar ke arahnya.“Ke mana?” tanyaku.“Ke hatimu.”Sialan!Ini sama saja membangunkan singa yang lagi tidur. Padahal, tadi aku sudah lembut banget bertanya padanya. Gak ada nada ketus-ketus lagi. Namun, dia sepertinya sengaja memancing perdebatan. Dasar laki-laki. Gak tenang hidupnya kalau melihat perempuan tak mengomel dalam sehari saja.Aku membuang pandangan ke luar jendela. Kesal banget sama si Nizar. Sumpah!“Ke mana aja yang kamu mau.”Gak ada! Gak mood ke mana-mana lagi sekarang. Padahal tadi mau-mau aja diajak ke manapun untuk melepaskan kesedihan karena pisah sama Papa dan Bunda.“Gak usah!” ketusku. “Langsung ke rumah aja. Tapi, mampir beli martabak dulu ya. Mau beliin buat Ibu.”Tidak lucu juga kalau per
Aku berdiri mematung, mengedarkan pandangan ke segala penjuru dapur, tanpa tahu harus melakukan apa pagi ini? Niat awal tadi, mau ala-ala istri sholehah yang menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat kerja. Tapi masalahnya, aku....Menggigit jari, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. Sadar, kalau dari dulu aku cuma bisa masak air dan indomie doang.Tapi kalau gak ngapa-ngapain, takut malah nanti dikira istri yang tidak becus melayani suami. Walaupun ibu mertua sangat baik, tapi kan gak enak hati juga kalau sepagi buta ini tinggal ongkang-ongkang kaki di kamar.Seketika itu, jadi ingat sahabatku yang baik hati walau kadang rada gak waras. Aku merogoh ponsel dari saku switer dan segera menelponnya. “Halo,” ucapnya pelan. Suaranya ada serak-serak manja menggoda. Aku tebak dia baru bangun tidur. “Maesaroh. Bantuin gue pliss!” Aku to the point.“Apaan? Lu gak bis