Share

Bab 2

Senja mengoreksi coretan-coretan yang dosennya buat. Ia perlu revisi beberapa kali. Ia memang pintar tapi kan gak bisa juga skripsi di susun dalam sebulan. 

"Lo lagi apa?" 

"Biasa revisi." 

Perkenalkan Faradilla Gunawan, sahabat Senja semenjak semester awal. Yang katanya gak niat kuliah di jurusan teknik kimia tapi akhirnya ke sini karena desakan orang tua. Fara benci di bandingkan kakaknya yang seorang asisten dosen di ITB. Otak kan beda bentuk, beda isi. Kenapa orang tuanya tak terima saja Fara apa adanya, otaknya uang cetek harap di maklumi. Kalau boleh, ia mau pindah jurusan saja. 

"Gue kapan ya skripsinya?" 

"La lo siapnya kapan?" 

"Gue gak pernah siap lahir batin kalau dosen pembimbingnya itu Pak Johan." 

Senja hanya tersenyum kecil, Fara hanya malas tapi kalau berusaha juga bisa. "Lo minta dosen lain dong." 

Fara menggeleng. "Gue mahasiswa kesayangan Pak Johan." Karena ia pernah mengempiskan ban motor dosennya itu. Hingga pria yang hanya botak di ubun-ubun itu dendam kesumat padanya. "Eh ntar malam nginep dong di kos gue. Gue udah upload k-drama baru loh." 

"Drama Korea aja yang lo pikirin." 

"Habis sinetron udah gak asik lagi. Seruan nonton drakor." 

"Tapi say sorry. Ntar malam, gue udah janjian ama nyokap buat makan malam ama temennya." Senja tersenyum puas sambil meletakkan telapak tangan di depan dada. 

"Ah gak asik lo." 

"Lo pulang gih ke Bandung. Ortu lo pasti kangen." Senja tahu Faradilla sangat merindukan keluarganya namun gadis itu memilih menyingkir. Entahlah ia tak paham saja, Fara selalu minder jika dekat dengan sang kakak perempuan. 

"Kangen ngomelin gue. Mak lampir juga pulang soalnya. Kalau gue balik, gue pasti di anggap kartu mati. Giliran ada hajatan pasti ujung-ujungnya nyari gue. Kapan sih tuh lampir nikah. Biar gue bebas." Fara ngedumel panjang lebar sedang Senja malah fokus menatap layar laptop. Fara sebal, tapi lebih kesal lagi ketika mendengar suara motor di gas kencang di depan kampus. 

"Woy... tuh anak Snippers gak tahu diri. Genk gak bermutu, tukang balapan, tawuran." Fara mencak-mencak. Ia sampai berdiri. Untunglah Senja sudah menariknya untuk segera pergi. Genk motor snipers sedikit anarkis. Mereka senang menunjukkan diri, dengan bergaya naik motor freestyle di jalan depan kampus. Di larang pun percuma, karena rata-rata dari mereka adalah anak penyandang dana terbesar kampus. 

"Udah kita pergi aja. Ngadem ke cafe katanya di sana lagi ada promo. Ntar gue traktir deh." Fara langsung teralihkan jika membahas makanan. Semoga anak yang tengah ugal-ugalan mengendarai motor itu jatuh lalu masuk got atau minim jontor itu mulutnya.

🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒

 

Senja dan Helen memenuhi undangan makan malam keluarga Hermawan Aditama. Dinner yang dikira gadis berlesung pipi itu akan berlangsung canggung nyatanya tidak, kawan lama almarhum papahnya sangat baik dan memperlakukan mereka dengan sopan. Senja rasa pria ini juga tak modus. Karena nyonya Hermawan juga ada di sini. 

 

"Kamu kuliah semester berapa Senja?" tanya Hermawan sambil memotong paprika lalu menyuapkannya pada mulutnya. 

 

"Udah mau skripsi Om." Hermawan terkejut. Seingatnya Senja dan juga anaknya itu terpaut usia sekitar 2,5 tahunan. Kalau di hitung usia anak sahabatnya ini baru memasuki angka dua puluh. Seharusnya Senja masih semester 4 atau lima.

 

"Bukannya kamu masih muda banget. Masih dua puluh. Gimana caranya bisa skripsi secepat ini?"

 

"Senja waktu SMA ikut akselerasi jadi yah lulus pas umur 16 tahun dan waktu kuliah juga sebenarnya mau lompat semester tapi karena dia dapet beasiswa ya saya suruh aja dia nikmatin masa kuliahnya. Oh ya anak mas udah lulus kan?" Helen yang menjelaskan sekaligus mengambil alih obrolan.

 

Anak Hermawan lebih tua dari pada Senja. Hermawan malah bingung mau jawab apa, ia melirik ke arah Devi. Istrinya itu hanya menatap sinis. Kenapa selalu saja semua di ukur dengan nilai akademis. Menurutnya putranya itu termasuk ke dalam golongan anak pandai. Devi mencebikkan bibir, apa bagusnya dia dah mau skripsi dan piinter,bagusan juga anaknya kemana-mana. Buat apa pinter-pinter ujung- ujungnya Senja juga bakal ngulek bumbu di dapur. Umpat Devi di dalam hati.

 

"Saga udah skripsi juga kok, kurang sidang" kata Devi sok tahu dan dicibir habis suaminya.

 

Hermawan kesal sekali dengan Saga. Anak semata wayangnya itu susah diatur, suka balapan, suka berkelahi, suka genk genk ngan dan akhirnya seperti sekarang skripsinya jadi terbengkalai. Hermawan juga kesal anak semata wayangnya itu tidak menghadiri makan malam ini. Apa sih maunya Saga itu. Segala fasilitas telah ia beri. Kurang apa coba dia jadi orang tua. Awas saja kalau anak itu datang 

 

"Selamat malam semuanya," sapa seorang pemuda tampan yang tengah berdiri gagah. Hermawan menepuk jidat. Penampilan Saga benar-benar mirip berandalan. Telinga di tindik, sepatu bot, jaket kulit, celana jeans robek, rambut jambul serta jangan lupakan kaos bergambarkan tengkorak yang dikenakannya. Hermawan sudah menyuruh Saga datang dengan memakai kemeja rapi. Tapi nyatanya sang putra tetap saja bebal. 

 

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status