Share

Bab 2. Kuliah

Liana menepuk pundak Diana dan berbisik, “Adam ke sini!”

Diana langsung memegang tangan Liana dan berdiri menjauhinya. Liana melihat Dino dari kejauhan dan memberikan isyarat. Sekolah Diana dan Adam memang berbeda namun berdekatan sehingga murid-murid dari sekolah sebelah bebas keluar masuk sekolah Diana.

“Diana!” seru Adam. Diana terus berjalan tanpa menoleh.

Dino segera menghadang Adam, “Lo ngapain ganggu temen gue lagi? Kurang jelas apa kemarin?”

“No, gue itu masih sayang sama Diana!”

“Ngakunya sayang tapi lo ngga bisa jaga Diana! Lo juga main belakang dengan sengaja. Itu bukan sayang! Lo egois! Ini juga bukan sekolah lo. Jadi pergi dari sini!” bentak Dino. Adam terlihat kesal dan pergi meninggalkan sekolah.

Beberapa kali Adam berusaha mengajak Diana balikan, namun Diana menolaknya. Untung ada sahabat-sahabatnya, Dino dan Liana. Kedua sahabat Diana adalah anak dari keluarga kurang mampu yang dibantu orangtua Diana. Secara penampilan, Dino dan Liana bisa dikatakan cukup rupawan, namun mereka berdua memiliki watak yang berbeda. Dino adalah seorang yang sangat pintar matematika dan dia adalah pekerja keras. Dino lah yang mengajari Diana dan Liana mata pelajaran yang umumnya ditakuti oleh anak sekolahan. Sedangkan Liana sendiri adalah anak yang sangat ceria dan selalu dapat mencairkan suasana. Liana memang tidak terlalu pintar dalam hal mata pelajaran, namun dia sangat pandai mendapatkan hati orang.

Malam itu, Diana tidak dapat tidur. Dia mengingat waktu ketika dirinya hendak berhubungan dengan Adam, bagian ‘kewanitaan’nya mengalami kesakitan luar biasa. Rasanya perih sampai-sampai air mata Diana mengalir deras waktu itu. Diana pun menyerah dan tidak mau melakukannya lagi. Dia menjadi sangat trauma dengan hal tersebut. Akan tetapi, Diana menyimpan cerita itu sendirian. Tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali dirinya sendiri.

“Ah mungkin karena gue masih virgin ya. Jadi masih sempit,” Kata Diana pada dirinya sendiri, “Tapi kenapa orang lain kayaknya langsung-langsung aja ya? Ya emang bersyukur sih karena masih perawan tulen, cumen kok aneh.”

Diana mondar-mandir di kamarnya dan berpikir. Lalu dia menyimpulkan sendiri, “Mungkin karena psikis gue belum siap untuk nglepasin keperawanan, makanya tubuh gue dan miss V gue jadi menolaknya.” Diana mengangguk-anggukan kepalanya berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa alasannya itu benar.

Dia merebahkan diri di atas kasurnya. Dia mengingat semua kisah cintanya sekilas dan pesan Bi Inah kepadanya. Dia berkata pada dirinya sendiri, “Udah ah, gue udah ngga mau pacaran lagi kecuali sama calon suami nanti. Bener kata bi Inah, gue harus lihat watak orang dulu. Kalau dia mau menerima persyaratan gue, berarti dia orangnya. Sekarang gue harus fokus dulu ke kelulusan dan ujian masuk kampus negeri. Gue harus bisa!”

***

Diana menjadi sangat sibuk di hari-hari terakhir masa SMAnya. Diana belajar sana-sini dan mengambil les tambahan di luar jam sekolah. Untungnya Liana dan Dino juga sama-sama getol belajar. Dino yang pintar seringkali mengajari Diana dan Liana juga mengenai bab-bab dalam pelajaran yang mereka kurang mengerti.

Hari ini adalah hari ujian masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang mereka tuju.

“Diana, uda belajar lagi?” Tanya Liana yang duduk di sampingnya.

“Udah sih. Kepala gue uda mau botak nih. Gue pengen banget kita bertiga barengan lolos ujian ini. Kuliah bareng deh.”

Dino tiba-tiba muncul di hadapan mereka, “Hayo lagi pada ngomongin apa? Kalian tegang banget dari jauh.”

Liana meninju perut Dino, “Ya iyalah tegang, mau ujian. Ngga kayak lo santai, mentang-mentang pinter!”

Dino mengusap-usap perutnya kesakitan. Dino berkata pada Liana,“Pinter juga belum tentu lolos, Li. Ujian kayak gini tuh kadang tergantung hoki juga. Hoki lo bagus, lo jadi bisa ngerjain soal, terus lo lolos. Kalau lagi ngga hoki ya soalnya jadi susah-susah buat lo.”

Liana mencibir Dino kesal. Namun memang benar apa yang dikatakan Dino. Liana segera membuka kembali catatan-catatannya sedangkan Dino malah sibuk main HP. Liana menyenggol Dino dengan keras, “Malah mainan HP!”

“Ih apaan sih. Suka-suka gue dong! Ini juga belajar tau!” Dino tetap memainkan hpnya. Liana terdiam mendengar alasan Dino.

Diana memandang kelakukan sahabat-sahabatnya dengan rasa kesal, “Udah berantemnya! Bentar lagi ujian. Siapin pensil sama kartu pesertanya!”

Mereka pun bergegas bersiap-siap sampai pengumuman ujian dilaksanakan. Begitu pengeras suara mengumumkan bahwa peserta ujian boleh masuk ruangan, mereka segera berjalan memasuki ruang ujian.

“Jangan lupa berdoa dulu,” bisik Dino kepada kedua sahabat ceweknya. Diana dan Liana mengangguk.

Diana membolak-balik kertasnya. Hatinya sangat lega karena soal-soal yang diujikan mirip dengan apa yang telah dipelajarinya bersama kedua sahabatnya. “Semoga Dino dan Liana juga bisa mengerjakannya,” katanya dalam hati. Diana segera mengerjakan soal-soal itu tanpa banyak hambatan.

***

Akhirnya Diana, Liana, dan Dino berhasil berkuliah di kampus yang sama walaupun dengan jurusan yang berbeda. Diana mengambil Sastra Inggris, Dino mengambil Ilmu Komputer, dan Liana mengambil Kimia. Mereka berkuliah di kampus negeri ternama di Yogyakarta. Mereka merantau keluar dari Jakarta dengan alasan ingin mencari pengalaman baru. Awalnya orangtua Diana menolak, tapi untungnya Liana dan Dino meyakinkan orang tua Diana untuk melepaskan anaknya karena mereka berjanji akan menjaga Diana selama berkuliah di Yogyakarta.

Diana dan Liana memilih sewa rumah, namun Dino memilih kos dengan alasan karena Dino adalah anak laki-laki. Tidak elok tinggal serumah dengan teman wanita yang belum menikah. Kosan Dino tidak jauh dari rumah sewa Diana dan Liana jadi mereka bertiga tetap bisa hang out sewaktu-waktu.

Semester demi semester berlalu tanpa terasa dan saat ini mereka menginjak semester akhir dimana mereka sibuk dengan skripsi masing-masing. Selama kuliah, Diana tidak pernah berpacaran maupun dekat dengan laki-laki. Banyak laki-laki yang menyatakan perasaan cinta kepadanya termasuk teman-teman jurusannya, akan tetapi dia selalu teringat masa SMAnya yang tidak menyenangkan akibat Adam dan memutuskan menolak semua laki-laki yang mendekatinya.

Pagi itu, Diana dan Liana mencoba resep nasi goreng jawa ala yang diberikan oleh teman kampus Liana. Diana bertugas menyiapkan bahan dan Liana bertugas menghaluskan bumbu. Diana segera mengambil nasi secukupnya, telur, sosis, dan daun bawang. Diana meletakkannya di atas meja dan dia segera memotong-motong sosis dan daun bawang yang sudah disiapkannya. Di sisi lain, Liana mengambil cobek dan memasukkan cabe, bawang merah, dan bawang putih. Liana mulai memainkkan tangannya menghaluskan bumbu itu.

"Li, lo kasih terasi sedikit biar sedep," kata Diana sambil menoleh ke bumbu yang Liana siapkan.

"Oh ya lupa gue Di. Thank you ya uda ngingetin." Liana segera mengambil terasi di kabinet atas dapur mereka dan menarunya di cobek. Setelah itu dia kembali memainkan tangannya. Kalau kata bi Inah itu namanya nguleg.

Merekapun asyik berjibaku sampai bahan-bahan semuanya sudah siap. Akhirnya Diana yang mengambil alih menggorengnya.

"Sini, gue aja yang nggoreng. Tangan gue kayak koki beneran," katanya kepada Liana. Liana mencibirnya namun dalam hati memang dia mengakui bahwa Diana sebenarnya punya bakat terpendam dalam hal masak-memasak. Entah kenapa masakan yang dibuat oleh tangan Diana walaupun judulnya ujicoba itu ujung-ujungnya tetap enak. Liana akhirnya hanya menyiapkan tomat dan timun sebagai pelengkap setelah nasi goreng jadi.

"Di, kemarin si Anto gimana? Lo tolak dia?" tanya Liana sambil memandang Diana menggoreng nasi.

"Iya, gue ngga suka dia," jawab Diana datar.

"Jajalen ke'i kesempatan nggo wong lanang ngono lho, Di (Coba kasih kesempatan buat laki-laki gitu lho, Di)!"kata Liana kepada Diana dalam bahasa Jawa.

Diana tertawa mendengarnya. Liana dan Dino memang getol belajar bahasa Jawa selama di Yogyakarta. Mereka sering mengutip peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Setiap kali mendengar bahasa Jawa, Diana selalu teringat Bi Inah, pembantu yang membesarkan Diana. Diana memang lebih rindu pada pembantunya dibanding orang tuanya.

"Lo tuh ya Li kalau ngomong pake bahasa Jawa, belajar logatnya juga. Bukan cumen bahasanya aja tapi logatnya Jakarta. Aneh kan jadinya?" kata Diana sambil tertawa. Liana terlihat manyun mendengar ejekan Diana. Dia berkilah, "Namanya juga belajar Di! Bahasanya dulu baru logatnya."

"Klo lo emang niat belajar bahasa Jawa, kalau bisa sekalian logatnya lo pelajari, lo cumen sekali kerja. Kalau lo belajar masing-masing, dua kali kerja namanya," kata Diana sambil melihat kematangan nasi goreng.

"Iya deh guru bahasa! Nyerah gue kalau debat ama lo, Di! Lo tuh terlalu pinter omong. Eh, tadi si Anto gimana? Lo harus kasih kesempatan dong buat laki-laki. Ya masak seumur hidup, lo meratapi si Adam terus. Dia juga uda move on pasti sama cewek lain," kata Liana kepada Diana.

"Gue belum nemu orang yang pas aja Liana. Nanti kalau gue ketemu yang klik, pasti gue juga akan nerima dia. Nih nasi gorengnya udah jadi," kata Diana sambil mengangkat wajan penggorengan. Liana segera membawakan piring kepada Diana.

Sesudah nasi goreng itu ditempatkan di piring, Liana segera mengambil tomat dan timun dan menaruhnya di atas nasi goreng seraya berkata, "Mau sampai kapan, Diana?"

Diana hanya tersenyum dan berkata, "Hanya Tuhan yang tahu."

Liana menggeleng-gelengkan kepalanya, "Gue nyerah, Di. Terserah lo lah. Ini kehidupan lo. Oh ya, gue mau ke Sunmor. Mungkin ada barang-barang kece yang ada disitu. Lo mau ikutan ngga?"

"Ikutan dong. Makan duluan aja yuk," kata Diana mengajak Liana. Liana menangguk. Mereka segera makan nasi goreng tersebut dengan lahap. Nasi goreng itu benar-benar enak.

"Dino mau ikutan ngga ya?" tanya Diana.

Liana menjawabnya, "Seinget gue, dia mau ada acara sama anak kosannya. Dia ngasih tau gue semalem. Cumen gue juga kurang tahu sih acara apaan." Diana mengangguk mendengarnya.

Diana dan Liana segera menyelesaikan sarapan pagi mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status