Share

Bab 3. Pertemuan

Setiap minggu pagi, Diana dan Liana memang selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Sunmor dan mencari barang-barang murah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Seusai sarapan pagi, Liana segera mengambil dompet di kamar dan Diana memakai sneakers putih andalannya. Letak Sunmor dengan rumah mereka sebenarnya tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira 20 menit.

Seusai mereka bersiap dan membawa perlengkapan, Diana dan Liana segera keluar dari rumah dan mengunci rumah mereka. Mereka mulai berjalan ke arah Sunmor dan mereka menemui banyak sekali orang-orang lokal yang berjualan maupun berpapasan dengan mereka di sepanjang jalan.

"Monggo Mbak-mbak (Mari mbak-mbak)," kata bapak-bapak tua sambil memikul gendongan.

"Nggih, monggo pak (Iya, mari pak)," jawab Diana kepada bapak tua itu.

Bapak tua itu tersenyum dan berlalu begitu saja. Beliau hanya bermaksud menyapa anak-anak muda ini. Anak-anak muda yang menurut mereka adalah kaum cendekiawan karena berkuliah di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta. Harapan masa depan bangsa.

Budaya Jawa memang sangat ramah. Mereka tidak segan menyapa orang-orang di jalan tanpa bermaksud apapun. Hal ini yang menyebabkan tiga sekawan itu mencintai Yogyakarta. Mereka merasa menjadi satu keluarga walaupun mereka berasal dari ibukota. Diana dan Liana melanjutkan perjalanan mereka.

"Di, setelah gue pikir-pikir kayaknya gue mau cari suami orang Jogja deh biar gue tinggal disini terus," kata Liana sambil mengamati setiap laki-laki yang lewat. Liana tersenyum kepada setiap laki-laki itu. Namun sayang laki-laki yang disenyuminya kebanyakan malah buang muka. Liana menjadi kesal.

Diana menjawab Liana, "Bagus dong. Gue jadi bisa visit Jogja sewaktu-waktu tanpa harus bayar biaya hotel."

"Sialan, gue senyumin malah pada buang muka. Coba kalau lo yang senyumin, pasti langsung pingsan mereka," kata Liana kesal.

Diana tertawa mendengar perkataan Liana. Diana segera mencubit pipi Liana, "Ihhh gemas! Lo tuh cantik Liana, mereka aja rabun."

Liana segera menepis tangan Diana, "Ih apaan sih. Gue bukan anak kecil. Iya gue tahu gue cantik tapi sayangnya mereka itu rabunnya sepanjang masa." Diana tertawa lagi. Langkah mereka sudah mulai masuk ke area Sunmor.

Buat anak-anak muda, Sunmor itu adalah tempat nongkrong, belanja barang murah, dan tempat berekreasi di hari minggu. Sedangkan, untuk pelaku usaha kecil atau pedagang, mereka menjadikan event sunmor ini sebagai salah satu kesempatan untuk mencari nafkah. Kebanyakan penjual menjual makanan, namun ada juga pernak-pernik lainnya seperti baju, buku, sampai alat elektronik. Masing-masing penjual mempunyai cara sendiri untuk menggelar lapaknya. Ada yang diatas tikar, ada pula yang membawa perlatan pendukung seperti gerobak, dan menariknya banyak juga pedagang yang mempromosikan toko online mereka.

"Mbak, monggo ditumbas. Niki barangipun enggal sedoyo, (Mbak, mari dibeli. Ini barangnya baru semua)," kata nenek-nenek tua menarik perhatian Diana. Nenek tua itu menjual telor asin. Beliau menggelar lapaknya di atas tikar berwarna gelap dan telur asinnya diletakkan di besek besar.

Diana segera menuju ke arah nenek tua itu. Liana mengikutinya.

"Pintenan niki mbah? (Berapaan ini mbah?)" tanya Diana sambil melihat-lihat telur asinnya. Telur asinnya keras dan berwarna biru cerah.

"Setunggalipun kaleh ewu mawon mba. Niki asli saking bebek-bebek ingkang kulo ingoni piyambak (Satunya dua ribu saja mba. Ini asli dari bebek yang saya pelihara sendiri)," kata nenek tua itu pada Diana.

Hati Diana tersentuh mendengar jawaban nenek itu. Liana berbisik padanya. "Telurnya bagus. Beli aja."

Diana segera mengangguk dan tersenyum kepada nenek tua itu. Dia segera mengambil dompetnya dari tas selempang yang dipakainya. Dia mengeluarkan selembar uang merah dengan gambar proklamator RI.

"Mbah, dalem tumbas kalih dasa mawon nggih. (Mbah, saya beli dua puluh saja ya)," kata Diana pada nenek itu. Nenek itu langsung tersenyum lebar dan bersemangat untuk memilihkan telur dengan kualitas bagus. Liana mengernyitkan dahi dan berbisik pada Diana, "Ngapain lo beli dua puluh?"

"Kasian neneknya tau! Nanti sisanya bagi aja ke Dino. Temen kosannya kan banyak," bisik Diana. Liana geleng-geleng tidak percaya, namun Liana sudah terbiasa melihat Diana bersikap seperti itu. Hatinya mirip Hello Kitty kata Dino.

Nenek tua itupun segera menyerahkan bungkusan plastik besar berisi telor asin pada Diana. Diana segera menyerahkan uang yang ada di genggamannya kepada nenek tua itu.

"Waduh mba, nuwun sewu niki, wonten artho ingkang alit mawon? (Waduh mba, permisi, ada uang kecil saja?)" tanya nenek tua itu sambil kebingungan mencari kembalian.

Aku tersenyum dan berkata, "Mboten usah mbah. Niku rejekine mbah'e. Kagem tumbas pakan bebek. (Tidak usah mba. Itu rejeki mbah. Untuk dibelikan pakan bebek.)"

Mata nenek tua itu berkaca-kaca dan beliau mengucapkan banyak terima kasih. Hati Diana merasa senang bisa membantu orang tua seperti nenek itu. Diana dan Liana segera berpamitan.

"Monggo mbah (Mari mbah)," kata DIana dan Liana bersamaan

"Monggo mba. Maturnuwun sanget (Mari mba. Terima kasih banyak)," sahut nenek tua itu

Diana dan Liana meneruskan perjalanan. Mereka mulai melihat-lihat lagi produk-produk yang ditawarkan oleh pedagang.

"Gila lo Di, sinterklas banget. Itu tadi total cumen 40 ribu dan lo kasih 100 ribu!" seru Liana kepada Diana. Diana menjawabnya, "Gpp lah Li, kasian nenek itu. Coba lo bayangin subuh-subuh harus bawa telor segentong ke Sunmor, belum lagi ngurusin bebek-bebeknya di rumah. Kalau beliau punya anak yang bener, mungkin anaknya juga ngga ngijinin nenek itu jualan susah payah. Tapi beliau gimana? tetep jualan kan? Berarti memang beliau butuh," kata Diana mendebat Liana.

"Iya sih makes sense, Di. Kalau orang tua gue jualan seperti itupun juga gue ngga bakal rela. Mendingan guenya yang jualan dan orang tua gue di rumah," kata Liana sambil mengangguk.

"Ngerti kan sekarang sudut pandang gue?"

Liana mengangguk lalu dia berpikir sejenak dan berkata, "Ngomong-ngomong bahasa Jawa lo keren abis. Anjir, gue berasa temen gue asli Jogja, bukan lagi anak ibukota."

"Thanks to Bi Inah," kata Diana sambil tertawa.

Liana mulai menghampiri pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari seperti sabun, shampo, dst. Dia segera berbelanja sesuai list yang sudah disiapkannya semalam. Sedangkan Diana melihat-lihat buku yang digelar di sampingnya.

"Ada buku IELTS mas?" tanya Diana pada pedagang buku itu.

"Ada mbak. Sebentar." Pedagang itu segera mencari-cari letak buku yang dimaksud. Setelah menemukannya dia berkata kepada Diana, "Ini mba yang bagus. Bukunya Barron. Ada CDnya juga buat belajar listening." Pedagang itu menyerahkan bukunya pada Diana untuk dilihat-lihat.

"Okay mas, aku ambil ini ya," kata Diana sambil mengambil uang di dompetnya.

"Tapi mba, ini harganya mahal lho. Ini asli mba. Tapi buat mbaknya saya bisa kasih seratus lima puluh ribu aja."

"Yo wes. Ora opo-opo mas (Ya udah. Tidak apa-apa mas). Aku ambil satu ya," kata Diana sambil menyerahkan uang sesuai dengan harganya kepada mas pedagang. Pedagang buku itu terlihat senang dagangannya laku. Dia segera membungkus bukunya dan menyerahkan kepada Diana.

"Maturnuwun mba. Lancar terus rejekine! (Terima kasih mba. Semoga rejekinya selalu lancar!)"

"Amin. Monggo mas (Mari mas)."

"Monggo-monggo mbak (Mari-mari mbak)," jawab pedagang itu sambil memasukkan uang Diana ke dalam dompetnya.

Liana segera menghampiri Diana kembali, "Udah selesai belanjanya?"

"Udah kok, gue cumen butuh buku," jawab Diana singkat sambil menunjuk buku yang barusan dibelinya. Mereka kembali berjalan santai.

Liana bertanya kepada Diana, "Lo jadinya bikin skripsi tentang IELTS? Udah diacc sama dosen pembimbing?"

"Iya udah kok. Gue tinggal penelitian di lembaga IELTS. Gue lagi nyusun proposalnya buat gue submit ke lembaga-lembaga itu. Kalo lo gimana Li?" tanya Diana kepada Liana.

Liana menjawab, "Oh ya, gue lupa cerita ke lo. Kemarin perusahaan perkebunan itu kasih kabar kalau gue boleh penelitian disana. Kemungkinan tentang limbah mereka gitu, cumen detail teknisnya dan metodologinya masih gue diskusiin sama dosen pembimbing gue."

Diana memandang Liana sambil tersenyum, "Syukurlah Li, akhirnya lo dapet ya tempat penelitian. Moga-moga kita ke depannya sukses selalu."

"Amin," jawab Liana.

Diana dan Liana kembali ngobrol mengenai berbagai hal. Mereka memutuskan untuk mencari sarapan. Perut mereka sudah keroncongan. Mereka mulai memilih dan diskusi mana warung yang akan mereka datangi.

Bruuukkkkkk. Telor asin Diana jatuh ke bawah. Seorang laki-laki menabraknya kencang. Diana terkejut melihat telor-telornya jatuh, namun dia melihat ada telor-telor mentah juga yang berceceran di jalan.

"Ya ampun Diana," teriak Liana. Diana segera memunguti telor-telor asin itu tanpa pikir panjang.

Laki-laki yang menabrak Diana terlihat pucat pasi, "Waduh, telor-telorku."

"Kamu punya mata ngga sih?" teriak Liana pada laki-laki itu.

"Maaf. Maaf. Aku tadi terburu-buru," jawab laki-laki itu secara singkat sambil membereskan telor-telor yang terjatuh. Beberapa dapat diselamatkan namun yang lain sudah pecah.

Diana tidak tega melihat laki-laki itu menunduk dan membereskan kecelakaan ini seorang diri. "Sini aku bantuin," kata Diana sambil memungut telur-telur yang selamat dari tragedi itu. Laki-laki itu terdiam sejenak dan memandang Diana. Mereka berdua segera memungut telur-telur di jalanan. Liana hanya terdiam dan terlihat kesal namun ia tidak dapat berkata apapun.

Seusai mereka memungut telur-telur itu. Diana dan laki-laki itu segera bangkit berdiri. Diana pun baru sempat melihat paras dan perawakan laki-laki yang menabraknya. Laki-laki itu sangat rupawan. Rambutnya dipotong model undercut bewarna coklat dan warna matanya coklat. Kulitnya juga kecoklatan. Tubuhnya juga sangat atlethis. Dia terlihat seperti blasteran. Diana sempat terpaku melihat laki-laki ini.

Liana menginjak kaki Diana dan menyadarkannya. Laki-laki itu berkata kepada Diana, "Maaf ya, telormu juga jadi jatuh tadi."

Diana menjawab, "Oh ya gpp kok. Telorku matang jadi ngga sampai pecah banget. Malah telormu malahan yang banyak pecah."

Laki-laki itu tersenyum," Iya gapapa kok. Nanti aku bisa beli lagi."

"Oh ya, nanti coba cek lagi ya telor-telormu. Nanti kalau ada yang rusak, aku akan ganti." Laki-laki itu membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu nama. Dia menyerahkannya kepada Diana. Diana menerimanya tanpa berkata apapun.

"Simpan saja dulu ini. Aku duluan ya. Banyak pesanan soalnya," kata laki-laki itu sambil melangkah pergi menjauhi Diana dan Liana.

"Iya. Hati-hati!" kata Liana.

Diana masih mematung melihat laki-laki itu. Liana segera menyenggolnya dan meledek Diana, "Akhirnya gue liat lo kesengsem juga ama cowok, Di."

Diana segera tersadar dari lamunannya. "Apaan sih? orang tadi gue mikirin telor-telor yang bakalan gue kasih ke Dino masih bagus atau ngga," kilah Diana.

"Hahaha," Liana tertawa keras-keras."Gue temenan sama lo itu ngga dari kemarin sore, Di. Coba sekarang liat kartu nama yang cowok itu kasih ke lo," ujar Liana pada Diana.

Diana segera melihat kartu nama yang masih dipegangnya.

Richard Brown

Founder Luscious Foods

"Sebentar, Luscious Foods yang ada di sudut kampus? Jual macem-macam makanan sih. Tapi pertama kali mereka jualan pancake gitu setau gue," kata Liana sambil berpikir.

Diana tersenyum dan berkata, "Matanya coklat, rambutnya coklat, dan nama belakangnya pun coklat."

Liana memandang Diana dan berbisik, "Hatinya juga coklat. Pasti manis."

Diana segera tersadar kembali dan berkata kepada Liana, "Founder tapi bawa telor mentah? Bukannya dia harusnya punya anak buah ya?"

"Founder itu memang bos, tapi buat anak jaman sekarang, founder itu kerjanya paling keras. Dia harus mastiin usahanya lancar makanya dia turun tangan," jawab Liana. Liana kembali berkata, "Nah, sekarang lo simpen itu kartu nama. Kalau perlu bawa tidur, dan lo wajib simpan nomor Richard!" Diana masih menimbang-nimbang keputusan akan nasib kartu nama Richard.

Liana gemas melihat kelakuan sahabatnya. Tanpa permisi, Liana segera merebut kartu nama di tangan Diana dan mengambil hp Diana dari tas selempangnya. Diana tak kuasa menahannya.

"Li, jangan dong!" kata Diana menghalangi. Namun Liana lebih gesit dibanding Diana. Liana berhasil mengambil hp itu dan berlari menjauhi Diana.

"Li, lo ngapain? Jangan macem-macem plis!"kata Diana berteriak memohon. Liana tidak memedulikannya. Dia sibuk mengotak-atik hp Diana. Tipikal Liana, kalau dia sudah memiliki kemauan, pasti akan diselesaikannya, termasuk dalam urusan Richard.

Beberapa saat kemudian, Liana menyerahkan barang-barang Diana kembali, "Nih hp lo sama kartu namanya."

Diana segera mengecek hpnya. Dia tersadar ada notifikasi masuk ke hpnya. Diana sekilas melihat pesannya.

RICHARD: Hi juga Diana. Senang bertemu denganmu tadi. Aku udah simpan ya nomor hpmu. Kapan-kapan mampirlah ke cafeku.

"Lo kirim w******p apa ke Richard, Liana?!" kata Diana kesal. Liana tertawa dan menjawabnya, "Cek aja sendiri!"

Diana segera membuka aplikasi whatsappnya untuk mengetahui percakapannya dengan Richard.

DIANA: Halo Richard. Ini Diana, yang kamu tabrak tadi. Nanti kalau ada apa-apa mengenai telor, aku akan kasih tahu kamu. Thank you.

Diana mengambil nafas panjang. Dia sangat lega Liana tidak mengirimkan pesan yang aneh-aneh kepada Richard. Diana segera memasukkan hp dan kartu nama Richard ke dalam tas selempangnya.

Liana segera berkata kepada Diana, "Tuh kan gue ngga kirim pesan aneh-aneh ke Richard. Gue ngga sejahat itu Di. Cari makanan yuk Diana. Gue uda laper lagi. Nasi goreng tadi ternyata cumen buat pengganjal perut nih."

Diana tertawa dan mengiyakan perkataan Liana, "Okay, gue juga uda laper." Mereka berdua segera menyusuri jalanan sunmor kembali. Ada banyak pedagang makanan yang menjajakan makanannya, namun kedua sahabat ini merasa tidak berselera dengan makanan-makanan yang ditawarkan. Jadi mereka hanya melewatinya.

Akhirnya sampailah mereka di sudut kampus. Liana memandang sekelilingnya dan spontan berteriak, "Diana, itu cafenya Richard! Masuk yuk?" Liana menunjuk suatu bangunan kecil namun terlihat nyaman dengan dominasi warna putih dan dekorasi yang modern.

"Ngga ah Liana. Kita makan tempat lain aja," kata Diana menolak.

"Udah ayok!" Liana segera memegang tangan Diana dan memaksanya untuk masuk ke dalam cafe tersebut. Diana menurut saja seperti tawanan perang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status