Share

Bab 5. Rencana

“Richard, mau ki sopo? kok iso ketemu wedok ayu? (tadi itu siapa? Kok bisa ketemu wanita cantik)” tanya Bono kepada Richard. Richard tersenyum dan hanya menaikkan alisnya. Bono menjadi kesal.

Aku kie wes konconan karo kowe ket SD. Terus kowe kenalan mbek cah ayu tapi rak mbok kenalke mbek aku? Rak konco tenan! (Aku sudah berteeman denganmu sejak SD. Lalu kamu kenalan dengan wanita cantik tapi kamu ngga ngenalin dia ke aku? Benar-benar tidak setia kawan!)”

Richard menjawab sambil memotong-motong sosis di depannya, “Cewe yang mana dulu? Tadi ada dua.”

Bono menuang adonan ke dalam panci  sambil menjawab Richard,”Yang duduk di sampingmu! Yang cantik. Wes tenan, bejo tenan kowe nemu wong ayunge koyok ngono (Beneran, beruntung sekali kamu ketemu orang cantiknya seperti itu)”. Richard tertawa dan menjawabnya, “Makanya aku tadi langsung datengin dia. Dia agak malu-malu gitu tapi dia berusaha menutupinya.”

“Lha kok iso ketemu mbek cah ayu kuwi? Ceritane piye? (Kok bisa ketemu sama wanita cantik itu? Ceritanya gimana?)”

“Tadi itu aku nabrak dia abis belanja telor. Abis itu tau-tau dia ada di resto. Ya langsung aku samperin.”

Oalah deen tho sing mboktabrak. Pantesan awakmu ora nesu-nesu bar tabrakan. Biasane langsung nesu-nesu. Iki malah ngguyu-ngguyu ngerti ndoge do pecah (Oh, dia ternyata yang kamu tabrak. Pantasa saja kamu ngga marah-marah setelah tabrakan. Biasanya langsung marah-maran. Ini malah ketawa-ketawa tahu telornya pada pecah,” kata Bono sambil mencibir.

Richard tertawa mendengarnya dan berkata, “Ya begitulah. Mana ada aku biarin angsa cantik nganggur.” Richard berpaling ke arah Bono dan bertanya kepadanya, “Bon, aku mau ke rumah Diana lusa. Nanti aku pinjem bajumu ya.”

Dasar ora modal (dasar tidak modal)!” seru Bono sambil mengepalkan tangan ke atas kepalanya layaknya ingin memukul Richard.

“Ampun! Ampun bang Jago,” kata Richard sambil menggengggam kedua tangannya dan tertawa keras.

Bono mengurungkan niatnya memukul Richard. Mereka memang sering bercanda seperti itu. Namun terkait pakaian, memang pakaian-pakaian Bono lebih banyak dibandingkan Richard dan model-modelnya pun lebih up to date. Sedangkan Richard adalah orang yang simple sehingga dia seringkali memilih membeli beberapa potong pakaian dengan warna dan model sama daripada pusing membeli berbagai model pakaian. Bono sering memanggil Richard ‘Mark Zuckerberg KW’.

Bono sendiri adalah anak orang kaya yang memilih meninggalkan bisnis keluarganya dan mencoba membangun usaha sendiri bersama Richard. Walaupun diejek oleh keluarganya, namun kedua sahabat ini membuktikan kalau mereka bisa membuat bisnis mereka maju. Jatuh bangun mereka rasakan berdua sehingga kedekatan di antara mereka lebih mirip dibilang seperti saudara dibandingkan hanya teman biasa.

“Ya uda, nanti malam ke rumahku. Kamu pilih bajunya dulu buat besok abis itu kamu laundry ekspress dulu,” kata Bono.

“Siap laksanakan!” jawab Richard kepadanya.

***

Diana dan Liana akhirnya sampai di rumah kontrakan mereka. Mereka segera membuka kunci dan masuk ke dalam rumahnya.

“Home sweet home!” seru Diana lalu merebahkan dirinya diatas sofa ruang tamunya. Liana berkata kepadanya, “Copot dulu tuh sepatu, bau!”

“Oh ya, sori kelupaan!” Diana langsung mencopot sepatunya.

Liana segera masuk rumah dan merapikan barang-barang belanjaannya.

“Di, gue masuk kamar dulu ya. Mau nyiapin perlengkapan penelitian gue,” kata Liana kepada Diana. Diana mengangguk mengiyakan. Liana segera masuk ke kamarnya. Diana kembali merebahkan dirinya di atas sofanya. Ingatannya kembali pada saat Richard menabrak dirinya. Diana senyum-senyum sendiri.

Tak lama kemudian, terdengar gedoran di pintu rumah. Diana enggan untuk membukanya namun gedoran makin lama makin kencang. Dia tahu bahwa itu adalah Dino, sahabat lelakinya. Akhinya Diana bangkit berdiri dan membukakan pintu untuk Dino.

“Lama amat sih buka pintunya,” kata Dino menggerutu.

“Uda untung lu, gue masih mau bukain pintu,” jawab Diana enteng. Dino berkata kepadanya, “Ini gue bawain bakso buat kalian berdua. Tadi gue beli deket kosan, ada abang-abang baru jualan dan setelah gue cobain enak banget, makanya gue beliin buat lo berdua juga.” Dino menyerahkan tas plastik hitam berisi bakso pada Diana.

“Thank you, No. Sini masuk aja. Liana lagi belajar tuh di kamarnya.” Dino segera masuk ke dalam rumah kontrakan itu. Mendengar Liana sedang belajar di kamarnya, Dino memutuskan untuk masuk ke kamar Liana diam-diam sementara Diana menyimpan bakso terlebih dahulu di kulkas karena mereka juga baru saja makan.

Tiba-tiba terdengar teriakan Liana, “Sialan! Kurang ajar!” lalu terdengar suara Dino mengaduh kencang di depan kamar Liana. Diana bergegas menuju ke kamar Liana.

“Ada apaan?” tanya  Diana pada Dino. Namun Dino hanya diam dan wajahnya memerah. Diana memandang Dino kebingungan. Tak lama kemudian, Liana segera keluar dari kamar dengan wajah garang. Diana menebak pasti terjadi sesuatu pada mereka.

“Ada apaan?” tanya  Diana lagi namun kali ini pertanyaannya tertuju kepada mereka berdua. Liana menjawab, “Gue lagi ganti baju dan Dino nyelonong masuk ke kamar gue. Alhasil gue lempar pake sisir kayu gue.” Dino hanya menjawab, “Sori, gue ngga tau. Gue kira lo lagi belajar.”

“Kalau mau masuk kamar tuh ketok dulu!” kata Liana kepada Dino sambil berkacak pinggang. Dino meminta maaf berkali-kali.

“Emang tadi lo telanjang Li?” tanya  Diana. Liana menggeleng. Diana menarik nafas panjang, “Ya udahlah, santai aja kalian ini. Anggap aja Liana lagi pake bikini di pinggir pantai. Gitu aja diributin.”

Liana berpikir sejenak dan dia memang setuju dengan perkataan Diana. Mungkin dirinya yang lebay menanggapi. Liana mengulurkan tangannya kepada Dino, “Damai?” Wajah Dino berubah cerah, dia langsung menyambut tangan Liana dan berkata, “Damai.” Diana tersenyum melihat sahabat-sahabatnya. Diana memutuskan untuk ganti pakaian dulu di kamarnya.

Liana segera melupakan kejadian itu. Dino berkata kepada Liana, “Li, tadi gue bawain bakso. Itu udah disimpen Diana. Cobain deh, beneran enak!” Liana mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada Dino.

“Gue disini dulu ya. Nebeng nonton Netflix,” kata Dino kepada mereka.

“Ya udah deh, gue ikutan nonton duluan. Otak gue juga masih bumpet. Coba deh No, lo cari film yang bagus,” kata Liana.

Dino dan Liana segera duduk bersampingan di sofa depan TV layar datar besar di ruang keluarga. TV itu juga dilengkapi dengan home theater sehingga Dino pun suka berlama-lama di rumah kontrakan itu. Dino dan Liana sibuk memilih-milih film sampai akhirnya mereka memutuskan menonton film horor. The Nun.

“Diana, sini gabung!” teriak Liana.

“Iya!” seru Diana dari dalam kamar. Tak lama kemudian, Diana segera keluar dari kamar dan dia hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek jeans kesukaannya. Melihat Dino dan Liana menonton film horor, Diana langsung kembali masuk kamar.

“Di, ngga udah cemen gitu. Suster setannya cakep kayak lo kok,” teriak Liana.

“Ogah. Mendingan gue di kamar,” sahut Diana. Dino dan Liana tidak memanggil kembali. Berarti mereka sudah asyik menonton.

Diana memang tidak suka menonton film horor. Dia pernah tidak tidur tiga hari akibat nonton film horor. Bagaimana bisa tidur, ketika menaikkan selimut, dia membayangkan kuntilanak ada di dalam selimutnya, ketika bercermin, dia membayangkan ada orang di belakangnya dan akibatnya dia sempat pingsan di sekolah kala itu.

Diana rebahan di kasur kamarnya. Dia teringat Richard, terutama senyum manisnya. Dia segera mengecek hapenya. Ternyata ada satu notifikasi di hpnya. Dia segera membukanya. Ternyata pesan dari mamanya. Diana tampak kecewa.

MAMA: Diana, besok mama ke Jogja ya. Kamu ada kuliah?

DIANA: Iya. Besok ada kuliah.

MAMA: Ya uda, mama punya kok kunci rumah. Nanti mama langsung ke rumah aja.

DIANA: OK Ma.

Diana menaruh hpnya kembali di atas tempat tidur dan memejamkan mata sebentar. Namun lama-kelamaan dia tertidur pulas.

Braakkkk!

Terdengar suara seperti orang membanting sesuatu. Diana terbangun kembali dan menyadari itu adalah suara speaker dari ruang keluarga. Terdengar suara tawa Dino dan Liana sesudahnya. Bagaimana mereka bisa tertawa saat menonton film horor? Tanya Diana dalam hatinya. Diana berusaha membuka matanya yang berat dan memutuskan untuk mengerjakan proposalnya. Diana segera berdiri menuju meja belajarnya dan membuka laptopnya. Dia memasang headset untuk menghindari suara-suara film itu.

Beberapa saat kemudian, suara-suara ramai itu lenyap. Diana melepas headsetnya dan mencoba memastikan bahwa film itu sudah selesai. Memang benar, film itu sudah selesai. Diana beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar kamar. Dia mendapati Dino dan Liana tertidur di sofa. Diana tidak tega membangunkan mereka. Diana kembali ke kamarnya dan memutuskan untuk melanjutkan proposalnya.

Notifikasi masuk ke hpnya. Dia segera membuka hpnya.

RICHARD: Hi Diana. Lagi apa?

Diana tersenyum melihat pesan Richard namun dia memutuskan untuk tidak membalasnya. Diana ingin mengetahui laki-laki seperti apakah Richard itu. Hal ini dikarenakan ada laki-laki yang menjadi marah besar karena Diana tidak membalas pesannya.

Diana kembali melanjutkan proposalnya. Dia mengetik dengan sangat fokus dan membuat outline di sampingnya. Beberapa tab browser juga terbuka di laptopnya sehingga dia bisa bekerja multitasking. Namun dia sengaja tidak memakai kembali headsetnya, takutnya Dino atau Liana membutuhkan ia.

“Diana… Diana…” kata Liana di luar pintu. Diana mendengar panggilan itu dan dia bergegas membuka pintunya. Liana berdiri di muka pintu.

“Ada apa, Li?” tanya Diana. Tanpa tedeng aling-aling, Liana langsung memegang tangan Diana dan menyeretnya ke ruang keluarga. “Sini gabung ama kita!” Diana pasrah diseret Liana ke ruang keluarga. Setidaknya film horornya sudah selesai. Dino pun sudah bangun tapi matanya masih merah.

“Dino, cuci muka dulu sana!” kata Liana kepada Dino. Dino segera berdiri dan pergi ke kamar mandi. Liana segera mengecek hpnya. Disitu Diana berpikiran untuk memberitahukan pada Liana mengenai kedatangan mamanya besok.

“Liana, besok mama kesini,” kata Diana membuka pembicaraan. Liana segera memandang balik Diana dan berkata, “Oh ya, tante kesini besok? Tapi Di, besok Richard kan juga kesini.”

“Astaga, gue lupa Li! Gimana ya?” Diana memegang pipinya. Liana pun juga bingung. Dia memegang kepalanya dan berpikir.

“Richard siapa?” tiba-tiba terdengar suara Dino di belakang kami. Liana segera memberi isyarat kepada Dino untuk segera duduk. Dino menurut. Dia menyenderkan punggungnya pada badan sofa.

“Richard itu gebetannya Diana!” kata Liana dengan suara keras. “Ngawur aja!” kilah Diana.

“Maksudnya?” Dino memandang Diana. Wajahnya memperlihatkan dia bertanya-tanya mengenai maksud para sahabatnya. Akhirnya Diana segera menceritakan kejadian sebelumnya secara keseluruhan termasuk kejadian telor pecah, makan di resto, sampai dengan rencana kedatangan mama. Dino mendengarkan dengan seksama.

Tanpa diduga, tak lama kemudian Dino memeluk Diana, “Akhirnya temen gue berhasil move on dari Adam.”

“Sialan!” umpat Diana sambil melepaskan pelukan Dino. Dino tertawa bahagia.

Dino mengernyitkan dahinya dan berkata, “Richard ya? Namanya ngga asing.” Dino melanjutkan, “Richard Brown bukan?”

Diana dan Liana saling bertatapan dan mengiyakan. Liana bertanya, “Lo tahu dia, No? Kayak gimana orangnya?” Liana berharap Dino mengetahui sesuatu tentang Richard.

“Emangnya dia beneran ganteng banget ya?” tanya  Dino tiba-tiba. Liana menghempaskan nafas keras-keras dan menunjukkan kekesalannya. Liana juga menyipitkan matanya kesal. Dino menanggapinya, “Berarti dia jelek?”

“Bukan, Dino! Gue berharap lo ngasih tahu kita Richard orangnya kayak apa dan jalan keluarnya gimana, bukan malah ngomongin kegantengan Richard. Iya, gue akuin Richard ganteng banget sampe-sampe temen ice queen lo juga kesengsem ada dia,” kata Liana menjawabnya. Diana mematung mendengarnya.

Dino sontak tertawa. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dino berkata lagi, “Richard tuh temennya Bono, kakak kelas gue di jurusan. Setau gue memang mereka berdua sejak awal kuliah buka usaha pancake gitu.”

Wait, kalau gitu Richard kuliah juga?” tanya  Liana.

“Iya dong, Richard kuliah juga. Dia anak HI alias Hubungan Internasional. Setahun diatas kita. Dia tuh ya primadona cewek-cewek jurusan gue cumen karena Richard pernah bantuin jurusan gue buat nyelenggarain event gitu. Langsung deh abis itu rame jualan pancakenya.”

Diana menimpali, “Oh gitu ceritanya. Dia baik dan pancakenya emang enak kok. Tapi kok gue agak sangsi kalau orang-orang beli pancakenya karena Richard.”

Dino menjawab, “Lo sangsi karena lo suka sama dia. Hello Diana, namanya orang jaman sekarang itu liat dulu penampilannya baru deh ngrasain produknya. Coba Richard jelek, pasti jarang cewek dateng dan beli pancakenya.”

Liana berkata, “Iya sih makes sense. Nah, sekarang masalahnya gimana nih besok waktu tante ke sini?”

Dino berkata kepada mereka,”Kalau menurut gue ya dari sudut pandang cowok, ngga masalah sih Richard ketemu sama tante. Tante bakalan ngasih pandangan obyektif mengenai Richard malahan karena gue pikir tante akan berusaha ngelindungi anaknya. Jujur aja sama orang tua bakalan lebih baik. Toh kalian juga belum pacaran, masih sebatas teman. Tante pasti oke-oke aja dengan Richard. Itu kalau menurut gue ya.”

Diana mengangguk dan berkata, “Iya sih bener juga apa kata lo, No.” Diana memandang Lilia dan bertanya, “Klo menurut lo gimana, Li?”

Liana berpikir sejenak dan berkata, “Gue juga setuju. Terus terang aja ke mereka jauh lebih baik.”

Dino menambahkan dan mengarahkan pandangannya kepada Diana, “Oke kalau gitu. Sekarang tugas lo, Diana, adalah lo hubungi Richard dulu jadi setidaknya besok waktu dia dateng dia uda siap ketemu tante.”

“Bener Diana, lo harus hubungi Richard. Soalnya kita ngga punya obat sakit jantung disini,” timpal Liana. Dino tertawa keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status