Share

Bab 6. Persiapan

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Diana terbangun. Dia melihat ke arah jam dindingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Diana menarik nafas panjang. Tidur malamnya terganggung karena dia benar-benar gugup dengan acara nanti malam. Walaupun Richard bukan siapa-siapanya namun Diana sangat pusing memikirkan pertemuan kedua orang tuanya dengan Richard.

Diana segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia membuka laptopnya dan mencari kira-kira menu apa yang akan dimasaknya nanti malam. Ada orang tuanya dan ada Richard juga. Dia membutuhkan menu yang sederhana namun dicintai banyak orang. Diana mengingat-ingat berbagai macam masakan yang pernah dicobanya. Namun pikirannya buntu.

"Ahhhhhhh!" Teriaknya gelisah.

Sambil merenung, Diana membuka-buka galeri laptopnya. Dia menemukan foto-foto lama sejak dirinya masih kecil. Ada foto ketika dia memakai baju adat, ada foto ketika dia menjadi dokter kecil, dan lain sebagainya. Dia tertawa melihat foto-foto itu. Ada foto bi Inah juga disitu. Diana menjadi sangat merindukannya. Diana teringat bagaimana dia menemani bi Inah untuk memasak sejak kecil. Dia selalu menjadi asisten kecil yang memotong cabai atau mengupas bawang.

Bi Inah kan punya hp dan beliau selalu bangun fajar untuk menyiapkan keperluan. Mungkin bi Inah bisa kasih ide untuk masakan yang nanti akan dibuat olehnya. Diana segera mengambil hpnya dan mencari kontak bi Inah. Semoga bi Inah cepat mengangkat.

Diana mendengar suara panggilan ke sana, berarti sudah tersambung. Tak lama kemudian, terdengar suara berdeham ibu-ibu tua di seberang sana.

"Halo bi Inah," kata Diana menyapa

"Ya ampun cah ayu, piye kabarmu nduk? Kangen tenan aku! (Ya ampun anak cantik, gimana kabarmu nak? Aku benar-benar kangen!)"

Diana tersenyum mendengar suara Bi Inah. Dia segera menjawabnya,"Baik bi Inah. Sehat semua disini. Bibi sehat juga tho?"

"Alhamdulilah sehat cah ayu. Ono opo kok telpon esuk-esuk? (Ada apa kok telp pagi-pagi?)"

"Nanti kan mama mau kesini bi, kebetulan temenku juga mau kesini dan minta masakin sesuatu. Bibi ada rekomendasi menu ngga ya bi?"

"Loh juragan kakung juga kesana lho cah ayu."

"Apa? Papa juga kesini bi? Kok mama ngga info ya." Kepala Diana makin terasa pusing. Papa bertemu dengan Richard. Bisa-bisa Richard diinterogasi habis-habisan. Kalau kata Almarhum Didi Kempot itu ambyar.

"Juragan kakung juga mendadak tadi cah ayu. Katanya Juragan Kakung kangen sama anaknya. He he he. Oh iya cah ayu, menu ya? Hmm..." Bi Inah terdengar seperti sedang berpikir. Tak lama kemudian, beliau melanjutkan, "Ini aja cah ayu, menu kuliner kesukaan raja-raja Jawa dulu."

"Kesukaan raja-raja? Saya ngga tahu bi. Saya kan cumen rakyat jelata bi," jawabku menggoda Bi Inah.

"Ih cah ayu. Itu lho rawon. Dulu itu raja-raja seneng sama masakan itu. Kuncinya dagingnya empuk, bumbunya merasuk, wes bar. Juragan kakung sama juragan putri kan juga seneng sama masakan itu, nduk."

"Nggih sampun bi Inah. Maturnuwun nggih pencerahanipun. (Ya sudah bi Inah. Terima kasih atas percerahannya)"

Diana segera mengakhiri percakapannya dengan Bi Inah. Hatinya bahagia mendengar suara pengasuh yang lama dirindukannya. Diana segera membuka resep-resep rawon yang ada di internet dan memilah-milah resep yang cocok dengannya. Setelah ini, dirinya harus belanja ke pasar untuk membeli kekurangan bumbu dan juga daging.

Mengingat matahari belum muncul, maka Diana pun masih terserang kantuk. Dia memejamkan matanya sebentar di kursi meja belajarnya. Diana berencana nanti sekitar jam lima, dia akan pergi ke pasar untuk berbelanja. Namun naasnya, dia malah tertidur pulas.

Terdengar bunyi ringtone yang keras dari HP Diana. Diana segera terlonjak dari tempat duduknya. Dia segera merenggakan badannya dan mengambil hpnya. Dengan kondisi dimana nyawanya belum terkumpul semuanya, Diana langsung mengangkatanya.

"Diana! Papa Mama sudah di depan."

 Terkejut, Diana langsung melempar hpnya ke atas kasur. Dia mencoba menggeleng-gelengkan kepala supaya cepat tersadar dan menepuk-nepuk pipinya. Lalu Diana melihat jam di kamarnya. Waktu menunjukkan jam 8 pagi. Mata Diana langsung melotot melihat jam itu. Dia langsung terbangun dan berlari ke pintu.

"Halo Papa, Mama." Diana menyambut mereka dengan suara yang dibuatnya menyenangkan. Mereka pun saling berpelukan secara bergantian. Papa dan Mama Diana langsung masuk ke dalam rumah kontrakannya.

Diana memiliki figur papa mamanya secara proporsional. Tubuh Diana mirip papanya sedangkan wajahnya mirip mamanya. Bapak dan Ibu Wisnu, begitu biasa dipanggil orang. Tentu saja Diana juga memiliki nama belakang Wisnu. Diana Chandra Wisnu.

"Papa Mama ke Jogja dalam rangka apa?" tanya Diana sambil menyipitkan matanya.

Bu Wisnu terlihat kesal dan menjawab, "Apa papa mama ngga boleh nengokin anaknya?"

"Hmm, ngga gitu sih. Cumen kaget aja, mendadak banget infonya."

Pak Wisnu mengusap-usap rambut Diana dan menjawabnya, "Ada calon supplier di Jogja. Papa sama Mama mau ketemuan sama mereka.” Bu Wisnu segera menyenggol Pak Wisnu dan memberikan isyarat untuk berhenti bicara pekerjaan.

"Oh ya, Liana mana?" tanya mamanya kepada Diana mengalihkan pembicaraan.

"Ngga tau, Ma! Aku juga baru bangun." Diana segera berlari menuju ke dapur dan menyiapkan minuman untuk orang tuanya. Sedangkan Papa dan Mama Diana merebahkan badan mereka di sofa. 

Seusai Diana membuat minuman, dia langsung mengantarnya kepada kedua orang tuanya dan meletakkannya di meja depan mereka. Orang tuanya segera bangkit dan duduk menyender pada sofa. Papa Diana mengambil tehnya dan menyeruputnya sedikit demi sedikit. 

"Terima kasih sayang" kata mama kepada Diana. Papa menimpali, "Tehnya enak Diana."

Tanpa basa-basi, Diana berkata kepada mereka, "Pa, Ma, aku mau ke kampus dulu ya. Ada janjian sama dosen jam sembilan. Papa Mama ngga apa-apa kan aku tinggal sendirian?"

"Tenang saja sayang. Kita juga mau istirahat," kata mamanya sambil tersenyum. Papa hanya mengangguk. Melihat hal itu, hati Diana lebih rela. Diana segera bergegas mandi sebentar, berpakaian, dan langsung lari menuju kampusnya.

***

Sementara itu di Luscious Foods.

"Ada tiga tahap kesuksesan menaklukan hati orang tua, Ric!" kata Bono kepada Richard sambil menunjukkan ketiga jarinya yaitu jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Richard menatap Bono dengan tatapan tak percaya.

"Ora usah ngarang, Bon! (Tidak udah mengerang, Bon!)"

"Tipsku ini ampuh banget lho Richard, pria idaman para wanita. Wes tho, rungokke sek! (Sudah, dengerin dulu!)"

Richard akhirnya mengangguk. Di dalam hatinya, Richard sangat gugup menghadapi pertemuannya dengan orang tua Diana nanti malam. Dia telah meminjam pakaian Bono sejak kemarin dan sudah dimasukkan ke dalam laundry express. Walaupun mungkin secara penampilan dia sudah siap, namun dia sangat takut kalau nanti salah omong dan malah dibenci oleh orangtua Diana.

Untungnya Richard punya Bono, sahabatnya dalam suka duka yang mau membantunya. Di resto usaha mereka yang masih belum ramai pengunjung, mereka masih sempat bercanda tawa seperti ini. Singkatnya bahagia itu sederhana.

"Dengerin ya Richard Brown, tips pertama itu Garis Tangan, tips kedua itu Buah Tangan, dan tips ketiga itu Campur Tangan. Jadi pertama-tama harus dilihat dulu garis tanganmu. Kalau memang Diana itu jodohmu, maka orangtuanya pasti akan merestui tanpa kamu susah payah!" Bono segera memperagakan pembacaan garis tangan." Richard tertawa keras mendengarkan celotehan Bono.

Bono mengarahkan telunjuk depan mulutnya dan menyuruh Richard tenang. Richard mengangguk-aguk mengikuti instruksi Bono. Bono melanjutkan, "Okay, tips kedua itu adalah Buah Tangan. Kalau garis tanganmu bukan Diana dan melenceng, maka kamu harus bawa buah tangan kalau ketemu orang tuanya Diana. Apalagi kalau buah tangannya itu adalah permata, berlian, atau meteorit langkan, pasti orang tua Diana langsung menyetujuinya."

Richard mencibir dan berkata kesal, "Ya iyalah."

Bono tertawa keras dan melanjutkan, "Nah kalau dua tips tadi belum berhasil, maka perlu tips ketiga yaitu Campur Tangan. Diana perlu campur tangan atau orang lain yang dikenal sama orang tuanya. Kamu perlu usaha lebih besar disini, Ric."

"Bar! Bar! (Selesai! Selesai!)" seru Richard yang langsung berdiri meninggalkan Bono yang terkekeh melihatnya. Bono berteriak kepadanya, "Dijamin pasti nyantol!"

"Aku kie deg-degan malah mbokguyoni. (Jantungku berdebar malah kamu bercandain.)" Richard berkata dengan kesal. Bono tertawa lagi. Bono segera menyusul Richard dan menepuk pundaknya, "Intinya ya Ric, jadi dirimu sendiri. Rak sah wedi mbek pikirane wong liyo (Ngga usah takut dengan pikiran orang lain). Kamu kan jago diplomasi, pasti bisa lah."

Richard mengangguk, "Thank you ya Bon."

"Mbek konco dewe kok ndadak thank you tho Ric! (Sama teman sendiri kok pakai ngomong terima kasih Ric!)"

Richard tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian, ada notifikasi masuk ke hpnya.

DIANA: Hi Richard, aku mau ngasih tahu kamu kalau ternyata papaku juga dateng. Jadi nanti malam ketemunya sama papa mama ya. Sorry banget.

Jantung Richard berdegub lebih kencang dan wajahnya memerah. Dia meraih pundak Bono dan berkata, "Bencana, Bon!"

"Ono opo? (Ada apa?)". Richard segera memperlihatkan chatnya kepada Bono.

"Anjir!" umpat Bono terkejut.

Richard mencoba mengatur nafasnya, "Yo wes gapapa Bon. Mungkin lebih baik sekalian ketemu papanya. Aku bisa sekalian tahu lampu warna apa yang kudapat. Kalau kuning atau hijau, aku bakalan deketin Diana."

Bono mengangguk, "Kuwi lagi koncoku! (Itu baru temanku!)"

***

Hari itu jadwal bimbingan skripsi Diana dan proposal yang dibuat Diana kemarin akhirnya disetujui oleh dosennya. Penelitiannya tentang IELTS, salah satu tes bahasa Inggris membuatnya pusing karena dia harus menemukan lokasi penelitian yang bagus namun itu masalah nanti-nanti. Diana tetap keluar dari ruangan dosen dengan wajah sumringah.

Diana segera memasukkan proposal kembali ke tasnya dan berjalan keluar kampus. 

"Hi Diana," sapa seorang wanita bertubuh mungil yang cantik. Evie namanya. Teman sejurusan Diana. Diana terkejut dan akhirnya berhenti sebentar. Dia memang sudah jarang bertemu teman-teman jurusannya karena mulai pada sibuk skripsi. Diana pun tidak terlalu dekat dengan Evie. Namun, dia harus berbasa-basi dengannya.

"Halo Evie. Ah, udah lama nggak ketemu. Kamu mau bimbingan ya?" tanya Diana menebak-nebak. Lalu Diana segera memandang sekelilingnya. Evie sendirian.

"Ngga Di. Aku lagi pengen ke kampus aja. Kamu uda selesai bimbingan?"

Diana mengernyitkan dahi lalu mengangguk. Diana bertanya-tanya tujuan Evie sebenarnya. Mata Diana tertuju ke arah tangan Evie yang sedang merogoh kantongnya untuk mencari sesuatu.

"Ada apa Evie?" tanya Diana sambil menengok tas Evie. Evie mengerluarkan amplop dari kantongnya. Evie segera menyerahkan surat itu pada Diana.

"Di, ini dari Ardi." Mata Evie terlihat berkaca-kaca. Diana mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Evie segera pergi tanpa pamit meninggalkan Diana.

Diana menarik nafas panjang dan segera membuka amplop tersebut. Di dalamnya terdapat secarik kertas dan dia mulai membacanya sekilas. Ternyata surat cinta. Pantas saja Evie langsung pergi karena Diana tahu Evie sangat menyukai Ardi. Ardi sendiri adalah teman jurusannya yang cukup populer di kalangan kaum hawa.

Diana hanya tersenyum melihat isi surat itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Dia kembali berjalan keluar kampus. Tujuan selanjutnya adalah pasar.

Sambil bersenandung ria, Diana terus melangkahkan kakinya sambil mengingat-ingat barang apa saja yang perlu dibelinya. 

"Daging, cabai, kluwih," ucap Diana berulang kali supaya dirinya tidak lupa.

Tak lama kemudian sampailah Diana di pasar tradisional favoritnya. Diana segera berbelanja barang-barang sesuai keperluannya. Untuk urusan berbelanja, Diana selalu memilih barang paling baru dan paling bagus kualitasnya walaupun harganya mahal. Prinsip Diana adalah 'Lebih baik mahal sedikit daripada sakit lalu keluar duit lagi'. Prinsip yang banyak dianut oleh emak-emak masa kini. Diana pun sudah memiliki beberapa bakul langganan. Jadi berbelanja bagi Diana tidak memerlukan waktu lama.

Setelah puas berbelanja dan berkeliling pasar, Diana segera pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Dia mampir sebentar ke toko kue untuk membelikan kue bagi orang tuanya dan Richard nanti. Beberapa kue manis dan kue asin dibelinya sebagai camilan. Diana juga membelikan kue kesukaan Liana dan Dino, sahabatnya.

Sesampainya di rumah, bu Wisnu, mama Diana segera menyambutnya.

"Hi sayang, kamu bawa apa?" tanya bu Wisnu sambil melihat barang belanjaan Diana lalu beliau tersenyum, "Ayo masuk. Mama bikin masakan enak buat kalian. Tadi mama belanja lho di pasar, tapi mama ngga tau kalau kamu juga mau masak."

Diana segera mencium mamanya dan pergi ke dapur. Diana meletakkan belanjaannya, membukanya, dan mulai mengatur barang belanjaannya. Diana melirik ke arah kompor. Wangi soto semerbak dari arah kompor.

"Mama bikin soto?"

"Iya Diana. Papamu lagi pengen yang seger-seger. Itu bahan-bahan pelengkapnya uda ada di meja makan. Lha kamu mau masak apa Diana?"

Sambil beberes barang-barang belanjaanya, Diana menjawab,"Rawon, Ma. Nanti temen Diana datang. Dia punya resto di deket kampus. Katanya mau nyobain masakan Diana karena dia belum nemu koki masakan Indonesia yang cocok."

Bu Wisnu duduk di kursi dekat dapur dan bertanya, "Cowok atau cewek?"

"Cowok, Ma."

"Ganteng ngga?" Tanya mama Diana sambil terkekeh.

Diana mengangguk sambil tersenyum. Dia terbayang-bayang wajah Richard. Pria yang barusaja ditemuinya namun terasa sangat familiar. Mama terkekeh melihatnya. Jarang-jarang Diana tersenyum ketika ditanya masalah cowok. Bu Wisnu mengerti kelakukan Diana. Diana tidak mau mengakuinya namun dalam hati dia menyukainya.

Dari arah luar dapur, terdengar suara familiar. Liana sudah datang dari kampusnya. Dia segera meletakkan barang-barangnya di kamar dan keluar menuju ke dapur.

"Halo Tante!"

"Sudah selesai Li?" tanya Bu Wisnu.

"Sudah selesai dong tante. Wah, tante masak apa ini?" Liana segera mengintip  isi panci yang ada di atas kompor.

Bu Wisnu menjawabnya sambil tertawa, "Masak soto kok Li. Sana makan dulu kamu juga. Diabisin aja gapapa. Papanya Diana tadi sudah makan. Nanti kan Diana juga mau masak sendiri."

Liana segera menoleh ke arah bu Wisnu, "Wah asyik, nanti pasti kuabisin tante. Masakan tante kan enak kayak masakan Diana juga. Oh ya, tante sudah tahu nanti bakal ada tamu?"

Bu Wisnu menjawab dengan suara yang dibuat-buat seolah sedang sedih, "Barusan juga tahunya, Li. Sedih tante taunya belakangan. Ternyata Diana mau masakin sesuatu buat cowok ya."

Liana tertawa dan menyahut, "Sabar ya tante. Diana emang suka diem-diem masalah cowok."

Diana menyeletuk, "Udah ah. Aku mau nyicil siapin bumbunya dulu."

"Oh ya Tante, temennya Diana yang nanti dateng itu ganteng banget. Tante pasti langsung suka," kata Liana. Mata bu Wisnu langsung terbuka lebar, "Oh ya?"

"Li, udah ah. Nanti kan mama juga ketemu orangnya. Bantuin dulu sini. Aku mau ngrebus dagingnya," kata Diana memotong pembicaraan.

Liana mengangguk dan menekuk lengan bajunya, "Siap Chef! Tapi aku makan dulu ya." Liana segera mengambil piring favoritnya dan mengambil nasi beserta lauknya lengkap. Dia duduk makan di kursi dekat dapur.

Bu Wisnu tertawa melihat kelakuan sahabat Diana. Bu Wisnu bersyukur dalam hati Diana memiliki sahabat-sahabat yang bisa diandalkan. Terkadang dirinya merasa sedih tidak bisa selalu ada di samping Diana sejak kecil.

"Mama masuk kamar dulu ya Diana. Nanti mama kasih tahu papa kalau kita bakal kedatangan tamu special. Kamu jangan lupa makan juga, Di!" Bu Wisnu segera keluar dari dapur dan berjalan menuju kamar tamu.

Diana mengangguk dan berkata, "Selamat istirahat."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status