—PoV Kelana
“Apa maksud kamu?”
Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.
“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.
Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.
Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”
“Saya harus ke rumah sakit.”
“Dengan dia?”
“Ya.”
“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
Sebuah foto siluet tiga manusia yang tengah menatap senja dengan caption, Bahagia itu sederhana, sesederhana menatap senja dengan kalian, dua wanita yang kucinta, menjadi fokusku saat ini. Tangkapan layar status W******p Mas Heru yang dikirim teman beberapa menit lalu membuatku meradang. Darahku mendidih, pasalnya aku yakin betul foto di status tersebut bukanlah fotoku dan anak kami—Lintang. Buru-buru aku mengecek seluruh status W******p di ponselku, namun tak kudapati postingan itu. Dalam situasi seperti ini, aku harus berpikir cerdas. Tak boleh buru-buru mengambil kesimpulan sebelum menemukan kebenarannya. Aku memilih pergi ke dapur untuk menenangkan diri, kebetulan besok adalah hari Minggu, saat yang tepat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan Mas Heru. Tentu saja dengan cara yang cantik agar ia tak bisa berkutik. “Mas, besok, kan, hari Minggu, kita ke luar, yuk. Kasihan Lintang, dia kangen main sama ayahnya.” Aku membawakan segelas kopi sekalian mengajaknya ke luar
Tanpa banyak bicara, Daffa mengikuti arahanku untuk mengikuti mobil Mas Heru. Sampai akhirnya, mobil tersebut berhenti di sebuah mall ibukota. Mereka turun, begitupun aku dan Daffa. Aku berjalan dengan tergesa, tak mau sampai ketinggalan jejak. “Lan, ini sebenernya ada apa, sih?” bisik Daffa yang berjalan di sampingku. “Mending lo balik aja, Daff. Makasih ya udah dianterin,” selaku agar dia tak bertanya lebih banyak. “Lo yakin gak mau gue temenin?” “Yakin, Daff,” jawabku. Aku tak mau masalah rumah tanggaku diketahui orang lain, sekalipun itu temanku. “Yaudah, lo hati-hati, kalau butuh bantuan, telepon gue,” ucap Daffa yang kubalas dengan anggukan singkat. Tiga manusia yang sedari tadi menjadi fokusku, masuk ke butik. Aku mengendap-endap mengikuti mereka, tak lupa kuabadikan momen tersebut. Rachel dan anaknya tampak memilih pakaian, sementara Mas Heru tersenyum lebar ke arah mereka. Sungguh, aku sangat muak melihatnya. “Awas kamu, Mas!” geramku sembari mengepalkan tangan. Bukan
Sebagai istri dan seorang ibu, aku akan lebih dulu mementingkan anak dan suami, daripada diriku sendiri. Berpura-pura terlihat bahagia, serta menutupi fakta menyakitkan dengan tawa adalah keahlianku. Pagi ini, aku sudah bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Kutatap wajah Mas Heru yang masih terlelap, sambil terus bertanya-tanya, mengapa dia mendua? Setelah puas menatapnya, aku beranjak dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk membantu Mbok Iyem menyiapkan sarapan dan keperluan mereka. Pukul setengah tujuh lebih lima menit, Mas Heru bergabung denganku dan Lintang di meja makan. “Pagi cantiknya Ayah, pagi sayang,” sapa Mas Heru pada kami. “Pagi, Ayah.” “Pagi, Mas.” Dia tersenyum lembut ke arahku, wajahnya nampak sumringah seperti orang yang baru saja menang lotre. Aku yakin, semua hal yang terjadi dengan Mas Heru selalu ada kaitannya dengan wanit pelakor itu. “Oh iya, Mas, jangan lupa hadiah yang Lana minta ya.” Aku mengingatkan. “Iya sayang, Lana tenang aja. Doain semoga rezek
Aku menemui Rachel yang masih berada di teras. Entah apa tujuannya datang ke rumahku. Lihat saja, kalau dia macam-macam, aku tak akan segan-segan membuat perhitungan. “Eh, Rachel. Sini masuk!” ajakku pada Rachel. Jika mengikuti kata hati, tentu yang ingin kuucapkan adalah umpatan dan kalimat-kalimat kasar. “Makasih, Lan.” Rachel mengikutiku dari belakang. Suaranya terdengar sangat menjengkelkan. Aku membayangkan jika suara itu yang kerap kali didengar suamiku saat tak berada di rumah. Ingin sekali kurusak pita suaranya. “Duduk, mau minum apa? Biar aku buatin,” tanyaku berusaha terlihat seramah mungkin. “Eh gak usah, aku cuma mampir sebentar kok,” paparnya. “Oh gitu. Padahal lama juga gak apa-apa, Hel.” Aku tersenyum seraya duduk di sampingnya Kuakui Rachel sangat cantik, dengan dandanan yang soft dan penampilan elegannya. Jujur, sebagai wanita aku pun suka padanya, tapi sebelum kutahu dia adalah pelakor. Setelah tahu semuanya, boro-boro suka. Menatap wajah sok polos dan lugunya
Setelah Rachel pulang, aku meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Berada di ruangan yang sama dengan wanita itu saja cukup membuatku gerah, apalagi sampai harus berlibur bersama. Tidak akan pernah terjadi, mana mungkin aku mau pergi dengan wanita yang sudah merusak rumah tanggaku. Jam menunjukkan pukul 11.15 WIB, aku meletakkan paperbag pemberian Rachel, setelahnya bersiap sebentar kemudian bergegas menjemput Lintang, aku sengaja membawakan baju ganti untuknya agar bisa langsung berangkat tanpa kembali ke rumah lebih dulu. Aku pergi dengan taksi online karena sedang malas menyetir. Jalanan tidak terlalu padat, tak butuh waktu lama untuk sampai ke sekolah Lintang. Segera kuhampiri Lintang yang tampak sedang menungguku. “Sayang…” Kupeluk tubuhnya dengan perasaan cinta, dia balas memelukku. Kuamati wajahnya yang terlihat lesu. “Lintang kenapa, Nak?” tanyaku yang menangkap ada sesuatu tidak beres terjadi dengannya. “Gak apa-apa, Bun,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tahu betul Linta
Namaku Kelana Maharani, seorang anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal, dan ibunya pergi dengan lelaki lain. Aku dibesarkan oleh nenekku yang juga sudah berpulang satu tahun lalu karena sakit. Usiaku tiga puluh satu tahun, dan sudah menikah dengan Heru Bratajaya Atmaja, lelaki yang sangat aku cintai juga mencintaiku. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Lintang Utami Atmaja. Saat ini, Lintang berusia delapan tahun. Ibu meninggalkan ayah karena tak mau hidup miskin, ia memilih pergi dengan pria kaya. Ayah selalu berpesan, agar aku tak menjadi wanita seperti ibu. Ayah juga mendidikku untuk tak memandang orang dari status sosial, maupun latar belakang ekonominya. Karena semua manusia sama di hadapan sang pencipta, begitu pesannya yang selalu kuingat sampai sekarang. Aku tergolong anak yang cerdas, ulet, juga pantang menyerah. Selama sekolah sampai kuliah, selalu mendapat beasiswa. Mulanya, hidupku dan nenek sangat kekurangan, apalagi setelah Ayah
Perkataan Mas Heru masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kuputuskan meminta maaf padanya, karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Rencanaku tak boleh gagal. “Mas, yang tadi malem, Lana minta maaf,” lirihku. Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, Mas Heru tak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk memasang dasi, seolah aktivitas tersebut lebih menarik daripada berbicara denganku. “Mas...,” panggilku lembut. “Hmmm?” Aku memeluk Mas Heru dari belakang, menyandarkan kepala ke punggung yang dulu menjadi favoritku. Mas Heru belum bereaksi, setelah kueratkan dekapa