Setelah Rachel pulang, aku meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Berada di ruangan yang sama dengan wanita itu saja cukup membuatku gerah, apalagi sampai harus berlibur bersama. Tidak akan pernah terjadi, mana mungkin aku mau pergi dengan wanita yang sudah merusak rumah tanggaku.
Jam menunjukkan pukul 11.15 WIB, aku meletakkan paperbag pemberian Rachel, setelahnya bersiap sebentar kemudian bergegas menjemput Lintang, aku sengaja membawakan baju ganti untuknya agar bisa langsung berangkat tanpa kembali ke rumah lebih dulu.
Aku pergi dengan taksi online karena sedang malas menyetir. Jalanan tidak terlalu padat, tak butuh waktu lama untuk sampai ke sekolah Lintang. Segera kuhampiri Lintang yang tampak sedang menungguku.
“Sayang…” Kupeluk tubuhnya dengan perasaan cinta, dia balas memelukku. Kuamati wajahnya yang terlihat lesu. “Lintang kenapa, Nak?” tanyaku yang menangkap ada sesuatu tidak beres terjadi dengannya.
“Gak apa-apa, Bun,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku tahu betul Lintang sedang menutupi sesuatu, senyumnya pun terlihat sangat terpaksa. “Yaudah kalau Lintang belum mau cerita, gak apa-apa. Tapi, Lintang harus tahu Bunda selalu siap dengerin semua cerita Lintang, semuanya.” Aku menatap lekat wajahnya, kukecup keningnya sekilas, dan kugandeng tangannya. “Kita ke mall yuk,” ajakku.
Barulah kulihat Lintang tersenyum. Matanya berbinar mendengar ajakanku. Kami berjalan beriringan, menuju mall ibukota untuk menghabiskan uang Mas Heru.
Tiga puluh menit kemudian, kami tiba di mall terbesar ibukota. Seragam Lintang sudah berganti menjadi pakaian biasa yang tadi aku siapkan. Mataku menatap ke segala penjuru, mencari keberadaan dua sahabatku.
Dua wanita yang amat kukenal melambaikan tangan seraya berjalan ke arahku. Kami berpelukan sejenak, setelahnya memutuskan makan siang lebih dulu, karena Lintang sudah merengek kelaparan.
Siang ini, aku menghabiskan waktu dengan anak dan dua sahabat wanitaku—Mega, dan Sherina.
“Bantuin gue pilih emas yuk,” ajakku pada keduanya.
“Hayu,” jawab mereka bersamaan.
Selepas makan siang kami berkeliling ke beberapa toko emas, mereka bergantian memberiku saran. Akhirnya, pilihanku jatuh pada sebuah kalung berikut liontinnya, serta gelang dan cincin, aku juga membeli satu set perhiasan untuk Lintang. Setelah itu, beralih ke showroom mobil, aku melihat-lihat beberapa mobil keluaran terbaru. Pilihanku jatuh pada mobil listrik jenis hyundai loniq lima.
Senyum puas terbit dari bibirku. Setelah rumah yang dijanjikan Mas Heru kudapat, aku akan segera membawa Lintang pergi. Rasanya sudah tak tahan tinggal satu atap dengannya.
“Lan, tumben lo belanja banyak banget,” ujar Sherina
“Sengaja, daripada uang suamiku dikasih ke perempuan lain,” kekehku.
“Heru selingkuh?”
Aku memberi isyarat pada Mega dan Sherina agar tak bicara apa pun. Aku tidak ingin Lintang mendengar hal-hal yang tak patut di dengar. Mereka mengangguk patuh.
Sebelum pulang, Lintang ingin beli boneka, aku pun membelikan boneka super besar untuknya. Tepat pukul 16.30 WIB, kami berpisah. Aku dan Lintang pulang lebih awal. Lintang terlihat sangat bahagia. Momen itu kugunakan untuk menanyai anakku perihal kejadian yang tadi sempat membuatnya sedih.
“Sayang, tadi kenapa sedih?”
“Delia, Bun.”
Delia, aku ingat tadi Rachel sempat menyebut nama itu. Apa mungkin Lintang dan anak Rachel satu sekolah?
“Delia siapa?” tanyaku.
“Temen Lintang di sekolah. Tadi Delia bilang, katanya sebentar lagi dia bakal punya papa, tapi nama papanya sama dengan ayah.”
Aku diam beberapa saat, mencerna ucapan Lintang. Kalau benar yang mengatakan itu Delia anak Rachel, bukan tidak mungkin jika Mas Heru dan Rachel berencana menikah. Kalau tidak, mengapa bocah kelas tiga SD bisa bicara begitu? Kepalaku sedikit berdenyut, memikirkan setiap kemungkinan yang bisa terjadi. Namun, sebisa mungkin terlihat tenang di hadapan Lintang.
“Mungkin, cuma namanya yang sama sayang, Lintang jangan sedih lagi ya.” Aku berusaha menghiburnya.
“Lintang gak mau punya ayah yang sama dengan Delia, Bun,” ucap Lintang.
“Kenapa?” tanyaku mencari tahu.
“Delia jahat, Lintang gak suka,” adunya.
Mendengar pengaduan Lintang, tekadku untuk berpisah dengan Mas Heru semakin bulat. Aku tak lagi punya alasan mempertahankan rumah tangga dengannya.
***
Malam harinya, aku mendekati Mas Heru yang sedang bersandar di kepala ranjang seraya menatap ponsel. Dia melirik sebentar, dan meletakkan ponselnya kemudian memelukku. Kami berpelukan cukup lama. Hingga Mas Heru melepas dekapannya dan menatapku. “Gimana shoppingnya?”
“Asyik.” Antusias sekali aku mengatakannya, lebih tepatnya pura-pura antusias. “Makasih ya, Mas, udah izinin Lana beli semua yang Lana mau,” imbuhku.
“Sama-sama, sayang.” Mas Heru mengecup keningku. “Paperbag di atas tempat tidur punya siapa?” tanyanya.
Netraku beralih menatap paperbag yang tadi kuletakkan di sisi ranjang. “Rachel. Tadi Rachel ke sini ngasih oleh-oleh, katanya habis dari Paris,” jawabku.
“Jadi, itu bingkisan dari Rachel?”
“Iya.”
Aku dapat melihat Mas Heru tersenyum tipis saat mengetahui bingkisan tersebut dari Rachel. Aku menatap sinis ke arahnya. “Lana ko natapnya gitu?” Mas Heru menjauhkan wajahnya, sepertinya ia risih ditatap demikian.
“Gak papa sih, penasaran aja kenapa Mas senyum-senyum.”
“Rachel baik ya,” ujarnya tiba-tiba.
“Baik sih, tapi Lana kurang suka, dia nyebelin,” ungkapku.
“Kok nyebelin?”
Aku menceritakan apa yang Rachel katakan saat datang ke rumah siang tadi. Sekalian melihat bagaimana respon Mas Heru menanggapi kelakuan selingkuhannya yang sangat menyebalkan.
“Gak usah didengerin. Lagian emang bener kan, Lana di rumah aja dan gak kerja.”
Sudah kuduga, dia kan membela Rachel dan memaklumi semua hal yang wanita itu katakan. Karena sudah terlanjur, aku melanjutkan penyelidikan terselubung.
“Iya, tapikan gak seharusnya Rachel ngomong gitu, Mas, Lana sama dia bukan temen deket. Lagian Lana baik ke Rachel juga karena dia teman Mas Heru,” pungkasku.
“Lana, di dunia ini gak semua hal harus terjadi sesuai keinginan kita. Menurut Mas, Rachel gak salah. Dia gak bermaksud menyinggung Lana, dia cuma mengutarakan isi kepalanya aja. Jadi, Lana gak perlu menyikapinya dengan berlebihan.”
“Ya iya, tapi tetep aja Lana kurang sreg sama sifatnya.”
“Gak boleh gitu sayang. Rachel baik tahu, coba deh Lana lebih deket sama dia.”
“Baik apaan, toxic iya,” gumamku.
Mas Heru mendengar gumaman itu. Ia seperti tak senang saat aku mengatakan bahwa Rachel toxic. Aku tak peduli, toh itu pandanganku terhadapnya.
“Lana, jangan begitu ke Rachel. Dia udah baik sama keluarga kita. Lana harus inget, kalau Rachel temen Mas.”
Mas Heru semakin terang-terangan membela Rachel, itu membuatku semakin ingin segera meminta surat tanah dan bangunan yang dijanjikannya tadi pagi.
“Mas kok belain Rachel terus sih?!”
“Bukan begitu, Lana. Mas cuma gak suka Lana begitu ke orang. Kalau Lana mau temenan sama Rachel, Mas yakin banyak hal yang bisa Lana pelajari dari dia. Mulai dari gimana cara jadi ibu rumah tangga yang produktif, sampai cara merawat diri.”
Mas Heru berbicara seolah aku tak produktif dan tak bisa merawat diri. Sepertinya aku harus membawa Mas Heru ke dokter mata, karena aku yakin ada yang salah dengan penglihatannya. “Oh, jadi maksud Mas Lana gak bisa merawat diri dan gak produktif?” tanyaku dengan nada tak santai.
“Bukan gitu maksud Mas, Lana.”
“Terus apa? Tadi Mas ngomong seolah-olah Lana gak produktif dan gak bisa merawat diri, terus Mas minta Lana temanan sama Rachel supaya bisa belajar dari dia,” sungutku.
“Lana jangan emosi dulu.” Mas Heru memegang kedua pundakku, ia berusaha meredam emosiku yang sudah meluap-luap. Aku jarang sekali marah, tapi sekali marah bisa langsung meledak-ledak.
“Udah lah, Mas, Lana mau tidur aja. Gak mood dengerin Mas yang terus-terusan bela dan muji-muji Rachel.” Aku merebahkan diri dan memunggungi Mas Heru. Kudengar ia menghela napas panjang dan ikut berbaring di sampingku.
“Laki-laki egois,” batinku.
Dari ekor mataku, kulihat Mas Heru masih terjaga sembari memainkan ponselnya. Dia pasti sedang berbalas pesan dengan Rachel.
“Tidur Mas, udah malem. Main Hp terus,” sungutku.
“Sebentar lagi, masih ngurusin kerjaan.”
Tuhan…, aku ingin sekali membanting ponsel itu berikut dengan pemiliknya.
“Kerjaan apa kerjaan?” tanyaku sarkas.
“Kerjaan.”
“Kerjaan apa sampe malem begini?”
“Jadi istri gak usah banyak tanya. Dibanding Rachel, hidup kamu jauh lebih enak. Tinggal duduk manis, terus nerima uang dari suami. Gak perlu capek-capek kerja!” ketusnya padaku. “Kalau masih banyak tanya dan ikut campur, jangan harap permintaan kamu Mas penuhi!”
Namaku Kelana Maharani, seorang anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal, dan ibunya pergi dengan lelaki lain. Aku dibesarkan oleh nenekku yang juga sudah berpulang satu tahun lalu karena sakit. Usiaku tiga puluh satu tahun, dan sudah menikah dengan Heru Bratajaya Atmaja, lelaki yang sangat aku cintai juga mencintaiku. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Lintang Utami Atmaja. Saat ini, Lintang berusia delapan tahun. Ibu meninggalkan ayah karena tak mau hidup miskin, ia memilih pergi dengan pria kaya. Ayah selalu berpesan, agar aku tak menjadi wanita seperti ibu. Ayah juga mendidikku untuk tak memandang orang dari status sosial, maupun latar belakang ekonominya. Karena semua manusia sama di hadapan sang pencipta, begitu pesannya yang selalu kuingat sampai sekarang. Aku tergolong anak yang cerdas, ulet, juga pantang menyerah. Selama sekolah sampai kuliah, selalu mendapat beasiswa. Mulanya, hidupku dan nenek sangat kekurangan, apalagi setelah Ayah
Perkataan Mas Heru masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kuputuskan meminta maaf padanya, karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Rencanaku tak boleh gagal. “Mas, yang tadi malem, Lana minta maaf,” lirihku. Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, Mas Heru tak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk memasang dasi, seolah aktivitas tersebut lebih menarik daripada berbicara denganku. “Mas...,” panggilku lembut. “Hmmm?” Aku memeluk Mas Heru dari belakang, menyandarkan kepala ke punggung yang dulu menjadi favoritku. Mas Heru belum bereaksi, setelah kueratkan dekapa
“Lana, Mas mau minta izin untuk menikah dengan Rachel.” Selama beberapa saat, aku terdiam. Mencerna kata demi kata yang terucap dari bibirnya. Sempat terbesit dalam pikiran, bahwa Mas Heru hanya mengerjaiku. Tapi, kulihat wajahnya sangat serius, tak ada unsur humor di sana. Saat itulah aku sadar, malam ini akan menjadi malam paling indah sekaligus menyedihkan dalam hidupku. Nada bicaranya pelan, namun berhasil memporak-porandakkan hati dan jiwaku. Aku limbung, penglihatanku mengabur. Kulepas dekapannya, dan mundur beberapa langkah. Langkah kaki yang tak seimbang membuatku terjatuh. Mas Heru bergegas membantu, segera kutepis tangannya dengan kasar seraya berusaha meredam tangis. Aku tak mau menangis di hadapannya. Namun, rasa sakit ini tak lagi mampu disembunyikan. Sekuat apa pun aku menahan, bulir bening itu keluar juga, mengalir deras membasahi kedua pipiku. “Sayang, Lana gak perlu khawatir. Mas akan tetap menjamin dan memenuhi semua kebutuhan Lana.” Plak! Tangan kiriku mendarat
Aku Heru Bratajaya Atmaja, orang-orang memanggilku Heru. Seorang pengusaha food and bavarage (FnB) yang cukup sukses, memiliki banyak restoran dengan lebih dari dua puluh cabang di berbagai kota. Malam ini, tepat di hari ulang tahun pernikahan aku mengajak Kelana ke salah satu restoran. Aku sudah menyiapkan makan malam romantis, berikut dengan kado istimewa untuknya. Kelana, dia istriku. Istri yang kunikahi atas dasar cinta. Aku berpikir pernikahan kami akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Sosok masa lalu yang kembali hadir, membuatku perlahan enggan menatapnya. Sosok tersebut adalah Rachel, cinta pertamaku sedari SMP. Kami bertemu di acara reuni kampus. Tubuhnya sangat aduhai. Seksi dan terawat, wajahnya cantik, lebih cantik dari istriku. Mulanya aku biasa saja, hanya merespons seperlunya bahkan ketika Rachel mengajak bicara dan menatapku, karena sekarang situasi dan kondisinya sudah berbeda, tidak seperti dulu. Malam hari setelah acara tersebut, sebuah pesan dari nomor tak dik
“Kelana, lo kenapa?” Aku mendongakkan wajah. Mataku bertemu dengan netra hitam milik Daffa. Kulihat Daffa berdiri dengan payung ditangannya, payung itu melindungi tubuhku dari derasnya hujan. Dia memandang iba ke arahku. Aku risih dengan caranya menatapku, segera kupalingkan wajah untuk menghindari kontak mata dengannya. “Lo kenapa?” Dia mengulang pertanyaan yang sama, seraya berjongkok di hadapanku. Aku hanya menggelang, berharap dia tak bertanya lagi. Namun, aku salah besar. Perhatiannya masih terpusat padaku, membuatku ingin segera pergi dari sana. Naasnya, seluruh energiku seperti terkuras habis, aku tak punya kekuatan bahkan untuk sekadar berdiri. “Gue bantu,” ucapnya saat melihatku hendak berdiri namun tertatih. “Gak usah, gue bisa sendiri,” jawabku dengan bibir bergetar. Beruntungnya, Daffa tak memaksa. Ia hanya menatapku dengan raut antara bingung dan kasihan. Entah mengapa, aku paling tidak suka ditatap demikian, apalagi oleh
Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memikirkan Lintang dan kehidupan kami setelah ini. Hingga terdengar suara adzan subuh berkumandang, saat itulah aku bergegas membersihkan diri. Pagi ini aku akan menjemput anakku, membawanya keluar dari rumah Mas Heru. Sudah cukup menuruti ego, sekarang saatnya menata hidup baru, dengan semangat yang juga baru, demi putriku.“Kelana, masih pagi banget lho ini, lo mau ke mana?” Pertanyaan Daffa menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatapnya yang tampak baru selesai melaksanakan salat, terlihat dari setelan yang ia gunakan, baju koko dan sarung.“Ada urusan,” jawabku singkat.“Urusan apa? Maksud gue, ini masih terlalu pagi, bahaya keluar sendiri.”“Gapapa Daff, gue udah biasa.”Aku tetap bersikeras keluar rumah, meskipun dia melarang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut. Lagi-lagi, Daffa menghentikan langkahku.“Lo boleh pergi. Tapi izinin gu
Namaku Daffa Mahendra, pemilik perusahaan penerbitan bergengsi yang kerap diincar para penulis untuk menerbitan karyanya. Selain kredibilitas, seleksi yang ketat menjadi tantangan sendiri bagi mereka yang memang bersungguh-sungguh. Hari-hariku disibukkan dengan mengelola perusahaan, memastikan semuanya baik-baik saja, dan berjalan sesuai rencana. Aku seorang yatim piatu, memiliki satu adik perempuan, dan belum menikah. Ibuku meninggal saat melahirkan adikku, sementara ayah, beliau sudah tiada sejak aku kecil. Malam ini, aku baru kembali dari kantor saat hari sudah gelap. Pekerjaan yang menumpuk, membuatku pulang larut. Suara guntur bersahut-sahutan, disusul rintik hujan yang mulai terlihat membasahi kaca mobilku. Aku bergegas memacu mobil, ingin segera sampai rumah dan merebahkan diri, lelah sekali rasanya. Jalanan tampak sepi, hanya ada beberapa pengendara yang terlihat. Wajar saja, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, terlebih hujan turun dengan derasanya. Dari balik
Kulihat Lintang memeluk boneka beruangnya dengan erat. Seolah tak mengizinkan Mas Heru atau siapa pun mengambilnya. Mas Heru tampak tersenyum, aku yakin dia berpikir Lintang mau ikut bersamanya. Seraya menggigit bibir bawah, aku menunggu jawaban Lintang dengan harap-harap cemas. Sebagai Ibu, tentu aku ingin Lintang ikut denganku. Namun, aku tak mau mengintervensi. Aku ingin dia memilih berdasarkan hati nurani.Lintang menatapku dan Mas Heru bergantian, mungkin dia bingung, apa yang terjadi pada orang tuanya? Mengapa harus memilih salah satunya?“Lintang mau sama Ayah Bunda.”Jawaban Lintang membuat mataku berair. “Maaf, Nak, karena keputusan Bunda, Lintang jadi harus memilih satu,” batinku.Aku menyejajarkan tinggiku dengannya. Kutatap mata bulatnya dalam, seraya mengelus pipi chubynya lembut. “Sayang, Ayah sama Bunda udah gak bisa sama-sama lagi,” ucapku.“Kenapa, Bunda?” tanyanya.Pe