Share

Demi Lintang

Namaku Kelana Maharani, seorang anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal, dan ibunya pergi dengan lelaki lain. Aku dibesarkan oleh nenekku yang juga sudah berpulang satu tahun lalu karena sakit. Usiaku tiga puluh satu tahun, dan sudah menikah dengan Heru Bratajaya Atmaja, lelaki yang sangat aku cintai juga mencintaiku. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Lintang Utami Atmaja. Saat ini, Lintang berusia delapan tahun.

Ibu meninggalkan ayah karena tak mau hidup miskin, ia memilih pergi dengan pria kaya. Ayah selalu berpesan, agar aku tak menjadi wanita seperti ibu. Ayah juga mendidikku untuk tak memandang orang dari status sosial, maupun latar belakang ekonominya. Karena semua manusia sama di hadapan sang pencipta, begitu pesannya yang selalu kuingat sampai sekarang.

Aku tergolong anak yang cerdas, ulet, juga pantang menyerah. Selama sekolah sampai kuliah, selalu mendapat beasiswa. Mulanya, hidupku dan nenek sangat kekurangan, apalagi setelah Ayah meninggal. Kami tinggal di sebuah kontrakan tiga petak, yang apabila hujan airnya akan menerobos masuk ke dalam. Namun, sejak aku lulus dan bekerja dengan gaji lumayan, aku berhasil mengubah kehidupan kami dengan membelikan Nenek rumah yang lebih layak.

Tak berselang lama, Nenek meninggal. Aku tinggal sendiri dan merasa kesepian. Aku hanya menghabiskan waktu untuk bekerja, tak memikirkan hal lainnya. Pagi sampai sore bekerja, malamnya istirahat, paginya berangkat kerja lagi, begitulah seterusnya. Sampai akhirnya, oleh teman kantor aku dikenalkan dengan Mas Heru.

Jatuh bangunnya hidup membuatku sulit percaya pada siapa pun. Bagiku, lelaki terbaik di dunia hanya ayah. Maka saat ayah meninggal, aku tak percaya pada laki-laki manapun, termasuk Mas Heru.

Kuakui Mas Heru adalah pria yang baik, perhatian, mapan, dan tampan. Namun, aku yang bisa melakukan semuanya sendiri, merasa tak perlu sosok lelaki. Prinsipku menjadi tantangan sendiri bagi Mas Heru. Ia membutuhkan banyak waktu untuk membuktikan, sampai akhirnya aku mulai bisa menerima kehadirannya. Singkat cerita, kami pacaran dan menikah.

Di hari pernikahan, ibuku datang dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dia kabur dari kejaran debt collector, akibat hutang yang menumpuk. Terlepas dari dia yang sudah menyakiti ayah dan menelantarkanku, dia tetap ibuku. Bukannya di dunia ini tidak ada mantan ibu?

Aku tak setega itu membiarkan ibuku kesulitan. Akhirnya, kuputuskan menjual rumah. Lagipula, setelah menikah aku tinggal dengan Mas Heru, jadi tidak apa-apa jika rumah itu dijual. Ya, meskipun berat karena di dalamnya terdapat banyak kenangan. 

Hasil penjualan rumah kuberikan pada ibu, aku berpesan agar uang itu dipergunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Selain itu, aku juga meminta ibu untuk tak lagi menemuiku. Aku sudah memaafkannya, hanya saja ada hal-hal yang sangat menyakitkan dan tak bisa kulupakan. Ibuku setuju, sejak saat itu dia menghilang, aku tak pernah lagi melihatnya.

Kembali padaku dan Mas Heru. Aku dan Mas Heru menikah atas dasar cinta dan kesiapan. Makanya, hidupku pun sangat bahagia, apalagi sejak kehadiran Lintang. Lintang semakin membuat cinta di antara kami tumbuh subur.

Sejak menikah, Mas Heru memintaku resign dari pekerjaan dan fokus mengurus rumah, anak dan dirinya. Aku menurut saja, karena dia melakukan itu untuk kebaikanku. Padahal saat itu karirku sedang bagus-bagusnya, aku baru saja naik jabatan. Kulepas semuanya demi menghormati Mas Heru sebagai suami.

Pernikahan kami berlimpah kebahagiaan. Mas Heru selalu memperlakukanku dengan baik, tak pernah sekalipun ia membentak atau memarahiku. Caranya menegur saat aku berbuat salah pun sangat romantis.

Suatu hari, dia mengajakku ikut ke acara reuni kampusnya. Di sana, aku bertemu teman-teman Mas Heru, baik pria maupun wanita. Ada satu wanita yang kuketahui bernama Rachel, tengah memperhatikan suamiku. Ada yang aneh dengan wanita itu, ia seperti berusaha menarik perhatian Mas Heru. Padahal, sudah jelas tangan Mas Heru memeluk pinggangku.

Karena terganggu, aku mengajak Mas Heru pergi, saat itulah aku bertanya tentang siapa sebenarnya Rachel.

“Mas, Rachel kenapa lihatin kamu terus?”

“Emang iya? Mas gak tahu, sayang.”

“Iya Mas, natapnya gitu banget lagi. Kayak singa kelaperan,” aduku.

“Hust! Gak boleh gitu, nanti kedengeran orangnya gak enak.”

“Emangnya kamu sama dia ada hubungan apa?”

Percakapan itu berakhir sebelum Mas Heru menjawab pertanyaanku, karena tiba-tiba Rachel sudah berada di belakang kami. Ia tersenyum sembari membawa kue coklat kesukaan Mas Heru. Sebagai istri, tentu aku terganggu melihat pemandangan itu. Untungnya, Mas Heru tak menerima pemberiannya dan malah menarikku menjauh.

Dua minggu setelah acara reuni, hal yang tak biasa terjadi. Di Minggu pagi, aku mendapati Mas Heru sudah rapi dengan baju kerjanya. Melihat itu aku langsung bertanya, “Mas mau kemana?”

“Mas harus kerja, Lana.”

“Hari Minggu begini?”

“Iya sayang. Mas minta maaf ya, gak bisa nemenin Lana sama Lintang.”

“Gak biasanya Mas hari Minggu ke kantor?”

“Ada meeting penting yang gak bisa ditunda,” jawabnya kala itu.

“Kan anak buah Mas banyak, kenapa gak minta tolong mereka?”

“Lana, ini penting,” ucapnya.

Setelah itu, aku tak bertanya lagi. Semua berjalan seperti biasa, dia mengecup keningku dan aku mencium punggung tangannya. Aku tak menaruh curiga sedikitpun, kalau Mas Heru bilang kerja, ya berarti dia memang bekerja. Namun, minggu depannya hal itu kembali terjadi, bahkan kali ini Mas Heru berangkat lebih pagi dari biasanya.

“Lho Mas, bukannya Mas udah janji mau ajak Lana sama Lintang jalan-jalan?” tanyaku tak terima.

“Maafin Mas ya, kerjaan di kantor lagi banyak banget, gak bisa ditinggal.”

“Mas kan punya banyak anak buah, kenapa apa-apa dikerjain sendiri?” Aku melontarkan pertanyaan yang sama seperti minggu sebelumnya.

“Sayang, Mas mohon pengertiannya ya. Setelah selesai, Mas janji bakal langsung pulang. Nanti kita makan malam sama-sama,” bujuknya padaku.

Lagi-lagi aku percaya, bahkan tetap memilih percaya saat kudapati Mas Heru menggunakan sandi di ponselnya dengan alasan supaya lebih aman. Padahal Lintang sudah besar, tak mungkin juga berani mengotak-atik ponsel ayahnya, lagipula anakku sudah punya ponsel sendiri. Sementara aku, selama menjadi istri Mas Heru tak pernah sekalipun kepo dengan benda itu. Aku bukan wanita posesif yang suka mengecek ponsel suami. Beda cerita dengan Mas Heru yang membatasi ruang gerakku, bahkan ia memintaku untuk tak berkomunikasi dengan laki-laki manapun.

Kejanggalan demi kejanggalan semakin terasa. Apalagi saat aku membaca tangkapan layar status W******p Mas Heru yang tak bisa kulihat di ponselku. Hari itu juga kuputuskan untuk mengikutinya. Kecurigaannku terbukti. Mas Heru main belakang dengan perempuan lain, perempuan yang kutemui saat acara reuni kala itu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku, lebih dari sekadar hancur.

Disaat bersamaan, ada Daffa yang membantuku. Dia juga bertanya apa yang terjadi. Namun, aku memilih menutup semuanya rapat-rapat. Masalah rumah tanggaku, biarlah menjadi urusanku.

Waktu berlalu begitu cepat, sebentar lagi adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke sembilan. Aku sudah merencanakan banyak hal, salah satunya mengeruk harta Mas Heru. Namun, sesuatu yang buruk terjadi, Mas Heru marah hingga mengancam tak akan memberikan rumah dan sertifikat tanah yang dijanjikan.

Aku kembali memutar otak, dan lagi-lagi harus menekan ego sampai ke dasar. Semua yang kulakukan demi Lintang. Kadang-kadang, berpura-pura bodoh jauh lebih baik, daripada menanyakan sesuatu yang sudah jelas kebenarannya. Aku hanya perlu sabar sebentar lagi, karena gegabah sedikit saja, masa depan Lintang jadi taruhannya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri sampah klu kaysk gini. pantasnya jadi babu
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
lh janda baru sibuk nak ngrus penampilan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status