Share

Ulang Tahun Pernikahan

Perkataan Mas Heru masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kuputuskan meminta maaf padanya, karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Rencanaku tak boleh gagal.

            “Mas, yang tadi malem, Lana minta maaf,” lirihku.

            Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, Mas Heru tak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk memasang dasi, seolah aktivitas tersebut lebih menarik daripada berbicara denganku.

            “Mas...,” panggilku lembut.

            “Hmmm?”

            Aku memeluk Mas Heru dari belakang, menyandarkan kepala ke punggung yang dulu menjadi favoritku. Mas Heru belum bereaksi, setelah kueratkan dekapanku, barulah ia merespons.

            “Iya, Mas maafin. Jangan diulangin lagi ya, sayang,” pintanya. Aku mengangguk mantap. Tentu saja, setelah ini aku tak akan peduli apa pun tentangnya lagi.

            “Yaudah, Mas berangkat kerja dulu.” Dia melepaskan tanganku yang masih melingkari pinggangnya.

            “Mas lupa ya?” Aku memasang tampang pura-pura kecewa.

            Mas Heru terlihat mengingat sesuatu, kemudian tersenyum lebar seraya mengacak rambut panjangku dengan gerakan lembut. “Mas gak lupa sayang. Nanti malam kita dinner ya, Mas punya kejutan buat Lana.”

            Aku pura-pura senang mendengarnya. Kukecup pipi kirinya untuk menyempurnakan sandiwaraku. Dia tersenyum lebar kemudian mendaratkan ciuman singkat di bibirku. Kami saling menatap sejenak. Kuselami netra yang dulu jernih bak telaga. Sekarang, semuanya terlihat keruh, tak lagi ketemukan kejujuran di sana.

            Tanpa terasa, bulir bening menggumpal di pelupuk mataku. Mas Heru yang menyadari hal itu, bertanya dengan nada khawatir. “Lana kenapa sayang? Ada yang sakit?”

            Aku menggeleng keras. “Lana cuma gak nyangka, udah mau sembilan tahun kita sama-sama,” jawabku dengan suara bergetar.

            Tanpa bisa dicegah, bulir bening itu lolos dengan derasnya, bersamaan dengan luka dan rasa sakit yang selama ini kutahan. Mas Heru kebingungan, kedua ibu jarinya mengusap pipiku dengan gerakan lembut.

            “Terima kasih sayang, terima kasih udah temenin Mas selama ini. Maaf belum bisa jadi suami dan ayah yang baik buat Lana dan Lintang,” ungkapnya.

            “Mas Heru yang terbaik.” Aku tersenyum tipis, sembari menatap dalam bola matanya. “Tapi dulu,” batinku. Mas Heru terlihat bahagia, mungkin ia berpikir aku bicara jujur, padahal semua yang kukatakan hanya rekayasa. Kami saling melontarkan ucapan terima kasih.

            Bertepatan dengan itu, suara ponsel Mas Heru terdengar memekakan telinga. Ia menyambar benda tersebut, dan bergegas pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku menatap nanar kepergiannya, sangat yakin bahwa seseorang di balik panggilan itu adalah Rachel.

            “Mas, tasnya ketinggalan,” teriakku sambil berjalan cepat mengejar Mas Heru yang sudah tak terlihat.

            Di ruang makan, sudah ada Lintang yang tengah menunggu kami. Aku tersenyum dan mengecup pipinya. “Pagi, sayang.”

            “Pagi, Bunda.”

            “Sebentar ya, Bunda ke Ayah dulu,” pamitku.

            Mas Heru sudah hendak masuk ke mobilnya, hingga suaraku menghentikan langkahnya yang tampak buru-buru. “Mas…”

            “Ya, Lana?” sahutnya tanpa menatapku.

            “Buru-buru banget, ini tasnya, tadi ketinggalan.”

            “Astaga, Mas sampe lupa.”  Mas Heru mengambil tas yang kuberikan. Wajahnya tampak tegang, tak seceria sebelum menerima telepon. Pikiranku sibuk menerka-nerka, apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa Mas Heru terlihat gusar?

            “Mas pamit, ya,” ucapnya.

            Sebelum dia benar-benar menghilang, aku memanggilnya. “Are you okay?

            “Mas baik-baik aja, Lana. Sampai ketemu nanti malam,” ujarnya seraya mengerlingkan mata.

            Kutatap wajahnya penuh selidik. Semuanya terlihat jelas di sana, Mas Heru tengah menyembunyikan sesuatu dariku. Namun, aku memilih membiarkan saja, pura-pura percaya.

            “Oke. Di tempat biasa, kan?”

            “Iya sayang, jangan lupa dandan yang cantik. Nanti Mas kirimin dress, ya,”

            Aku mengangguk. Setelahnya, Mas Heru berpamitan dan hilang dari pandangan. Aku sudah menunggu hari ini dan memikirkan semuanya matang-matang. Keputusan untuk berpisah pun sudah bulat, tak lagi bisa diubah.

            “Bun, Lintang berangkat sekolah dulu, ya.” Suara Lintang membuyarkan lamunanku.

            “Iya sayang, belajar yang rajin ya, nurut sama Ibu Guru,” pesanku.

            Lintang tersenyum. Ia mencium punggung tanganku lembut. “Iya Bunda.”

            Setelahnya, Lintang berangkat sekolah. Aku menatap kepergiannya dengan senyum tipis. Pikiranku berkecamuk, memikirkan bagaimana perasaannya jika sampai tahu kalau aku dan Mas Heru akan berpisah. Sanggupkah aku menjelaskan semuanya pada Lintang?

            “Kamu harus kuat Kelana, demi Lintang,” gumamku menguatkan diri.

***

            Setelah melaksanakan ibadah salat isya, aku memoles wajah dengan riasan tipis. Aku ingin tampil cantik, sesuai permintaan Mas Heru. Dress panjang berwarna marun, menempel sempurna ditubuh rampingku. Tak lupa, rambut panjang yang biasanya tergerai begitu saja, malam ini disanggul dengan menyisakan helaian tipis di sisi kanan dan kirinya.

            Aku sudah selesai bersiap. Sebelum pergi, kutatap pantulan diriku di depan cermin sekali lagi. “Sempurna,” pujiku pada diri sendiri seraya memakai high heels berwarna senada.

            Mobil jemputan yang dikirim Mas Heru sudah tiba. Aku masuk ke dalamnya dengan langkah anggun. Tanpa banyak bicara, sang sopir membawaku ke tempat tujuan.

            Tak sampai tiga puluh menit, mobil tersebut berhenti di salah satu restoran milik Mas Heru. Pelayan di sana menyambut kehadiranku dengan hangat. “Selamat malam, Bu.”

“Malam. Bapak belum datang?” tanyaku.

            “Belum Bu, mungkin sebentar lagi. Bapak berpesan supaya Ibu menunggu,” ucap pelayan itu memberitahu.

            “Baik.”

            Aku menunggu Mas Heru di ruangan yang berada di lantai teratas restoran itu. Gemerlapnya ibukota, terlihat jelas dari posisiku saat ini. Lilin dan buket bunga mawar berukuran besar, serta hidangan pembuka sudah tersaji di atas meja. Aromatherapy yang sangat menyegarkan menusuk indera penciumanku. Cahaya temaram semakin menambah kesan romantis, aku cukup takjub dengan kejutan yang disiapkan Mas Heru.

            Aku mendekat dan mencium bunga tersebut, menghirup aromanya dalam-dalam, sebuah catatan tertulis di sana. “Terima kasih untuk sembilan tahunnya, istriku.”

            Saat itulah sebuah tangan besar melingkari pinggangku, tangan itu hangat, sehangat kecupan singkatnya di pundakku. “I love you Kelana Maharani,” ucap Mas Heru lembut.

            Ungkapan cintanya menggetarkan jiwaku. Kalau saja tak ingat pengkhianatannya, sudah tentu aku menjadi wanita paling bahagia saat ini. “Terima kasih, Mas.”

            “Mas ada hadiah buat Lana,” ungkapnya seraya mengeluarkan kotak beludru dari saku, dan membuka kotak tersebut.

            Sebuah kalung berlian, terlihat berkilau. Aku tak percaya Mas Heru memberikan hadiah tersebut untukku. “Ini buat Lana, Mas?”

Mas Heru mengangguk. Tangan besarnya mengambil benda tersebut, dan memasangkan tepat di leherku. Bersamaan dengan itu, alunan musik syahdu terdengar. Belum selesai keterkejutanku dengan pemberiannya, Mas Heru mengajakku berdansa, benar-benar di luar kebiasaannya.

Dengan gerakan alakadarnya, kami berdansa mengikuti alunan musik. Mas Heru tak henti menatapku. Tatapannya dalam dan menggetarkan. Aku nyaris berpikir ulang untuk berpisah darinya, hatiku kembali luluh karena perlakuan itu. “Lana cantik banget,” ucapnya lembut.

Aku tersipu melihat caranya melihatku malam ini. “Mas juga tampan,” pujiku.

Kami sama-sama hanyut dengan perasaan bahagia di hati masing-masing. Hingga Mas Heru mengatakan sesuatu yang membuat kakiku lemas seketika, tak bisa lagi menopang tubuh, dan akhirnya terjatuh.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Mude
paling benci terhalang kunci
goodnovel comment avatar
Mude
ceritanya bagus banget
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
suami mapan dan tampan tapi kau selama ini berpenampilan kayak babu. pantas aja diselingkuhi. salah sendiri terlalu penurut jafi g ada tantangan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status