Share

Tamu Tak Diundang

Aku menemui Rachel yang masih berada di teras. Entah apa tujuannya datang ke rumahku. Lihat saja, kalau dia macam-macam, aku tak akan segan-segan membuat perhitungan.

“Eh, Rachel. Sini masuk!” ajakku pada Rachel. Jika mengikuti kata hati, tentu yang ingin kuucapkan adalah umpatan dan kalimat-kalimat kasar.

“Makasih, Lan.” Rachel mengikutiku dari belakang.

Suaranya terdengar sangat menjengkelkan. Aku membayangkan jika suara itu yang kerap kali didengar suamiku saat tak berada di rumah. Ingin sekali kurusak pita suaranya.

“Duduk, mau minum apa? Biar aku buatin,” tanyaku berusaha terlihat seramah mungkin.

“Eh gak usah, aku cuma mampir sebentar kok,” paparnya.

“Oh gitu. Padahal lama juga gak apa-apa, Hel.” Aku tersenyum seraya duduk di sampingnya

Kuakui Rachel sangat cantik, dengan dandanan yang soft dan penampilan elegannya. Jujur, sebagai wanita aku pun suka padanya, tapi sebelum kutahu dia adalah pelakor. Setelah tahu semuanya, boro-boro suka. Menatap wajah sok polos dan lugunya saja aku jijik.

“Sebenenarnya emang pengin lama, tapi hari ini gak bisa, banyak kerjaan. Lain kali deh ya.” Senyum lebar terbit di bibirnya.

“Oke. By the way kamu cantik, gak ada niat punya pasangan kah? Aku yakin, pria lajang di luar sana banyak yang mau sama kamu.” Aku sengaja mengatakan hal itu, agar ya minimal dia sadar dan tak mengganggu laki-laki yang berstatus sebagai suami orang.

Aku pernah bertanya pada Mas Heru, sebagai lelaki apakah tak tertarik pada Rachel? Waktu itu dia menjawab, ‘Yang Mas nikahi itu kamu Lana, bukan Rachel.’ Aku yang memang terlalu cinta, percaya saja dengan apa yang dia katakan, sama sekali tak punya pikiran kalau saat itu sedang dibohongi.

“Aku gak kepikiran ke arah sana, Lan. Pernah sih, tapi…” Dia menjeda kalimatnya, dan menatapku dalam. Aku menunggu dengan sabar apa yang akan dia katakan selanjutnya. Isi kepalaku sudah ke mana-mana.

“Tapi apa?” potongku karena Rachel tak kunjung melanjutkan ucapannya.

“Laki-lakinya nikah sama perempuan lain. Setelah itu sempet sih deket sama beberapa cowok, tapi gak sreg. Akhirnya pisah. Sampe yang terakhir, udah hampir nikah, tapi ya gitu doi malah selingkuh. Setelahnya aku males. Jadi sekarang mau fokus besarin Delia sama bahagiain diri sendiri aja,” jelasnya panjang lebar.

Batinku meronta, pintar sekali dia menciptakan narasi seolah menjadi wanita yang paling tersakiti. Apa tadi katanya? Fokus membesarkan anak dan membahagiakan diri sendiri? Bulshit!

“Kasihan sekali kamu.” Aku pura-pura bersimpati, meskipun di dalam hati kesal setengah mati. “Semoga suatu saat, kamu ketemu laki-laki single yang tulus mencintai kamu dan anak kamu ya,” lanjutku.

Dia tersenyum sembari mengaminkan doaku. Doa yang sengaja kuucap agar dia sadar, bahwa bahagia dengan merebut kebahagiaan orang lain itu tidaklah benar.

Thanks, Lan.”

“Sama-sama.”

“Kamu di rumah sendiri?” Matanya menatap sekeliling rumahku yang sepi.

“Sama ART, seperti biasa,” jawabku mengedarkan pandangan.

Sebenarnya, aku sudah ingin mengusir Rachel. Karena jujur, jika terlalu lama melihat wajahnya, aku takut kelepasan. Tanganku sudah gatal ingin mengacak-acak parasnya sejak tadi.

“Kalau aku jadi kamu sih gak bakalan betah, pasti kesepian,” ungkapnya.

“Kalau udah ngerasa kesepian, ya aku ke luar. Lagipula, aku menikmati peran ini,” balasku.

“Syukurlah. Kasihan kamu kalau di rumah terus, pasti jenuh dan bosen, apalagi kamu juga gak punya kesibukan selain ngurus rumah, suami, dan anak. Beda sama aku, aku kerja dari pagi sampe malem buat nyambung hidup. Eh sori, Lan, kelepasan curhat,” ujarnya seraya terkekeh pelan.

Aku tak baper dengan ucapannya. Kuanggap itu bentuk ketertarikannya pada hidupku. Hidupku yang sempurna di luar, namun bobrok di dalam.

“Kamu ada perlu apa ke sini?” tanyaku yang sudah mulai tak nyaman dengan kehadirannya.

“Oh iya, hampir aja lupa.” Rachel memberikan paperbag berukuran cukup besar padaku. “Aku habis ke Paris, itu ada sedikit hadiah buat kamu, Heru, sama Lintang,” sambungnya.

Aku mengambil paperbag itu dan mengintip isinya. Aroma baju baru menyeruak dari dalam paperbag tersebut. Sontak aku tersenyum tipis, seraya mengucapkan terima kasih. “Terima kasih, Rachel. Seharusnya gak perlu repot-repot.”

Sebuah asumsi bahwa uang yang digunakan Rachel adalah uang Mas Heru, melintas di benakku. Setelah ini, aku harus mencari bukti perselingkuhan mereka yang lain. Feelingku mengatakan, struk belanja kemarin hanya sebagian kecil saja, pasti masih banyak yang Mas Heru sembunyikan dariku.

“Gak repot kok. Kebetulan aku habis liburan sama temen-temen, pas lagi beli oleh-oleh keinget kalian, jadi aku beliin aja sekalian.”

“Wah! Kamu baik banget, makasih ya.”

“Sama-sama. Kelana, boleh aku ngomong sesuatu?”

Nada bicara Rachel menjadi serius. Aku membenarkan posisi duduk, kemudian mengangguk. Dia menyentuh punggung tanganku, dan tersenyum simpul. “Heru itu laki-laki yang baik, kamu beruntung punya suami seperti dia.”

Apa maksud Rachel bicara begitu? Apa dia mau mengambil alih posisiku? Jika memang iya, silakan saja, aku tak keberatan. Mas Heru memang baik, baik dalam menyimpan kebohongan. Beruntung? Beruntung apanya? Aku merasa akan lebih beruntung jika berpisah dengannya.

“Hehe iya. Kamu mau punya suami seperti Mas Heru?” Kulontarkan pertanyaan yang langsung tepat sasaran.

“Apa masih ada? Kalau ada, kenapa enggak,” jawabnya sambil terkekeh.

“Pasti ada,” ucapku.

“Dulu, aku sama Heru itu deket banget. Ke mana-mana bareng. Temen-temen seangkatan ngiranya kita pacaran. Makanya, mereka kaget waktu tahu Heru nikahnya sama cewek lain. Ya, karena memang sedekat itu.”

Aku tahu ke mana arah pembicaraan Rachel. Dia ingin memanas-manasiku dengan menunjukkan betapa dekatnya ia dengan Mas Heru dulu. Jika berpikir aku akan cemburu, dia salah besar karena aku sama sekali tak merasakan itu.

“Oh ya?” Aku pura-pura antusias.

“Iya. Selain baik, Heru juga romantis. Dia selalu kasih kejutan. Barang-barang pemberian Heru masih aku simpan sampe sekarang, banyakkkk banget.” Matanya berbinar mengatakan itu.

Rachel masih terus bercerita, berbagai peristiwa dan momen yang pernah terjadi di antara mereka, hampir semuanya diceritakan Rachel padaku. Alhasil. Kata mampir sebentar doang tidak lagi relevan dengan realita yang ada.

“Kok bisa ya, dari aku pindah ke kamu? Yang aku tahu, standar Heru itu tinggi. Dia suka cewek pinter, berkelas, modis, elegan, dan yang paling penting cantik.”

Brengsek! Aku mengumpat dalam hati. Kalau begini sih sudah jelas, Rachel mau menghinaku. Secara tidak langsung dia merasa jauh lebih baik daripada aku.

“Buktinya yang sekarang dinikahi aku kan, bukan kamu? Kalau sudah jodoh, standar yang sudah dibuat sedemikian rupa, gak ada artinya,” balasku.

“Eh, maaf kalau kamu tersinggung. Aku gak bermaksud…”

“Santai, I’m fine,” potongku.

Aku melihat Rachel menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Udah jam 11 nih. Aku harus jemput Delia, aku pulang dulu ya, Lan,” pamitnya sambil memelukku.

Aku membalas pelukannya kemudian mengantar sampai depan rumah. “Kapan-kapan kita liburan bareng yuk,” ajaknya sebelum pergi.

Netranya fokus ke arahku, menanti jawaban. Aku berpikir sejenak, mencari jawaban yang tepat agar dia tak bertanya lagi dan segera pulang. “Aku bilang Mas Heru dulu ya.” Jawaban paling klasik, sekaligus aman menurutku. 

“Sekalian sama Heru juga. Jadi kita liburannya berlima.” Dia terlihat sangat antusias.

“Lihat nanti deh ya, Mas Heru sibuk banget akhir-akhir ini,” tolakku halus.

“Iya sih. Kalau lagi cepek kerja, Heru suka banget dibuatin minuman kunir asem, bikin badan jadi enak katanya.”

Fakta yang baru kutahu selama delapan tahun pernikahan. Selama ini, Mas Heru tak pernah bilang apa pun, apalagi minta dibuatkan minuman tadi, sama sekali tidak pernah. Sebenarnya, ada hubungan apa Mas Heru dan Rachel di masa lalu? Mengapa tamu tak diundang ini seperti banyak tahu tentang suamiku?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Wanita yg kuat adalah yg mampu menyembunyikan sakit hatinya. Sedangkan wanita bar- bar menunjukkan pribadi yg jelek.Kelana bermain cantiklah kamu .
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
anjing kau lana, kebanyakan gaya. jadi nikmati ajalah hinaan itu. g berkualitas banhet jadi istri
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau dg semua drama mu lana keledai
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status