Sebagai istri dan seorang ibu, aku akan lebih dulu mementingkan anak dan suami, daripada diriku sendiri. Berpura-pura terlihat bahagia, serta menutupi fakta menyakitkan dengan tawa adalah keahlianku. Pagi ini, aku sudah bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Kutatap wajah Mas Heru yang masih terlelap, sambil terus bertanya-tanya, mengapa dia mendua?
Setelah puas menatapnya, aku beranjak dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk membantu Mbok Iyem menyiapkan sarapan dan keperluan mereka.
Pukul setengah tujuh lebih lima menit, Mas Heru bergabung denganku dan Lintang di meja makan.
“Pagi cantiknya Ayah, pagi sayang,” sapa Mas Heru pada kami.
“Pagi, Ayah.”
“Pagi, Mas.”
Dia tersenyum lembut ke arahku, wajahnya nampak sumringah seperti orang yang baru saja menang lotre. Aku yakin, semua hal yang terjadi dengan Mas Heru selalu ada kaitannya dengan wanit pelakor itu.
“Oh iya, Mas, jangan lupa hadiah yang Lana minta ya.” Aku mengingatkan.
“Iya sayang, Lana tenang aja. Doain semoga rezeki Mas lancar terus, supaya Lana bisa beli apa pun yang Lana mau.” Manis sekali ucapannya, mengalahkan madu dicampur gula merah, ditambah gula pasir, plus diberi susu. Mendengarnya saja aku ingin muntah.
“Iya Mas,” jawabku singkat.
Mas Heru beralih menatap Lintang, mengusap pelan pucuk kepalanya. “Lintang udah sehat, sayang?”
“Sudah, Ayah.”
“Di sekolah jangan jajan sembarangan ya, nanti demam lagi,” ucap Mas Heru mewanti-wanti.
Lintang hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat itulah Mbok Iyem tiba, ia membawakan segelas kopi hitam tanpa gula dan memberikannya pada Mas Heru.
“Makasih, Mbok.”
“Sama-sama, Pak.”
Tak lama berselang, Lintang berangkat sekolah diantar sopir pribadi keluarga kami. Semua berjalan seperti biasa, tak ada perubahan apapun yang kuperlihatkan pada Mas Heru, selain karena apa yang kumau belum terwujud, ada hal lain yang sedang berusaha kujaga. Yakni, suasana hatinya.
Kuperhatikan wajah suamiku yang sejak tadi tak henti tersenyum. Aku berpikir, sepertinya ini saat yang tepat meminta hal lain, mumpung suasana hati Mas Heru tengah dalam kondisi baik.
“Mas, hari ini Lana mau ke mall sama temen-temen, boleh ya Lana beli emas?” tanyaku padanya.
“Tumben, biasanya Lana gak suka pake begituan.” Dia menatapku sebentar.
“Bukan gak suka, tapi emang Mas yang gak pernah ngasih uang lebih buat beli begituan,” sinisku.
Dulu, aku selalu berusaha berpikir positif, saat Mas Heru tak pernah mengizinkanku membeli ini dan itu dengan alasan perilaku konsumtif. Selain karena aku sangat mencintainya, aku juga merasa tak butuh semua itu. Namun sekarang, aku tak mau lagi terlalu bucin, ada Lintang yang harus kupikirkan masa depannya.
“Lana jangan begitu dong. Yaudah, Mas transfer sekarang ya. Sepuluh juta cukup?”
“Cukup.”
Mas Heru mengotak-atik ponselnya sebentar, setelahnya meletakkan benda itu di atas meja. “Udah masuk ya, sayang.”
“Makasih, Mas,” ucapku basa-basi
“Sama-sama. Lana harus tahu, kalau uang Mas uang Lana juga.”
Manisnya ucapan Mas Heru, sangat-sangat tidak sesuai dengan apa yang selama ini terjadi. Tapi, mumpung dia sedang membahas uang, aku berniat meminta setengah dari gajinya setiap bulan. Biarkan saja, salah siapa mendua.
“Kalau gitu, Lana minta setengah dari gaji Mas ditransfer ke rekening Lana setiap bulan, ya. Sekarang kan apa-apa mahal, kebutuhan meningkat. Jadi, udah seharusnya uang dapur juga meningkat,” selorohku.
Dahinya mengernyit, mungkin bingung mengapa tiba-tiba aku membahas sesuatu yang sebelumnya tak pernah kupermasalahkan. Aku tak peduli, yang jelas yang perlu kulakukan saat ini adalah mengeruk harta Mas Heru sebanyak mungkin.
“Gimana?” tanyaku.
“Mas setuju. Tapi, boleh Mas tanya sesuatu?” ujarnya sembari menatap intens ke arahku.
Aku mengangguk. Posisi kami berhadapan, sehingga aku dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajahnya saat ini. Antara rela dan tidak, jika lima puluh persen gajinya diberikan padaku.
“Siapa yang ngajarin Lana jadi perempuan matre?”
“Matre?” aku mengulang kata terakhir dari pertanyaannya.
“Iya. Dulu Lana gak begini.”
Otakku berpikir keras, mencari jawaban yang pas agar ia tak curiga. Senyumku mengembang kala menemukan jawaban itu. Kuambil punggung tangannya, dan kukecup dengan mesra.
“Lana cuma gak mau Mas malu. Selama ini, tetangga sering banget bisik-bisik, ngatain Mas pelit. Gara-gara Lana selalu nolak kalau diajak shopping dan gak pake banyak emas,” terangku dengan wajah sendu.
Kubuat semuanya terlihat senatural mungkin. Semoga Mas Heru percaya dengan kebohonganku. Raut wajahnya mengeras, seperti tengah menahan amarah. Aku paham betul, Mas Heru ini tipe laki-laki yang akan langsung tersulut, jika harga dirinya tersentil. Lihat saja, ia langsung mengeluarkan kartu nasabah prioritas dari dompetnya.
“Ini, beli apa pun yang Lana mau.” Dia memberikan kartu tersebut padaku.
Dalam hati aku bersorak, ternyata dia terpancing dengan segala narasi yang kukarang. Kuambil kartu tersebut seraya mencium punggung tangannya sekali lagi. “Terima kasih, suamiku.”
“Sama-sama. Kalau perlu, Lana beli mobil model terbaru, habis itu kita adain syukuran dan undang semua tetangga. Biar mereka tahu, siapa Mas sebenarnya.” Dia menyombongkan diri.
Aku semakin girang mendengar itu. Tentu saja, kesempatan ini tak boleh kulewatkan. Aku akan membeli mobil, dan barang-barang berharga lainnya. Setidaknya, ada yang bisa kuambil darinya sebelum memutuskan berpisah.
“Iya, Mas, nanti Lana beli mobil.”
“Yaudah, Mas berangkat dulu, ya.”
“Yuk, Lana anter ke depan.”
Kami berjalan beriringan. Aku mengantarnya sampai teras. Sebelum benar-benar pergi, dia mengecup keningku sekilas.
“Lana baik-baik di rumah. Jangan lupa jemput Lintang, satu lagi...”
“Jangan sering-sering ngerumpi sama tetangga,” selaku yang sudah hapal betul pesan Mas Heru saat hendak berangkat kerja.
Mas Heru terkekeh pelan. “Pinter,” ucapnya sambil mencolek hidungku.
Setelah aku mencium punggung tangannya, kami berpisah. Mas Heru berangkat kerja dan aku mengurus rumah.
Hal pertama yang kulakukan adalah mencuci baju. Aku melakukannya sembari bersenandung riang. Saat hendak memindahkan pakaian Mas Heru ke mesin cuci, ada struk belanja yang jatuh dari saku celananya. Aku mengambil struk belanja itu dan melihatnya. Mataku terbuka sempurna kala melihat nominal yang tertera. Mas Heru membeli tas dan perhiasan dengan harga puluhan juta rupiah.
“Brengsek!” umpatku.
Tadi, enak sekali dia mengataiku matre. Padahal Rachel lebih matre. Lihat saja, dia berani minta dibelikan perhiasan dan tas dengan harga fantastis, jauh dengan aku yang sebelum ini tak pernah menuntut ini itu.
Kartu nasabah prioritas yang ada digenggamanku, kupegang dengan erat. Aku akan menggunakannya lebih dari nominal yang diberikan Mas Heru pada Rachel. Naluriku sebagai istri Mas Heru, merasa tersinggung, aku tak boleh diam lagi. Akan kuambil apa yang menjadi hakku. Kupastikan, Rachel dan Mas Heru akan mendapat balasan setimpal atas perlakuan mereka terhadapku.
“Buk…” Suara Mbok Iyem mengalihkan perhatianku.
“Iya Mbok, kenapa?” tanyaku.
“Di depan ada perempuan, katanya temen Bapak.”
“Siapa?”
“Namanya Rachel.”
“Rachel? Mau apa dia ke sini?”
Aku menemui Rachel yang masih berada di teras. Entah apa tujuannya datang ke rumahku. Lihat saja, kalau dia macam-macam, aku tak akan segan-segan membuat perhitungan. “Eh, Rachel. Sini masuk!” ajakku pada Rachel. Jika mengikuti kata hati, tentu yang ingin kuucapkan adalah umpatan dan kalimat-kalimat kasar. “Makasih, Lan.” Rachel mengikutiku dari belakang. Suaranya terdengar sangat menjengkelkan. Aku membayangkan jika suara itu yang kerap kali didengar suamiku saat tak berada di rumah. Ingin sekali kurusak pita suaranya. “Duduk, mau minum apa? Biar aku buatin,” tanyaku berusaha terlihat seramah mungkin. “Eh gak usah, aku cuma mampir sebentar kok,” paparnya. “Oh gitu. Padahal lama juga gak apa-apa, Hel.” Aku tersenyum seraya duduk di sampingnya Kuakui Rachel sangat cantik, dengan dandanan yang soft dan penampilan elegannya. Jujur, sebagai wanita aku pun suka padanya, tapi sebelum kutahu dia adalah pelakor. Setelah tahu semuanya, boro-boro suka. Menatap wajah sok polos dan lugunya
Setelah Rachel pulang, aku meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Berada di ruangan yang sama dengan wanita itu saja cukup membuatku gerah, apalagi sampai harus berlibur bersama. Tidak akan pernah terjadi, mana mungkin aku mau pergi dengan wanita yang sudah merusak rumah tanggaku. Jam menunjukkan pukul 11.15 WIB, aku meletakkan paperbag pemberian Rachel, setelahnya bersiap sebentar kemudian bergegas menjemput Lintang, aku sengaja membawakan baju ganti untuknya agar bisa langsung berangkat tanpa kembali ke rumah lebih dulu. Aku pergi dengan taksi online karena sedang malas menyetir. Jalanan tidak terlalu padat, tak butuh waktu lama untuk sampai ke sekolah Lintang. Segera kuhampiri Lintang yang tampak sedang menungguku. “Sayang…” Kupeluk tubuhnya dengan perasaan cinta, dia balas memelukku. Kuamati wajahnya yang terlihat lesu. “Lintang kenapa, Nak?” tanyaku yang menangkap ada sesuatu tidak beres terjadi dengannya. “Gak apa-apa, Bun,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tahu betul Linta
Namaku Kelana Maharani, seorang anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal, dan ibunya pergi dengan lelaki lain. Aku dibesarkan oleh nenekku yang juga sudah berpulang satu tahun lalu karena sakit. Usiaku tiga puluh satu tahun, dan sudah menikah dengan Heru Bratajaya Atmaja, lelaki yang sangat aku cintai juga mencintaiku. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Lintang Utami Atmaja. Saat ini, Lintang berusia delapan tahun. Ibu meninggalkan ayah karena tak mau hidup miskin, ia memilih pergi dengan pria kaya. Ayah selalu berpesan, agar aku tak menjadi wanita seperti ibu. Ayah juga mendidikku untuk tak memandang orang dari status sosial, maupun latar belakang ekonominya. Karena semua manusia sama di hadapan sang pencipta, begitu pesannya yang selalu kuingat sampai sekarang. Aku tergolong anak yang cerdas, ulet, juga pantang menyerah. Selama sekolah sampai kuliah, selalu mendapat beasiswa. Mulanya, hidupku dan nenek sangat kekurangan, apalagi setelah Ayah
Perkataan Mas Heru masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kuputuskan meminta maaf padanya, karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Rencanaku tak boleh gagal. “Mas, yang tadi malem, Lana minta maaf,” lirihku. Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, Mas Heru tak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk memasang dasi, seolah aktivitas tersebut lebih menarik daripada berbicara denganku. “Mas...,” panggilku lembut. “Hmmm?” Aku memeluk Mas Heru dari belakang, menyandarkan kepala ke punggung yang dulu menjadi favoritku. Mas Heru belum bereaksi, setelah kueratkan dekapa
“Lana, Mas mau minta izin untuk menikah dengan Rachel.” Selama beberapa saat, aku terdiam. Mencerna kata demi kata yang terucap dari bibirnya. Sempat terbesit dalam pikiran, bahwa Mas Heru hanya mengerjaiku. Tapi, kulihat wajahnya sangat serius, tak ada unsur humor di sana. Saat itulah aku sadar, malam ini akan menjadi malam paling indah sekaligus menyedihkan dalam hidupku. Nada bicaranya pelan, namun berhasil memporak-porandakkan hati dan jiwaku. Aku limbung, penglihatanku mengabur. Kulepas dekapannya, dan mundur beberapa langkah. Langkah kaki yang tak seimbang membuatku terjatuh. Mas Heru bergegas membantu, segera kutepis tangannya dengan kasar seraya berusaha meredam tangis. Aku tak mau menangis di hadapannya. Namun, rasa sakit ini tak lagi mampu disembunyikan. Sekuat apa pun aku menahan, bulir bening itu keluar juga, mengalir deras membasahi kedua pipiku. “Sayang, Lana gak perlu khawatir. Mas akan tetap menjamin dan memenuhi semua kebutuhan Lana.” Plak! Tangan kiriku mendarat
Aku Heru Bratajaya Atmaja, orang-orang memanggilku Heru. Seorang pengusaha food and bavarage (FnB) yang cukup sukses, memiliki banyak restoran dengan lebih dari dua puluh cabang di berbagai kota. Malam ini, tepat di hari ulang tahun pernikahan aku mengajak Kelana ke salah satu restoran. Aku sudah menyiapkan makan malam romantis, berikut dengan kado istimewa untuknya. Kelana, dia istriku. Istri yang kunikahi atas dasar cinta. Aku berpikir pernikahan kami akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Sosok masa lalu yang kembali hadir, membuatku perlahan enggan menatapnya. Sosok tersebut adalah Rachel, cinta pertamaku sedari SMP. Kami bertemu di acara reuni kampus. Tubuhnya sangat aduhai. Seksi dan terawat, wajahnya cantik, lebih cantik dari istriku. Mulanya aku biasa saja, hanya merespons seperlunya bahkan ketika Rachel mengajak bicara dan menatapku, karena sekarang situasi dan kondisinya sudah berbeda, tidak seperti dulu. Malam hari setelah acara tersebut, sebuah pesan dari nomor tak dik
“Kelana, lo kenapa?” Aku mendongakkan wajah. Mataku bertemu dengan netra hitam milik Daffa. Kulihat Daffa berdiri dengan payung ditangannya, payung itu melindungi tubuhku dari derasnya hujan. Dia memandang iba ke arahku. Aku risih dengan caranya menatapku, segera kupalingkan wajah untuk menghindari kontak mata dengannya. “Lo kenapa?” Dia mengulang pertanyaan yang sama, seraya berjongkok di hadapanku. Aku hanya menggelang, berharap dia tak bertanya lagi. Namun, aku salah besar. Perhatiannya masih terpusat padaku, membuatku ingin segera pergi dari sana. Naasnya, seluruh energiku seperti terkuras habis, aku tak punya kekuatan bahkan untuk sekadar berdiri. “Gue bantu,” ucapnya saat melihatku hendak berdiri namun tertatih. “Gak usah, gue bisa sendiri,” jawabku dengan bibir bergetar. Beruntungnya, Daffa tak memaksa. Ia hanya menatapku dengan raut antara bingung dan kasihan. Entah mengapa, aku paling tidak suka ditatap demikian, apalagi oleh
Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memikirkan Lintang dan kehidupan kami setelah ini. Hingga terdengar suara adzan subuh berkumandang, saat itulah aku bergegas membersihkan diri. Pagi ini aku akan menjemput anakku, membawanya keluar dari rumah Mas Heru. Sudah cukup menuruti ego, sekarang saatnya menata hidup baru, dengan semangat yang juga baru, demi putriku.“Kelana, masih pagi banget lho ini, lo mau ke mana?” Pertanyaan Daffa menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatapnya yang tampak baru selesai melaksanakan salat, terlihat dari setelan yang ia gunakan, baju koko dan sarung.“Ada urusan,” jawabku singkat.“Urusan apa? Maksud gue, ini masih terlalu pagi, bahaya keluar sendiri.”“Gapapa Daff, gue udah biasa.”Aku tetap bersikeras keluar rumah, meskipun dia melarang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut. Lagi-lagi, Daffa menghentikan langkahku.“Lo boleh pergi. Tapi izinin gu