Share

Rencana

Tanpa banyak bicara, Daffa mengikuti arahanku untuk mengikuti mobil Mas Heru. Sampai akhirnya, mobil tersebut berhenti di sebuah mall ibukota. Mereka turun, begitupun aku dan Daffa. Aku berjalan dengan tergesa, tak mau sampai ketinggalan jejak.

“Lan, ini sebenernya ada apa, sih?” bisik Daffa yang berjalan di sampingku.

“Mending lo balik aja, Daff. Makasih ya udah dianterin,” selaku agar dia tak bertanya lebih banyak.

“Lo yakin gak mau gue temenin?”

“Yakin, Daff,” jawabku. Aku tak mau masalah rumah tanggaku diketahui orang lain, sekalipun itu temanku.

 “Yaudah, lo hati-hati, kalau butuh bantuan, telepon gue,” ucap Daffa yang kubalas dengan anggukan singkat.

Tiga manusia yang sedari tadi menjadi fokusku, masuk ke butik. Aku mengendap-endap mengikuti mereka, tak lupa kuabadikan momen tersebut. Rachel dan anaknya tampak memilih pakaian, sementara Mas Heru tersenyum lebar ke arah mereka. Sungguh, aku sangat muak melihatnya.

“Awas kamu, Mas!” geramku sembari mengepalkan tangan.

Bukan apa-apa, Mas Heru ini tipe suami yang tidak terlalu royal. Dia selalu melarangku membeli pakaian, atau barang-barang mewah dengan alasan boros. Tapi lihat, bukannya membahagiakan istri dan anak di rumah, dia malah pergi bersama wanita lain.

Hampir dua jam mereka berada di mall, tak ada satu pun aktivitas yang luput dari perhatianku. Berbelanja, bermain di game master, sampai makan siang. Aku menyaksikan semuanya sambil membayangkan wajah anakku yang tadi sempat kecewa karena kelakuan ayahnya.

Jika mengikuti naluri sebagai istri, keinginanku saat ini hanya satu. Meluapkan kemarahan dan kekesalan pada dua manusia yang saat ini tengah bermesraan di hadapanku, dengan cara mencabik-cabik wajah mereka. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yakni, Lintang.

Kepalaku terus berputar, memikirkan cara untuk membalas perbuatan Mas Heru. Sebuah rencana terlintas dalam benakku, aku hanya perlu sabar sebentar agar rencana tersebut berjalan lancar.

Matahari mulai rebah, mereka keluar sembari menenteng banyak barang belanjaan. Aku masih setia mengekori dari belakang, seharian ini kuhabiskan waktuku untuk mencari kebenaran.

Dari mall, bertolak ke tempat lain. Mas Heru membawa Rachel ke sebuah rumah di kawasan elit. Rachel dan Mas Heru masuk, sementara anak kecil yang bersama mereka dibawa oleh seorang wanita paruh baya. Aku yang tak memiliki akses masuk, hanya bisa melihat dan menunggu dari kejauhan.

Pikiranku melanglangbuana, aku punya keyakinan mereka tengah melakukan sesuatu di dalam sana. Saat itulah ponselku berdering, nama Mbok Iyem terpampang di layar. Aku segera menjawab panggilan itu.

“Hallo, Mbok.”

“Buk, Non Lintang badannya panas, sepertinya demam” Suara Mbok Iyem terdengar panik, begitupun aku yang langsung meminta sopir taksi putar balik. “Saya pulang sekarang, Mbok,” ucapku.

“Pak, putar balik ya, buruan!” pintaku.

“Baik, Bu.”

Tak sampai lima belas menit, taksi yang kunaiki sudah tiba di depan rumah. Setelah mengucapkan terima kasih, aku turun dari mobil itu dalam keadaan panik dan segera berlari menuju kamar Lintang untuk mengecek kondisinya.

“Lintang kenapa, Nak?” Suhu tubuhnya sangat tinggi, buru-buru kutelepon dokter pribadi keluarga kami, namun tak diangkat.

“Ayah…ayah.” Lintang memanggil-manggil ayahnya dengan mata terpejam.

“Dari tadi manggil-manggil Bapak, Buk,” ucap Mbok Iyem.

Napasku tercekat. Aku menahan diri agar tak menangis. Segera kutelepon Mas Heru untuk memberitahu kondisi Lintang, namun ponselnya tidak aktif.

***

Malam hari sekitar pukul 22.00 WIB, suara mobil Mas Heru terdengar memasuki garasi. Aku menyambut seperti biasa, mencium tangan dan membawakan tas kantornya. Bersikap seolah tak terjadi apa-apa

“Malem banget pulangnya, Mas,” ucapku.

“Iya, nih, kerjaan kantor lagi banyak. Jadi terpaksa lembur.” Mas Heru melangkahkan kaki menuju kamar, dengan aku yang mengekorinya dari belakang.

“Kerjaan kantor, ya?” ulangku sembari meletakkan tas kerja Mas Heru.

“Iya sayang. Mas mandi dulu, ya,” pamitnya.

Sebelum melenggang ke kamar mandi. Mas Heru membuka baju tepat di depanku. Kulihat banyak sekali jejak kemerahan di dadanya. Aku menyipitkan mata, menelisik apakah penyebab dadanya menjadi kemerahan itu.

“Ini apa?” tanyaku sambil mengamati jejak tersebut dari dekat.

“Bukan apa-apa, cuma digigit semut,” ujarnya memberi penjelasan.

Aku tahu betul itu jejak yang ditinggalkan Rachel. Namun, memilih pura-pura bodoh dan percaya saja. Akan kuikuti semua permainannya.

“Oh semut.”

“Iya, sayang.”

“Kayaknya ini bukan semut biasa deh, Mas.”

Mas Heru menjauhkan tubuhnya dari jangkauanku dan segera masuk kamar mandi. Gerakannya seperti berusaha menghindar, tergesa dan takut aku bertanya lebih banyak. Aku belum bicara apa pun soal Lintang. Setelah dia selesai mandi, akan kuberitahukan semuanya, sekalian melihat bagaimana reaksi Mas Heru.

Sepuluh menit kemudian, Mas Heru sudah terlihat lebih segar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. “Hp Mas kenapa gak aktif?”

“Kehabisan daya, sayang.”

“Kehabisan daya atau sengaja dimatiin?”

Mas Heru melayangkan tatapan tak suka, sejurus kemudian aku tertawa. Tawa renyah yang membuatnya heran. “Bercanda, Mas,” sambungku.

Helaan napas lega terdengar dari bibirnya. Dia mencium keningku sekilas, kemudian merebahkan diri di atas ranjang dan kembali memainkan ponselnya. Ia lupa pada ajakan makan malam yang tadi pagi terlontar, aku pun tak berniat membahasnya.

“Tadi katanya hp Mas kehabisan daya?”

“Udah Mas charge di mobil,” jawabnya.

“Udah baca pesan Lana?”

Aku beringsut menyusulnya, merebahkan diri di samping laki-laki yang sudah delapan tahun menjadi suamiku. Rasanya seperti mimpi, meyaksikan Mas Heru bersama wanita lain. Pasalnya, setelah almarhum ayah, aku sangat yakin hanya dialah laki-laki yang bisa kupercaya.

“Udah. Lintang sakit apa?” tanyanya biasa saja.

“Demam. Badannya panas, tapi sekarang udah enggak.”

“Lain kali, jangan biarin dia jajan dan minum sembarangan. Lagi pancaroba begini, Lana sebagai ibu harus lebih siaga.”

“Lintang itu kangen sama ayahnya, saking kangennya sampe demam begitu,” selorohku.

Mas Heru menoleh sebentar ke arahku, kemudian kembali memfokuskan matanya pada layar, bersikap seolah tak percaya pada penjelasanku barusan.

“Bukan Lana yang bilang, tapi dokter Ardi,” lanjutku.

Tak ada sahutan, Mas Heru asyik bermain ponsel. Aku tahu dia tengah bertukar pesan. Astaga, ingin rasanya aku membanting ponsel Mas Heru saat ini juga.

“Mas, Lana boleh minta sesuatu?”

“Lana mau minta apa?”

“Boleh gak kalau di hari ulang tahun pernikahan nanti, Lana minta hadiah rumah beserta isinya?” Besok malam merupakan hari ulang tahun pernikahan kami yang ke sembilan, aku ingin meminta sesuatu yang tak biasa.

Suamiku yang tidak terlalu royal itu tampak terkejut. Dia ingin menolak, namun buru-buru kulanjutkan ucapanku sebelum lidahnya mengucapkan sebuah kata yang sudah kutahu kemana arahnya. “Selama ini kan Lana gak pernah minta apa pun.”

Bagi Mas Heru yang seorang pengusaha sukses, seharusnya rumah beserta isinya bukan hal yang sulit dia berikan. Tapi, karena dasarnya dia ini tidak terlalu royal, tentu saja itu menjadi sulit.

“Rumah? Untuk apa? Ini juga kan rumah Lana, sayang.”

“Untuk investasi, Mas.” Kujelaskan semua yang kuketahui soal investasi berikut keuntungannya. Mas Heru mengangguk-angguk, menyimak penjelasanku.

“Bagus. Yaudah, nanti Mas belikan.”

“Satu lagi Mas, semuanya atas nama Lana, ya,” pintaku.

Tanpa banyak bertanya, Mas Heru menyetujui. Aku tersenyum dan memeluknya. Jika saja bukan karena Lintang, jangankan memeluk, menatap wajahnya saja aku tak sudi.

“Akan kukeruk seluruh hartamu, Mas!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Jadi istri sekarang hrs cerdas berpikir utk masa depan anak. Jangan mudah dibodohi lelaki.
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
laki² anzieennkkk ama balangsakkk aja ceritanya, apa emang perempuan begitu tolol sekarang thor !!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status