Sebuah foto siluet tiga manusia yang tengah menatap senja dengan caption, Bahagia itu sederhana, sesederhana menatap senja dengan kalian, dua wanita yang kucinta, menjadi fokusku saat ini. Tangkapan layar status W******p Mas Heru yang dikirim teman beberapa menit lalu membuatku meradang. Darahku mendidih, pasalnya aku yakin betul foto di status tersebut bukanlah fotoku dan anak kami—Lintang. Buru-buru aku mengecek seluruh status W******p di ponselku, namun tak kudapati postingan itu.
Dalam situasi seperti ini, aku harus berpikir cerdas. Tak boleh buru-buru mengambil kesimpulan sebelum menemukan kebenarannya. Aku memilih pergi ke dapur untuk menenangkan diri, kebetulan besok adalah hari Minggu, saat yang tepat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan Mas Heru. Tentu saja dengan cara yang cantik agar ia tak bisa berkutik.
“Mas, besok, kan, hari Minggu, kita ke luar, yuk. Kasihan Lintang, dia kangen main sama ayahnya.” Aku membawakan segelas kopi sekalian mengajaknya ke luar esok hari.
Mas Heru masih sibuk dengan ponselnya. Bahkan, tak sedikitpun menatap ke arahku. “Mas…” Aku memanggilnya dengan suara yang kubuat selembut mungkin. Padahal, aku tengah menahan kesal setengah mati.
“Mas sibuk, Lana, ada meeting,” jawab Mas Heru tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
“Masa iya tiap hari Minggu meeting, Mas,” ungkapku pura-pura heran.
Tentu saja aku tak percaya, aku yakin ada sesuatu yang tengah ia tutupi, dan berkaitan dengan status tadi. Tapi, aku berusaha tenang. Aku kenal siapa suamiku, jika aku asal tuduh dia akan marah besar dan memakiku.
“Ya memang ada meeting. Ini klien penting, jadi gak bisa ditunda-tunda,” tolaknya dengan suara tenang.
“Baiklah,” balasku.
Tangan Mas Heru menyentuh pipiku lembut, kemudian mengecupnya singkat. Ia sudah menyimpan ponselnya di atas nakas. Saat hendak memelukku ponsel itu bergetar, buru-buru Mas Heru menyambar ponsel tersebut dan melupakan niatnya yang semula ingin menyentuhku. “Sebentar ya sayang,” ungkapnya.
Aku mengerucutkan bibir. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, tapi suamiku masih saja bermain ponsel dengan dalih mengurusi pekerjaan.
“Lana sayang...” panggilnya seraya memeluk pinggangku.
Aku berbalik menatap wajah Mas Heru dengan ekspresi malas. “Udah malem, Mas, masih aja ngurusin kerjaan!” ucapku tak suka.
“Iya sayang, maaf ya.” Mas Heru mencium keningku sembari membawa aku ke dalam dekapannya.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, Mas Heru sudah memejamkan mata. Kudengar suara dengkuran halus dari mulutnya. Tanganku terangkat menyentuh wajah Mas Heru. “Kalau sampai kecurigaanku terbukti, lihat saja kamu, Mas,” lirihku seraya menyelimuti tubuhnya.
Baru saja hendak menutup mata, kudengar ponsel Mas Heru bergetar beberapa kali. Karena penasaran, aku mengambil ponsel tersebut. Ada beberapa pesan dari nomor tak dikenal, saat hendak membuka pesan tersebut ponselnya terkunci. Aku baru tahu, Mas Heru mengunci ponselnya, biasanya ia tak pernah melakukan itu. “Aku semakin curiga sama kamu, Mas,” gumamku.
Selama delapan tahun pernikahan kami, Mas Heru tak pernah menggunakan pola atau sandi apa pun di ponselnya, begitupun aku. Kami selalu terbuka soal apa pun.
Aku menimbang-nimbang, sampai akhirnya kuambil ponsel Mas Heru diam-diam, kemudian memasukkan angka dan huruf kombinasi yang mungkin ia gunakan sebagai kata sandi. Namun nihil, tak ada satu pun yang berhasil. Karena tak ingin Mas Heru curiga, kuletakkan lagi ponsel tersebut dan berbaring di sampingnya dengan pikiran berkecamuk.
Keesokan harinya, aku menatap Mas Heru yang sedang sarapan. Lagi-lagi fokusnya selalu mengarah ke ponsel, hingga tak meladeni Lintang yang mengajaknya bicara.
“Mas, itu Lintang ngajak ngomong, mbok yo diladenin,” tegurku.
Barulah setelah itu Mas Heru meletakkan ponselnya dan memusatkan perhatian pada Lintang. “Tadi Lintang ngomong apa, Nak? Maaf ya Ayah gak dengerin.”
“Lintang mau main sama Ayah,” jawab Lintang dengan suara memohon.
“Sayang, hari ini Ayah gak bisa. Tapi minggu depan, Ayah janji bakal usahain supaya bisa main sama Lintang.”
“Yah….Lintang maunya hari ini. Elea sama ayah dan bundanya selalu jalan-jalan setiap hari Minggu. Lintang juga mau begitu,” ucap Lintang.
Aku tak tega melihat raut kecewa Lintang. Mas Heru pun tampak demikian, namun sepertinya pekerjaan kantor lebih penting dari apa pun. “Jangan sedih dong. Ayah kan kerja buat Lintang. Gini aja, nanti kalau Ayah pulang Lintang mau dibawain apa?” bujuk Mas Heru.
Lintang menggeleng, kucir kudanya bergoyang karena gelengan itu. “Lintang cuma mau main sama Ayah,” tuturnya.
“Iya sayang, Lintang sabar dulu ya.”
Aku semakin curiga dengan Mas Heru, dia punya banyak anak buah, tapi tetap saja mengurus banyak hal sendiri. “Mas, kenapa gak nyuruh anak buah Mas aja? Kenapa harus Mas yang pergi?” Saran sekaligus pertanyaan itu kulontarkan tanpa menatap wajahnya.
“Lana, bukannya kita sudah bicarakan soal ini semalam?”
“Iya, tapi Lintang kasihan, Mas.” Aku berusaha membujuknya agar tetap berada di rumah menemani Lintang.
Mas Heru bangkit dan mengajakku bicara di belakang. “Lana, tolong bantu Mas kali ini aja. Mas kerja keras begini buat kalian. Buat kebahagiaan Lana sama Lintang,” terangnya.
“Mas pulang jam berapa?” tanyaku setengah kesal.
“Belum tahu sayang. Mas usahain cepet ya, nanti kita makan malam berdua. Mau, kan?” ajaknya padaku yang kujawab dengan anggukan singkat.
Tepat setelah Mas Heru mengatakan itu, ponselnya bergetar, ia membaca pesan yang masuk dengan wajah gusar. Setelah itu, buru-buru memasukkan ponselnya kemudian bergegas pergi.
“Mas…” teriakku mengejarnya.
Mas Heru tak menjawab panggilanku. Ia benar-benar mengendarai mobilnya dan meninggalkan rumah kami. Aku segera mengambil kunci mobil, dan berbicara sebentar pada Lintang. Hari ini, aku berniat mencari tahu. Sudah banyak sekali kejanggalan yang terjadi dan membuatku curiga, aku harus segera mendapat jawabannya. “Kalau sampe kamu pergi bukan karena alasan pekerjaan, lihat saja kamu Mas!” geramku seraya mengikuti mobil tersebut.
Lima belas menit sudah aku mengikutinya, dan selama itu pulalah kecurigaanku kian terbukti. Pasalnya, jalan yang kulewati saat ini bukan jalan menuju kantor Mas Heru. “Mau ke mana kamu, Mas,” batinku.
Dua puluh menit kemudian, mobil Mas Heru berhenti di sebuah apartemen. Jantungku berdegup kencang, dalam hati bertanya-tanya siapa yang hendak Mas Heru temui di sini? Apa mungkin rekan kerjanya? Jika benar rekan kerjanya, maka setelah ini aku harus minta maaf dan sungkem pada Mas Heru.
Aku terus memantau dari jarak tak terlalu dekat. Sengaja, supaya tak ada yang curiga. Kulihat ia menelepon seseorang dengan wajah bahagia
Beberapa menit kemudian, aku melihat Rachel dan gadis kecil sebaya Lintang menemui Mas Heru. Mas Heru terlihat sumringah. Dia merangkul pinggang Rachel dengan mesra. Darahku mendidih, ingin sekali aku turun dan melabrak mereka. Berani-beraninya dia membohongiku. “Awas kalian berdua, sialan!” geramku.
Disaat seperti ini, menangis pun rasanya percuma. Lagipula, air mataku terlalu berharga untuk menangisi lelaki bajingan seperti Mas Heru. Aku tetap menggunakan logika dan akal sehat. Sehingga masih bisa berpikir jernih, tak kudatangi Mas Heru dan selingkuhannya. Aku hanya mengambil beberapa potret kebersamaan mereka.
Mobil Mas Heru meninggalkan apartemen itu. Aku kembali mengikutinya, aku ingin tahu kemana mereka akan pergi. Namun tiba-tiba, mobilku oleng. Aku menepikan mobil itu, kemudian turun untuk mengecek apa yang terjadi. Ternyata, kondisi ban mobilku tak bisa diajak bekerjasama. Kulihat ke kanan dan kiri, tak ada satupun bengkel yang terlihat. Kalau begini, pupus sudah harapanku untuk tahu lebih detail soal Mas Heru dan Rachel.
“Shit! Kempesnya gak bisa nanti aja apa?!” umpatku seraya menendang ban yang kempes.
Saat tengah berusaha mencari bantuan, sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di sampingku. Pengemudi mobil menurunkan kaca mobilnya dan menyapaku.
“Kelana…”
“Daffa! Kebetulan gue ketemu lo. Gue boleh nebeng?”
“Boleh, masuk.”
Aku meninggalkan mobilku dan masuk ke mobil Daffa, beruntung aku bertemu dia disaat seperti ini. “Daff, ikutin mobil di depan,” suruhku padanya.
“Kenapa?”
“Ikutin aja, nanti gue ceritain!”
Tanpa banyak bicara, Daffa mengikuti arahanku untuk mengikuti mobil Mas Heru. Sampai akhirnya, mobil tersebut berhenti di sebuah mall ibukota. Mereka turun, begitupun aku dan Daffa. Aku berjalan dengan tergesa, tak mau sampai ketinggalan jejak. “Lan, ini sebenernya ada apa, sih?” bisik Daffa yang berjalan di sampingku. “Mending lo balik aja, Daff. Makasih ya udah dianterin,” selaku agar dia tak bertanya lebih banyak. “Lo yakin gak mau gue temenin?” “Yakin, Daff,” jawabku. Aku tak mau masalah rumah tanggaku diketahui orang lain, sekalipun itu temanku. “Yaudah, lo hati-hati, kalau butuh bantuan, telepon gue,” ucap Daffa yang kubalas dengan anggukan singkat. Tiga manusia yang sedari tadi menjadi fokusku, masuk ke butik. Aku mengendap-endap mengikuti mereka, tak lupa kuabadikan momen tersebut. Rachel dan anaknya tampak memilih pakaian, sementara Mas Heru tersenyum lebar ke arah mereka. Sungguh, aku sangat muak melihatnya. “Awas kamu, Mas!” geramku sembari mengepalkan tangan. Bukan
Sebagai istri dan seorang ibu, aku akan lebih dulu mementingkan anak dan suami, daripada diriku sendiri. Berpura-pura terlihat bahagia, serta menutupi fakta menyakitkan dengan tawa adalah keahlianku. Pagi ini, aku sudah bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Kutatap wajah Mas Heru yang masih terlelap, sambil terus bertanya-tanya, mengapa dia mendua? Setelah puas menatapnya, aku beranjak dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk membantu Mbok Iyem menyiapkan sarapan dan keperluan mereka. Pukul setengah tujuh lebih lima menit, Mas Heru bergabung denganku dan Lintang di meja makan. “Pagi cantiknya Ayah, pagi sayang,” sapa Mas Heru pada kami. “Pagi, Ayah.” “Pagi, Mas.” Dia tersenyum lembut ke arahku, wajahnya nampak sumringah seperti orang yang baru saja menang lotre. Aku yakin, semua hal yang terjadi dengan Mas Heru selalu ada kaitannya dengan wanit pelakor itu. “Oh iya, Mas, jangan lupa hadiah yang Lana minta ya.” Aku mengingatkan. “Iya sayang, Lana tenang aja. Doain semoga rezek
Aku menemui Rachel yang masih berada di teras. Entah apa tujuannya datang ke rumahku. Lihat saja, kalau dia macam-macam, aku tak akan segan-segan membuat perhitungan. “Eh, Rachel. Sini masuk!” ajakku pada Rachel. Jika mengikuti kata hati, tentu yang ingin kuucapkan adalah umpatan dan kalimat-kalimat kasar. “Makasih, Lan.” Rachel mengikutiku dari belakang. Suaranya terdengar sangat menjengkelkan. Aku membayangkan jika suara itu yang kerap kali didengar suamiku saat tak berada di rumah. Ingin sekali kurusak pita suaranya. “Duduk, mau minum apa? Biar aku buatin,” tanyaku berusaha terlihat seramah mungkin. “Eh gak usah, aku cuma mampir sebentar kok,” paparnya. “Oh gitu. Padahal lama juga gak apa-apa, Hel.” Aku tersenyum seraya duduk di sampingnya Kuakui Rachel sangat cantik, dengan dandanan yang soft dan penampilan elegannya. Jujur, sebagai wanita aku pun suka padanya, tapi sebelum kutahu dia adalah pelakor. Setelah tahu semuanya, boro-boro suka. Menatap wajah sok polos dan lugunya
Setelah Rachel pulang, aku meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Berada di ruangan yang sama dengan wanita itu saja cukup membuatku gerah, apalagi sampai harus berlibur bersama. Tidak akan pernah terjadi, mana mungkin aku mau pergi dengan wanita yang sudah merusak rumah tanggaku. Jam menunjukkan pukul 11.15 WIB, aku meletakkan paperbag pemberian Rachel, setelahnya bersiap sebentar kemudian bergegas menjemput Lintang, aku sengaja membawakan baju ganti untuknya agar bisa langsung berangkat tanpa kembali ke rumah lebih dulu. Aku pergi dengan taksi online karena sedang malas menyetir. Jalanan tidak terlalu padat, tak butuh waktu lama untuk sampai ke sekolah Lintang. Segera kuhampiri Lintang yang tampak sedang menungguku. “Sayang…” Kupeluk tubuhnya dengan perasaan cinta, dia balas memelukku. Kuamati wajahnya yang terlihat lesu. “Lintang kenapa, Nak?” tanyaku yang menangkap ada sesuatu tidak beres terjadi dengannya. “Gak apa-apa, Bun,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tahu betul Linta
Namaku Kelana Maharani, seorang anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal, dan ibunya pergi dengan lelaki lain. Aku dibesarkan oleh nenekku yang juga sudah berpulang satu tahun lalu karena sakit. Usiaku tiga puluh satu tahun, dan sudah menikah dengan Heru Bratajaya Atmaja, lelaki yang sangat aku cintai juga mencintaiku. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Lintang Utami Atmaja. Saat ini, Lintang berusia delapan tahun. Ibu meninggalkan ayah karena tak mau hidup miskin, ia memilih pergi dengan pria kaya. Ayah selalu berpesan, agar aku tak menjadi wanita seperti ibu. Ayah juga mendidikku untuk tak memandang orang dari status sosial, maupun latar belakang ekonominya. Karena semua manusia sama di hadapan sang pencipta, begitu pesannya yang selalu kuingat sampai sekarang. Aku tergolong anak yang cerdas, ulet, juga pantang menyerah. Selama sekolah sampai kuliah, selalu mendapat beasiswa. Mulanya, hidupku dan nenek sangat kekurangan, apalagi setelah Ayah
Perkataan Mas Heru masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kuputuskan meminta maaf padanya, karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Rencanaku tak boleh gagal. “Mas, yang tadi malem, Lana minta maaf,” lirihku. Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, Mas Heru tak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk memasang dasi, seolah aktivitas tersebut lebih menarik daripada berbicara denganku. “Mas...,” panggilku lembut. “Hmmm?” Aku memeluk Mas Heru dari belakang, menyandarkan kepala ke punggung yang dulu menjadi favoritku. Mas Heru belum bereaksi, setelah kueratkan dekapa
“Lana, Mas mau minta izin untuk menikah dengan Rachel.” Selama beberapa saat, aku terdiam. Mencerna kata demi kata yang terucap dari bibirnya. Sempat terbesit dalam pikiran, bahwa Mas Heru hanya mengerjaiku. Tapi, kulihat wajahnya sangat serius, tak ada unsur humor di sana. Saat itulah aku sadar, malam ini akan menjadi malam paling indah sekaligus menyedihkan dalam hidupku. Nada bicaranya pelan, namun berhasil memporak-porandakkan hati dan jiwaku. Aku limbung, penglihatanku mengabur. Kulepas dekapannya, dan mundur beberapa langkah. Langkah kaki yang tak seimbang membuatku terjatuh. Mas Heru bergegas membantu, segera kutepis tangannya dengan kasar seraya berusaha meredam tangis. Aku tak mau menangis di hadapannya. Namun, rasa sakit ini tak lagi mampu disembunyikan. Sekuat apa pun aku menahan, bulir bening itu keluar juga, mengalir deras membasahi kedua pipiku. “Sayang, Lana gak perlu khawatir. Mas akan tetap menjamin dan memenuhi semua kebutuhan Lana.” Plak! Tangan kiriku mendarat
Aku Heru Bratajaya Atmaja, orang-orang memanggilku Heru. Seorang pengusaha food and bavarage (FnB) yang cukup sukses, memiliki banyak restoran dengan lebih dari dua puluh cabang di berbagai kota. Malam ini, tepat di hari ulang tahun pernikahan aku mengajak Kelana ke salah satu restoran. Aku sudah menyiapkan makan malam romantis, berikut dengan kado istimewa untuknya. Kelana, dia istriku. Istri yang kunikahi atas dasar cinta. Aku berpikir pernikahan kami akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Sosok masa lalu yang kembali hadir, membuatku perlahan enggan menatapnya. Sosok tersebut adalah Rachel, cinta pertamaku sedari SMP. Kami bertemu di acara reuni kampus. Tubuhnya sangat aduhai. Seksi dan terawat, wajahnya cantik, lebih cantik dari istriku. Mulanya aku biasa saja, hanya merespons seperlunya bahkan ketika Rachel mengajak bicara dan menatapku, karena sekarang situasi dan kondisinya sudah berbeda, tidak seperti dulu. Malam hari setelah acara tersebut, sebuah pesan dari nomor tak dik