Share

Di Balik Status WhatsApp Suamiku
Di Balik Status WhatsApp Suamiku
Автор: Danea

Status W******p

Sebuah foto siluet tiga manusia yang tengah menatap senja dengan caption, Bahagia itu sederhana, sesederhana menatap senja dengan kalian, dua wanita yang kucinta, menjadi fokusku saat ini. Tangkapan layar status W******p Mas Heru yang dikirim teman beberapa menit lalu membuatku meradang. Darahku mendidih, pasalnya aku yakin betul foto di status tersebut bukanlah fotoku dan anak kami—Lintang. Buru-buru aku mengecek seluruh status W******p di ponselku, namun tak kudapati postingan itu.

Dalam situasi seperti ini, aku harus berpikir cerdas. Tak boleh buru-buru mengambil kesimpulan sebelum menemukan kebenarannya. Aku memilih pergi ke dapur untuk menenangkan diri, kebetulan besok adalah hari Minggu, saat yang tepat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan Mas Heru. Tentu saja dengan cara yang cantik agar ia tak bisa berkutik.

“Mas, besok, kan, hari Minggu, kita ke luar, yuk. Kasihan Lintang, dia kangen main sama ayahnya.” Aku membawakan segelas kopi sekalian mengajaknya ke luar esok hari.

Mas Heru masih sibuk dengan ponselnya. Bahkan, tak sedikitpun menatap ke arahku. “Mas…” Aku memanggilnya dengan suara yang kubuat selembut mungkin. Padahal, aku tengah menahan kesal setengah mati.

“Mas sibuk, Lana, ada meeting,” jawab Mas Heru tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

“Masa iya tiap hari Minggu meeting, Mas,” ungkapku pura-pura heran.

Tentu saja aku tak percaya, aku yakin ada sesuatu yang tengah ia tutupi, dan berkaitan dengan status tadi. Tapi, aku berusaha tenang. Aku kenal siapa suamiku, jika aku asal tuduh dia akan marah besar dan memakiku.

“Ya memang ada meeting. Ini klien penting, jadi gak bisa ditunda-tunda,” tolaknya dengan suara tenang.

“Baiklah,” balasku.

Tangan Mas Heru menyentuh pipiku lembut, kemudian mengecupnya singkat. Ia sudah menyimpan ponselnya di atas nakas. Saat hendak memelukku ponsel itu bergetar, buru-buru Mas Heru menyambar ponsel tersebut dan melupakan niatnya yang semula ingin menyentuhku. “Sebentar ya sayang,” ungkapnya.

Aku mengerucutkan bibir. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, tapi suamiku masih saja bermain ponsel dengan dalih mengurusi pekerjaan.

“Lana sayang...” panggilnya seraya memeluk pinggangku.

Aku berbalik menatap wajah Mas Heru dengan ekspresi malas. “Udah malem, Mas, masih aja ngurusin kerjaan!” ucapku tak suka.

“Iya sayang, maaf ya.” Mas Heru mencium keningku sembari membawa aku ke dalam dekapannya.

Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, Mas Heru sudah memejamkan mata. Kudengar suara dengkuran halus dari mulutnya. Tanganku terangkat menyentuh wajah Mas Heru. “Kalau sampai kecurigaanku terbukti, lihat saja kamu, Mas,” lirihku seraya menyelimuti tubuhnya.

Baru saja hendak menutup mata, kudengar ponsel Mas Heru bergetar beberapa kali. Karena penasaran, aku mengambil ponsel tersebut. Ada beberapa pesan dari nomor tak dikenal, saat hendak membuka pesan tersebut ponselnya terkunci. Aku baru tahu, Mas Heru mengunci ponselnya, biasanya ia tak pernah melakukan itu. “Aku semakin curiga sama kamu, Mas,” gumamku.

Selama delapan tahun pernikahan kami, Mas Heru tak pernah menggunakan pola atau sandi apa pun di ponselnya, begitupun aku. Kami selalu terbuka soal apa pun.

Aku menimbang-nimbang, sampai akhirnya kuambil ponsel Mas Heru diam-diam, kemudian memasukkan angka dan huruf kombinasi yang mungkin ia gunakan sebagai kata sandi. Namun nihil, tak ada satu pun yang berhasil. Karena tak ingin Mas Heru curiga, kuletakkan lagi ponsel tersebut dan berbaring di sampingnya dengan pikiran berkecamuk.

Keesokan harinya, aku menatap Mas Heru yang sedang sarapan. Lagi-lagi fokusnya selalu mengarah ke ponsel, hingga tak meladeni Lintang yang mengajaknya bicara.

“Mas, itu Lintang ngajak ngomong, mbok yo diladenin,” tegurku.

Barulah setelah itu Mas Heru meletakkan ponselnya dan memusatkan perhatian pada Lintang. “Tadi Lintang ngomong apa, Nak? Maaf ya Ayah gak dengerin.”

“Lintang mau main sama Ayah,” jawab Lintang dengan suara memohon.

“Sayang, hari ini Ayah gak bisa. Tapi minggu depan, Ayah janji bakal usahain supaya bisa main sama Lintang.”

“Yah….Lintang maunya hari ini. Elea sama ayah dan bundanya selalu jalan-jalan setiap hari Minggu. Lintang juga mau begitu,” ucap Lintang.

Aku tak tega melihat raut kecewa Lintang. Mas Heru pun tampak demikian, namun sepertinya pekerjaan kantor lebih penting dari apa pun. “Jangan sedih dong. Ayah kan kerja buat Lintang. Gini aja, nanti kalau Ayah pulang Lintang mau dibawain apa?” bujuk Mas Heru.

Lintang menggeleng, kucir kudanya bergoyang karena gelengan itu. “Lintang cuma mau main sama Ayah,” tuturnya.

“Iya sayang, Lintang sabar dulu ya.”

Aku semakin curiga dengan Mas Heru, dia punya banyak anak buah, tapi tetap saja mengurus banyak hal sendiri. “Mas, kenapa gak nyuruh anak buah Mas aja?  Kenapa harus Mas yang pergi?” Saran sekaligus pertanyaan itu kulontarkan tanpa menatap wajahnya.

“Lana, bukannya kita sudah bicarakan soal ini semalam?”

“Iya, tapi Lintang kasihan, Mas.” Aku berusaha membujuknya agar tetap berada di rumah menemani Lintang.

Mas Heru bangkit dan mengajakku bicara di belakang. “Lana, tolong bantu Mas kali ini aja. Mas kerja keras begini buat kalian. Buat kebahagiaan Lana sama Lintang,” terangnya.

“Mas pulang jam berapa?” tanyaku setengah kesal.

“Belum tahu sayang. Mas usahain cepet ya, nanti kita makan malam berdua. Mau, kan?” ajaknya padaku yang kujawab dengan anggukan singkat.

Tepat setelah Mas Heru mengatakan itu, ponselnya bergetar, ia membaca pesan yang masuk dengan wajah gusar. Setelah itu, buru-buru memasukkan ponselnya kemudian bergegas pergi.

“Mas…” teriakku mengejarnya.

Mas Heru tak menjawab panggilanku. Ia benar-benar mengendarai mobilnya dan meninggalkan rumah kami. Aku segera mengambil kunci mobil, dan berbicara sebentar pada Lintang. Hari ini, aku berniat mencari tahu. Sudah banyak sekali kejanggalan yang terjadi dan membuatku curiga, aku harus segera mendapat jawabannya. “Kalau sampe kamu pergi bukan karena alasan pekerjaan, lihat saja kamu Mas!” geramku seraya mengikuti mobil tersebut.

Lima belas menit sudah aku mengikutinya, dan selama itu pulalah kecurigaanku kian terbukti. Pasalnya, jalan yang kulewati saat ini bukan jalan menuju kantor Mas Heru. “Mau ke mana kamu, Mas,” batinku.

Dua puluh menit kemudian, mobil Mas Heru berhenti di sebuah apartemen. Jantungku berdegup kencang, dalam hati bertanya-tanya siapa yang hendak Mas Heru temui di sini? Apa mungkin rekan kerjanya? Jika benar rekan kerjanya, maka setelah ini aku harus minta maaf dan sungkem pada Mas Heru.

Aku terus memantau dari jarak tak terlalu dekat. Sengaja, supaya tak ada yang curiga. Kulihat ia menelepon seseorang dengan wajah bahagia

Beberapa menit kemudian, aku melihat Rachel dan gadis kecil sebaya Lintang menemui Mas Heru. Mas Heru terlihat sumringah. Dia merangkul pinggang Rachel dengan mesra. Darahku mendidih, ingin sekali aku turun dan melabrak mereka. Berani-beraninya dia membohongiku. “Awas kalian berdua, sialan!” geramku.

Disaat seperti ini, menangis pun rasanya percuma. Lagipula, air mataku terlalu berharga untuk menangisi lelaki bajingan seperti Mas Heru. Aku tetap menggunakan logika dan akal sehat. Sehingga masih bisa berpikir jernih, tak kudatangi Mas Heru dan selingkuhannya. Aku hanya mengambil beberapa potret kebersamaan mereka.

Mobil Mas Heru meninggalkan apartemen itu. Aku kembali mengikutinya, aku ingin tahu kemana mereka akan pergi. Namun tiba-tiba, mobilku oleng. Aku menepikan mobil itu, kemudian turun untuk mengecek apa yang terjadi. Ternyata, kondisi ban mobilku tak bisa diajak bekerjasama. Kulihat ke kanan dan kiri, tak ada satupun bengkel yang terlihat. Kalau begini, pupus sudah harapanku untuk tahu lebih detail soal Mas Heru dan Rachel.

Shit! Kempesnya gak bisa nanti aja apa?!” umpatku seraya menendang ban yang kempes.

Saat tengah berusaha mencari bantuan, sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di sampingku. Pengemudi mobil menurunkan kaca mobilnya dan menyapaku.

“Kelana…”

“Daffa! Kebetulan gue ketemu lo. Gue boleh nebeng?”

“Boleh, masuk.”

Aku meninggalkan mobilku dan masuk ke mobil Daffa, beruntung aku bertemu dia disaat seperti ini. “Daff, ikutin mobil di depan,” suruhku padanya.

“Kenapa?”

“Ikutin aja, nanti gue ceritain!”

Комментарии (2)
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Baiknya buktikan aja bunda, biar utk tahu sebenarnya.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan ngebacot ngancam dlm hati ksu nyet
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status