“Seharusnya ada di sini.” Sarah ingat, sang ayah selalu memasukkan semua dokumen penting, uang tunai, ataupun emas yang dia miliki ke dalam brankas yang tersembunyi di balik lukisan besar di ruangan kerjanya. Sarah juga ingat dengan jelas kunci kombinasi yang pernah diberitahukan oleh sang ayah. Jadi, ia terkejut ketika tidak mendapati apapun di dalam brankas ayahnya. “Apa mungkin ayah memindahkan dokumen-dokumennya?” Sarah menggelengkan kepalanya, dia bertekad untuk tidak menyerah. Dia mulai mencari di setiap sudut ruangan. Lemari besar milik sang ayah, meja kerja, tumpukan dokumen di rak, semuanya tidak luput dicari. Namun, hasilnya nihil. “Dimana ayah menaruhnya?” Sarah berujar dengan nada kebingungan, sebelum ia memutuskan untuk menghampiri Kaisar yang sepertinya masih menunggu di lantai bawah. Namun, langkah kakinya terhenti saat ia melihat buku catatan milik sang ayah yang selalu dibawanya kemanapun–yang terletak di atas meja kerjanya. Dengan rasa penasaran yang tinggi,
"Sebaiknya kamu di sini dulu saja."Setelah adu mulut yang terjadi beberapa jam yang lalu, Sarah menyetujui ajakan Kaisar untuk pergi ke sebuah tempat guna menenangkan dirinya selama beberapa saat. Mereka sampai di sana menjelang tengah malam. "Ini rumah siapa?"Sarah terdiam memandangi interior dari sebuah rumah bergaya klasik eropa, yang didominasi warna putih. Rumah ini sangat besar, megah dan mewah, tapi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Anggap saja rumah sendiri."Setelah mengatakan itu, Kaisar terlihat memanggil seseorang. Tak lama, seorang perempuan paruh baya berlari dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya terlihat panik."Ampun, Den..." Perempuan paruh baya itu langsung menundukkan kepalanya saat berhadapan dengan Kaisar. Tubuhnya gemetaran, kedua tangannya saling mengait. Dia terlihat begitu gelisah. Sarah mengamati interaksi antara keduanya, yang melahirkan tanda tanya. Apakah Kaisar begitu mengerikan?Kaisar yang tidak kunjung mengatakan apapun, membuat perempuan paruh
Semalaman penuh, Sarah tidak tidur sama sekali. Dia menghabiskan malamnya dengan membaca setiap lembar yang ditulis oleh sang ayah di dalam buku catatan itu. Dan semakin membacanya, amarah Sarah semakin bergejolak. Pagi ini, Sarah bertekad untuk kembali ke rumah Bagas.Namun rencananya berantakan saat ia melihat Kaisar sudah menunggunya di meja makan. "Mau kemana pagi-pagi begini?" ujar Kaisar--sambil meminum jus jeruk yang baru saja disajikan oleh Mbok Sum.Sarah menurunkan barang-barangnya di lantai. Meskipun enggan, dia tetap berjalan menuju meja makan. "Pulang," ujarnya singkat. Kaisar tidak bereaksi. Dia justru terlihat tenang menyantap sarapannya. Di sampingnya terlihat seorang pria dengan setelan serba hitam, dengan rambut plontos, dan sebuah tab di tangannya, sedang membacakan jadwalnya hari ini. "Jam sepuluh nanti ada pertemuan singkat dengan Pak Nuggie. Asisten Direktur PT. Berlian Nusantara. Setelahnya, jam sebelas akan bertemu Pak Narendra di lapangan golf BSD, terkai
"Kemana saja kamu?!" Setelah beradu argumentasi dengan Kaisar, Sarah akhirnya diantar kembali ke rumah sang suami. Sepanjang perjalanan, Sarah berusaha menenangkan diri. Dia mencoba untuk mendengarkan kalimat-kalimat dari pria itu yang terus memintanya untuk bisa mengendalikan diri sebaik mungkin. Namun, begitu Sarah masuk ke dalam rumah, teriakan Bagas menyambutnya. Sarah memperhatikan Bagas yang masih duduk di sofa ruang tamu, bersama dengan Rayya--Istri kesayangannya itu. Di kepalanya saat ini hanya berputar setiap kejahatan yang dilakukan Bagas kepadanya, dan kepada keluarganya. Sarah ingin langsung mengkonfrontasi Bagas, tetapi Kaisar benar. Itu sama saja dengan menggali kuburannya sendiri."Ingat ini Sarah. Kalau kamu mau kembali ke rumah itu sekarang, maka bersikaplah seperti tidak ada yang terjadi."Sarah juga teringat bagaimana Kaisar menyiapkan sebuah alibi untuknya. Kalau seandainya Bagas bertanya kemana ia pergi dari rumah sakit. "Aku harus sanggup mengontrol diriku
“Minggu depan, kalian semua saya undang ke acara pernikahan putra saya, Bagas Kuncoro, dengan perempuan cantik yang berada di sebelah saya ini, Sarah Daniawati.” Suara perempuan paruh baya itu terdengar lembut, sekaligus tegas. Pengumuman itu sekejap mengejutkan semua orang yang hadir dalam pesta. Namun, semua itu berlangsung sesaat karena riuh renyah suara tepuk tanganlah yang kemudian bergemuruh dalam ruangan. 'Apa-apaan ini?' Di tempatnya, Sarah, wanita yang disebutkan dalam pengumuman itu, tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut dari wajahnya. 'Menikah?' Keringat dingin mulai membasahi gaun malam yang ia kenakan. 'Dengan Bagas?!' Kalau saja ia tidak ingat bahwa ada puluhan pasang mata yang sedang menatapnya dengan intens, mungkin dia sudah limbung saat itu juga. Selagi lengan perempuan paruh baya itu melingkar di pinggangnya, seakan merantai Sarah agar tidak kabur, berbagai komentar pun mulai dilontarkan para tamu yang hadir. "Selamat, Bu Retno! Kok bisa mendadak sih pengumu
“Ah!!” Suara tubrukan keras bergema di ruang tangga darurat. Sosok Sarah yang malang meringis ketika Bagas dengan kasar melempar tubuhnya hingga menabrak tembok dengan keras. "Jelasin ini!" seru Bagas seraya menunjukkan layar ponselnya ke arah Sarah. Sebuah rekaman video berputar, memperlihatkan sosok Sarah yang memasuki area kediaman Kuncoro beberapa jam sebelum pesta dimulai. "Jangan kamu pura-pura baik, Sarah. Sedari awal, semua ini ulah kamu, 'kan?! Kamu yang bertemu dengan Ibu dan menanamkan ide gila ini!” Sarah menggelengkan kepalanya keras-keras. “Bukan, Gas. Sumpah, bukan aku yang mengusulkan semua ini!” Bagas tersenyum meremehkan. “Belajar lagi sana, kamu benar-benar bukan pembohong yang ulung," tutur pria tersebut. "Kalau gitu, coba jelasin alasan kamu ketemu Ibu?!" Sarah terdiam sejenak, bingung harus memulai dari mana. Namun, karena tidak bisa berpikir jernih, dia pun hanya menjawab, "Aku memang bertemu ibumu, tapi satu-satunya tujuanku adalah untuk meminjam uang,
“Saya terima nikah dan kawinnya Sarah Daniawati Binti Gilang Adhyaksa, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Sarah dapat mendengar semua orang mengucap syukur atas Ijab Kabul yang baru saja dilakukan oleh Bagas. Dia dapat melihat bagaimana sang ayah mengelap wajah yang sudah banjir dengan air mata, terlihat terharu dengan pernikahan putrinya. Meskipun begitu, Sarah yakin bahwa ayahnya diam-diam merasa terluka, apalagi setelah mengetahui bahwa putri satu-satunya menjadi istri kedua dari seorang pria yang telah menikah. “Selamat ya, Gas…” Meskipun pesta berlangsung dengan sangat mewah dan meriah. Tetapi, Sarah justru merasa tidak nyaman. Apalagi saat semua tamu undangan terlihat asing di matanya. “Gila… Gila… Bagas emang MVP banget deh. Udah dapet Rayya yang cantiknya kayak Dian Sastro, sekarang cewek cantik lainnya yang kayak Putri Marino ini diembat juga. Buset… Pantes aja gue jomblo terus…” Sarah hanya bisa tersenyum tipis, sedangkan Bagas justru tertawa keras-keras. Walau di
“Sarah! Dimana kamu?!” Sarah yang masih sibuk membersihkan kolam ikan, mau tidak mau menoleh ke arah pintu utama. Di sana dia mendapati istri pertama Bagas--Rayya--yang sedang berjalan cepat ke arahnya. “Ada apa, Mbak?” Rayya melemparkan beberapa baju ke arah Sarah. Karena tidak sigap menangkap lemparan tiba-tiba, semua baju itu jatuh ke dalam kolam ikan yang belum selesai dibersihkan. “Kamu benar-benar tidak becus! Semua baju Bagas kelunturan! Kok bisa kamu mencampur kemeja-kemeja putihnya dengan baju batik milik ibu? Dasar tolol!” Sarah menaruh semua alat-alat yang sedang digunakan, lalu mulai memunguti baju-baju yang masuk ke dalam kolam ikan itu. Agar tidak memicu amarah wanita itu lagi, dia pun segera pergi dari hadapan Rayya untuk melaksanakan tugasnya. “Heh! Kurang ajar! Ke sini kamu! Saya belum selesai bicara!” Sarah menghentikan langkah kakinya, dan menoleh ke arah Rayya yang terlihat begitu marah. “Ada apa lagi, Mbak?” Rayya terlihat ingin menampar Sarah, tapi