Share

Mual yang Tak Tertahankan

“Sarah! Dimana kamu?!”

 

Sarah yang masih sibuk membersihkan kolam ikan, mau tidak mau menoleh ke arah pintu utama. Di sana dia mendapati istri pertama Bagas--Rayya--yang sedang berjalan cepat ke arahnya.

 

“Ada apa, Mbak?”

 

Rayya melemparkan beberapa baju ke arah Sarah. Karena tidak sigap menangkap lemparan tiba-tiba, semua baju itu jatuh ke dalam kolam ikan yang belum selesai dibersihkan.

 

“Kamu benar-benar tidak becus! Semua baju Bagas kelunturan! Kok bisa kamu mencampur kemeja-kemeja putihnya dengan baju batik milik ibu? Dasar tolol!”

 

Sarah menaruh semua alat-alat yang sedang digunakan, lalu mulai memunguti baju-baju yang masuk ke dalam kolam ikan itu. Agar tidak memicu amarah wanita itu lagi, dia pun segera pergi dari hadapan Rayya untuk melaksanakan tugasnya.

 

“Heh! Kurang ajar! Ke sini kamu! Saya belum selesai bicara!”

 

Sarah menghentikan langkah kakinya, dan menoleh ke arah Rayya yang terlihat begitu marah. “Ada apa lagi, Mbak?”

 

Rayya terlihat ingin menampar Sarah, tapi dia menahan dirinya. “Pel seluruh lantai rumah ini. Semuanya jadi basah karena kamu!”

 

Sarah memejamkan kedua matanya, berusaha mengendalikan emosi sebisa mungkin. Dia memutuskan untuk melakukan apa yang disuruh oleh Rayya. Baginya, ini adalah cara untuk membayar kesalahannya pada wanita itu.

 

Setelah mengambil peralatan yang diperlukan, Sarah membasahi kain pel dan mulai mengepel lantai.

 

“Seharusnya kamu ganti dulu celanamu, Bodoh! Sekarang seluruh lantai jadi bau ikan.” Rayya mengernyitkan dahi karena bau yang memuakkan. Dia pun melemparkan celana butut kepada Sarah. “Cepat ganti!”

 

Sarah hanya menganggukkan kepalanya, kembali menuruti perintah Rayya tanpa banyak tanya. Baru saja berganti celana dan ingin melanjutkan tugasnya, sebuah teriakan mengejutkan dirinya dan Rayya.

 

“Astaga!”

 

Dua wanita itu menoleh dan melihat sosok Retno berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Sarah. Khawatir Retno terjatuh, Rayya bahkan sampai harus ikut berlari agar mertuanya itu tidak terpeleset. Namun, perempuan paruh baya itu melepaskan tangan menantu pertamanya dengan sedikit kasar.

 

Dengan wajah khawatir, Retno mengelus wajah Sarah yang kotor. “Ya ampun, menantu ibu. Kamu ngapain?”

 

Sarah tidak menjawab, bingung harus menjawab apa. Kalau dia menjawab jujur, dia akan mempersulit Rayya. Namun, kalau tidak, kebohongan apa yang harus terucap?

 

Melihat ekspresi khawatir Sarah, Retno langsung menoleh ke arah Rayya dan bertanya dengan nada yang keras, “Kamu lagi pasti, kan?! Kamu yang suruh Sarah ngepel!?"

 

Rayya berusaha untuk membela diri. “Nggak, Bu. Aku cuma–”

 

Sang ibu mertua menghentikan argumentasi yang sudah dipersiapkan oleh Rayya. “Jangan banyak alasan. Ibu tau, kamu iri pada Sarah, kan? Takut dia hamil, jadi kalau bisa buat keguguran dulu?”

 

Rahang Rayya terlihat mengetat. Dia terluka dengan tuduhan sang ibu mertua yang dialamatkan kepadanya. “Kok Ibu bisa ngomong gitu sih sama aku? Dia sendiri yang ngotorin lantai habis dari kolam ikan! Kenapa jadi--”

 

“Cukup,” Retno memotong ucapan Rayya, tidak ingin mendengar alasan menantu pertamanya itu.

 

“Bagas pulang ….” Sebuah suara rendah bergema dari pintu depan kediaman Kuncoro.

 

Para wanita itu menoleh, melihat sosok Bagas yang pulang dengan sebuah koper kecil setelah pulang dari luar kota.

 

"Mas Bagas!" Rayya yang sempat merasa kesal langsung berubah ceria, dia menubruk sang suami dan memeluknya erat.

 

Melihat hal itu, Retno berdeham, membuat Bagas melepaskan pelukannya pada Rayya. "Ibu," sapanya seraya menghampiri sang ibunda dan mencium tangan wanita itu dengan takjim. "Ibu sehat-sehat 'kan selama Bagas pergi?"

 

"Ya," balas Retno. "Ibu sehat."

 

Sarah tidak betah berlama-lama melihat interaksi ketiganya. Dia yang tidak pernah merasa nyaman di tempat itu memutuskan untuk melangkah pergi dari tempat tersebut.

 

“Sarah," panggil Retno, membuat langkah kaki Sarah terhenti. "Mau ke mana? Ini suamimu baru pulang loh.”

 

Sarah berbalik, lalu menoleh sembari menampakkan sebuah senyuman. "Mau bersih-bersih, bu ….” Hanya itulah alasan yang terlintas dibenak Sarah.

 

Bagas menatap Sarah dalam diam, lalu mengalihkan pandangannya karena tidak betah memandang wanita itu lama-lama. "Bu, Bagas mau siap-siap dulu, habis ini mau pergi sama Rayya," ucap pria tersebut.

 

Baru saja ingin melangkah pergi, lengan Bagas ditahan oleh Retno. "Nggak bisa. Hari ini kamu harus temani Sarah," titahnya. "Sarah orangnya pendiam, jadi walau kangen dia nggak bilang. Kamu harus adil ke dua istrimu."

 

Sarah terhenyak, tidak menyangka bahwa dirinya dijadikan alasan oleh sang ibu mertua untuk menahan Bagas.

 

“Tapi, bu? Aku udah lama nggak ketemu Mas Bagas…”

 

“Iya, bu. Kami juga perlu waktu berdua…”

 

“Kalian melawan omongan ibu?”

 

Detik itu juga, Sarah dapat melihat Rayya yang langsung menunduk, berusaha menutupi amarah yang tercermin jelas dari wajahnya. Sementara di sebelah wanita itu, Bagas hanya menatap sang ibu dengan wajah tidak percaya.

 

Karena tidak ada lagi yang melawan, Retno menepuk bahu Bagas. “Istrimu bukan hanya Rayya saja. Perlu berapa kali ibu ingatkan?” ujar wanita itu.

 

Bagas mengalihkan pandangan ke arah Sarah, dingin dan mengerikan. Pria itu pun melepaskan pegangan tangannya pada Rayya dan menghampiri Sarah.

 

Dengan rahang yang mengeras, Bagas berkata dengan suara rendah kepada Sarah, "Masuk kamar."

 

***

 

"Ah!" Sarah mengaduh kesakitan saat Bagas membantingnya ke atas ranjang. “Mas, jangan begini ...,” pintanya yang dengan cepat berbalik untuk menghadap sosok sang suami yang menatapnya nyalang.

 

Bagas melepaskan dasi yang melilit lehernya sejak pagi tadi, dan beberapa kancing bagian atas kemejanya. “Jangan banyak bicara.” Dia menggulung lengan kemejanya, wajahnya terlihat lelah, dan kesal di waktu bersamaan. "Kita tahu hanya satu alasan Ibu menahanku dari pergi dengan Rayya." Mata dingin pria itu menatap lurus Sarah. "Kamu!"

 

Tubuh Sarah bergetar, merasa sangat ketakutan. Akan tetapi, dia berusaha untuk kuat. Semua ini sering terjadi, bukan satu-dua kali.

 

“Kita sudah dua bulan menikah, kan? Tapi kamu tidak kunjung hamil juga.” Bagas tersenyum bengis. “Mungkin aku yang terlalu baik, ya?”

 

Sarah menutup kedua matanya, dia tidak mau melihat tatapan Bagas yang mencemooh sekaligus mengerikan itu. Dia bisa rasakan cengkeraman kuat Bagas pada pergelangan tangannya, tapi hanya bisa meringis dalam diam.

 

Satu kali lagi malam penuh siksaan, tidak masalah, bukan?

 

Namun, tepat di cumbuan Bagas yang entah keberapa, perut Sarah bergejolak. Ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam sana.

 

Dengan sekuat tenaga, Sarah mendorong pria yang berada di atasnya, lalu berlari keluar kamar dan mengarah ke kamar mandi. Detik berikutnya, dia langsung memuntahkan apa yang mengganggu perutnya sedari tadi. Hanya saja, tidak ada apa pun yang keluar.

 

“Sarah? Sayang? Kamu kenapa, nak?” Suara Retno terdengar melantun, mungkin sempat melihat menantunya itu berlari keluar dari kamar menuju kamar mandi. "Kamu muntah?" Dia membantu memegangi rambut Sarah dari belakang, tapi bingung karena tidak ada yang wanita itu muntahkan.

 

Ketika yakin tidak ada yang akan keluar dari mulutnya, Sarah hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak tau, bu. Tiba-tiba saja mual sekali rasanya ….”

 

Mendengar itu, mata Retno berbinar. Wanita paruh baya itu langsung memeluk Sarah. “Kamu hamil! Kamu pasti hamil, Sarah! Alhamdulillah! Alhamdulillah!”

 

Sarah yang sudah terlalu lemas hanya bisa terdiam di dalam pelukan sang mertua. Dari sudut matanya, dia melihat Bagas yang membeku di depan pintu kamar mandi. Di belakang pria itu, sosok Rayya menampakkan wajah terkejut dipenuhi kengerian.

 

'Aku ... sungguh hamil?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status