Share

Gerbang Neraka

“Saya terima nikah dan kawinnya Sarah Daniawati Binti Gilang Adhyaksa, dengan mas kawin tersebut, tunai!”

 

Sarah dapat mendengar semua orang mengucap syukur atas Ijab Kabul yang baru saja dilakukan oleh Bagas. Dia dapat melihat bagaimana sang ayah mengelap wajah yang sudah banjir dengan air mata, terlihat terharu dengan pernikahan putrinya.

 

Meskipun begitu, Sarah yakin bahwa ayahnya diam-diam merasa terluka, apalagi setelah mengetahui bahwa putri satu-satunya menjadi istri kedua dari seorang pria yang telah menikah.

 

“Selamat ya, Gas…”

 

Meskipun pesta berlangsung dengan sangat mewah dan meriah. Tetapi, Sarah justru merasa tidak nyaman. Apalagi saat semua tamu undangan terlihat asing di matanya.

 

“Gila… Gila… Bagas emang MVP banget deh. Udah dapet Rayya yang cantiknya kayak Dian Sastro, sekarang cewek cantik lainnya yang kayak Putri Marino ini diembat juga. Buset… Pantes aja gue jomblo terus…”

 

Sarah hanya bisa tersenyum tipis, sedangkan Bagas justru tertawa keras-keras. Walau di mata semua orang Bagas terlihat seperti sosok pria idaman yang begitu bahagia dengan pernikahannya, tapi Sarah tahu bahwa pria itu tidak sepenuhnya menginginkannya.

 

Paling tidak ... bukan sosok pria mengerikan yang hari ini hadir di sisinya.

 

"Kalian segera masuk kamar, sisanya ibu yang urus," tutur Retno ketika pesta sudah selesai, mendorong kedua pasangan yang baru menikah itu untuk masuk ke dalam kamar.

 

Begitu pintu tertutup, senyuman di wajah Sarah luntur. Dia sudah sangat lelah secara lahir dan batin.

 

Wanita itu berbalik, lalu memanggil sosok pria yang terduduk diam di sofa kamar, “Mas …" Dia merasa canggung dengan sebutan baru itu. "Kamu mau mandi duluan, atau bagaimana?”

 

Sarah tidak mendapat respon dari Bagas, pria itu hanya terdiam mengamati dirinya. Karena gugup karena diperhatikan seperti itu, akhirnya Sarah bangkit berdiri.

 

“K-kalau begitu, aku yang duluan.”

 

Hampir tiga puluh menit lamanya Sarah membersihkan diri di dalam kamar mandi. Begitu keluar dari dalam kamar mandi, dia sudah mengenakan baju tidur berbahan sutra yang membalut tubuhnya.

 

Sarah memperhatikan Bagas yang masih berada di posisi yang sama, hanya saja kali ini, ada ekspresi yang lain di wajahnya. Terlalu lelah untuk memusingkan hal tersebut, wanita itu mengambil pengering rambut. Dari cermin yang ada di hadapannya sekarang, dia bisa melihat Bagas yang tidak berhenti memandanginya, tapi kali ini dengan ekspresi yang ganjil.

 

“Mas, ada apa?” Sarah menelan ludahnya perlahan saat melihat senyuman merekah di bibir Bagas.

 

Berbeda dari tadi siang di pesta, senyuman Bagas tidak meneduhkan. Sebaliknya, senyuman pria itu terlihat mengerikan.

 

"Ini malam pertama kita, Sarah," tutur Bagas seraya mengelus wajah wanita itu dengan lembut. "Apa kamu sudah siap?"

 

Tanpa menunggu jawaban Sarah, Bagas menarik pergelangan tangan wanita itu dengan kasar. Dengan paksa pria itu melucuti pakaian tidur Sarah, membuat wanita tersebut tak mampu menahan diri untuk berteriak, "Mas! Jan--"

 

Tidak ingin ada yang mendengar teriakan Sarah, Bagas membekap mulut wanita itu. Di tengah keputusasaan istri keduanya itu, Bagas berucap dingin, “Jangan berontak, atau akan kubuat lebih sakit dari ini.”

 

Sarah tidak berhenti menangis saat Bagas mulai mengoyak seluruh raganya yang tidak pernah tersentuh oleh laki-laki manapun. Bukan hanya tubuhnya yang kesakitan, tetapi hatinya juga terluka.

 

“Diam! Menangis tidak akan mengubah apapun!”

 

Sarah tidak dapat berontak sedikit pun, apalagi karena kedua tangannya sudah dikunci dengan kuat oleh Bagas. Satu-satunya yang dapat dilakukannya hanyalah menangis. Rasa malu, rendah, benci, amarah, sedih, semua emosi bercampur menjadi satu. Dia hanya bisa berharap agar semua rasa ini segera berakhir.

 

Setelah berkali-kali merobek pertahanan Sarah, menghancurkan gadis itu sampai berkeping-keping, Bagas seakan tidak puas, dan terus melakukannya lagi dan lagi. Entah apakah itu bentuk pelampiasan kebencian atau ada rasa malu akibat nafsu yang dia rasakan pada wanita itu.

 

Entah berapa lama mereka melakukannya, tapi saat semuanya berakhir dan Bagas menarik diri darinya, Sarah hanya bisa tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Air mata masih mengalir deras membasahi pipinya.

 

Sebelum benar-benar pergi dari kamar itu, Bagas melemparkan pandangan dingin pada Sarah. “Jangan berharap aku akan kasihan dan mulai memberikan cinta padamu.” Pria itu menambahkan, "Tugasmu hanya satu, lahirkan anak untuk keluargaku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status