Share

Sumpah, Gas!

“Ah!!”

 

Suara tubrukan keras bergema di ruang tangga darurat. Sosok Sarah yang malang meringis ketika Bagas dengan kasar melempar tubuhnya hingga menabrak tembok dengan keras.

 

"Jelasin ini!" seru Bagas seraya menunjukkan layar ponselnya ke arah Sarah. Sebuah rekaman video berputar, memperlihatkan sosok Sarah yang memasuki area kediaman Kuncoro beberapa jam sebelum pesta dimulai. "Jangan kamu pura-pura baik, Sarah. Sedari awal, semua ini ulah kamu, 'kan?! Kamu yang bertemu dengan Ibu dan menanamkan ide gila ini!”

 

Sarah menggelengkan kepalanya keras-keras. “Bukan, Gas. Sumpah, bukan aku yang mengusulkan semua ini!”

 

Bagas tersenyum meremehkan. “Belajar lagi sana, kamu benar-benar bukan pembohong yang ulung," tutur pria tersebut. "Kalau gitu, coba jelasin alasan kamu ketemu Ibu?!"

 

Sarah terdiam sejenak, bingung harus memulai dari mana. Namun, karena tidak bisa berpikir jernih, dia pun hanya menjawab, "Aku memang bertemu ibumu, tapi satu-satunya tujuanku adalah untuk meminjam uang, oke? Aku tidak tahu apapun mengenai pengumuman yang ibumu katakan di pesta tadi!” Dia mengangkat tangannya. “Aku berani bersumpah, Gas. Aku benar-benar tidak tau apa-apa ….”

 

"Alah! Alasan! Aku yakin kamu yang menghasut Ibu agar menghina kemandulan Rayya, 'kan?!" Sarah meremas gaun malam yang masih ia kenakan, terlihat begitu gelisah saat Bagas terus mencaci makinya.

 

Baru saja Bagas ingin kembali melontarkan hal lain, tapi pintu tangga darurat terbuka mendadak. Seorang suster muncul dan melirik Sarah serta Bagas. "Pak Bagas! Saya cari-cari sejak tadi," gerutu perempuan berbalut seragam putih itu. "Ibunya sudah sadar, Pak!"

 

Mendengar hal itu, Bagas langsung berlari keluar tempat tersebut untuk mencapai kamar inap sang ibu. Sarah mengikuti langkah pria itu dari belakang, sedikit tertinggal.

 

Sesampainya di dalam ruangan, Sarah melihat sosok Rayya yang tengah berdiri di samping ranjang rumah sakit tempat Retno terbaring lemah. Istri Bagas itu tidak bicara, tapi terlihat jelas sedang memendam kemarahan. Sementara itu, suaminya terlihat menggenggam tangan ibundanya dengan erat.

 

Melihat sosok Sarah, Retno tersenyum. “Sarah… Kamu juga di sini, nak?”

 

“I-iya, Bu …,” Sarah menjawab dengan gugup, merasa tidak nyaman dengan tatapan Bagas yang beralih kepadanya.

 

“Kemari, nak…”

 

Mau tidak mau, Sarah tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan beliau. Dia terkejut saat perempuan paruh baya itu menarik tangannya secara tiba-tiba.

 

“Umur ibu mungkin tidak akan lama lagi, Gas…”

 

“Bu… jangan ngomong gitu…”

 

Sarah dapat melihat Bagas yang memeluk ibunya dengan erat. Rasa sayang dan takut kehilangan jelas terpancar dari gestur laki-laki itu.

 

“Berikan ibu cucu, Gas… Ibu mau ketemu cucu ibu dulu, baru setelah itu ibu bisa pergi dengan tenang…” Perempuan paruh baya itu menggenggam tangan Bagas sebelum meletakkannya di atas tangan Sarah. Dengan lirih, wanita tua itu berkata, “Menikahlah dengan Sarah, Gas… Tolong buat ibu bahagia…”

 

***

 

“Gas, pelan-pelan...” Sarah mencengkeram sofa mobil yang ia duduki, perempuan itu sudah melafadzkan kalimat dzikir berkali-kali.

 

Mobil yang dikendarai Bagas meluncur dengan sangat cepat, berkali-kali mobil itu hampir menabrak kendaraan lain. Namun, Bagas tidak mengatakan apapun, selain terus melajukan kendaraannya.

 

Sarah sudah memohon berkali-kali kepada pria itu, tetapi, Bagas seakan-akan tuli, dia tidak mau mendengarkan.

 

“Gas, itu bukan mau aku!” teriak Sarah yang tahu apa yang membuat pria itu marah. Muak dipojokkan, Sarah tidak bisa menahan diri untuk berteriak, "Pada akhirnya, kamu yang menerima permintaan Ibu!"

 

Mobil Bagas yang masih meluncur cepat tiba-tiba berhenti mendadak hingga kepala Sarah membentur dashboard mobil. “Astaghfirullah…” Sarah memundurkan tubuhnya saat Bagas hampir mengurungnya, perempuan itu bahkan menahan nafasnya saat pria itu memasang wajah mengerikan.

 

"Kamu menyalahkanku?" tanya Bagas dengan nada kejam. "Kalau bukan karena kondisi keuangan keluargamu yang miskin itu, mana mungkin kita berakhir di posisi ini?!"

 

Sarah terdiam, membelalak ketika mendengar ucapan Bagas. Hatinya terasa sakit mendengar hinaan yang meluncur keluar dari bibir pria tersebut.

 

"Kenapa, Sarah?" tanya Bagas, memandang wanita di hadapannya dengan pandangan mengejek. "Aku tahu kalau saat ini ibumu membutuhkan biaya yang besar.” Dia melanjutkan, “Kamu benar-benar sedang membutuhkan uang, kan?”

 

Sarah ingin membalas kalimat Bagas, tetapi semua yang pria itu katakan adalah kebenaran. Dia bungkam, bingung bagaimana cara membalasnya.

 

“Kalau yang kamu butuhkan hanya uang, aku bisa memberikannya. Tidak perlu dengan cara licik seperti ini.”

 

“Tapi, Gas… Aku benar-benar nggak–” Sarah kehilangan kata-kata saat Bagas tidak lagi ingin mendengarkan penjelasannya. Padahal, dia memiliki banyak penjelasan atas semua hal yang terjadi, yang diluar dugaan ini.

 

“Sudahlah. Semuanya sudah terlanjur. Pengumuman sudah dibuat.”

 

“Tapi, semuanya masih bisa dibatalkan, Gas. Aku temani membujuk ibumu untuk membatalkan rencana itu…” Sarah bersikeras untuk meyakinkan Bagas jika semuanya masih belum terlambat.

 

Bagas tertawa kencang sekali. “Kamu itu … licik sekali. Kamu yang merencanakan semua ini, tapi juga berniat membatalkannya? Jangan konyol.” Dia menggelengkan kepalanya. “Hal ini sudah tidak bisa dibatalkan. Aku juga tidak ingin membuat keluargaku malu.”

 

“Tapi, Gas…”

 

Sarah terdiam saat Bagas mengangkat tangannya. “Kita akan tetap menikah, Sarah. Itu sudah diputuskan oleh ibu.”

 

Bagas menginjak gas mobilnya, membuat mobil itu kembali berjalan. Sebuah tawa rendah terdengar dari pria tersebut, membuat Sarah bergidik ngeri.

 

Ketika dia mendengar ucapan Bagas selanjutnya, Sarah tahu bahwa dunianya akan segera berubah. "Tapi jangan berharap kamu akan bahagia. Karena yang kamu dapatkan adalah neraka.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status