Seorang gadis menyeka keringat yang membasahi rambut sepinggangnya. Ia terus mengayuh sepeda untuk sampai di tempat kerjanya yang berada di pusat kota. Ia adalah Riani Mutia Azzahra, seorang karyawan pabrik biasa yang bekerja di sebuah perusahaan manufaktur tekstil terkenal. Riani cukup beruntung bisa bekerja di pabrik terbesar se Asia itu. Riani memang sudah bekerja semenjak ia lulus SMA di pabrik ini. Riani sebenarnya adalah seorang siswi yang pintar. Akan tetapi, gadis itu tidak bisa mengenyam perkuliahan seperti mimpinya. Riani harus mengubur keinginan melanjutkan pendidikannya karena terhalang oleh ekonomi keluarga. Jangankan untuk kuliah, untuk makan saja mereka kesusahan.
"Hufftt, sebentar lagi!" Riani mengatur nafasnya begitu pabrik sudah mulai terlihat. Riani mempercepat kayuhannya, berharap dirinya bisa segera duduk untuk melepas lelah.Sesekali Riani melirik kotak plastik yang ia bawa. Riani memang berjualan gorengan di pabrik. Ia biasa membawa dagangannya ke pabrik berharap teman-temannya dapat membeli. Riani berjualan sebagai tambahan untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Riani memang memiliki gaji yang cukup besar. Akan tetapi, gaji Riani di pabrik hanya cukup digunakan untuk keperluan sehari-hari keluarganya dan untuk biaya sekolah adiknya. Sedangkan untuk pengeluaran pengobatan ayahnya, Riani harus berjualan gorengan di pabrik. Terlebih saat ini, biaya pengobatan ayahnya semakin mahal. Membuat Riani harus semakin merekatkan ikat pinggangnya semakin kencang. Riani harus merasakan beban yang sangat berat di usia mudanya.Saat sepedanya hendak memasuki gerbang pabrik, sebuah mobil SUV mengklakson Riani. Hal itu membuat gadis itu kaget dan kehilangan keseimbangan. Riani pun terjatuh dari sepedanya."Aww!!" Riani memegangi sikunya yang berdarah. Tak lupa, matanya menangkap gorengan yang sudah ia goreng dari pagi buta berserakan di jalanan."Neng, tidak apa-apa?" Seorang satpam yang menjaga gerbang pabrik membantu Riani. Ia mengambil sepeda Riani yang tergeletak begitu saja di jalanan."Tidak apa-apa, Pak," Riani berusaha untuk berdiri. Ia kemudian menatap pengemudi mobil yang saat ini turun dan melihatnya dengan tatapan penuh intimidasi."Eh si anak ODGJ!" Seorang pria seumuran dengan Riani tersenyum merendahkan. Ia adalah Kenzo, pria yang baru saja di tunjuk oleh orang tuanya untuk mengurus pabrik keluarga mereka. Hari ini Kenzo datang untuk memeriksa keadaan pabrik dan juga mengambil laporan yang penting."Maaf, Pak. Saya terjatuh karena Bapak mengklakson saya secara tiba-tiba. Padahal Bapak tahu sepeda saya sudah akan masuk ke dalam gerbang. Seharusnya Bapak minta maaf, tapi Bapak malah menghina orang yang ditabrak," Riani berusaha melawan, walaupun Kenzo adalah pemilik perusahaan di tempatnya bekerja.Kenzo menautkan alisnya dengan geram. Ia begitu tersinggung mendengar ucapan dari Riani. Bisa-bisanya seorang operator pabrik berkata demikian padanya. Perlu diketahui, Kenzo adalah teman semasa SMA Riani. Saat SMA, Kenzo acap kali membully Riani, hanya karena gadis malang itu adalah seorang putri dari ayah yang memiliki gangguan jiwa. Sialnya lagi, Riani pun saat ini bekerja di pabrik manufaktur milik keluarga Kenzo. Saat Riani pertama kali melamar ke perusahaan ini, ia tidak tahu jika perusahaan besar yang bergetak di bidang manufaktur itu adalah milik keluarga musuhnya."Kalau tidak bisa sepeda, tidak usah bawa! Apalagi sepeda rongsok. Bikin sakit mata aja! Bikin halaman pabrik tidak indah!!" Ucapnya dengan sedikit membentak."Nah kan, sekarang Bapak yang terhormat menyalahkan saya. Mohon maaf, Bapak tadi tiba-tiba mengklakson saya lho, padahal saya udah mau masuk ke halaman kantor," Riani masih bertutur sopan walau kata-katanya cukup tajam di telinga Kenzo."Berani ya sama Bos sendiri?" Kenzo menatap tak mau kalah."Udah atuh Neng, Tuan! Maaf banget Tuan, tapi emang Tuan Kenzo nya yang salah kok. Tadi kan Neng Riani di depan dan mau masuk gerbang. Tapi Tuan malah mengklakson, jadi Neng Riani kan kaget," ucap satpam yang bernama mang Udin menengahi. Ia berkata dengan tertunduk. Takut Kenzo marah padanya. Tapi bagaimana pun dia melihat semua kejadian tadi dan tidak bisa membiarkan Riani di intimidasi."Nah kan!! Mang Udin aja tahu Bapak yang salah!" Riani tidak gentar dengan tatapan intimidasi dari Kenzo.Jika dulu pria itu sering kali membully nya beramai-ramai dan Riani hanya bisa diam. Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Riani tidak ingin dirinya diinjak injak. Apalagi hal itu menyangkut ayahnya. Walaupun ia hanya seorang operator pabrik, tapi Kenzo tidak bisa memperlakukannya dengan semena-mena. Jika namanya orang salah, dia tetap salah sekalipun dia adalah bos."Mang Udin nyalahin saya?" Kenzo memelototkan matanya. Ia memang kerap kali bersikap arogan, karena Kenzo terlahir dengan privillagenya. Kenzo adalah seorang anak yang sudah dilimpahi oleh kekayaan dan kasih sayang yang berlebihan oleh orang tuanya sedari kecil."Bapak lihat? Dagangan saya habis semua!!" Riani menunjuk gorengannya yang sudah tidak bisa dijual hari ini."Alasannya uang kan?" Kenzo mengambil beberapa lembar uang ratusan dari dalam dompetnya dan melemparkannya ke arah Riani. Untung saja belum ada karyawan yang datang dan menyaksikan aksi penghinaan Kenzo."Minggir!!!" Ucapnya lagi.Riani langsung mengambil uang itu dan mengambil tasnya yang masih tergeletak di tanah. Tak mungkin dirinya menolak uang itu. Riani tidak ingin munafik. Ia butuh uang. Apalagi Riani memerlukan uang untuk modal berjualan esok hari."Dasar orang miskin!" Kenzo masuk kembali ke dalam mobilnya dan meninggalkan Riani beserta dengan sepeda bututnya."Sabar ya, Neng? Tuh orang emang semaunya. Ya, Neng kan tau sekarang dia jadi pemimpin di perusahaan in sekarang. Jauh banget deh sama sifat Bapaknya yang rendah hati dan tidak sombongi," Mang Udin menghibur hati Riani yang amat pedih."Iya, Mang. Riani masuk dulu ya? Makasih Mang Udin udah bantuin tadi," Riani membawa sepedanya menjauh.Sebelum masuk, Riani memarkirkan sepedanya dulu di area parkiran yang diperuntukan untuk para karyawan bagian produksi. Riani kemudian terduduk di gazebo yang tak jauh dari parkiran. Air matanya menitik sambil melihat uang-uang yang Kenzo lemparkan tadi.Flashback...."Ri, bapak kamu ngamuk lagi tuh!" Seru sahabat Riani yang bernama Shakila. Ia tergopoh-gopoh datang ke kelas untuk memberitahukan hal yang dilihatnya."Di mana, Sha?" Riani langsung menutup buku yang sedang ia baca."Di depan gerbang. Lagi di gangguin sama si Kenzo, dll!" Shakila mengatur nafasnya karena tadi ia berlarian untuk bisa cepat ke kelas.Riani tidak menjawab, ia langsung berlari keluar dari kelasnya menuju gerbang depan sekolah. Di sana ia melihat ayahnya sedang di ganggu oleh Kenzo dam juga teman-temannya yang lain."Bapak!!" Riani mendekati ayahnya yang bernama Pak Andi."Eh ada anaknya gays!" Kenzo tertawa tawa."Akhirnya Nyi Blorong datang!" Seru Pak Andi yang melihat kedatangan putri sulungnya itu. Ia berjingkat-jingkat senang. Pak Andi memang selalu datang ke sekolah Riani, karena kontrakan mereka berada tepat di belakang sekolah."Hahaaha, Nyi Blorong!!" Semua tertawa-tawa mendengar ocehan Pak Andi yang sudah kehilangan kewarasannya."Kalian semua diaam!!" Riani berteriak. Ia sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Setiap hari ia selalu dirundung karena Pak Andi yang selalu datang ke sekolah dan berprilaku aneh."Anaknya ngamuk hahahaha!!' Mereka semua terus tertawa menertawakan kemalangan ayah dan anak itu."Ri, pasung aja kali bokap lu!" Seru teman Kenzo yang berasal dari ibu kota."Aku harap kalian tidak sakit seperti sakit yang diderita Bapak!" Air mata Riani terus meleleh. Hatinya amat sakit dengan prilaku teman-temannya yang kerap kali melecehkan ayahnya."Nyi Blorong jangan nangis! Jadi mirip musang," oceh Pak Andi sambil tertawa tawa."Hahahahaha!!" Semua orang yang di sana terus menertawai kenestapaan hidup Riani."Ayo, Pak! Kita pulang ya?" Riani menarik tangan ayahnya menuju belakang sekolah, tepatnya menuju kontrakan mereka."Ibuuu, Bapak ke sekolah lagi!!" Riani berteriak memanggil ibu tirinya yang bernama Tuti."Berulah lagi dia?" Tuti melihat ayah dan anak itu dengan malas.Riani memang sudah tidak memiliki ibu, karena ibu Riani kabur dengan selingkuhannya saat dirinya berusia 5 bulan. Tepat saat Riani berumur 5 tahun, Pak Andi memutuskan untuk menikah lagi dengan Tuti. Tuti selalu mengeluh akan perekonomian mereka. Maklum saja, Pak Andi hanya bekerja sebagai penjual harum manis/permen kapas keliling. Selain mengeluh, Tuti tak segan untuk bersikap kasar padanya jika suaminya itu tidak membawa uang sepeser pun.Tuti juga kerap kali berhutang kepada Bank, rentenir dan yang lainnya. Setiap harinya akan ada penagih hutang ke rumah mereka. Tak jarang Pak Andi pun turut di ancam jika tidak membayar. Hal itulah yang membuat jiwa Pak Andi bergejolak dan kemudian mulai berbicara ngawur saat Riani duduk di bangku kelas tiga SMP."Obatnya belum ditebus lagi, Bu?" Riani berbicara dengan pelan."Ditebus ditebus. Kamu pikir aku ini punya banyak duit, hah?" Tuti memelototkan matanya."Bukannya ibu kemaren baru dapat bonus dari majikan ibu?" Riani menundukan kepalanya. Siap dengan omelan pedas yang akan diluncurkan oleh ibu sambungnya itu."Bonus, bonus. Tahu apa kamu, Ri? Harusnya bapak kamu yang nafkahin ibu. Bukan ibu yang nafkahin kalian. Gaji sama bonus yang dikasih kemaren udah ibu belikan semua kebutuhan sekolah Gita," omel Bu Tuti. Gita memang anak Pak Andii dari pernikahannya bersama Tuti."Kalau pengen nebus obat bapak kamu, kamu jualan tambah giat! Gaji ibu sebagai asisten rumah tangga gak bisa cover semua kebutuhan kita," Tuti berkacak pinggang di hadapan Riani yang masih memegangi lengan ayahnya."Hantunya lagi Marah. Nyi Blorong harus lawan!!" Pak Andi mulai mengoceh lagi.Riani hanya meneguk salivanya yang terasa kering di tenggorokannya. Nasib mereka amatlah pilu. Untuk sekedar menebus obat, Riani amat kesulitan. Pihak RT pun tidak mendaftarkan Pak Andi sebagai penerima kartu bantuan kesehatan bagi orang miskin. Entah apa alasannya."Ya udah, jagain Bapak ya, Bu? Riani harus ke sekolah lagi," Riani pamit kepada Tuti."Hem," jawab Tuti sambil mengalihkan wajahnya.Riani pun meninggalkan rumah kontrakannya dengan perih. Bukan malu karena Pak Andi terus datang ke sekolahnya, tapi Riani merasa jika penyakit ayahnya semakin parah.Riani terbuyar dari lamunannya. Ia segera meninggalkan area Gazebo. Riani menggendong tas usang berwarna krem yang sudah ia pakai semenjak duduk di bangku SMA. Tak lupa Riani juga menjinjing kotak berbahan plastik yang jadi tempat menyimpan gorengannya. Saat akan masuk ke dalam area produksi, tangan Riani di tarik oleh seseorang."Ri, mau lemper dua dong sama tahunya tiga," ucap salah seorang teman dekat Riani yang juga menjadi operator produksi yang bernama Asti. Gadis itu langsung memesan karena perutnya amat keroncongan. Maklum saja, Asti tadi tidak sempat sarapan di rumah."Gak ada. Gorengannya abis, Ti," Riani menatap wajah temannya."Lah, kok bisa?" Asti menimpali."Tadi ada mobil yang ngelakson. Akunya kaget dan jatuh. Jadi aja barang dagangannya berserakan di jalan," jawab Riani. Kebetulan Kenzo ada tak jauh dari mereka. Kenzo memang sedang ke area produksi untuk mencari manajer produksi."Kamunya ga apa-apa?" Asti mengambil tangan Riani dan memperhatikannya dengan seksama. Tak
Riani bekerja seperti biasa, pekerjaannya adalah memilah baju yang sudah di finishing. Dia ditempatkan di posisi Quality control atau sering disingkat dengan QC. Riani harus bersikap profesional. Jiika sudah melangkah ke pabrik, Riani akan melupakan semua masalahnya di rumah. Riani mencoba untuk fokus dengan segala kewajibannya sebagai pekerja. Riani sadar posisi QC memerlukan ketelitian yang sangat tinggi. "Segera bersihkan area kerja kalian! Hari ini ada Tuan Kenzo yang akan melakukan audit di tempat produksi bersama cliennya dari Jepang!" Seru ketua regu yang bernama pak Roby. "Oke, Pak!" Jawab semua karyawan produksi dengan serempak. Dengan cepat, mereka mengambil sapu, pengki, dan peralatan kebersihan yang lain. Mereka fokus memeriksa meja kerja mereka sedetail mungkin. Mereka tak ingin terkena SP atau mendapat surat teguran karena area kerja yang kotor. Sejak Kenzo mengambil alih perusahaan, semua aturan sangatlah ketat. Kebersihan area kerja menjadi hal yang sangat diperhatik
Tuti menghitung uang yang tersisa di dompet. Di dompetnya hanya tersisa sepuluh ribu rupiah. Kemarin uang gaji Riani ia pergunakan untuk ulang tahun anak kesayangannya, Gita. Tuti mendecakan lidahnya saat mengingat tanggal berapa Riani mendapatkan gaji, dan itu masih tiga Minggu lagi. Sangat lama. Kepala Tuti pusing tujuh keliling. Selain karena bahan pokok sudah habis, hari ini pun ada bank keliling yang akan meminta setoran untuk cicilan hutangnya. Ah, membayangkannya saja pusing bukan kepalang! "Tuti, ayo kita kumpulan! Si bapak adminnya udah ada tuh!" Seru tetangga Tuti, ia mengajak rekannya itu untuk berkumpul di rumah salah satu warga untuk menyetorkan cicilan. "Ya!" Sahut Tuti malas. Meskipun Tuti tak punya uang, ia wajib mengikuti perkumpulan itu. Semua duduk di teras salah satu rumah warga. Semua warga menyetorkan sejumlah uang pada pekerja bank yang dipercaya sebagai penagih. Kini giliran Tuti, namun ia tak bisa menyempilkan sejumlah uang di buku catatan utangnya. "Maaf,
Kenzo tengah asyik bermain billiard di ruangan khusus yang ada di rumahnya. Sesekali pria tampan dan jangkung itu tersenyum puas ketika bola yang ia pukul masuk secara akurat ke dalam lubang."Hebat lu, Ken!" Teman yang menemaninya bermain billiard memberikan pujian. Kenzo pun meletakan tongkat billardnya dengan asal. Kenzo kemudian mendudukan dirinya di atas sofa, sedangkan tangannya sibuk membuka minuman kemasan dingin yang akan ia teguk."Gimana kerjaan lu?" Teman Kenzo yang bernama Ardy terduduk di samping Kenzo. Pria itu memang terbiasa memanggil sapaan Gue-Lu karena dirinya berasal dari ibu kota."Ya gitu gitu aja!" Jawab Kenzo sembari meneguk minuman yang ada di tangannya. Setelah puas menuntaskan dahaganya, Kenzo menyimpan botol minuman itu di atas meja kecil."Mumet gak sih lu harus kerja keras tiap hari?" Ardy mengambil ponsel boba merk terbaru yang baru saja rilis bulan ini."Ya namanya kerja. Mumet sih pasti. Lagian gak tiap hari gue sibuk," Kenzo ikut mengeluarkan ponsel d
Kenzo tidak menyia-nyiakan waktu, keesokan harinya ia mengirimkan pesan agar Riani datang ke apartemen miliknya malam ini. Kenzo pun menggunakan nama samaran saat dirinya berhubungan dengan Tuti via medsos. Kenzo memperkenalkan dirinya sebagai Om Deni yang berusia 60 tahun. Di tempat lain, Tuti tampak senang karena Riani akan dijadikan alat pemu*s n*fsu pria tua. Tuti memutar otaknya agar Riani bisa datang ke apartemen milik Kenzo."Gimana caranya buat nih anak datang ke alamat si tua bangka Deni?" Tuti memijat keningnya yang seakan terus berdenyut. Ia terus menatap alamat apartemen yang Kenzo kirimkan padanya.Bak gayung bersambut, saat Tuti tengah sibuk memikirkan cara Riani datang kepada Kenzo, seorang tetangganya mengetuk pintu rumah Tuti dengan sangat keras."Ada apa sih? Kaya mau gerebek pasangan selingkuh aja?" Semprot Tuti kepada seorang pria yang seumuran dengannya."Ti, itu si Andi!!" Tetangga Tuti tampak mengatur nafasnya yang cepat. Terlihat pria paruh baya itu sangat panik
"Ibu jual Riani?" Riani berkata setengah berbisik."Gak ada yang jual kamu, Ri. Kebetulan ada yang tertarik sama kamu dan mau kasih uang dengan catatan kamu jadi simpanan dia. Jangan jadi gadis bodoh, Ri! Kita selama ini udah hidup susah. Mungkin ini cara tuhan buat ngangkat drajat hidup kita!" Tuti berkata sambil menatap tajam pada Riani."Tuhan ngangkat derajat kita? Aku tidak ngerti sama jalan pikiran ibu. Bu, ini tuh dosa besar. Ibu sadar engga?" Air mata meleleh di wajah ayu gadis itu."Ri? Ayo kita duduk, Nak!" Tuti berpura-pura bersikap lembut.Tuti menuntun putri sambungnya itu untuk duduk di kursi panjang yang ada di pelataran rumah sakit. Tuti merasa jika Riani harus di bujuk secara baik-baik. Riani pun patuh. Tak lupa ia menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya dengan ibu jari."Ri, selama ini memang ibu selalu menghina, marah-marah sama bapak kamu. Tapi percayalah, Ri. Ibu sangat sayang sama Bapak. Ibu sayang sama dia walau Bapak kamu udah gak normal kaya kita," Tuti
Di sinilah Riani berada. Matanya tengah menatap pintu apartemen yang akan menjadi tempat kenestapaan hidupnya yang baru. Riani melangkah mundur, berusaha menyelamatkan tubuh dan harga dirinya. Tapi sekelebat wajah ayahnya hadir di pelupuk mata. Akan seperti apa jadinya jika Riani kabur dari pria yang ia ketahui bernama Om Deni? Riani meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Jadi, akan seperti ini kah akhir hidupnya? Setetes air mata menetes dari matanya yang sayu. Riani menatap bel dengan sangat lama. Tangannya yang gemetar kemudian memencet bel apartemen mewah itu.Ceklek...Pintu terbuka. Akan tetapi, Riani tidak melihat pria ber*ngsek itu. Riani memindai ruangan dari depan pintu. Ingin melihat pria keji yang akan menghancurkan hidupnya. Tapi ia tidak melihat siapa pun di sana."Masuk!" Suara bariton pria membuyarkan lamunan Riani. Dadanya seakan dihimpit oleh batu yang amat besar di dasar jurang yang dalam. Dadanya sangat sesak bak tenggelam di Palung Mariana. Riani meneguk salivanya,
"Selangkah saja kamu keluar dari kamarku, lihat apa yang akan terjadi dengan ayahmu esok hari!" Ancam Kenzo yang membuat langkah Riani terhenti seketika."Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" Riani mencoba menantang pria tampan itu. Ia masih belum tahu apa yang bisa teman SMA nya itu lakukan."Benar kamu ingin tahu?" Kenzo terbangun dari kasur empuk itu. Langkahnya mendekat ke arah Riani. Riani semakin waspada dengan pergerakan yang Kenzo buat."Kamu tidak akan bisa macam-macam!" Riani menggelengkan kepalanya."Aku bisa membuat ayahmu dijemput malaikat maut esok hari," Kenzo berbisik di telinga Riani."Apa maksudmu?" Riani terkesiap mendengar ucapan Kenzo."Kamu lupa aku memiliki banyak uang? Asal kamu tahu, rumah sakit tempat ayahmu di rawat adalah milik kakekku. Aku tinggal menyuruh seseorang untuk menyuntikan sesuatu pada infusan ayahmu. Dan Duaaarrr! Kamu akan melihat ayahmu di ruang jenazah," Kenzo tersenyum miring menikmati raut wajah ketakutan Riani."Jangan, Kenzo! Aku mohon