Share

Daughter For Sale
Daughter For Sale
Penulis: Zinnia Azalea

Prolog

Seorang gadis menyeka keringat yang membasahi rambut sepinggangnya. Ia terus mengayuh sepeda untuk sampai di tempat kerjanya yang berada di pusat kota. Ia adalah Riani Mutia Azzahra, seorang karyawan pabrik biasa yang bekerja di sebuah perusahaan manufaktur tekstil terkenal. Riani cukup beruntung bisa bekerja di pabrik terbesar se Asia itu. Riani memang sudah bekerja semenjak ia lulus SMA di pabrik ini. Riani sebenarnya adalah seorang siswi yang pintar. Akan tetapi, gadis itu tidak bisa mengenyam perkuliahan seperti mimpinya. Riani harus mengubur keinginan melanjutkan pendidikannya karena terhalang oleh ekonomi keluarga. Jangankan untuk kuliah, untuk makan saja mereka kesusahan.

"Hufftt, sebentar lagi!" Riani mengatur nafasnya begitu pabrik sudah mulai terlihat. Riani mempercepat kayuhannya, berharap dirinya bisa segera duduk untuk melepas lelah.

Sesekali Riani melirik kotak plastik yang ia bawa. Riani memang berjualan gorengan di pabrik. Ia biasa membawa dagangannya ke pabrik berharap teman-temannya dapat membeli. Riani berjualan sebagai tambahan untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Riani memang memiliki gaji yang cukup besar. Akan tetapi, gaji Riani di pabrik hanya cukup digunakan untuk keperluan sehari-hari keluarganya dan untuk biaya sekolah adiknya. Sedangkan untuk pengeluaran pengobatan ayahnya, Riani harus berjualan gorengan di pabrik. Terlebih saat ini, biaya pengobatan ayahnya semakin mahal. Membuat Riani harus semakin merekatkan ikat pinggangnya semakin kencang. Riani harus merasakan beban yang sangat berat di usia mudanya.

Saat sepedanya hendak memasuki gerbang pabrik, sebuah mobil SUV mengklakson Riani. Hal itu membuat gadis itu kaget dan kehilangan keseimbangan. Riani pun terjatuh dari sepedanya.

"Aww!!" Riani memegangi sikunya yang berdarah. Tak lupa, matanya menangkap gorengan yang sudah ia goreng dari pagi buta berserakan di jalanan.

"Neng, tidak apa-apa?" Seorang satpam yang menjaga gerbang pabrik membantu Riani. Ia mengambil sepeda Riani yang tergeletak begitu saja di jalanan.

"Tidak apa-apa, Pak," Riani berusaha untuk berdiri. Ia kemudian menatap pengemudi mobil yang saat ini turun dan melihatnya dengan tatapan penuh intimidasi.

"Eh si anak ODGJ!" Seorang pria seumuran dengan Riani tersenyum merendahkan. Ia adalah Kenzo, pria yang baru saja di tunjuk oleh orang tuanya untuk mengurus pabrik keluarga mereka. Hari ini Kenzo datang untuk memeriksa keadaan pabrik dan juga mengambil laporan yang penting.

"Maaf, Pak. Saya terjatuh karena Bapak mengklakson saya secara tiba-tiba. Padahal Bapak tahu sepeda saya sudah akan masuk ke dalam gerbang. Seharusnya Bapak minta maaf, tapi Bapak malah menghina orang yang ditabrak," Riani berusaha melawan, walaupun Kenzo adalah pemilik perusahaan di tempatnya bekerja.

Kenzo menautkan alisnya dengan geram. Ia begitu tersinggung mendengar ucapan dari Riani. Bisa-bisanya seorang operator pabrik berkata demikian padanya. Perlu diketahui, Kenzo adalah teman semasa SMA Riani. Saat SMA, Kenzo acap kali membully Riani, hanya karena gadis malang itu adalah seorang putri dari ayah yang memiliki gangguan jiwa. Sialnya lagi, Riani pun saat ini bekerja di pabrik manufaktur milik keluarga Kenzo. Saat Riani pertama kali melamar ke perusahaan ini, ia tidak tahu jika perusahaan besar yang bergetak di bidang manufaktur itu adalah milik keluarga musuhnya.

"Kalau tidak bisa sepeda, tidak usah bawa! Apalagi sepeda rongsok. Bikin sakit mata aja! Bikin halaman pabrik tidak indah!!" Ucapnya dengan sedikit membentak.

"Nah kan, sekarang Bapak yang terhormat menyalahkan saya. Mohon maaf, Bapak tadi tiba-tiba mengklakson saya lho, padahal saya udah mau masuk ke halaman kantor," Riani masih bertutur sopan walau kata-katanya cukup tajam di telinga Kenzo.

"Berani ya sama Bos sendiri?" Kenzo menatap tak mau kalah.

"Udah atuh Neng, Tuan! Maaf banget Tuan, tapi emang Tuan Kenzo nya yang salah kok. Tadi kan Neng Riani di depan dan mau masuk gerbang. Tapi Tuan malah mengklakson, jadi Neng Riani kan kaget," ucap satpam yang bernama mang Udin menengahi. Ia berkata dengan tertunduk. Takut Kenzo marah padanya. Tapi bagaimana pun dia melihat semua kejadian tadi dan tidak bisa membiarkan Riani di intimidasi.

"Nah kan!! Mang Udin aja tahu Bapak yang salah!" Riani tidak gentar dengan tatapan intimidasi dari Kenzo.

Jika dulu pria itu sering kali membully nya beramai-ramai dan Riani hanya bisa diam. Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Riani tidak ingin dirinya diinjak injak. Apalagi hal itu menyangkut ayahnya. Walaupun ia hanya seorang operator pabrik, tapi Kenzo tidak bisa memperlakukannya dengan semena-mena. Jika namanya orang salah, dia tetap salah sekalipun dia adalah bos.

"Mang Udin nyalahin saya?" Kenzo memelototkan matanya. Ia memang kerap kali bersikap arogan, karena Kenzo terlahir dengan privillagenya. Kenzo adalah seorang anak yang sudah dilimpahi oleh kekayaan dan kasih sayang yang berlebihan oleh orang tuanya sedari kecil.

"Bapak lihat? Dagangan saya habis semua!!" Riani menunjuk gorengannya yang sudah tidak bisa dijual hari ini.

"Alasannya uang kan?" Kenzo mengambil beberapa lembar uang ratusan dari dalam dompetnya dan melemparkannya ke arah Riani. Untung saja belum ada karyawan yang datang dan menyaksikan aksi penghinaan Kenzo.

"Minggir!!!" Ucapnya lagi.

Riani langsung mengambil uang itu dan mengambil tasnya yang masih tergeletak di tanah. Tak mungkin dirinya menolak uang itu. Riani tidak ingin munafik. Ia butuh uang. Apalagi Riani memerlukan uang untuk modal berjualan esok hari.

"Dasar orang miskin!" Kenzo masuk kembali ke dalam mobilnya dan meninggalkan Riani beserta dengan sepeda bututnya.

"Sabar ya, Neng? Tuh orang emang semaunya. Ya, Neng kan tau sekarang dia jadi pemimpin di perusahaan in sekarang. Jauh banget deh sama sifat Bapaknya yang rendah hati dan tidak sombongi," Mang Udin menghibur hati Riani yang amat pedih.

"Iya, Mang. Riani masuk dulu ya? Makasih Mang Udin udah bantuin tadi," Riani membawa sepedanya menjauh.

Sebelum masuk, Riani memarkirkan sepedanya dulu di area parkiran yang diperuntukan untuk para karyawan bagian produksi. Riani kemudian terduduk di gazebo yang tak jauh dari parkiran. Air matanya menitik sambil melihat uang-uang yang Kenzo lemparkan tadi.

Flashback....

"Ri, bapak kamu ngamuk lagi tuh!" Seru sahabat Riani yang bernama Shakila. Ia tergopoh-gopoh datang ke kelas untuk memberitahukan hal yang dilihatnya.

"Di mana, Sha?" Riani langsung menutup buku yang sedang ia baca.

"Di depan gerbang. Lagi di gangguin sama si Kenzo, dll!" Shakila mengatur nafasnya karena tadi ia berlarian untuk bisa cepat ke kelas.

Riani tidak menjawab, ia langsung berlari keluar dari kelasnya menuju gerbang depan sekolah. Di sana ia melihat ayahnya sedang di ganggu oleh Kenzo dam juga teman-temannya yang lain.

"Bapak!!" Riani mendekati ayahnya yang bernama Pak Andi.

"Eh ada anaknya gays!" Kenzo tertawa tawa.

"Akhirnya Nyi Blorong datang!" Seru Pak Andi yang melihat kedatangan putri sulungnya itu. Ia berjingkat-jingkat senang. Pak Andi memang selalu datang ke sekolah Riani, karena kontrakan mereka berada tepat di belakang sekolah.

"Hahaaha, Nyi Blorong!!" Semua tertawa-tawa mendengar ocehan Pak Andi yang sudah kehilangan kewarasannya.

"Kalian semua diaam!!" Riani berteriak. Ia sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Setiap hari ia selalu dirundung karena Pak Andi yang selalu datang ke sekolah dan berprilaku aneh.

"Anaknya ngamuk hahahaha!!' Mereka semua terus tertawa menertawakan kemalangan ayah dan anak itu.

"Ri, pasung aja kali bokap lu!" Seru teman Kenzo yang berasal dari ibu kota.

"Aku harap kalian tidak sakit seperti sakit yang diderita Bapak!" Air mata Riani terus meleleh. Hatinya amat sakit dengan prilaku teman-temannya yang kerap kali melecehkan ayahnya.

"Nyi Blorong jangan nangis! Jadi mirip musang," oceh Pak Andi sambil tertawa tawa.

"Hahahahaha!!" Semua orang yang di sana terus menertawai kenestapaan hidup Riani.

"Ayo, Pak! Kita pulang ya?" Riani menarik tangan ayahnya menuju belakang sekolah, tepatnya menuju kontrakan mereka.

"Ibuuu, Bapak ke sekolah lagi!!" Riani berteriak memanggil ibu tirinya yang bernama Tuti.

"Berulah lagi dia?" Tuti melihat ayah dan anak itu dengan malas.

Riani memang sudah tidak memiliki ibu, karena ibu Riani kabur dengan selingkuhannya saat dirinya berusia 5 bulan. Tepat saat Riani berumur 5 tahun, Pak Andi memutuskan untuk menikah lagi dengan Tuti. Tuti selalu mengeluh akan perekonomian mereka. Maklum saja, Pak Andi hanya bekerja sebagai penjual harum manis/permen kapas keliling. Selain mengeluh, Tuti tak segan untuk bersikap kasar padanya jika suaminya itu tidak membawa uang sepeser pun.

Tuti juga kerap kali berhutang kepada Bank, rentenir dan yang lainnya. Setiap harinya akan ada penagih hutang ke rumah mereka. Tak jarang Pak Andi pun turut di ancam jika tidak membayar. Hal itulah yang membuat jiwa Pak Andi bergejolak dan kemudian mulai berbicara ngawur saat Riani duduk di bangku kelas tiga SMP.

"Obatnya belum ditebus lagi, Bu?" Riani berbicara dengan pelan.

"Ditebus ditebus. Kamu pikir aku ini punya banyak duit, hah?" Tuti memelototkan matanya.

"Bukannya ibu kemaren baru dapat bonus dari majikan ibu?" Riani menundukan kepalanya. Siap dengan omelan pedas yang akan diluncurkan oleh ibu sambungnya itu.

"Bonus, bonus. Tahu apa kamu, Ri? Harusnya bapak kamu yang nafkahin ibu. Bukan ibu yang nafkahin kalian. Gaji sama bonus yang dikasih kemaren udah ibu belikan semua kebutuhan sekolah Gita," omel Bu Tuti. Gita memang anak Pak Andii dari pernikahannya bersama Tuti.

"Kalau pengen nebus obat bapak kamu, kamu jualan tambah giat! Gaji ibu sebagai asisten rumah tangga gak bisa cover semua kebutuhan kita," Tuti berkacak pinggang di hadapan Riani yang masih memegangi lengan ayahnya.

"Hantunya lagi Marah. Nyi Blorong harus lawan!!" Pak Andi mulai mengoceh lagi.

Riani hanya meneguk salivanya yang terasa kering di tenggorokannya. Nasib mereka amatlah pilu. Untuk sekedar menebus obat, Riani amat kesulitan. Pihak RT pun tidak mendaftarkan Pak Andi sebagai penerima kartu bantuan kesehatan bagi orang miskin. Entah apa alasannya.

"Ya udah, jagain Bapak ya, Bu? Riani harus ke sekolah lagi," Riani pamit kepada Tuti.

"Hem," jawab Tuti sambil mengalihkan wajahnya.

Riani pun meninggalkan rumah kontrakannya dengan perih. Bukan malu karena Pak Andi terus datang ke sekolahnya, tapi Riani merasa jika penyakit ayahnya semakin parah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bakso Abas
Kasian Riani nya Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status