Share

Riani Setuju

"Ibu jual Riani?" Riani berkata setengah berbisik.

"Gak ada yang jual kamu, Ri. Kebetulan ada yang tertarik sama kamu dan mau kasih uang dengan catatan kamu jadi simpanan dia. Jangan jadi gadis bodoh, Ri! Kita selama ini udah hidup susah. Mungkin ini cara tuhan buat ngangkat drajat hidup kita!" Tuti berkata sambil menatap tajam pada Riani.

"Tuhan ngangkat derajat kita? Aku tidak ngerti sama jalan pikiran ibu. Bu, ini tuh dosa besar. Ibu sadar engga?" Air mata meleleh di wajah ayu gadis itu.

"Ri? Ayo kita duduk, Nak!" Tuti berpura-pura bersikap lembut.

Tuti menuntun putri sambungnya itu untuk duduk di kursi panjang yang ada di pelataran rumah sakit. Tuti merasa jika Riani harus di bujuk secara baik-baik. Riani pun patuh. Tak lupa ia menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya dengan ibu jari.

"Ri, selama ini memang ibu selalu menghina, marah-marah sama bapak kamu. Tapi percayalah, Ri. Ibu sangat sayang sama Bapak. Ibu sayang sama dia walau Bapak kamu udah gak normal kaya kita," Tuti memelaskan suaranya.

"Ibu tidak tega lihat Bapak kamu kaya gini, Ri. Kira-kira biaya operasinya saja tiga puluh juga. Belum cek yang lainnya dan juga biaya rawat inap. Dari mana kita dapat uang segitu, Ri?" Tuti berusaha membujuk Riani dengan halus.

"Kamu pengen Bapak kamu tidak tertolong, Ri?" Tuti berpura-pura menangis.

Pertahanan Riani pun runtuh kembali. Ia kembali terisak. Riani tidak bisa membayangkan jika ayahnya pergi dari sisinya. Hanya Andi satu-satunya keluarga bagi Riani. Walaupun Gita adalah adik seayah dengannya, tapi gadis itu tidak pernah menghormati Riani sebagai kakaknya. Andi juga adalah alasan untuk Riani semangat mencari nafkah dan menjalani hidup yang terasa sangat berat.

"Ibu, aku mau Bapak selamat. Tapi tidak sengan menjadi simpanan seorang pria, Bu. Itu dosa, Bu. Ingat azab!" Riani menangis terisak. Merasa tidak terima jika dirinya harus berakhir menjadi wanita tidak benar.

"Terus, kamu punya uang buat biaya rumah sakit Bapak kamu?" Tuti mulai jengah dengan sikap Riani.

"Akan Riani usahakan, Bu. Kita bisa klaim dulu Jasa Rah*rdja karena Bapak adalah korban kecelakaan," Riani berkata dengan optimis.

"Ya udah, sana kamu urus aja, Ri!" Tuti mempersilahkan.

"Kalau gitu Riani tanya dulu ke bagian informasi ya, Bu? Semoga ada jalan!" Riani bangkit dari duduknya san berjalan meninggalkan Tuti di sana.

"Coba aja, Ri!" Tuti tersenyum sinis.

****

Riani berjalan dengan lemas menuju ruang IGD. Ia baru saja mendapatkan penjelasan dari bagian informasi. Seorang staff informasi memberikan penjelasan kepada Riani, jika untuk mengklaim jasa rah*rdja harus ada surat keterangan dari kepolisian, surat keterangan dokter dan juga kwitansi pembayaran dari rumah sakit. Itu artinya Riani memang harus menggunakan uangnya terlebih dahulu untuk biaya pengobatan ayahnya.

"Bagaimana lagi ini?" Riani berjalan dengan gontai. Tuti yang melihat Riani datang hanya menaikan sudut bibirnya.

"Sama siapa lagi aku harus meminta bantuan? Kenapa ujian ini terasa sangat berat?" Lirih Riani sembari menghapus air matanya yang seolah tiasa henti keluar dari matanya.

"Gimana, Ri? Bisa?" Tuti berdiri dari duduknya.

"Engga, Bu," jawab Riani pendek. Kemudian ia mendudukan dirinya di kursi tunggu.

Riani tengah bergelut dengan hatinya sendiri. Apakah Riani harus mengambil tawaran Tuti? Hatinya seakan memberontak. Riani tidak rela dirinya menjadi simpanan dari pria hidung belang. Tapi logikanya seakan memaksa Riani untuk menerima tawaran dari Tuti. Tidak ada cara lain saat ini untuk menolong Andi.

Seorang perawat kemudian keluar dari pintu IGD menemui Riani dan juga Tuti.

"Bu, setelah hasil evaluasi dari laboratorium dan dokter. Pak Andi harus segera melakukan operasi hari ini keadaan beliau saat ini sedang dalam kondisi kritis. Sudah mengurus semua administrasinya?" Perawat tadi bertanya kembali karna operasi harus segera dilaksanakan.

"Kami belum mengurus administrasinya, Sus!" Riani menjawab karena Tuti hanya berdiam diri.

"Keadaan Bapak sedang kritis. Operasi harus segera dilaksanakan. Keluarga harus segera mengurus segala administrasinya," perawat itu memasang mimik wajah yang serius. Kemudian ia berlalu masuk kembali ke dalam ruangan IGD. Mungkin perawat itu harus menyiapkan operasi yang akan Andi lakukan.

"Gimana, Ri? Semua keputusan ada di kamu," ucap Tuti. Ia yang sudah memiliki uang DP dari Kenzo belum mau membayar biaya rumah sakit Andi. Tuti takut Riani masih tidak mau dan ia harus berurusan dengan Om Deni alias Kenzo jika perjanjian mereka batal.

Riani terdiam cukup lama. Ia sangat paham nyawa ayahnya kini sedang dipertaruhkan. Tapi bagaimana lagi ia harus bersikap?

"Apa jika Riani mau menjadi simpanan pria itu, pria itu akan membayar biaya rumah sakit Bapak?" Riani bertanya dengan suara putus asanya. Kali ini ia harus melakukan pengorbanan yang sangat besar. Mengapa nasib baik selalu tak berpihak padanya?

"Tentu sana, Ri. Dia mau bayar biaya rumah sakit sekarang juga," wajah Tuti memancarkan kebahagiaan. Kini sisa uang 800 juta seakan sudah ada di pelupuk matanya.

"Baiklah, Riani mau. Tolong segera minta orang itu untuk membayar semua biaya rumah sakit Bapak," Riani berkata dengan suara bergetar. Ia sudah tidak memiliki pilihan apapun lagi.

"Makasih Ri udah mau berkorban untuk keluarga kita. Ibu hubungi dulu Om Deninya," Tuti merogoh ponsel di tangannya. Ia harus segera menghubungi Gita agar mentransfer uang untuk biaya pengobatan Andi. Gita sendiri sudah tahu apa yang terjadi, karena saat ia mendapat uang transfer dari Kenzo, Gita langsung menelfon Tuti.

"Bu, ini pengirim uang atas nama Kenzo Wijaya. Ibu tahu kan dia siapa?" Gita memberitahu ibunya saat di telfon tadi.

"Pengusaha sukses itu?" Tanya Tuti tak percaya.

"Iya, Bu. Nama pengirim uang itu adalah Kenzo Wijaya," Gita kembali melapor.

"Halah gak mungkin, Git. Mungkin nama anak pria tua bangka itu sama dengan pengusaha muda Kenzo Wijaya. Nama Kenzo Wijaya gak cuma satu kan di negara kita?" Tuti menepis kecurigaan Gita.

"Iya sih ibu bener. Jadi, ibu jual si Riani sama pria tua?" Gita cekikikan.

Gadis itu seolah tidak memiliki belas kasih kepada kakak perempuan yang selalu membanting tulang untuk keperluan hidupnya. Gita memang membenci Riani, karena ia selalu menganggap Riani adalah anak kesayangan Andi. Gita merasa cemburu Andi selalu mengspesialkan Riani sedari mereka kecil.

"Iya. Nanti kamu bisa diem di rumah dengan nyaman. Dia akan ngelayanin pria tua di apartemen. Si Gita bakal jadi wanita simpanan tua bangka beristri," cicit Tuti.

Begitulah percakapan ibu dan anak itu saat Tuti baru sampai ke rumah sakit.

*****

Riani bisa bernafas dengan lega. Operasi Andi sudah dilakukan sejam yang lalu. Kini ia tinggal menunggu Andi di ruang pemulihan dan masuk kamar rawat inap. Ada perasaan senang, terharu dan juga kesedihan yang mendalam saat Andi baru selesai di operasi. Riani kini teringat bahwa hidup barunya akan segera dimulai.

"Ri, Om Deni nyuruh kamu ke apartemen sekarang. Ini alamatnya," Tuti memberikan secarcik kertas kepada Riani tempat nomor apartemen yang Kenzo huni.

"Ibu," bibir Riani tampak bergetar.

"Ini sudah perjanjian, Ri. Jika kamu mangkir, Om Deni bakal hancurin keluarga kita. Om Deni bukan orang sembarangan," Tuti seolah memberikan ancaman di setiap perkataannya.

"Kalau aku pergi, bagaimana dengan Bapak?" Riani melihat kaca ruang pemulihan.

"Tenang aja. Bapak ibu yang jaga. Kamu pergi aja," usir Tuti kembali.

"Tapi, Bu-"

"Ri, sebaiknya kamu pergi. Kalau kamu macem-macem, Bapak kamu yang bakal jadi korban!" Suara Tuti meninggi.

"Kenapa harus aku, Bu? Kenapa bukan Gita?" Suara Riani terdengar menyayat hati.

"Karena kamu anak tertua, Ri. Kamu yang harus bertanggung jawab untuk keluarga kita. Udah kamu langsung pergi. Ibu udah pesenin taksi online buat kamu. Bilang makasih ke ibu, karena ibu gak nyuruh kamu naik angkot."

"Tapi tolong, Bu! Jaga Bapak dengan baik. Riani bakal hancurin semuanya kalau ibu abai sama Bapak," Riani mengancam.

"Kamu gak percaya sama ibu, Ri? Tenang aja, Bapak kamu aman sama Ibu. Ini nomor plat mobil taksi online kamu. Dan satu lagi, bilang kalau kamu yang pengen jadi simpanan dia. Jangan bawa-bawa ibu! Kalau kamu bawa-bawa Ibu, Bapak kamu yang ngurus siapa? Ibu takut dibawa-bawa," Tuti mempertegas.

"Iya, Bu," Riani berjalan meninggalkan Tuti.

"Hahaha, rasain kamu, Ri!" Tuti menyeringai jahat. Ia merasa tidak rugi sudah membayar biaya rumah sakit Andi seharga 55 juta, karena Kenzo akan mentransfer kembali uang 800 juta padanya.

Gadis malang itu berjalan gontai menuju halaman rumah sakit. Taksi online yang dipesankan Tuti melesat ke alamat yang tertera di aplikasi. Riani terus menangis di dalam mobil. Hari hari, angan-angan dan cita-citanya kini pupus sudah. Belum melakukan apapun, Riani merasa sudah jiji dengan tubuhnya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status