Kenzo tidak menyia-nyiakan waktu, keesokan harinya ia mengirimkan pesan agar Riani datang ke apartemen miliknya malam ini. Kenzo pun menggunakan nama samaran saat dirinya berhubungan dengan Tuti via medsos. Kenzo memperkenalkan dirinya sebagai Om Deni yang berusia 60 tahun. Di tempat lain, Tuti tampak senang karena Riani akan dijadikan alat pemu*s n*fsu pria tua. Tuti memutar otaknya agar Riani bisa datang ke apartemen milik Kenzo.
"Gimana caranya buat nih anak datang ke alamat si tua bangka Deni?" Tuti memijat keningnya yang seakan terus berdenyut. Ia terus menatap alamat apartemen yang Kenzo kirimkan padanya.Bak gayung bersambut, saat Tuti tengah sibuk memikirkan cara Riani datang kepada Kenzo, seorang tetangganya mengetuk pintu rumah Tuti dengan sangat keras."Ada apa sih? Kaya mau gerebek pasangan selingkuh aja?" Semprot Tuti kepada seorang pria yang seumuran dengannya."Ti, itu si Andi!!" Tetangga Tuti tampak mengatur nafasnya yang cepat. Terlihat pria paruh baya itu sangat panik."Ada apa sama si Andi? Ngomong yang jelas dong!" Tuti semakin tidak sabar saja."Si Andi ketabrak, Tut. Tadi dia ketawa-ketawa terus maen nyebrang aja. Taunya ada motor yang lintas," tetangga Tuti menceritakan nasib tragis yang dialami ayah Riani itu."Apa?" Tuti berteriak. Matanya membulat secara sempurna. Jika Andi kenapa-kenapa, siapa yang akan mencarikan nafkah untuknya? Karena faktanya Andi masih saja dipaksa menjual permen kapas oleh Tuti."Di mana dia sekarang? Gimana keadaannya?""Kamu liat aja lah ke rumah sakit. Si Andi udah dibawa sama yang nabrak," lapor pria itu kembali.Tanpa berpamitan atau mengucapkan terima kasih kepada tetangganya, Tuti segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas dan juga jaket rajutnya yang sudah usang. Ia harus segera datang ke rumah sakit dan menemui Andi. Tuti ingin segera tahu bagaimana keadaan Andi saat ini. Saat dirinya akan keluar dari dalam kamar, Tuti kemudian teringat kembali dengan Kenzo."Aku punya ide untuk membuat gadis pembaw sial itu datang ke apartemen pria kaya raya ini," Tuti tersenyum licik.Kemudian Tuti mengambil ponselnya. Ia lalu mengirimkan pesan agar Kenzo mengirimkan uang terlebih dahulu sebagai DP dari kesepakatan mereka."Ayahku masuk rumah sakit. Aku butuh uang sekarang," begitu isi chat Tuti pada Kenzo."Baiklah, mana nomor rekeningmu!" Balas Kenzo tak lama.Tuti pun segera memberikan nomor rekening milik Gita. Ia memberikan nomor rekening milik putrinya, karena Tuti tidak memiliki rekening Bank.Satu menit, dua menit berlalu. Tuti belum juga mendapatkan balasan dari Kenzo. Hingga menit ke empat, barulah ponselnya kembali berdering, menandakan adanya sebuah pesan baru di aplikasi chatting hijau miliknya.Tuti terkesiap. Ia membelalakan matanya begitu melihat nominal DP yang Kenzo berikan untuknya."Dua ratus juta? Aaaa!!!!" Tuti berteriak histeris saat melihat bukti transfer yang dikirimkan oleh Kenzo padanya. Pasalnya, Tuti belum pernah mempunyai uang sebanyak itu."Cepatlah bawa dirimu padaku!!" Kenzo membalas."Aku tidak akan mengecewakan dirimu," Tuti masih saja bersikap jika ia adalah Riani.Bukan tanpa alasan Tuti berlaku demikian. Tuti tidak ingin mengambil resiko jika ia memberitahukan bahwa diirnyalah atau ibu tiri Riani yang menjual gadis malang itu. Tuti hanya tidak ingin berurusan dengan hukum. Tuti tidak ingin dirinya di jerat dengan pasal perdagangan manusia. Maka dari itu tugasnya sekarang adalah bagaimana membuat Riani datang kepada Kenzo dan membuat Riani mengakui jika dirinyalah yang menjual dirinya sendiri.Tak ingin membuang waktu, Tuti segera menelfon atasan Riani yang bekerja sebagai seorang Kepala Regu di pabrik. Tuti memang tidak menelfon Riani secara langsung, karena saat Riani bekerja, ponselnya selalu di taruh di dalam loker sesuai dengan peraturan perusahaan.Usai menerima telfon dari Tuti, Kepala Regu pun memberitahukan kepada Riani jika ayahnya mengalami kecelakaan dan dilarikan ke sebuah rumah sakit swasta yang terkenal di pusat kota."Astagfirullah, Bapak!" Riani langsung meneteskan air matanya tatkala mengetahui kabar buruk mengenai ayahnya."Ri, sabar ya?" Teman Riani yang bernama Asti hanya bisa memberikan dukungan moril sebelum Riani meninggalkan mejanya.Riani langsung meminta izin kepada ketua regu untuk pulang. Ketua regu itu pun mengizinkan. Riani mengambil semua barang-barang miliknya di loker dan bergegas pergi ke rumah sakit yang diberitahukan oleh Tuti kepada ketua regu."Bapak, Riani mohon bertahanlah! Hanya Bapak yang Riani punya," Riani terus menangis sembari mengayuh sepedanya yang telah usang meninggalkan area pabrik.Kayuhan kakinya semakin cepat, berharap sepeda butut itu segera mengantarkan dirinya bertemu dengan sang ayahanda tercinta. Saat rumah sakit sudah dekat, Riani mengayuh sepedanya semakin cepat. Tak ia pedulikan kaki yang letih dan pegal karena harus mengayuh selama kurang lebih empat puluh menit."Kenapa Bapak bisa celaka, Bu?" Riani langsung melayangkan pertanyaan ketika ia sampai di IGD dan melihat Tuti di sana."Katanya Bapak kamu nyebrang gak liat-liat. Nyusahin aja! Dari mana kita dapet uang buat perawatan rumah sakit Bapak kamu? B*JS gak punya!! Yang nabrak juga abis bawa bapak kamu ke Rumah sakit, dia langsung pergi. Bapak kamu kayanya seneng banget bikin keluarga kita susah," Tuti langsung mengeluarkan uneg-unegnya.Walaupun keluarga mereka masuk ke dalam keluarga tidak mampu, tapi Andy tidak memiliki asuransi kesehatan gratis dari pemerintah. Saat Riani mengajukan hal itu kepada RT, RT setempat selalu beralasan jika Andi memiliki dua anak yang bekerja, dan tak layak mendapatkan bantuan. Bila punya pun, asuransi kesehatan tidak akan mengcover biaya rumah sakit pasien kecelakaan, karena itu menjadi tanggung jawab jasa rah*rja."Apa Riani urus aja ke dinsos ya, Bu? Urus surat keterangan tidak mampu. Atau kita urusin ke Jasa Rah*rja," Riani menjawab di isak tangisnya. Dirinya pun tidak tahu dari mana biaya perawatan Andi. Sementara Riani saja tidak mempunyai tabungan sepeser pun karena gajinya selalu habis dipakai untuk membiayai kebutuhan sehari-hari."Urus ke Jasa Rah*rja gimana? Dasar anak bodoh! Petugas rumah sakit udah minta kita buat urus segala administrasinya di depan!!" Semprot Tuti sehingga membuat beberapa orang menoleh pada mereka."Kita pikirkan nanti, Bu. Sekarang gimana keadaan Bapak?" Riani menatap pintu ruang IGD yang masih tertutup."Kata dokter kaki bapak kamu patah! Kata dokter harus segera operasi. Makin aja dia nyusahin kita!" Tuti melipat tangannya di dada."Astagfirullah, Bapak!!" Riani menangis histeris begitu mengetahui keadaan ayahnya."Yang harus nangis tuh ibu, Ri. Gimana kita dapet uang, Hah?" Tuti mendekat kepada Riani yang berdiri di depan ruang IGD."Riani coba minta pinjeman dulu ke perusahaan ya, Bu?" Riani menghapus air matanya dan mengambil ponselnya di dalam tas.Riani menelfon kepada bagian koperasi. Riani menceritakan jika ayahnya terkena musibah dan harus segera di operasi. Tapi harapan Riani seakan pupus, bagian koperasi menolak ajuan pinjamannya karena Riani masih memiliki hutang kepada koperasi. Riani memang berhutang kepada perusahaan untuk biaya sekolah Gita setahun yang lalu."Dapet?" Tanya Tuti ketika Riani terduduk lemas di kursi tunggu."Gak, Bu. Kita harus gimana? Riani gak mau terjadi apa-apa sama Bapak!" Riani terisak. Ia bingung harus dari mana mendapatkan uang besar dalam waktu yang singkat seperti ini."Ibu tahu caranya! Sini ikut ibu!" Tuti langsung menarik tangan Riani."Ibu mau bawa Riani ke mana? Gimana kalau dokter nyari keluarga Bapak?" Protes Riani saat dirinya terus di seret oleh Tuti keluar dari gedung rumah sakit.Tuti baru melepaskan tangan putri sambungnya tatkala mereka sampai di taman rumah sakit."Ibu tahu dari mana kita dapat uang!" Tuti menatap Riani dengan serius."Dari mana, Bu?" Perlahan senyuman terbit dari bibir Riani. Hatinya sedikit lebih plong ketika mendengar ucapan ibu tirinya itu."Ada yang mau beli kamu dengan harga fantastis!" Ucap Tuti di dekat telinga Riani."Maksud ibu?" Riani membulatkan matanya."Iya. Ada pria kaya yang mau jadikan kamu simpanannya. Dia bilang mau membiayai seluruh pengobatan ayah kamu," Tuti membohongi Riani."Ibu?" Air mata terjatuh dari mata sayu Riani. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang ibunya katakan."Ibu jual Riani?" Riani berkata setengah berbisik."Gak ada yang jual kamu, Ri. Kebetulan ada yang tertarik sama kamu dan mau kasih uang dengan catatan kamu jadi simpanan dia. Jangan jadi gadis bodoh, Ri! Kita selama ini udah hidup susah. Mungkin ini cara tuhan buat ngangkat drajat hidup kita!" Tuti berkata sambil menatap tajam pada Riani."Tuhan ngangkat derajat kita? Aku tidak ngerti sama jalan pikiran ibu. Bu, ini tuh dosa besar. Ibu sadar engga?" Air mata meleleh di wajah ayu gadis itu."Ri? Ayo kita duduk, Nak!" Tuti berpura-pura bersikap lembut.Tuti menuntun putri sambungnya itu untuk duduk di kursi panjang yang ada di pelataran rumah sakit. Tuti merasa jika Riani harus di bujuk secara baik-baik. Riani pun patuh. Tak lupa ia menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya dengan ibu jari."Ri, selama ini memang ibu selalu menghina, marah-marah sama bapak kamu. Tapi percayalah, Ri. Ibu sangat sayang sama Bapak. Ibu sayang sama dia walau Bapak kamu udah gak normal kaya kita," Tuti
Di sinilah Riani berada. Matanya tengah menatap pintu apartemen yang akan menjadi tempat kenestapaan hidupnya yang baru. Riani melangkah mundur, berusaha menyelamatkan tubuh dan harga dirinya. Tapi sekelebat wajah ayahnya hadir di pelupuk mata. Akan seperti apa jadinya jika Riani kabur dari pria yang ia ketahui bernama Om Deni? Riani meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Jadi, akan seperti ini kah akhir hidupnya? Setetes air mata menetes dari matanya yang sayu. Riani menatap bel dengan sangat lama. Tangannya yang gemetar kemudian memencet bel apartemen mewah itu.Ceklek...Pintu terbuka. Akan tetapi, Riani tidak melihat pria ber*ngsek itu. Riani memindai ruangan dari depan pintu. Ingin melihat pria keji yang akan menghancurkan hidupnya. Tapi ia tidak melihat siapa pun di sana."Masuk!" Suara bariton pria membuyarkan lamunan Riani. Dadanya seakan dihimpit oleh batu yang amat besar di dasar jurang yang dalam. Dadanya sangat sesak bak tenggelam di Palung Mariana. Riani meneguk salivanya,
"Selangkah saja kamu keluar dari kamarku, lihat apa yang akan terjadi dengan ayahmu esok hari!" Ancam Kenzo yang membuat langkah Riani terhenti seketika."Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" Riani mencoba menantang pria tampan itu. Ia masih belum tahu apa yang bisa teman SMA nya itu lakukan."Benar kamu ingin tahu?" Kenzo terbangun dari kasur empuk itu. Langkahnya mendekat ke arah Riani. Riani semakin waspada dengan pergerakan yang Kenzo buat."Kamu tidak akan bisa macam-macam!" Riani menggelengkan kepalanya."Aku bisa membuat ayahmu dijemput malaikat maut esok hari," Kenzo berbisik di telinga Riani."Apa maksudmu?" Riani terkesiap mendengar ucapan Kenzo."Kamu lupa aku memiliki banyak uang? Asal kamu tahu, rumah sakit tempat ayahmu di rawat adalah milik kakekku. Aku tinggal menyuruh seseorang untuk menyuntikan sesuatu pada infusan ayahmu. Dan Duaaarrr! Kamu akan melihat ayahmu di ruang jenazah," Kenzo tersenyum miring menikmati raut wajah ketakutan Riani."Jangan, Kenzo! Aku mohon
Tuti dan Gita kini sedang ada di Mall yang ada di pusat kota. Mereka kini sedang berbelanja dengan uang yang diberikan oleh Kenzo. Sisa uang yang mereka peroleh senilai 145 juta, karena Kenzo memang memberi DP 200 juta untuk membeli Riani. 55 juta Tuti pergunakan untuk biaya rumah sakit suaminya."Bu, kapan si pria tua itu bakal transfer sisanya?" Ucap Gita sembari menenteng banyak sekali belanjaan di tangannya. Ia memang membeli banyak sekali barang hari ini."Engga tau. Biarin aja dulu beberapa hari ini. Biar si Riani muasin dia dulu. Nanti dua hari lagi Ibu chat si Om Deni biar dia cepet transfer sisanya," jawab Tuti yang kini tengah mengelus rambutnya yang baru saja di smoothing."Jangan kelamaan ya, Bu? Gita pengen beli mobil," Gita tersenyum membayangkan dirinya menyetir kuda besi dan memamerkannya di hadapan teman-temannya."Iya. Kamu tenang aja ya, Nak! Ibu pasti bikin kamu seneng," Tuti mengelus rambut putrinya."Makasih ya, Bu? Gita sayang sama ibu," Gita tersenyum senang."
Riani masih memberontok dengan sekuat tenaga untuk keluar dari kungkungan tubuh orang yang ia benci itu. Kulit mulus Riani seakan membuat gairah Kenzo naik seketika. Ia yang belum pernah berciuman atau pun bercinta dengan seorang gadis seperti kehilangan akal sehatnya. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenzo seolah tidak bisa lagi membedakan antara dendam dan juga nafsu. "Kenzo, aku mohon!" Lirih Riani ketika Kenzo melepas pakaian gadis itu dengan tatapan berkabut."Tidak usah sok jual mahal. Aku akan membuktikan sendiri apa benar jika kamu masih suci!" Ucap Kenzo sebelum mencium kembali bibir Riani.Riani mati-matian terbebas dari ciuman yang menurutnya menjijikan itu. Ia begitu tidak menyangka bibirnya bisa bersentuhan dengan orang yang selalu menghina ayahnya sedemikian rupa."Aku memang sudah tidak suci, maka lepaskan aku!" Bohong Riani setengah memelas."Aku akan menilai sendiri. Bukankah aku sudah membayarmu?" Kenzo menyeringai sebelum ia menyatukan tubuhnya dan tubuh Riani.
Riani tengah berkutat dii dapur apartemen Kenzo. Apartemen pria itu memang sangatlah luas dan besar. Terdapat beberapa fasilitas yang ada di dalam apartemen. Kenzo memang sengaja membeli apartemen premium sebagai tempat hunian barunya. Kenzo memang baru pindah dari rumahnya selama tiga bulan ini. Pria itu sangat benci di atur oleh sang Mama dalam segala hal. Itulah yang melatar belakangi Kenzo membeli sebuah apartemen dengan suite yang begitu luas dan nyaman."Semoga aku tidak salah memasak," Riani bergumam ketika ia memutuskan untuk membuat ayam keremes dan sup bayam.Ketika selesai memandikan Kenzo, Riani memang langsung diberi tugas untuk memasak. Kenzo benar-benar memperlakukannya bak pembantu. Pikiran Riani kemudian menerawang jauh kepada ayahnya. Bagaimana kini kabar ayahnya? Apakah kondisi cinta pertamanya itu sudah membaik? Apakah Tuti menunggui ayahnya saat di rumah sakit? Riani begitu merindukan ayahnya. Saking sakitnya menahan rindu, mata Riani pun memanas. Ia menangis ters
Kondisi Andi semakin hari semakin membaik walau ia kini hanya berbaring di atas kasur rumah sakit. Tuti dan Gita tidak pernah menunggui Andi di rumah sakit. Mereka sedang bersenang-senang menghamburkan uang dari Kenzo. Dokter yang melakukan visit ke ruangan Andi pun sangat iba melihat pria itu. Andi seperti seorang pria yang sebatang kara di dunia ini, tanpa ada yang menungguinya saat di rawat di rumah sakit. Bahkan untuk makan, Andi di suapi oleh perawat yang berjaga. Untuk urusan buang air kecil dan buang air besar, perawat memasangkan diapers lansia pada Andi."Riani!" Gumam Andi saat ia terbangun dari tidurnya. Air matanya menetes dari sudut matanya. Walau pun dirinya sakit gangguan jiwa, tapi Andi sangat ingat jika Riani adalah putri kesayangannya. Matanya semakin layu ketika melihat kursi tunggu di samping ranjangnya masih kosong juga."Bapak berharap kamu ada di sini. Kamu ke mana, Nak?" Isak Andi dengan suara yang memilukan.Andi terus menangis terisak seorang diri di ruangan
Ardy dan Yogi sedang menghabiskan waktunya di apartemen milik Kenzo. Kedua pria itu adalah sahabat baik Kenzo sedari SMA. Walaupun berbeda keperibadian, nyatanya hubungan pertemanan mereka masih terajut baik hingga kini."Katanya elu beli si Riani? Mana dia engga ada di sini tuh!" Ardy celingukan mencari keberadaan teman SMA nya itu."Ya bener lah," Kenzo menyeruput Vanila Latte yang baru ia buat."Ya terus mana? Gue engga lihat tuh batang hidungnya!" Seloroh Ardy lagi tidak percaya."Tunggu-tunggu! Kalian ngomongin siapa sih?" Yogi yang baru pulang dari Yunani terheran-heran."Itu si Riani, teman SMA kita. Yang anaknya di Bapak ODGJ," Jawab Ardy sembari menyesap kopi yang ada di dalam gelasnya. Sesekali Ardy menghisap vape yang ia bawa dan meniupkan asapnya ke udara."Gue udah bilang, jangan ngerokok di depan gue!!" Kenzo berkata dengan marah. Ia memang tidak pernah suka berdekatan dengan seorang perokok. Biasanya Ardy tidak akan berani merokok di hadapan pria pemarah itu."What? Si