Share

DI BALIK MENGHILANGNYA ISTRIKU
DI BALIK MENGHILANGNYA ISTRIKU
Author: DEAR GREEN

Rencana Membunuh Istri

“Masak apa, Sayang?”

Setiap hari, istriku selalu menyiapkan sarapan pagi layaknya istri yang begitu berbakti pada suami.

“Cuman masak bubur ayam yang sederhana aja, gak apa-apa kan?” tanyanya.

Aku melihat keadaan meja dapur yang rapi dan bersih. Meskipun sedang memasak, tapi meja dapur sangat kinclong, ia berkali-kali mengelap meja jika setitik saja ada percikan noda. Istriku seperti seorang OCD (obsessive compulsive disorder) yang sangat takut dengan kotor dan begitu terobsesi dengan kebersihan. Membuatku kesal karena dia seperti berlebihan.

“Ya udah, gak apa apa, biar aku yang lanjutin masaknya,” tawarku dengan nada manis.

“Oke, aku siapin meja makan dulu.”

Namaku Bastian Theo, seorang Chef yang cukup terkenal. Restoranku juga lumayan maju. Semua itu berkat istriku. Ia memberikan modal untuk membuka restoran mewah yang saat ini aku kelola, serta mengeluarkanku dari pekerjaan yang sebelumnya, yaitu menjadi koki utama di sebuah restoran ternama.

Kehidupan rumah tangga kami terlihat sangat harmonis meskipun dibalik ini aku sangat membenci istriku. Usia pernikahan kami sudah lima tahun, dan setiap hari aku harus bersandiwara di depannya.

Bubur sudah matang, lalu ia bersiap menyajikan sarapan kami. Cara dia meletakkan mangkuk sangat rapi dan hati-hati. Istriku juga berpakaian sangat anggun dan feminim. Wajahnya selalu tersenyum dan cantik. Dia istri yang sempurna, tapi aku membencinya.

“Mas, menurutmu hari ini aku agak berbeda gak?” tanyanya sambil menyangga dagu dan tersenyum manis padaku.

Aku menatapnya sejenak. “Hari ini kamu semakin cantik dari kemarin,” gombalku.

Dia tertawa dan aku pun ikut tertawa, meski sangat jijik karena sudah memujinya tadi.

“Kamu liat deh ….” Dia memperlihatkan kuku-kukunya. “Aku pake kuteks warna baru.” Wajahnya begitu semringah.

Aku mengubah ekspresi wajahku menjadi takjub, meski aku tidak melihatnya berbeda.

“Gimana?” tanyanya manja.

“Cantik,” pujiku.

Kami menghabisi sarapan dengan canda dan tawa. Aku, tentu saja hanya acting belaka. Istriku melayaniku dengan sangat baik, dia mengambilkan sepatuku, sampai menyerahkan kunci mobil dengan kedua tangan layaknya seorang pengibar bendera.

Aku pernah menawarinya untuk ikut bekerja di restoran yang sedang kukelola, tentunya hanya untuk basa-basi semata. Namun ia menolak dan lebih menyukai menjadi ibu rumah tangga. Syukurlah.

Setelah memakai sepatu, aku pun siap untuk berangkat. Namun sebelum itu, aku teringat akan persoalan dana yang aku butuhkan.

“Sayang, yang aku omongin kemarin bisa gak kamu pertimbangin lagi? Tentang pinjaman dana.” Saat ini aku sedang terlilit hutang. Mereka mengancam akan menyita restoranku jika aku tidak juga melunasinya.

Istriku tersenyum getir, menatapku lekat. Tak menjawab pertanyaanku.

“Ya udah, gak usah dipikirkan,” cicitku berlagak tidak kecewa.

Jam delapan pagi seperti biasa, istriku mengantarkanku sampai ke depan pagar, membawakan tas kerja sambil menggandeng lenganku berjalan berdampingan. Lagi-lagi hal yang sangat menggelikan setiap hari harus kulalui.

“Sayang, kamu hari ini pulang telat lagi?” tanyanya.

“Hah? Oh, iya. Kamu tidur aja duluan!” ucapku.

“Gak, aku nungguin kamu aja, ada yang mau aku omongin sama kamu, Mas.” Jawabnya.

“Baiklah.”

Kemudian, tetangga sebelah yang merupakan suami istri terlihat sedang melakukan hal yang sama. Suara mereka yang terdengar begitu dilebih-lebihkan membuatku dan istri menoleh bersamaan ke arah mereka.

Aku meringis mendengar ucapan manja suami istri yang menurutku lebih cocok menjadi ibu dan anak itu. Namun, demi kesopanan, kami saling tukar sapa sejenak sebelum sama-sama kembali pada urusan masing-masing.

Aku berpamitan, tak lupa kukecup kening istriku dengan begitu syahdu. “Aku berangkat dulu ya.”

Aku langsung bergegas ke garasi untuk mengambil mobil, lalu segera mengelap bibirku. Leherku seketika gatal-gatal sehabis bersentuhan dengan istriku. Seperti biasa, aku menenggak obat anti alergi, lalu bergegas pergi ke restoran. Kulihat bayangan istriku dari kaca spion, ia terus tersenyum mengantarkan kepergianku.

Tiga puluh menit kemudian aku sampai di restoran. Semua hal berjalan normal, sampai saat jam sembilan malam … di saat aku tengah bersiap pulang. Saat memasuki mobil, terasa dua tangan bergerilya di leherku.

“Astaga! Jessica, ngagetin aja!” Aku terperanjat melihat wajahnya yang tiba-tiba muncul dari bangku belakang.

“Aku memang gak bisa pakaikan kamu dasi, tapi aku bisa membukanya sesuka hati.”

Aku tahu, dia menyinggung ucapan karyawan lain saat pagi tadi. Beberapa karyawanku memuji penampilanku yang rapi dan terurus. Mereka bahkan tak segan-segan memuji sosok istriku. Aku dan Jessica memang sudah lama menjalin hubungan spesial, mungkin diam-diam Jessica kesal mendengar pujian terus terlontar untuk istriku.

Setelah berhasil melepaskan dasiku, tangannya bergerilya di tubuhku. Dia bahkan menciumi leherku penuh gairah, memancing naluri kelelakianku. Keganasannya berhenti saat melihat jejak alergi yang ada di leherku.

“Sayang, kasian banget leher kamu. Udah minum obat?”

Aku menunjukkan sebotol pil anti alergi sebagai jawaban.

“Ugh, kasihan kamu,” ucapnya prihatin dan terdengar begitu menggoda di telingaku. “Gimana kamu bisa jalani hari-hari kamu, kalau setiap kamu menyentuh istrimu, pasti jadi alergi kayak gini.”

Aku terkekeh karenanya. Kutegakkan tubuhku untuk menjawab, “Bukankah obat yang manjur ada di dekatku sekarang?” Tak lupa, aku mengedipkan sebelah mataku padanya.

Jessica tersenyum lalu melumat bibirku tanpa ampun. Kegiatan kami pun berakhir di kosan Jessica dengan memadu cinta. Jessica sangat pandai memuaskan hasratku. Aku mencintai Jessica, meskipun usia kami terpaut tujuh tahun. Dia cantik dan pintar. Entah kenapa dia lebih memilihku dari pada pemuda-pemuda tampan di luaran sana.

Saat jam menunjuk pukul setengah sebelas malam, aku bersiap untuk pulang ke rumah. Istriku pasti akan terus menunggu. Sebelum itu, aku memperhatikan seisi kamar Jessica. Berbeda dengan istriku yang membuatku kesal karena OCD-nya, menurutku justru kondisi seperti inilah yang normal … beberapa sampah berserakan dan cenderung kotor.

Aku memeluk tubuh Jessica mesra sebagai rutinitas kami berpamitan. Dia membalasnya dengan mengecup pipiku. Saat ingin melangkah keluar kosan, tiba-tiba aku kembali mengingat soal pinjaman yang aku ajukan pada istriku. Aku menarik napas berat, dan menatap Jessica lekat-lekat. “Aku ingin mencari tempat baru dan memulai semuanya dari nol.”

Ada sedikit ketakutan dalam diriku. Aku takut suatu saat istriku akan menarik hak restoran jika aku ketahuan selingkuh.

 “Sudah usia segini kamu bilang mau mulai lagi dari nol?” Jessica menatapku lekat. “Apa istrimu gak mau bantu?”

Aku hanya terdiam, bingung dengan situasinya. Ditambah lagi aku punya hutang yang nominalnya lumayan besar.

“Kalo gitu jangan ngarep sama istri kamu lagi.” Tubuhnya kemudian ditegakkan, dia berjinjit dan membisikkanku sebuah kalimat. “Asalkan istri kamu gak ada, semuanya bakalan milik kamu. Semuanya!”

Aku bisa merasakan Jessica menyeringai.

“Maksudmu … kita akan membunuhnya?”

Jessica bergerak mengambil sesuatu dari dalam laci meja riasnya. Kemudian dia menunjukkan sebuah serbuk putih yang dikemas dalam plastik klip.

“Apa itu?” tanyaku.

“Ini racun ADTX. Sekali masuk ke tubuh, hitungan detik akan langsung muntah darah yang parah, diare, dan kekurangan darah.” Jessica menjelaskan dengan begitu detail. “Orang yang meminumnya akan mati dalam dua hari karena gagal fungsi organ dalam,” jelasnya lebih lanjut.

Kemudian ia menunjukkan alat suntik kepadaku. Seketika aku membayangkan istriku sekarat setelah kuberi racun itu.

“Kehebatan racun ini lagi adalah, orang yang meninggal akan dianggap mati karena penyakit. Walaupun diautopsi tidak akan menjadi alasan kematian karena serapan dosis yang sedikit.” Jessica kembali menjelaskan fungsi dari racun yang ia buat. “Asalkan dimasukkan dalam minuman, pasti dia gak menyadarinya.” Kemudian Jessica menaikkan sebelah sudut bibirnya. Dia memang seorang ahli kimia yang hebat.

“Kalian kan pisah ranjang, dan juga kamu sedang tidur pulas, jadi gak tau apa-apa. Tunggu sampai besok pagi, setelah bangun, baru lapor polisi. Dan semuanya akan berakhir.”

Aku terdiam mendengarkan ide jahat Jessica. Ia lalu menyerahkan alat suntik dan racun itu kepadaku. Aku tertegun. Jauh di dalam lubuk hatiku, sejujurnya aku tak ingin sampai membunuh istriku.

Namun kata-kata Jessica membuat aku berpikir lagi, jika istriku meninggal, pastinya aku akan menerima uang asuransi kematian yang tentu tak sedikit jumlahnya. Kemudian restoran juga sepenuhnya akan menjadi milikku. Dengan uang itu, aku juga bisa pergi jauh dengan Jessica, dan memulai bisnis baru bersamanya.

Sekitar pukul 23.15, aku mampir ke toko anggur dan membeli jenis anggur yang sama saat aku melamarnya dulu. Setelah itu aku bergegas pulang. Sampai di depan garasi, aku memasukkan serbuk racun itu ke dalam sedikit air mineral, lalu memindahkannya ke alat suntik. Kemudian perlahan kusuntikkan ke botol anggur yang tadi kubeli.

Saat hendak memasuki pagar, aku melihat orang asing sedang memperhatikanku dari dalam mobilnya. Mata kami bertemu, lelaki itu mentapku dengan tatapan tajam. Aku mengerutkan dahi.

‘Siapa cowok itu?’ batinku.

Lalu dia segera melajukan mobilnya, sedangkan aku tak menghiraukannya lagi. Aku membuka pintu rumah perlahan. Kupanggil istriku dengan lantang dan nada riang. “Sayang, Mas pulang.”

Namun betapa terkejutnya aku saat melihat lumuran darah berceceran di lantai.

“A-apa yang terjadi??”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status