Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
“Masak apa, Sayang?”Setiap hari, istriku selalu menyiapkan sarapan pagi layaknya istri yang begitu berbakti pada suami.“Cuman masak bubur ayam yang sederhana aja, gak apa-apa kan?” tanyanya.Aku melihat keadaan meja dapur yang rapi dan bersih. Meskipun sedang memasak, tapi meja dapur sangat kinclong, ia berkali-kali mengelap meja jika setitik saja ada percikan noda. Istriku seperti seorang OCD (obsessive compulsive disorder) yang sangat takut dengan kotor dan begitu terobsesi dengan kebersihan. Membuatku kesal karena dia seperti berlebihan.“Ya udah, gak apa apa, biar aku yang lanjutin masaknya,” tawarku dengan nada manis.“Oke, aku siapin meja makan dulu.”Namaku Bastian Theo, seorang Chef yang cukup terkenal. Restoranku juga lumayan maju. Semua itu berkat istriku. Ia memberikan modal untuk membuka restoran mewah yang saat ini aku kelola, serta mengeluarkanku dari pekerjaan yang sebelumnya, yaitu menjadi koki utama di sebuah restoran ternama.Kehidupan rumah tangga kami terlihat sa
“A-apa yang terjadi??”Aku memperhatikan arah darah itu, sepertinya tersangka menyeret tubuh korbannya.Aku memperhatikan seisi rumah dengan perasaan takut.“Apakah ini darah istriku.”Aku terperanjat, kakiku gemetar hebat. Kupanggil istriku lagi, tetapi tak juga ada sahutan. Aku berlari naik ke lantai dua memeriksa keadaan kamar, tak ada siapapun.Kupanggil lagi namanya dengan lantang. “Elena!” Namun lagi-lagi hanya kesunyian yang kudapatkan.Aku berlari turun lagi ke bawah dengan rasa panik yang mulai menjalar. Kemudian, aku terpikir untuk menelpon istriku, tapi sayang nomornya tidak aktif. Aku mengedarkan pandangan, dan melihat seuntai kertas di atas meja makan. Kuambil surat itu dan kemudian memelotot saat membaca isi pesan.[Siapkan uang sepuluh milyar! Jangan lapor polisi atau istrimu akan mati! A31.]Aku bingung dan kaget. Kulihat anggur yang tadi kubeli. Niatku untuk membunuh istriku, tapi ternyata sudah ada seseorang yang lebih dulu melakukannya. Aku tersenyum miring, sedikit
“Aaaa … Elena, stop! Aaakk!”Leherku terasa sakit, napasku mulai sesak. Sekuat tenaga, aku berontak untuk lepas dari cekikannya. “Haaaa!!!”Ternyata itu hanya mimpi. Tubuhku berkeringat dan napasku terengah. “Argh! Mimpi si*lan!”Aku pun bangun dari tempat tidur untuk merenggangkan otot-ototku. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Tak menungguku membukanya, Detektif Toni langsung membuka pintu kamarku seenaknya. Ia memperhatikan seisi kamar yang berserakan dan kotor akibat ulahku merayakan kebebasan tadi malam.“Aku tidak bisa tidur tadi malam.” Aku berdusta. Tidurku semalam benar-benar nyenyak. Hanya mimpi si*alan itu saja yang mengacaukan ketenanganku. Bahkan, saking nyenyaknya, aku sampai tidak mengontrol posisi badanku yang mengakibatkan ototku jadi kaku.“Hmm. Saya paham,” ucapnya sambil mengangguk.Setelah membersihkan diri, aku dan detektif Toni ngobrol di ruang tamu.“Saya ingin memberi tahu, bahwa kemungkinan besar darah dalam ruang tamu itu memang milik istri anda,” ungk
“Dia keluar!” teriak salah seorang reporter.Hari ini para detektif mengawalku bekerja. Hal itulah yang dimanfaatkan para reporter yang sejak kemarin sudah memadati rumahku. Lontaran pertanyaan tak terbendung. Kelap kelip cahaya kilat dari kamera terus menghujaniku, mereka seakan tak hentinya memotret. Aku pasrah saja, menunjukkan wajah sedih di depan mereka.“Chef Bastian! Apa istri anda masih hidup?”“Tolong berkomentar sedikit, Chef!”“Apa anda tahu di mana keberadaan istri anda sekarang?”Aku berhenti sejenak saat akan memasuki mobil, lalu menghadap ke kamera milik salah satu dari mereka.“Tentu saja istri saya masih hidup.” Aku membuat suaraku terdengar optimis. Kemudian, dengan pandangan yang memohon, aku kembali berujar. “Jika ada sedikit jejak tentangnya, sangat bisa untuk menemukannya. Untuk itu, saya mohon bantuan kalian semua!”“Apa yang diminta penculik untuk menebus istri anda?”“Apa sudah ada perkembangan dari penyelidikan polisi?”Mereka terus bertanya, aku tak menghira