“Aaaa … Elena, stop! Aaakk!”
Leherku terasa sakit, napasku mulai sesak. Sekuat tenaga, aku berontak untuk lepas dari cekikannya. “Haaaa!!!”
Ternyata itu hanya mimpi. Tubuhku berkeringat dan napasku terengah. “Argh! Mimpi si*lan!”
Aku pun bangun dari tempat tidur untuk merenggangkan otot-ototku. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Tak menungguku membukanya, Detektif Toni langsung membuka pintu kamarku seenaknya. Ia memperhatikan seisi kamar yang berserakan dan kotor akibat ulahku merayakan kebebasan tadi malam.
“Aku tidak bisa tidur tadi malam.” Aku berdusta. Tidurku semalam benar-benar nyenyak. Hanya mimpi si*alan itu saja yang mengacaukan ketenanganku. Bahkan, saking nyenyaknya, aku sampai tidak mengontrol posisi badanku yang mengakibatkan ototku jadi kaku.
“Hmm. Saya paham,” ucapnya sambil mengangguk.
Setelah membersihkan diri, aku dan detektif Toni ngobrol di ruang tamu.
“Saya ingin memberi tahu, bahwa kemungkinan besar darah dalam ruang tamu itu memang milik istri anda,” ungkapnya.
Aku menunduk lemah. Meski pun aku merasa bebas, dari lubuk hati paling dalam, aku sedikit merasa miris bahwa kematian Elena harus setragis ini.
“Saya melihat ada banyak cangkir dan gelas, tapi kenapa dia menggunakan gelas pasangan khusus yang digunakan ketika bersama anda? Apa ada orang lain yang hubungannya juga akrab dengan istri anda?”
“Kalau masalah itu, aku sendiri tidak yakin,” ucapku sambil terus berpikir.
Ting Tong … Ting Tong.
Bel rumahku berbunyi. Aku melirik ke arah detektif Toni.
“Anda harus bersikap seperti biasa,” perintahnya.
Aku pun mengangguk kemudian berdiri dan perlahan menghampiri ke layar monitor pintu rumah. Ternyata pasangan tetangga sebelah yang datang. Aku pun langsung keluar, membuka pagar lalu menyapa mereka berdua.
“Ada apa?”
“Begini, apa terjadi sesuatu?” tanya wanita tua itu.
Meski sempat bingung dengan pertanyaan yang diutarakannya, aku menahan ekspresi kagetku dengan baik. “Terjadi apa? Gak ada terjadi apa-apa.” Seperti kata Detektif Toni, aku harus tenang.
“Kalau ada waktu luang, datanglah ke rumah kami untuk makan Bersama. Belakang ini aku senang memasak seafood saus padang dengan porsi banyak, kalau hanya kami berdua yang makan porsinya terlalu sedikit,” tawarnya.
“Istriku memang begitu, sering sekali dia memasak dengan porsi banyak,” imbuh suami mudanya.
Aku tersenyum, mencoba menghargai ajakan baik mereka. “Baiklah, kapan-kapan jika ada waktu akan kami sempatkan. Apa ada sesuatu lagi?”
Dua orang itu kemudian menatap sebuah amplop dan menyerahkannya ke hadapanku. “Oh, ini. Sepertinya surat ini salah kirim ke rumahku.”
“Terima kasih. Aku akan membacanya di dalam.” Aku mengambil surat itu. Ada kode A31 di sudut kanan bawah amplop tersebut. Jantungku berdegup kencang.
‘Kode yang sama dengan surat yang kemarin.’
“Kalau butuh bantuan lain, katakan saja!” tawar pria muda bertubuh atletis itu.
Aku tak menghiraukan apa yang diucapkannya. Seketika aku panik, tanganku sedikit gemetar memegang amplop itu.
“Bukankah tetangga lebih baik dari pada saudara?” cerocos wanita tua itu sambil tersenyum dan memutar badan untuk segera pulang.
Setelah memastikan mereka telah pergi, aku segera berlari masuk ke dalam rumah, dan menyerahkan amplop surat itu pada Detektif Toni. Dia melihat ada kode A31 pada amplop dan menatapku seolah mengerti.
Aku dan timnya Detektif Toni duduk melingkar di sofa ruang tamu untuk membuka surat itu bersama. Perlahan aku keluarkan kertas di dalamnya.
[Kamu sudah lapor polisi, dan memutuskan untuk tidak memberikan tebusan itu? Baguslah. Kalau begitu aku akan membunuh istrimu!]
Terdapat bercak darah pada kertas itu.
Deg!
Aku bingung dan panik, entah kenapa hatiku berubah. Aku yang awalnya sangat ingin membunuh Elena, tapi ketika mendapatkan surat seperti ini, entah kenapa dadaku terasa sesak.
Aku memeriksa kembali isi amplop itu, ternyata ada kuku istriku yang penuh darah. Aku terkesiap, mulutku menganga lebar. “I-itu kuku istriku.” Suaraku gemetar mengucapkannya.
“Tenang, jangan pesimis dulu, kalau dia sudah membunuh istrimu, dia tidak akan mengancammu lagi.” Detektif Toni menenangkanku.
“Bagaimana kalau dia sudah membunuh istriku?” Aku membalas tatapan Detektif Toni dengan rasa putus asa.
Aku menelpon ke restoran untuk memberitahukan kepada karyawanku kalau aku tidak bisa datang dan meminta yang lain untuk menggantikanku meracik kopi. Aku berharap Jessica pun mendengar kabar ini.
Setelahnya, aku bersama tim detektif memeriksa CCTV di sekitar komplek rumahku. Kami tidak melihat ada yang aneh. Istriku melakukan kegiatan seperti Ibu Rumah Tangga pada umumnya.
“Gak ada yang aneh, semuanya terlihat biasa saja,” ucap Detektif Rian.
Aku menarik napas berat mendengar ucapannya.
“Sepertinya pelaku sangat hafal dengan situasi sekitar sini karena dia tak terlihat dalam CCTV sama sekali,” imbuh Detektif Toni.
Detektif Rian kemudian berujar. “Kalau gitu kita tanya sama CCTV berjalan saja.”
Detektif Toni lalu beranjak meninggalkanku. Ia sepertinya akan menginterogasi tetanggaku, wanita tua yang bernama Rika. Samar-samar, aku mendengar Detektif Toni bertanya hal dasar mengenai hubungan kami dengan para tetangga. Namun, ketika Detektif Toni bertanya lebih lanjut, reaksi Rika membuat kami semua mengerutkan dahinya bingung.
“Ah, lebih baik jangan menggali kehidupan pasangan suami istri orang lain terlalu dalam, bisa terluka jika ada kesalahan.”
Wanita itu kemudian berlari kecil meninggalkan Detektif Toni dan rekannya yang kebingungan dengan maksud ucapanya. Aku pun kembali masuk ke rumah, sedangkan kedua detektif itu kembali ke kantor.
Sementara itu di situs sosial media milik Elena, ada seseorang yang berkomentar menggunakan foto ancaman yang baru aku terima hari ini. Nama akunnya A31.
[Suami yang membuang istrinya sendiri] seketika itu sejagat dunia maya pun heboh. Aku yakin itu ulah si penculik.
Tak membutuhkan waktu lama, rumahku sudah dipenuhi oleh reporter dan wartawan, mereka berbondong-bondong menunggu informasi dariku, sedangkan para netizen sejagat raya sudah mencaci makiku akibat ulah orang tak bertanggung jawab itu.
Aku mondar mandir di dalam kamar, kepalaku pusing.
“Kenapa masalahnya jadi begini?”
Tiba-tiba Kakak ku menelepon. Dia langsung nyerocos gak karuan mendengar berita adik iparnya diculik.
Keluargaku memang sangat menyayangi Elena, mereka pasti sangat khawatir mendengar berita ini, terutama keponakanku, Sheza. Dia sudah menganggap Elena seperti ibunya sendiri.
“Kakak gak perlu khawatir. Semua sudah diurus polisi.” Aku pun mengakhiri sambungan telepon dengan Kakak ku dari pada kami terus berdebat. Dia memang orang yang keras kepala.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur. Mengabaikan keributan para reporter diluar.
‘Kalau memang benar istriku gak kembali lagi ….’
“Dia keluar!” teriak salah seorang reporter.Hari ini para detektif mengawalku bekerja. Hal itulah yang dimanfaatkan para reporter yang sejak kemarin sudah memadati rumahku. Lontaran pertanyaan tak terbendung. Kelap kelip cahaya kilat dari kamera terus menghujaniku, mereka seakan tak hentinya memotret. Aku pasrah saja, menunjukkan wajah sedih di depan mereka.“Chef Bastian! Apa istri anda masih hidup?”“Tolong berkomentar sedikit, Chef!”“Apa anda tahu di mana keberadaan istri anda sekarang?”Aku berhenti sejenak saat akan memasuki mobil, lalu menghadap ke kamera milik salah satu dari mereka.“Tentu saja istri saya masih hidup.” Aku membuat suaraku terdengar optimis. Kemudian, dengan pandangan yang memohon, aku kembali berujar. “Jika ada sedikit jejak tentangnya, sangat bisa untuk menemukannya. Untuk itu, saya mohon bantuan kalian semua!”“Apa yang diminta penculik untuk menebus istri anda?”“Apa sudah ada perkembangan dari penyelidikan polisi?”Mereka terus bertanya, aku tak menghira
“Chef Bastian! Apakah anda sudah menerima informasi baru?”“Apakah penculiknya ada menghubungi anda lagi?”Kedua detektif itu mengantarkanku kembali ke rumah, dan ternyata para wartawan masih setia menungguku. Aku turun dari mobil dengan tubuh lesu seperti handphone kehabisan daya dan memutuskan langsung masuk rumah tanpa menghiraukan mereka yang terus bertanya.Kedua detektif itu izin untuk kembali sebentar ke kantor polisi untuk merangkum hasil penyelidikan hari ini. Sementara aku beristirahat di rumah. Pikiranku sedang kacau. Tubuhku benar-benar seperti kehilangan tenaga, tak berdaya, tapi tak tahu apa penyebabnya.Beberapa jam kemudian kedua detektif itu datang lagi ke rumahku. Kami mengobrol di ruang tamu. Namun, ada yang beda dari tatapan kedua detektif itu. Mereka seperti menaruh kecurigaan besar padaku, terlebih Detektif Toni. Tatapannya terus mengintimidasiku sejak aku menemukannya tengah berada di depan pintu ruangan kerjaku siang tadi.“Kami menemukan jejak sepatu di TKP ya
“Hah? Apa maksudnya, Bang?” “Kayaknya bukan polisi,” selidik Bang Rozi. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menghampiri orang yang dimaksud bang Rozi, setelah memastikan memang benar ada orang mencurigakan di depan pintu masuk gedung. “Ayo kita bicara!” aku menepuk bahu pemuda itu, memegangnya erat agar dia tidak kabur. Dia terkesiap kaget, terdiam sejenak, lalu berlari kencang. Aku pun langsung mengejarnya. “Hey! Berhenti!” teriakku. Aku ingat, dia adalah orang yang malam itu mengamatiku dari dalam mobilnya. Aku menduga dialah pelaku penculikan ini. “Apa yang kau lakukan pada istriku?” tanyaku dengan napas terengah-engah saat dia berhenti di atas atap gedung tua. “Aku juga sedang mencari senior!” sentaknya. “Senior?” ulangku. Pria bertubuh kurus itu malah tertawa mengejek. “Dasar brengs*k! Kamu sudah menculik orang tapi masih berani tertawa!” hardikku. Spontan aku pun menghadiahinya dengan pulukan, tapi dia melawan dan berhasil mengelak. “Jangan kamu mengira semua orang baj
[“Mendapatkan uang 10 Milyar adalah kesempatan terbaik, atau jangan-jangan kamu berharap istrimu kembali hidup-hidup?” Dan menyerahkan uang itu pada si penculik?” cibirnya.] [“Jess, seseorang telah menjadikan ku sebagai pelakunya, aku harus menemukan orang itu!”] [“Tidak perlu! Prioritas utama kita adalah harus mendapatkan uang 10 Milyar itu dulu! Kamu hanya perlu memikirkan tujuan awalmu! Kamu sedang butuh uang!”] [“Kelihatannya kamu yang sangat membutuhkan uang itu,” desisku.] [“Ya, aku butuh uang! Jadi, dengarkan aku, masukan racun itu lagi ke dalam anggur saat istrimu benar-benar kembali,” bujuknya.] Aku tersadar dari lamunanku, lagi-lagi aku membayangkan Elena sekarat di depan mataku setelah meminum anggur yang sudah kuracuni. “Bagaimana pun, saat ini aku tetaplah tersangka yang tidak bisa lari,” lirihku. Kerlipan lampu sirine mobil patroli membuatku parno dan refleks bersembunyi di balik gang sempit. Ditengah rasa takut dan gelisah, Kakakku malah menelpon. Dengan kesal a
“Aku mencintaimu,” ucapku sambil menyematkan cincin emas di jari manisnya kala itu. Kami berdua mengucapkan janji untuk saling mencintai sampai maut memisahkan, Elena bahkan menulisnya diatas secarik kertas lalu membuat cap sidik jari kami dengan anggur kesukaannya. Tak sadar, air mataku menetes. Aku terduduk lemas dan kembali membaca surat yang ditulis Elena. [“Yang aku tinggalkan bukanlah warisan, melainkan kepercayaanku padamu.”] secarik kertas ucapan janji kami ia tempelkan dibalik kertas surat itu, tangisku pun semakin pecah. Detektif Toni dan timnya menangkapku dengan paksa saat aku tengah menangis. “Kenapa kalian menahanku!” aku memberontak. Para wartawan yang masih setia mengerumuni rumahku, dengan sigap terus menyoroti wajahku. “Bapak Bastian, di bagasimu telah ditemukan bekas lumuran darah, dari hasil pemeriksaan, itu adalah darah Elena,” detektif Toni menjelaskan. “Tidak… tidak mungkin!” teriakku. “Permisi! Ini ada surat untuk Chef Bastian!” Ditengah hebohnya kerum
“Chef Bastian! Apa yang tertulis disana?” tanya detektif Toni.“Mereka menyuruhku untuk menunggu bunyi alarm selanjutnya,” jawabku.Beberapa detik kemudian, alarm kedua berbunyi, kali ini dari sebuah mobil-mobilan remote control. Aku mengejar arah mobil-mobilan itu berlari mengikutinya kesana kesini seperti orang bodoh. Sampai mobil itu berhenti, kuambil kertas berisi instruksi selanjutnya.[Gerbang 1 Stadion Bisbol Jian dalam 30 menit!]Kring…! Kring..!Tiba-tiba alarm kebaran berdering nyaring. Semua orang di dalam aula berhamburan lari keluar untuk menyelamatkan diri. Begitupun denganku.“Chef Bastian! Ada apa di dalam?” terdengar suara detektif Toni dari earphone yang ku pakai.“Alarm kebakaran berbunyi, kekacauan terjadi di tempat ini, Chef Bastian sudah keluar dari tempat kejadian.” Suara detektif lain menyahuti.“Chef Bastian…!” Detektif Toni terus memanggilku, namun tak kuhiraukan, aku bergegas menuju Stadion bisbol yang dimaksud si penculik.“Chef Bastian tolong jawab!” Teria
“Ini aku kembalikan, aku akan pulang menunggu istriku kembali,” ujarku sambil menyerahkan earphone, lalu naik ke mobil. Aku sungguh berharap Elena akan pulang dalam keadaan selamat, karena aku sudah menuruti pemintaan si penculik.“Kau benar-benar berharap istrimu kembali?!” teriak detektif Toni. Aku tak menghiraukan mereka lagi, kulajukan mobilku dengan tenang. Terasa lega dalam hati sudah menyerahkan uang itu pada si penculik, berharap malam ini Elena kembali dengan selamat.Pukul 20.15 malam.Aku gelisah tak menentu, mondar mandir di dalam rumah yang masih diawasi oleh polisi. Kutatap foto pernikahanku dengan Elena. Rasa bersalah terus menyelimuti.Lamunanku seketika buyar saat detektif Toni dan timnya datang, aku berlari kecil menghampiri mereka yang masih berdiri di depan pintu masuk.“Sudah temukan dia? Dia masih hidup kan?” tanyaku.“Kami menerima laporan yang tidak dikenal.” Detektif Rian menyahut dengan tatapannya yang tajam.“Laporan apa?” aku mengernyit.“Seseorang melihatm
“Wanita ini selingkuhanmu kan?” ia menuduh langsung ke intinya.“Dia hanya rekan kerjaku,” bibirku yang semula membeku akhirnya membuka suara.Pria paruh baya itu tersenyum miring, seolah melecehkan jawabanku.“Aku dengar, hampir setiap hari kau pergi menemuinya,” ucapnya lagi.Aku menelan saliva dengan susah payah, menggigit bibir bawahku karena gugup. Aku tak bisa lagi mengelak, mereka sudah menyelidiku dan Jessica.“Kami sudah memeriksa kartu bank milik wanita itu, salah satu transaksi yang dia lakukan adalah membeli ekstrak pohon oaks. Ini adalah racun yang digunakan untuk merenggut nyawa manusia. Tidak mungkin anda tidak tahu mengenai hal ini,” desisnya.“Aku? Memangnya kenapa aku harus tahu?” ucapku enteng.Detektif Rian datang membawa kertas berisi pesan dari Jessica yang sudah aku buang sembarang di stand waktu itu.‘Sial! Mereka memungutnya!” aku merutuk dalam hati. Menyadari betapa bodohnya aku.“Kalian berdua berencana untuk melawan kami?”Aku menarik napas dalam-dalam samb