Share

Surat Ancaman Kedua

“Aaaa … Elena, stop! Aaakk!”

Leherku terasa sakit, napasku mulai sesak. Sekuat tenaga, aku berontak untuk lepas dari cekikannya. “Haaaa!!!”

Ternyata itu hanya mimpi. Tubuhku berkeringat dan napasku terengah. “Argh! Mimpi si*lan!”

Aku pun bangun dari tempat tidur untuk merenggangkan otot-ototku. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Tak menungguku membukanya, Detektif Toni langsung membuka pintu kamarku seenaknya. Ia memperhatikan seisi kamar yang berserakan dan kotor akibat ulahku merayakan kebebasan tadi malam.

“Aku tidak bisa tidur tadi malam.” Aku berdusta. Tidurku semalam benar-benar nyenyak. Hanya mimpi si*alan itu saja yang mengacaukan ketenanganku. Bahkan, saking nyenyaknya, aku sampai tidak mengontrol posisi badanku yang mengakibatkan ototku jadi kaku.

“Hmm. Saya paham,” ucapnya sambil mengangguk.

Setelah membersihkan diri, aku dan detektif Toni ngobrol di ruang tamu.

“Saya ingin memberi tahu, bahwa kemungkinan besar darah dalam ruang tamu itu memang milik istri anda,” ungkapnya.

Aku menunduk lemah. Meski pun aku merasa bebas, dari lubuk hati paling dalam, aku sedikit merasa miris bahwa kematian Elena harus setragis ini.

“Saya melihat ada banyak cangkir dan gelas, tapi kenapa dia menggunakan gelas pasangan khusus yang digunakan ketika bersama anda? Apa ada orang lain yang hubungannya juga akrab dengan istri anda?”

“Kalau masalah itu, aku sendiri tidak yakin,” ucapku sambil terus berpikir.

Ting Tong … Ting Tong.

Bel rumahku berbunyi. Aku melirik ke arah detektif Toni.

“Anda harus bersikap seperti biasa,” perintahnya.

Aku pun mengangguk kemudian berdiri dan perlahan menghampiri ke layar monitor pintu rumah. Ternyata pasangan tetangga sebelah yang datang. Aku pun langsung keluar, membuka pagar lalu menyapa mereka berdua.

“Ada apa?”

“Begini, apa terjadi sesuatu?” tanya wanita tua itu.

Meski sempat bingung dengan pertanyaan yang diutarakannya, aku menahan ekspresi kagetku dengan baik. “Terjadi apa? Gak ada terjadi apa-apa.” Seperti kata Detektif Toni, aku harus tenang.

“Kalau ada waktu luang, datanglah ke rumah kami untuk makan Bersama. Belakang ini aku senang memasak seafood saus padang dengan porsi banyak, kalau hanya kami berdua yang makan porsinya terlalu sedikit,” tawarnya.

“Istriku memang begitu, sering sekali dia memasak dengan porsi banyak,” imbuh suami mudanya.

Aku tersenyum, mencoba menghargai ajakan baik mereka. “Baiklah, kapan-kapan jika ada waktu akan kami sempatkan. Apa ada sesuatu lagi?”

Dua orang itu kemudian menatap sebuah amplop dan menyerahkannya ke hadapanku. “Oh, ini. Sepertinya surat ini salah kirim ke rumahku.”

“Terima kasih. Aku akan membacanya di dalam.” Aku mengambil surat itu. Ada kode A31 di sudut kanan bawah amplop tersebut. Jantungku berdegup kencang.

‘Kode yang sama dengan surat yang kemarin.’

“Kalau butuh bantuan lain, katakan saja!” tawar pria muda bertubuh atletis itu.

Aku tak menghiraukan apa yang diucapkannya. Seketika aku panik, tanganku sedikit gemetar memegang amplop itu.

“Bukankah tetangga lebih baik dari pada saudara?” cerocos wanita tua itu sambil tersenyum dan memutar badan untuk segera pulang.

Setelah memastikan mereka telah pergi, aku segera berlari masuk ke dalam rumah, dan menyerahkan amplop surat itu pada Detektif Toni. Dia melihat ada kode A31 pada amplop dan menatapku seolah mengerti.

Aku dan timnya Detektif Toni duduk melingkar di sofa ruang tamu untuk membuka surat itu bersama. Perlahan aku keluarkan kertas di dalamnya.

[Kamu sudah lapor polisi, dan memutuskan untuk tidak memberikan tebusan itu? Baguslah. Kalau begitu aku akan membunuh istrimu!]

Terdapat bercak darah pada kertas itu.

Deg!

Aku bingung dan panik, entah kenapa hatiku berubah. Aku yang awalnya sangat ingin membunuh Elena, tapi ketika mendapatkan surat seperti ini, entah kenapa dadaku terasa sesak.

Aku memeriksa kembali isi amplop itu, ternyata ada kuku istriku yang penuh darah. Aku terkesiap, mulutku menganga lebar. “I-itu kuku istriku.” Suaraku gemetar mengucapkannya.

“Tenang, jangan pesimis dulu, kalau dia sudah membunuh istrimu, dia tidak akan mengancammu lagi.” Detektif Toni menenangkanku.

“Bagaimana kalau dia sudah membunuh istriku?” Aku membalas tatapan Detektif Toni dengan rasa putus asa.

Aku menelpon ke restoran untuk memberitahukan kepada karyawanku kalau aku tidak bisa datang dan meminta yang lain untuk menggantikanku meracik kopi. Aku berharap Jessica pun mendengar kabar ini.

Setelahnya, aku bersama tim detektif memeriksa CCTV di sekitar komplek rumahku. Kami tidak melihat ada yang aneh. Istriku melakukan kegiatan seperti Ibu Rumah Tangga pada umumnya.

“Gak ada yang aneh, semuanya terlihat biasa saja,” ucap Detektif Rian.

Aku menarik napas berat mendengar ucapannya.

“Sepertinya pelaku sangat hafal dengan situasi sekitar sini karena dia tak terlihat dalam CCTV sama sekali,” imbuh Detektif Toni.

Detektif Rian kemudian berujar. “Kalau gitu kita tanya sama CCTV berjalan saja.”

Detektif Toni lalu beranjak meninggalkanku. Ia sepertinya akan menginterogasi tetanggaku, wanita tua yang bernama Rika. Samar-samar, aku mendengar Detektif Toni bertanya hal dasar mengenai hubungan kami dengan para tetangga. Namun, ketika Detektif Toni bertanya lebih lanjut, reaksi Rika membuat kami semua mengerutkan dahinya bingung.

“Ah, lebih baik jangan menggali kehidupan pasangan suami istri orang lain terlalu dalam, bisa terluka jika ada kesalahan.”

Wanita itu kemudian berlari kecil meninggalkan Detektif Toni dan rekannya yang kebingungan dengan maksud ucapanya. Aku pun kembali masuk ke rumah, sedangkan kedua detektif itu kembali ke kantor.

Sementara itu di situs sosial media milik Elena, ada seseorang yang berkomentar menggunakan foto ancaman yang baru aku terima hari ini. Nama akunnya A31.

[Suami yang membuang istrinya sendiri] seketika itu sejagat dunia maya pun heboh. Aku yakin itu ulah si penculik.

Tak membutuhkan waktu lama, rumahku sudah dipenuhi oleh reporter dan wartawan, mereka berbondong-bondong menunggu informasi dariku, sedangkan para netizen sejagat raya sudah mencaci makiku akibat ulah orang tak bertanggung jawab itu.

Aku mondar mandir di dalam kamar, kepalaku pusing.

“Kenapa masalahnya jadi begini?”

Tiba-tiba Kakak ku menelepon. Dia langsung nyerocos gak karuan mendengar berita adik iparnya diculik.

Keluargaku memang sangat menyayangi Elena, mereka pasti sangat khawatir mendengar berita ini, terutama keponakanku, Sheza. Dia sudah menganggap Elena seperti ibunya sendiri.

“Kakak gak perlu khawatir. Semua sudah diurus polisi.” Aku pun mengakhiri sambungan telepon dengan Kakak ku dari pada kami terus berdebat. Dia memang orang yang keras kepala.

Aku merebahkan tubuhku diatas kasur. Mengabaikan keributan para reporter diluar.

‘Kalau memang benar istriku gak kembali lagi ….’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status