“Hah? Apa maksudnya, Bang?”
“Kayaknya bukan polisi,” selidik Bang Rozi.Tanpa pikir panjang, aku bergegas menghampiri orang yang dimaksud bang Rozi, setelah memastikan memang benar ada orang mencurigakan di depan pintu masuk gedung.“Ayo kita bicara!” aku menepuk bahu pemuda itu, memegangnya erat agar dia tidak kabur.Dia terkesiap kaget, terdiam sejenak, lalu berlari kencang. Aku pun langsung mengejarnya.“Hey! Berhenti!” teriakku.Aku ingat, dia adalah orang yang malam itu mengamatiku dari dalam mobilnya. Aku menduga dialah pelaku penculikan ini.“Apa yang kau lakukan pada istriku?” tanyaku dengan napas terengah-engah saat dia berhenti di atas atap gedung tua.“Aku juga sedang mencari senior!” sentaknya.“Senior?” ulangku.Pria bertubuh kurus itu malah tertawa mengejek.“Dasar brengs*k! Kamu sudah menculik orang tapi masih berani tertawa!” hardikku.Spontan aku pun menghadiahinya dengan pulukan, tapi dia melawan dan berhasil mengelak.“Jangan kamu mengira semua orang bajingan sepertimu! Kak Elena tau semuanya! Bahkan siapa selingkuhanmu,” ucapnya.“Seorang wanita mengejar pria beristri, bukankah sudah jelas niatnya? Dia pasti punya tujuan lain,” pria itu mendekatiku sambil terus mengintimidasi.Seketika aku teringat kata-kata Jessica yang terus menanyakan uang warisan istriku.“Kenapa kau berada di depan rumahku kemarin malam? Kenapa kau mengikutiku!” hardikku sambil menarik kerah bajunya.“Kenapa kau menjadikanku kambing hitam? Apa motifmu mendekati wanita bersuami?” aku terus menuduhnya.“Aku mengawasimu karena khawatir dengan kondisi seniorku. Lagi pula kau lebih mencurigakan dari pada aku!” pria bertopi hitam itu menyeringai.“Disaat hidup dan mati istrimu belum diketahui, kau masih saja berani menemui selingkuhanmu,” cibirnya.Pria itu mendorong tubuhku hingga tersungkur. “Katakan apa yang kau rencanakan dengan selingkuhanmu itu!” bentaknya.“Kaulah yang telah membunuh Kak Elena. Dia sempat bilang, jiwanya seakan mati meskipun raganya masih hidup,” lirihnya.Aku tak terima dengan tuduhannya itu. “Jangan mengarang cerita brengs*k! kau jadikan curhatan istriku sebagai rencanamu kan? Dengan begitu aku yang akan terlihat bersalah!” aku semakin meraung kesal dan kembali menarik kerah bajunya.“Cih, kau sama sekali tak pantas menjadi suami Kak Elena!” pria itu berdecih, lalu menepis tanganku dan beranjak pergi.“Oya, satu lagi,” pria itu berbalik badan.“Malam itu, bukan hanya aku yang mengikutimu,” ucapnya.Ser! Jantungku berdesir, aku terduduk lemas saat menyadari siapa orang lain yang mengikutiku malam itu. Ternyata Jessica.***Malam hari setelah kulihat restoran tutup, aku mengikuti Jessica sampai ke kosannya. Dia terkejut ketika aku menepuk bahunya saat hendak membuka pintu.Dengan sigap aku segera masuk ke dalam karena takut ada yang melihat. Jessica langsung memelukku.“Gimana kalo ada yang lihat, kamu masih berani datang kesini?” senyuman manis terulas di bibirnya.Refleks, aku mendorong tubuh Jessica karena masih dalam keadaan panik setelah bertemu pria yang mengaku sebagai junior istriku tadi.Aku menatap manik mata Jessica, “apa kita bakalan aman?”“Masih perlu kujelaskan? Selama masalah istrimu berjalan sesuai rencana, kita akan baik-baik saja.” Jessica berujar sambil berganti pakaian.‘Lanjutkan sesuai rencanamu?’ batinku.“Jess, kenapa kamu ngikutin aku?” selidikku.“Ya pasti karna khawatir lah!”“Apa kau takut aku tidak menjalankan rencana dengan baik?”Jessica tersenyum, menatapku lekat. "Aku percaya sama kamu, tapi aku gak nyangka bakalan jadi kacau begini.”“Kau masih bisa tersenyum? Sementara aku akan jadi pelakunya!” kesalku.“Tenanglah, Sayang! sekarang fokusnya bukan itu, tapi… apakah kita akan mendapat uang 10 Milyar atau mendapat warisan. Apa kau mau aku mengaturnya lagi?” ujarnya sambil membelai pipiku.“Kalau dia kembali hidup-hidup, berarti kita gagal. Bisa dibilang kita perlu rencana lain untuk mendapatkan uang 10 Milyar itu,” sambungnya.Aku terpaku menatap wanita betubuh mungil ini, dia sangat berambisi terhadap uang itu. Seketika aku teringat dengan ucapan pria bertopi tadi siang, Jessica jelas punya niat lain.“Kenapa penculiknya minta uang 10M? kebetulan jumlah uang yang sedang kubutuhkan dan juga uang warisan milik Elena.”Jessica tersenyum lagi, ”mungkin saja penculiknya adalah si rentenir?”“Orang yang tau aku membutuhkan 10 milyar, selain aku dan rentenir itu…” aku menjeda ucapanku sembari mendekatinya.Jessica balas menatapku tajam, dia tertawa menyadari aku sedang mencurigainya, “kalau aku penculiknya, ngapain aku repot-repot meracik racunnya?”Aku menarik tangan Jessica saat dia hendak menjauh dari hadapanku.“Apa yang sebenarnya terjadi?” desisku.“Kamu ingin kembali menjadi suami yang baik? Percuma saja, semua sudah terlambat,” seringaian licik kembali terulas.Aku bergeming sejenak, pikiranku menuduh Jessica sebagai pelakunya.“Syukurlah, seseorang sudah maju untuk menyelesaikan rencana yang kita buat, dan juga kita gak bisa menghindar, karena kita juga kaki tangan,” desisnya.“Kalau aku jadi Elena, aku pasti berpikir untuk mati, bahkan malu untuk menyebut diriku sebagai istri." Jessica tertawa meledek.Karena muak dengan sikap Jessica, aku pun pergi dari kosannya. Berjalan kaki menyusuri kota dengan langkah gontai.Tring!SMS pemberitahuan dari penagih hutang kembali mengancam, aku mendesah berat, teringiang kata-kata Jessica saat aku beranjak pergi tadi.“Mendapatkan uang 10 Milyar adalah kesempatan terbaik, atau jangan-jangan kamu berharap istrimu kembali hidup-hidup? Dan menyerahkan uang itu pada si penculik?” cibirnya.[“Mendapatkan uang 10 Milyar adalah kesempatan terbaik, atau jangan-jangan kamu berharap istrimu kembali hidup-hidup?” Dan menyerahkan uang itu pada si penculik?” cibirnya.] [“Jess, seseorang telah menjadikan ku sebagai pelakunya, aku harus menemukan orang itu!”] [“Tidak perlu! Prioritas utama kita adalah harus mendapatkan uang 10 Milyar itu dulu! Kamu hanya perlu memikirkan tujuan awalmu! Kamu sedang butuh uang!”] [“Kelihatannya kamu yang sangat membutuhkan uang itu,” desisku.] [“Ya, aku butuh uang! Jadi, dengarkan aku, masukan racun itu lagi ke dalam anggur saat istrimu benar-benar kembali,” bujuknya.] Aku tersadar dari lamunanku, lagi-lagi aku membayangkan Elena sekarat di depan mataku setelah meminum anggur yang sudah kuracuni. “Bagaimana pun, saat ini aku tetaplah tersangka yang tidak bisa lari,” lirihku. Kerlipan lampu sirine mobil patroli membuatku parno dan refleks bersembunyi di balik gang sempit. Ditengah rasa takut dan gelisah, Kakakku malah menelpon. Dengan kesal a
“Aku mencintaimu,” ucapku sambil menyematkan cincin emas di jari manisnya kala itu. Kami berdua mengucapkan janji untuk saling mencintai sampai maut memisahkan, Elena bahkan menulisnya diatas secarik kertas lalu membuat cap sidik jari kami dengan anggur kesukaannya. Tak sadar, air mataku menetes. Aku terduduk lemas dan kembali membaca surat yang ditulis Elena. [“Yang aku tinggalkan bukanlah warisan, melainkan kepercayaanku padamu.”] secarik kertas ucapan janji kami ia tempelkan dibalik kertas surat itu, tangisku pun semakin pecah. Detektif Toni dan timnya menangkapku dengan paksa saat aku tengah menangis. “Kenapa kalian menahanku!” aku memberontak. Para wartawan yang masih setia mengerumuni rumahku, dengan sigap terus menyoroti wajahku. “Bapak Bastian, di bagasimu telah ditemukan bekas lumuran darah, dari hasil pemeriksaan, itu adalah darah Elena,” detektif Toni menjelaskan. “Tidak… tidak mungkin!” teriakku. “Permisi! Ini ada surat untuk Chef Bastian!” Ditengah hebohnya kerum
“Chef Bastian! Apa yang tertulis disana?” tanya detektif Toni.“Mereka menyuruhku untuk menunggu bunyi alarm selanjutnya,” jawabku.Beberapa detik kemudian, alarm kedua berbunyi, kali ini dari sebuah mobil-mobilan remote control. Aku mengejar arah mobil-mobilan itu berlari mengikutinya kesana kesini seperti orang bodoh. Sampai mobil itu berhenti, kuambil kertas berisi instruksi selanjutnya.[Gerbang 1 Stadion Bisbol Jian dalam 30 menit!]Kring…! Kring..!Tiba-tiba alarm kebaran berdering nyaring. Semua orang di dalam aula berhamburan lari keluar untuk menyelamatkan diri. Begitupun denganku.“Chef Bastian! Ada apa di dalam?” terdengar suara detektif Toni dari earphone yang ku pakai.“Alarm kebakaran berbunyi, kekacauan terjadi di tempat ini, Chef Bastian sudah keluar dari tempat kejadian.” Suara detektif lain menyahuti.“Chef Bastian…!” Detektif Toni terus memanggilku, namun tak kuhiraukan, aku bergegas menuju Stadion bisbol yang dimaksud si penculik.“Chef Bastian tolong jawab!” Teria
“Ini aku kembalikan, aku akan pulang menunggu istriku kembali,” ujarku sambil menyerahkan earphone, lalu naik ke mobil. Aku sungguh berharap Elena akan pulang dalam keadaan selamat, karena aku sudah menuruti pemintaan si penculik.“Kau benar-benar berharap istrimu kembali?!” teriak detektif Toni. Aku tak menghiraukan mereka lagi, kulajukan mobilku dengan tenang. Terasa lega dalam hati sudah menyerahkan uang itu pada si penculik, berharap malam ini Elena kembali dengan selamat.Pukul 20.15 malam.Aku gelisah tak menentu, mondar mandir di dalam rumah yang masih diawasi oleh polisi. Kutatap foto pernikahanku dengan Elena. Rasa bersalah terus menyelimuti.Lamunanku seketika buyar saat detektif Toni dan timnya datang, aku berlari kecil menghampiri mereka yang masih berdiri di depan pintu masuk.“Sudah temukan dia? Dia masih hidup kan?” tanyaku.“Kami menerima laporan yang tidak dikenal.” Detektif Rian menyahut dengan tatapannya yang tajam.“Laporan apa?” aku mengernyit.“Seseorang melihatm
“Wanita ini selingkuhanmu kan?” ia menuduh langsung ke intinya.“Dia hanya rekan kerjaku,” bibirku yang semula membeku akhirnya membuka suara.Pria paruh baya itu tersenyum miring, seolah melecehkan jawabanku.“Aku dengar, hampir setiap hari kau pergi menemuinya,” ucapnya lagi.Aku menelan saliva dengan susah payah, menggigit bibir bawahku karena gugup. Aku tak bisa lagi mengelak, mereka sudah menyelidiku dan Jessica.“Kami sudah memeriksa kartu bank milik wanita itu, salah satu transaksi yang dia lakukan adalah membeli ekstrak pohon oaks. Ini adalah racun yang digunakan untuk merenggut nyawa manusia. Tidak mungkin anda tidak tahu mengenai hal ini,” desisnya.“Aku? Memangnya kenapa aku harus tahu?” ucapku enteng.Detektif Rian datang membawa kertas berisi pesan dari Jessica yang sudah aku buang sembarang di stand waktu itu.‘Sial! Mereka memungutnya!” aku merutuk dalam hati. Menyadari betapa bodohnya aku.“Kalian berdua berencana untuk melawan kami?”Aku menarik napas dalam-dalam samb
“Suara apa itu?” terdengar teriakan detektif Toni dari luar. Setelah itu aku tak sadar apapun lagi.***Keesokan harinya, aku terbangun di rumah sakit. Para detektif menyelamatkan nyawaku semalam. Bersamaan dengan itu, aku mendapat kabar bahwa Elena telah kembali dan juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama.Aku bergegas pergi ke ruangannya dengan langkah pelan seakan tak percaya bahwa Elena benar sudah kembali. Jantungku berdegup kencang saat akan menemuinya. Ada perasaan senang, ada juga perasaan bersalah. Apa dia masih mau bertemu denganku, apa aku masih pantas menjadi suaminya? Lamunanku terhenti saat sudah tiba di depan pintu ruang rawatnya, perlahan aku membuka pintu.“Sa…sayang.. sayangku.. Elena!” tangisku pecah saat melihat Elena tengah terbaring sambil menyambutku dengan senyuman.Aku langsung berlutut disampingnya, menggenggan tangannya, dimana ada balutan di jari manisnya, bekas luka kuku yang dicabut si penculik.“Sayang.. kamu baik-baik saja? Aku senang sekali kamu k
“Yes!” aku bersorak sambil berselebrasi, dengan begini aku terbebas dari tuduhan dan tidak lagi menjadi tersangka.***Keesokan harinya, aku menemani Elena menuju ruang psikiater, dokter memberi saran pada istriku, bahwa merupakan hal yang wajar jika dia terus memikirkan kejadian yang baru dia alami, namun dia tak perlu memaksa untuk menghilangkan kejadian itu dari ingatannya. Dokter menyarankan agar Elena selalu memikirkan momen bahagia. Istriku itu langsung menatapku dengan senyuman hangatnya. Mungkinkah momen bahagianya adalah ketika bersamaku? Aku pun membalasnya dengan senyuman semanis mungkin.Seharian kulalui di rumah sakit untuk menjaga dan merawat istriku sampai dia pulih dan dibolehkan untuk pulang. Aku menatap Elena saat dia tengah tertidur, wajahnya yang cantik, senyumnya yang manis, membuat rasa bersalahku semakin memuncak. Bahkan dia memikirkan hal bahagia bersamaku, tapi aku justru mencari kebahagiaan bersama wanita lain.“Lo jago bener membalikkan fakta, dari film thr
“Aku hanya mencurigai satu orang,” ucapku.“Siapa?” Bang Rozi mendekatiku.“Pria yang waktu itu mengikutiku ke kantormu, dia adik kelasnya Elena. Dia orang yang sebelumnya selalu mengikutiku.”“Kalau begitu, bisa jadi dia adalah tersangkanya,” ucap Bang Rozi.Kami terus menganalisa kemungkinan juniornya Elena itu adalah tersangka aslinya, Bang Rozi juga akan melakukan penyelidikan sendiri nantinya.“Tapi kita gak memerlukan siapa yang bersalah, kita hanya perlu satu kejelasan,” ujarnya.“Apa?”“Uang 10 Milyar,” jawabnya.Dasar mata duitan! Bang Rozi memang sangat rakus dengan uang, semua itu hanya untuk keperluan judi, sampai dia rela hanya makan mie instan setiap hari.“Gue peka banget kalau masalah uang, cocoknya gue dipanggil hidung uang, hahahaha…”Aku menarik napas kasar melihat kelakuan aneh mantan Abang iparku ini. Yang di otaknya hanya uang, tak peduli mendapatkannya dengan cara apapun.Setelah berbincang dengan Bang Rozi, aku menyuruhnya pulang saja dari pada semakin membua