Share

Aula Starlight

“Aku mencintaimu,” ucapku sambil menyematkan cincin emas di jari manisnya kala itu.

Kami berdua mengucapkan janji untuk saling mencintai sampai maut memisahkan, Elena bahkan menulisnya diatas secarik kertas lalu membuat cap sidik jari kami dengan anggur kesukaannya.

Tak sadar, air mataku menetes. Aku terduduk lemas dan kembali membaca surat yang ditulis Elena.

[“Yang aku tinggalkan bukanlah warisan, melainkan kepercayaanku padamu.”] secarik kertas ucapan janji kami ia tempelkan dibalik kertas surat itu, tangisku pun semakin pecah.

Detektif Toni dan timnya menangkapku dengan paksa saat aku tengah menangis.

“Kenapa kalian menahanku!” aku memberontak.

Para wartawan yang masih setia mengerumuni rumahku, dengan sigap terus menyoroti wajahku.

“Bapak Bastian, di bagasimu telah ditemukan bekas lumuran darah, dari hasil pemeriksaan, itu adalah darah Elena,” detektif Toni menjelaskan.

“Tidak… tidak mungkin!” teriakku.

“Permisi! Ini ada surat untuk Chef Bastian!” Ditengah hebohnya kerumunan wartawan, tiba-tiba muncul seorang kurir berteriak sambil menyodorkan sebuah surat padaku.

Setelah mengambil surat tadi, aku bersama tim detektif Toni kembali masuk ke rumah. Surat dari pengirim yang sama, A31.

Hanya sebuah flashdisk di dalamnya, gegas aku membukanya dan menyambungkan ke Televisi.

Aku dan semua timnya detektif Toni membelalak mata, video di dalam flashdisk itu adalah Elena yang sedang di sekap dalam sebuah ruangan dengan banyak luka di seluruh tubuhnya.

“Pak Bastian, ini video hari ini,” detektif Toni berujar sambil menatapku.

“Istriku masih hidup… dia masih hidup!” aku menangis tersedu sambil terus menonton video itu.

“Tapi kenapa dia…”

Srrrttt…

Video seketika mati, dan menampilkan ancaman dari si penculik.

[Siapkan uang 10 Milyarnya, masukkan ke dalam tas berwarna hitam, besok jam 10 pagi di aula Starlight. Jika aku melihat polisi, kesepakatan ini gagal dan aku akan membunuh istrimu!]

Aku dan detektif Toni kompak melihat jam yang melingkar di tangan. Sekarang pukul 21.00 malam.

“Tersisa kurang dari 13 jam lagi, tidak mungkin mengumpulkan uang tunai 10 Milyar dalam waktu itu,” ucap Detektif Rian.

Aku bergeming sejenak, sambil memutar kembali video istriku. Hatiku tersayat, sakit sekali rasanya melihat keadaan Elena seperti itu.

Aku berlari keluar rumah untuk menemui para wartawan, memberikan mereka informasi bahwa istriku masih hidup.

“Penculiknya meminta uang tebusan sebanyak 10 Milyar, bantu aku untuk mengumpulkan uang itu sampai jam 10 besok,” tegasku.

“Aku hanya punya sisa waktu 13 jam, mohon bantuanya semua!” aku memelas didepan kamera sambil berteriak. Tak kupedulikan lagi rasa malu, demi Elena. Aku terus menyebutkan alamat rumahku dan meminta bantuan warga Springtown agar datang pukul 06.00 pagi untuk menyumbangkan bantuan.

Detektif Rian dan rekannya menarikku paksa untuk kembali masuk ke dalam, sementara mulutku terus meracau meminta bantuan pada semua orang.

“Pak Bastian! Kenapa anda bertindak ceroboh!” detektif Toni membentakku saat aku kembali masuk ke rumah.

“Penculiknya menekan untuk memberinya 10 Milyar, hanya ini yang bisa kulakukan!”  balasku berteriak.

“Anda masih tersangka sekarang,” desisnya.

“Meskipun sudah jelas bahwa orang lain yang melakukan?” ujarku dengan nada kesal, aku tak terima para detektif itu terus menuduhku.

Detektif Toni menatapku lekat, sesaat kemudian kembali berujar,“tapi mungkin masih ada komplotan lain, bisa jadi kau dan selingkuhanmu berpura-pura.”

“Bukan aku…” ucapku dengan suara serak.

“Kita bisa menggunakan uang palsu untuk memikat penculik,” sahut detektif Rian.

“Apa yang terpenting sekarang membahas soal uang?  Yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa istriku!” kutinggikan nada bicaraku untuk menekan mereka.

“Aku hanya ingin menyelamatkan istriku..” lirihku lagi.

Mereka menatapku seolah aku sedang bersandiwara. Berita-berita yang beredar sekarang, masih tentang tuduhan terhadapku dan mengatakan aku terus bersandiwara dan berkomplot dengan selingkuhan untuk menjalankan rencana penculikan ini.

Namun akhirnya, ketika para detektif menginterogasi kurir yang tadi mengantarkan surat dan memeriksa CCTV, mereka mendapati seseorang meletakkan surat itu dalam sebuah loker kosong yang tak terkunci. Uang imbalan untuk si kurir juga tak sedikit.

Pukul 06.00 pagi.

Aku dan detektif membuka stand untuk para warga Springtown yang ingin menyumbangkan dana tebusan Elena. Tak hentinya aku mengucapkan terima kasih pada mereka yang terus berdatangan untuk memberikan sedikit uangnya.

Para reporter siap meliput, dimana hal ini baru pertama terjadi. Demi menyelamatakan seorang sandera, warga Springtown bahkan rela mengantri sejak sebelum fajar.

“Semoga istri anda kembali dengan selamat,” ucap seorang wanita berpakaian serba hitam menutup wajahnya dengan masker dan topi.

Aku mengenali suara itu, Jessica. Ia menyodorkan sejumlah uang dan secarik kertas berisi pesan, aku membalik badan untuk membaca pesannya, [Aku akan terus mengikutimu, jangan lupakan kesepakatan kita]

Tak sadar, ternyata detektif Toni sudah berada di belakangku saat aku membalikkan badan kembali, ia memperhatikanku sejak tadi.

“Seseorang memberikanku semangat,” jawabku berkilah. Kertas itu segera kuremas dan kubuang sembarangan.

Pria berwajah tegas itu terus memperhatikanku, aku merasa kecurigaannya semakin besar padaku.

Pukul 09.10 pagi.

Uang pun terkumpul, tim detektif menyimpannya dalam sebuah tas lalu memasukkan ke dalam plastik hitam besar yang biasa digunakan untuk sampah. Mereka juga memasang alat penyadap dan pelacak di tubuhku, agar selalu terhubung saat aku menemui penculiknya nanti.

“Kau akan pergi sendiri, bersikaplah secara alami!” titah detektif Toni.

Setelah semua beres, aku pun berangkat.

“Apa kau mendengar kami? Jangan pikirkan hal lain, kami akan terus mengawasimu,” ucapnya dari seberang sana. Aku hanya berdehem sebagai sahutan.

Pedal gas aku injak dalam-dalam, mengemudi dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di tempat yang telah ditentukan si penculik.

***

Aula Starlight.

Aku berlari kocar kacir sambil menenteng plastik hitam berisikan uang tunai 10 Milyar. Kondisi aula ramai karena sedang ada pesta, membuatku kualahan mencari jalan.

Dengan napas terengah, aku berhenti sejenak memperhatikan satu persatu orang di dalam aula ini, ‘akankah penculiknya salah satu dari mereka?’ aku bermonolog dalam hati.

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi, bertepatan dengan itu, terdengar suara deringan telepon di sudut ruangan, aku bergegas menghampiri arah suara. Semua orang melihatku dengan tatapan aneh.

Ku angkat telepon yang berdering itu, ternyata tidak menyala. Rasa panik membuatku kehilangan akal.

“Dari mana bunyi dering itu berasal?” kesalku.

Kuraba semua benda yang ada disana, ternyata ada sebuah bel alarm dibawah meja. Sebuah pesan tertulis di dalamnya.

“Chef Bastian! Apa yang tertulis disana?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status