“Chef Bastian! Apakah anda sudah menerima informasi baru?”
“Apakah penculiknya ada menghubungi anda lagi?”
Kedua detektif itu mengantarkanku kembali ke rumah, dan ternyata para wartawan masih setia menungguku. Aku turun dari mobil dengan tubuh lesu seperti handphone kehabisan daya dan memutuskan langsung masuk rumah tanpa menghiraukan mereka yang terus bertanya.
Kedua detektif itu izin untuk kembali sebentar ke kantor polisi untuk merangkum hasil penyelidikan hari ini. Sementara aku beristirahat di rumah. Pikiranku sedang kacau. Tubuhku benar-benar seperti kehilangan tenaga, tak berdaya, tapi tak tahu apa penyebabnya.
Beberapa jam kemudian kedua detektif itu datang lagi ke rumahku. Kami mengobrol di ruang tamu. Namun, ada yang beda dari tatapan kedua detektif itu. Mereka seperti menaruh kecurigaan besar padaku, terlebih Detektif Toni. Tatapannya terus mengintimidasiku sejak aku menemukannya tengah berada di depan pintu ruangan kerjaku siang tadi.
“Kami menemukan jejak sepatu di TKP yang hanya terhapus sebagian.” Detektif Rian berujar dengan tegas. Dia menatapku lekat-lekat. “Pasti kamu gelisah sehingga ingin menghapus buktinya atau mungkin sama sekali tidak peduli dengan hal ini?”
Aku mengerutkan dahiku, menunjukkan kebingungan yang jelas-jelas aku rasakan.
“Jejak sepatu ini sama ukurannya dengan sepatu anda,” sambungnya.
Seketika aku gelisah dan gugup. Apalagi Detektif Toni menatapku dengan tajam seperti akan menerkamku. Aku menarik napas mencoba mentralkan detak jantungku. “Jadi maksud kalian, ini adalah jejak kakiku?”
Detektif Toni tidak menjawab pertanyaanku dan kembali bertanya. “Di mana sepatu olahraga anda sekarang?”
Aku menyeringai, lalu berdiri dan mengajak mereka ke rak sepatu depan. Dengan percaya diri dan keyakinan kuat bahwa sepatu itu ada di rak, aku pun bergegas membukanya.
Namun betapa terkejutnya aku bahwa sepatu itu tidak ada di sana. Aku panik dan membongkar seluruh rak sepatu itu. Namun tak kunjung kutemukan.
‘Ada orang yang ingin menjebakku sebagai penculiknya,’ batinku kesal. ‘Tapi kenapa? Sebenarnya ada apa ini?’
Kedua detektif itu terus menatapku dengan sinis, semakin membuatku gugup dan gelisah. Seolah itu belum cukup, dering telepon masuk tiba-tiba terdengar, membuat degupan jantungku memacu lebih cepat.
Nama Jessica muncul di layar. Aku segera meminta izin mengangkat telepon dan menjaduh dari ruang sepatu. “Saya permisi sebentar, mau angkat telpon. Ini dari restoran.”
“Halo, ada apa? Apa ada masalah?” Sengaja kulantangkan suaraku agar kedua detektif itu tidak terus curiga.
Setelah mendistraksi mereka, aku berlari menuju kamar. Kututup pintu dan kukunci dengan rapat usai memastikan tidak ada yang mengikutiku.
“Apa kamu sudah liat berita?” tanya Jessica.
Tanpa menjawab, aku langsung menyalakan televisi di kamarku.
[“Apakah anda mempunyai hubungan yang baik dengan Ibu Rumah Tangga yang diculik itu?”] tanya seorang wartawan.
[“Dia memanggilku Kakak, dia sangat patuh padaku.”] Jawabnya.
[“Apakah terjadi sesuatu? Seperti masalah keuangan atau masalah suami istri?”] kepo si wartawan.
[“Dia bilang, belakangan ini … sepertinya suaminya berselingkuh. Setiap hari dia sangat gelisah.”]
‘Si*lan!’ Aku mengumpat dalam hati saat mengenali wanita yang tengah diwawancarai itu. Wanita tua berambut sebahu yang tidak lain adalah tetanggaku sendiri. Dia terlihat kaku dan terjeda-jeda mengucapkan hal itu.
Berbeda saat ditanyai para detektif, Rika terlihat begitu lancar menjawab seluruh pertanyaan wartawan. Aku langsung mematikan TV, tak perlu lagi menyaksikannya berbicara.
“Gimana? Udah liat?” tanya Jessica.
Aku menarik napas berat. ”Ya, sudah.”
“Bukannya kamu bilang kita belum ketahuan? Bukannya kamu bilang gak ada yang tahu!” Suara Jessica terdengar panik.
Aku pun bingung mau menjawab apa, karena selama ini yang kutahu, Elena memang tidak mengetahui kalau aku selingkuh.
Jessica terus bertanya dengan nada tinggi. “Kamu gak kasih tahu sama polisi tentang hubungan kita kan?”
“Sudah pasti enggak lah!” jawabku tegas.
“Kamu harus sadar! Kalau sampai ketahuan, kerugian siapa yang paling besar!” Jessica terdengar begitu menekankan kalimatnya barusan. Aku hanya bisa terdiam mendengarkan Jessica. “Termasuk juga dengan masalah racun itu. Ngomong-ngomong, gimana dengan anggurnya?” bisik Jessica lagi.
“Ini masih ada sama aku.”
Mendengar jawabanku barusan, Jessica terdengar sedikit berteriak panik. “Masih kamu simpan? Kenapa?”
Aku pun bingung harus kuapakan anggur ini.
“Jangan-jangan kamu gak masukin racun itu ke dalamnya ya?” selidik Jessica.
Aku ingat betul bahwa aku benar-benar memasukkan racun itu ke dalam anggur ini. “Bukannya kamu suruh aku buat merayakannya kalau Elena sudah pulang?” cibirku mengingatkan kembali apa rencananya.
Aku berdecih tak kentara. Padahal, kemarin dia yang begitu semangat menyuruhku menyodorkan anggur beracun ini jika sampai Elena bisa pulang dengan selamat. Sekarang, lihatlah … justru dia yang mencurigaiku mengkhianatinya?
“Kenapa kamu masih menyimpannya sampai sekarang!” ucap Jessica frustrasi.
Aku merengut. Apa Jessica ini bodoh? “Dia kan belum meminumnya.”
“Serius? Kamu bercanda sama aku? Kamu pikir ini masuk akal? Percobaan pembunuhan! Kamu masih gak paham? Cepat bereskan anggur itu sekarang!” Jessica semakin meraung kesal kemudian mematikan telepon.
Setelahnya, aku berlari kocar kacir sambil membawa anggur si*lan ini. Sama sekali gak kepikiran kalau benda ini bisa menjadi bukti untuk percobaan pembunuhan.
Gegas aku ke kamar mandi dan membuangnya ke lubang saluran. Aku panik bukan main. Cepat, kubersihkan semua sisa-sisa anggur yang masih menggenang di lantai kamar mandi.
Setelah semua kubereskan, aku bergegas kabur melalui jendela kamarku. Ada seseorang yang harus kutemui. Sialnya, para wartawan itu melihatku dan langsung mengejarku yang seolah tuli dengan teriakan mereka.
**
“Waaawww. Orang yang sedang popular belakangan ini. Mau ngapain ke sini?”
Aku sudah berada di sebuah pegadaian usang milik mantan abang iparku. Dia dulunya seorang detektif yang cerdik, namun dipecat karena melakukan korupsi.
Aku langsung melapor pada Bang Rozi. “Bang, beneran bukan gue pelakunya. Bantu gue, Bang ….”
“Bantu bagian yang mana? Selingkuh atau penculikkan?” Bang Rozi betah menggodaku.
“Penculikkan apanya! Udah gue bilang bukan gue, Bang!” raungku.
Bang Rozi cengengesan, masih santai dengan cemilannya dan tatapan meledeknya padaku. “Kalau begitu, lo beneran selingkuh?”
Aku mendesah berat, tak sanggup mengiyakan pertanyaan Bang Rozi. Kemudian, kuceritakan semua bukti penyelidikan yang telah didapati detektif beberapa hari terakhir ini. Sial, Bang Rozi malah merespons ala kadarnya di tengah aku yang sedang frustrasi
“Karena sulit untuk membuktikan diri lo gak bersalah, lebih baik temukan pelakunya.” Bang Rozi berdiri lalu mengintip ke luar jendela melalui tirai lusuhnya. “Masalah perselingkuhan seperti ini gue selalu menyelidikinya sampai bosan. Lo pikir, cuma lo yang bisa selingkuh, gitu?”
Sisi egoisku seketika tersentil. Dengan seluruh kepribadian Elena, serta caranya memperlakukanku, jelas saja aku tidak mempercayai dugaan Bang Rozi begitu saja. “Aku yakin, istriku bukan orang yang kayak gitu.”
Bang Rozi memutar kembali badannya menatapku. “Oh, ya? Terus, kenapa dari tadi ada orang yang terus berdiri di depan pintu masuk gedung itu?” tunjuknya mengarah ke satu titik.
“Hah? Apa maksudnya, Bang?”
“Hah? Apa maksudnya, Bang?” “Kayaknya bukan polisi,” selidik Bang Rozi. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menghampiri orang yang dimaksud bang Rozi, setelah memastikan memang benar ada orang mencurigakan di depan pintu masuk gedung. “Ayo kita bicara!” aku menepuk bahu pemuda itu, memegangnya erat agar dia tidak kabur. Dia terkesiap kaget, terdiam sejenak, lalu berlari kencang. Aku pun langsung mengejarnya. “Hey! Berhenti!” teriakku. Aku ingat, dia adalah orang yang malam itu mengamatiku dari dalam mobilnya. Aku menduga dialah pelaku penculikan ini. “Apa yang kau lakukan pada istriku?” tanyaku dengan napas terengah-engah saat dia berhenti di atas atap gedung tua. “Aku juga sedang mencari senior!” sentaknya. “Senior?” ulangku. Pria bertubuh kurus itu malah tertawa mengejek. “Dasar brengs*k! Kamu sudah menculik orang tapi masih berani tertawa!” hardikku. Spontan aku pun menghadiahinya dengan pulukan, tapi dia melawan dan berhasil mengelak. “Jangan kamu mengira semua orang baj
[“Mendapatkan uang 10 Milyar adalah kesempatan terbaik, atau jangan-jangan kamu berharap istrimu kembali hidup-hidup?” Dan menyerahkan uang itu pada si penculik?” cibirnya.] [“Jess, seseorang telah menjadikan ku sebagai pelakunya, aku harus menemukan orang itu!”] [“Tidak perlu! Prioritas utama kita adalah harus mendapatkan uang 10 Milyar itu dulu! Kamu hanya perlu memikirkan tujuan awalmu! Kamu sedang butuh uang!”] [“Kelihatannya kamu yang sangat membutuhkan uang itu,” desisku.] [“Ya, aku butuh uang! Jadi, dengarkan aku, masukan racun itu lagi ke dalam anggur saat istrimu benar-benar kembali,” bujuknya.] Aku tersadar dari lamunanku, lagi-lagi aku membayangkan Elena sekarat di depan mataku setelah meminum anggur yang sudah kuracuni. “Bagaimana pun, saat ini aku tetaplah tersangka yang tidak bisa lari,” lirihku. Kerlipan lampu sirine mobil patroli membuatku parno dan refleks bersembunyi di balik gang sempit. Ditengah rasa takut dan gelisah, Kakakku malah menelpon. Dengan kesal a
“Aku mencintaimu,” ucapku sambil menyematkan cincin emas di jari manisnya kala itu. Kami berdua mengucapkan janji untuk saling mencintai sampai maut memisahkan, Elena bahkan menulisnya diatas secarik kertas lalu membuat cap sidik jari kami dengan anggur kesukaannya. Tak sadar, air mataku menetes. Aku terduduk lemas dan kembali membaca surat yang ditulis Elena. [“Yang aku tinggalkan bukanlah warisan, melainkan kepercayaanku padamu.”] secarik kertas ucapan janji kami ia tempelkan dibalik kertas surat itu, tangisku pun semakin pecah. Detektif Toni dan timnya menangkapku dengan paksa saat aku tengah menangis. “Kenapa kalian menahanku!” aku memberontak. Para wartawan yang masih setia mengerumuni rumahku, dengan sigap terus menyoroti wajahku. “Bapak Bastian, di bagasimu telah ditemukan bekas lumuran darah, dari hasil pemeriksaan, itu adalah darah Elena,” detektif Toni menjelaskan. “Tidak… tidak mungkin!” teriakku. “Permisi! Ini ada surat untuk Chef Bastian!” Ditengah hebohnya kerum
“Chef Bastian! Apa yang tertulis disana?” tanya detektif Toni.“Mereka menyuruhku untuk menunggu bunyi alarm selanjutnya,” jawabku.Beberapa detik kemudian, alarm kedua berbunyi, kali ini dari sebuah mobil-mobilan remote control. Aku mengejar arah mobil-mobilan itu berlari mengikutinya kesana kesini seperti orang bodoh. Sampai mobil itu berhenti, kuambil kertas berisi instruksi selanjutnya.[Gerbang 1 Stadion Bisbol Jian dalam 30 menit!]Kring…! Kring..!Tiba-tiba alarm kebaran berdering nyaring. Semua orang di dalam aula berhamburan lari keluar untuk menyelamatkan diri. Begitupun denganku.“Chef Bastian! Ada apa di dalam?” terdengar suara detektif Toni dari earphone yang ku pakai.“Alarm kebakaran berbunyi, kekacauan terjadi di tempat ini, Chef Bastian sudah keluar dari tempat kejadian.” Suara detektif lain menyahuti.“Chef Bastian…!” Detektif Toni terus memanggilku, namun tak kuhiraukan, aku bergegas menuju Stadion bisbol yang dimaksud si penculik.“Chef Bastian tolong jawab!” Teria
“Ini aku kembalikan, aku akan pulang menunggu istriku kembali,” ujarku sambil menyerahkan earphone, lalu naik ke mobil. Aku sungguh berharap Elena akan pulang dalam keadaan selamat, karena aku sudah menuruti pemintaan si penculik.“Kau benar-benar berharap istrimu kembali?!” teriak detektif Toni. Aku tak menghiraukan mereka lagi, kulajukan mobilku dengan tenang. Terasa lega dalam hati sudah menyerahkan uang itu pada si penculik, berharap malam ini Elena kembali dengan selamat.Pukul 20.15 malam.Aku gelisah tak menentu, mondar mandir di dalam rumah yang masih diawasi oleh polisi. Kutatap foto pernikahanku dengan Elena. Rasa bersalah terus menyelimuti.Lamunanku seketika buyar saat detektif Toni dan timnya datang, aku berlari kecil menghampiri mereka yang masih berdiri di depan pintu masuk.“Sudah temukan dia? Dia masih hidup kan?” tanyaku.“Kami menerima laporan yang tidak dikenal.” Detektif Rian menyahut dengan tatapannya yang tajam.“Laporan apa?” aku mengernyit.“Seseorang melihatm
“Wanita ini selingkuhanmu kan?” ia menuduh langsung ke intinya.“Dia hanya rekan kerjaku,” bibirku yang semula membeku akhirnya membuka suara.Pria paruh baya itu tersenyum miring, seolah melecehkan jawabanku.“Aku dengar, hampir setiap hari kau pergi menemuinya,” ucapnya lagi.Aku menelan saliva dengan susah payah, menggigit bibir bawahku karena gugup. Aku tak bisa lagi mengelak, mereka sudah menyelidiku dan Jessica.“Kami sudah memeriksa kartu bank milik wanita itu, salah satu transaksi yang dia lakukan adalah membeli ekstrak pohon oaks. Ini adalah racun yang digunakan untuk merenggut nyawa manusia. Tidak mungkin anda tidak tahu mengenai hal ini,” desisnya.“Aku? Memangnya kenapa aku harus tahu?” ucapku enteng.Detektif Rian datang membawa kertas berisi pesan dari Jessica yang sudah aku buang sembarang di stand waktu itu.‘Sial! Mereka memungutnya!” aku merutuk dalam hati. Menyadari betapa bodohnya aku.“Kalian berdua berencana untuk melawan kami?”Aku menarik napas dalam-dalam samb
“Suara apa itu?” terdengar teriakan detektif Toni dari luar. Setelah itu aku tak sadar apapun lagi.***Keesokan harinya, aku terbangun di rumah sakit. Para detektif menyelamatkan nyawaku semalam. Bersamaan dengan itu, aku mendapat kabar bahwa Elena telah kembali dan juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama.Aku bergegas pergi ke ruangannya dengan langkah pelan seakan tak percaya bahwa Elena benar sudah kembali. Jantungku berdegup kencang saat akan menemuinya. Ada perasaan senang, ada juga perasaan bersalah. Apa dia masih mau bertemu denganku, apa aku masih pantas menjadi suaminya? Lamunanku terhenti saat sudah tiba di depan pintu ruang rawatnya, perlahan aku membuka pintu.“Sa…sayang.. sayangku.. Elena!” tangisku pecah saat melihat Elena tengah terbaring sambil menyambutku dengan senyuman.Aku langsung berlutut disampingnya, menggenggan tangannya, dimana ada balutan di jari manisnya, bekas luka kuku yang dicabut si penculik.“Sayang.. kamu baik-baik saja? Aku senang sekali kamu k
“Yes!” aku bersorak sambil berselebrasi, dengan begini aku terbebas dari tuduhan dan tidak lagi menjadi tersangka.***Keesokan harinya, aku menemani Elena menuju ruang psikiater, dokter memberi saran pada istriku, bahwa merupakan hal yang wajar jika dia terus memikirkan kejadian yang baru dia alami, namun dia tak perlu memaksa untuk menghilangkan kejadian itu dari ingatannya. Dokter menyarankan agar Elena selalu memikirkan momen bahagia. Istriku itu langsung menatapku dengan senyuman hangatnya. Mungkinkah momen bahagianya adalah ketika bersamaku? Aku pun membalasnya dengan senyuman semanis mungkin.Seharian kulalui di rumah sakit untuk menjaga dan merawat istriku sampai dia pulih dan dibolehkan untuk pulang. Aku menatap Elena saat dia tengah tertidur, wajahnya yang cantik, senyumnya yang manis, membuat rasa bersalahku semakin memuncak. Bahkan dia memikirkan hal bahagia bersamaku, tapi aku justru mencari kebahagiaan bersama wanita lain.“Lo jago bener membalikkan fakta, dari film thr