Share

Interogasi

“A-apa yang terjadi??”

Aku memperhatikan arah darah itu, sepertinya tersangka menyeret tubuh korbannya.

Aku memperhatikan seisi rumah dengan perasaan takut.

“Apakah ini darah istriku.”

Aku terperanjat, kakiku gemetar hebat. Kupanggil istriku lagi, tetapi tak juga ada sahutan. Aku berlari naik ke lantai dua memeriksa keadaan kamar, tak ada siapapun.

Kupanggil lagi namanya dengan lantang. “Elena!” Namun lagi-lagi hanya kesunyian yang kudapatkan.

Aku berlari turun lagi ke bawah dengan rasa panik yang mulai menjalar. Kemudian, aku terpikir untuk menelpon istriku, tapi sayang nomornya tidak aktif. Aku mengedarkan pandangan, dan melihat seuntai kertas di atas meja makan. Kuambil surat itu dan kemudian memelotot saat membaca isi pesan.

[Siapkan uang sepuluh milyar! Jangan lapor polisi atau istrimu akan mati! A31.]

Aku bingung dan kaget. Kulihat anggur yang tadi kubeli. Niatku untuk membunuh istriku, tapi ternyata sudah ada seseorang yang lebih dulu melakukannya. Aku tersenyum miring, sedikitnya aku merasa beruntung tak perlu melakukan pekerjaan kotor ini lagi.

Karena tersangka mengatakan jika lapor polisi dia akan membunuh istriku, aku justru menelepon polisi agar penculik itu tak ragu untuk membunuhnya. Tak lama kemudian polisi pun datang. Aku yang masih bingung dan panik tak bisa langsung menjawab setiap pertanyaan dari mereka. Para petugas memeriksa seisi rumahku.

“Saya Toni, dari kepolisian Springtown,” ucap seorang detektif kepadaku.

Kami berjabat tangan, aku menjawab dengan pelan. “Oh, iya. Saya Bastian, suami korban.”

“Anda tenang saja, semua akan kami bereskan. Jangan khawatir,” ucap detektif itu.

Detektif itu lalu membaca surat ancaman dari pelaku yang sudah kuserahkan padanya.

“A31? Apakah anda punya petunjuk tentang kode ini?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala. ”Gak ada, Pak. Pelakunya bilang jangan lapor polisi, tapi saya ….”

“Jangan risau,” ujarnya memotong ucapanku. “Sebelum dia mendapatkan apa yang dia mau, dia tidak akan melepaskan mangsanya,” sambungnya lagi.

“Sepuluh milyar. Uang yang tidak sedikit. Apa anda sudah menyiapkannya?” tanya Detektif Toni.

Aku hanya mengangguk lemah, aku tidak mungkin menebusnya dengan uang sebanyak itu. Namun, aku mengatakan hal yang sebaliknya. “Ya, mungkin bisa aku berikan.”

“Emm, apa Anda bisa mengumpulkan uang tunai sebanyak ini?” tanyanya tidak yakin.

Aku masih menyimpan rekening istriku yang berisi warisan dari orang tuanya sebanyak sepuluh milyar. Aku mungkin bisa menggunakan itu. “Bisa!”

Aku lalu menyerahkan rekening istriku yang berisikan sepuluh milyar itu kepada polisi.

“Apakah ada benda lain yang hilang?” tanya Pak Toni.

“Gak ada,” jawabku.

“Barang lainnya tetap berada di tempat awalnya?” tanyanya lagi.

“Ya, sepertinya begitu,” jawabku lagi.

Detektif Toni kembali memperhatikan bercak darah di lantai. “Darahnya sangat banyak, tapi tidak ditemukan jejak perlawanan.”

“Kasus penculikkan biasanya dilakukan oleh orang di sekitarnya.” Detektif Rian, rekannya Pak Toni menyahut.

Aku dan Pak Toni kompak menoleh. Dia pun seperti salah tingkah karena kami menatapnya secara intens. Lalu kedua Detektif itu melirikku dengan tatapan yang tak biasa.

“Itu hanyalah hasil statistic,” imbuh Pak Toni.

Kemudian kami menuju dapur, melihat di wastafel ada dua gelas pasangan kesayangan istriku.

“Ini minuman coklat,” ucap Detektif Toni pada rekannya, kemudian menatapku. “Kapan anda bertemu istri anda terakhir kali?”

“Tadi pagi, saat akan berangkat kerja hari ini.”

Aku berpikir keras, kenapa ada dua gelas pasangan dengan minuman coklat di sini? Apa sebelumnya ada tamu yang datang? Tapi kenapa dia memakai gelas pasangan yang dia sayangi? Seharusnya itu gelas yang kami pakai berdua. Dia tidak mungkin menggunakan gelas itu untuk sembarangan orang.

“Apakah ada sesuatu yang beda dari dirinya hari ini?” Detektif Toni terus menginterogasiku.

Aku pun berusaha mengingat.

“Hal kecil juga boleh,” ujar Detektif Toni lagi.

“Kuteks!” Tiba tiba aku teringat kalau istriku tadi pagi menunjukkan kukunya. “Istriku tadi pagi menunjukkan kukunya yang dia rias dengan kuteks warna baru. Dia terlihat menyukainya,” ucapku yakin.

“Apakah ada hal yang dikhawatirkan istrimu belakangan ini? Contohnya, masalah keuangan atau pria?”

Aku teringat kembali masalah tadi pagi saat aku ingin mengajukan pinjaman dana. Aku memang berniat menjadikan rumah mewah ini sebagai jaminannya, tetapi istriku keberatan. Namun, tentu saja hal itu tidak aku sampaikan pada detektif yang menginterogasiku. “Sepertinya tidak ada.”

Detektif Toni mengangguk, sementara rekannya kembali bertanya padaku. “Apa gelas dalam wastafel ini milik tamu?”

“Bukan, itu gelasku dan istriku. Tapi aku tidak minum coklat.”

“Ambil sidik jarinya!” perintah Detektif Toni pada Detektif Rian.

“Jadi dia minum dengan siapa?” Rekan Detektif Toni kembali bertanya padaku.

“Bagaimana aku bisa tahu?” ucapku balik bertanya. “Ketika aku sampai ke rumah, istriku sudah tidak ada.”

“Jika waktu anda kembali adalah sebelum melapor, berarti kejadiannya kira-kira saat anda masih di restoran? Saya sudah melihat jadwal restoran yang anda kelola. Jam sembilan sudah tutup,” ucapnya seperti mencurigaiku. “Apa yang anda lakukan setelah menutup restoran?” tanyanya lagi.

“Setiap malam aku akan pulang telat karena harus menyangrai biji kopi,” jawabku jujur. Memang, aku lebih memilih melakukannya di malam hari, saat seluruh kegiatan restoran sudah berakhir supaya aku bisa fokus dengan pekerjaanku.

“Anda sendirian melakukan itu?”

“Iya.”

Detektif Toni menatapku tajam, jelas dia sedang mencurigaiku.

Tanpa takut, kuajukan pertanyaan padanya. “Apakah anda sedang memastikan aku berada di tempat kejadian atau tidak?”

“Ah, ini hanya pertanyaan biasa. Maaf kalau membuatmu tersinggung,” ujarnya.

“Setelah menyelesaikannya aku langsung pulang.” Tak mungkin aku mengutarakan kalau sebelumnya aku mampir dulu ke kosan Jessica.

Detektif Rian dengan lancang membuka bingkisan berisikan anggur yang tadi aku beli. Aku gugup, jantungku berdegup kencang, khawatir kalau mereka nanti akan memeriksa anggur yang sudah aku beri racun itu.

Detektif Toni menghampiri rekannya itu.

Gegas, aku langsung menyusul mereka. “Itu anggur yang kubeli.”

“Kelihatannya kalian sangat suka minum anggur. Apa hari ini adalah hari istimewa kalian?” tanya Detektif Toni lagi.

“Kami sudah sangat lama tidak minum anggur. Aku membelinya hanya untuk bernostalgia masa lalu dan meminumnya satu atau dua gelas dengan istriku.”

“Baiklah, istri anda pasti akan kembali dengan selamat, tunggu saja sampai saat itu, lalu anda bisa merayakannya dengan anggur ini,” terang Detektif Toni sambil tersenyum getir.

Aku pun menjadi kikuk atas perlakuannya itu. Aku seperti seorang pelaku yang sedang dicurigai. Aku menjadi salah tingkah karena memang niatku dari awal ingin meracuni istriku.

Aku berjalan gontai menuju kamar di lantai dua, kedua detektif itu mengikutiku. Mereka melihat tempat tidur kami yang terpisah.

“Lantai dua juga tidak ada tempat yang spesial,” gumam Detektif Rian.

Detektif Toni hanya mengangguk sambil memperhatikan seluruh ruang kamar kami, lalu kembali bertanya. “Istri anda orang yang seperti apa?”

Aku kembali membayangkan betapa anggunnya istriku, menaruh barang dengan hati-hati dan rapi, keadaan rumah yang selalu bersih dan wangi.

“Dia teratur dan melakukan yang terbaik dalam segala hal. Dia tidak suka benda berlebihan, dan hanya menyimpan yang diperlukan saja. Sangat banyak hal yang dapat kupelajari darinya,” jelasku.

“Apakah istri anda sering keluar?”

“Selain pergi melakukan yoga selama dua jam di pagi hari, sepertinya dia tidak ada kegiatan lain lagi,” ucapku dengan dahi berkerut. Sesaat kemudian, aku kembali berujar. “Ah, kadang-kadang dia suka mengundang teman-temannya ke rumah. Banyak Ibu Rumah Tangga yang belajar trik mengurus rumah darinya. Dia sangat sempurna dan tidak ada kekurangan apapun.”

Kalimatku yang barusan terdengar hampir mirip orang terisak. Kedua detektif itu mengangguk mendengarkan ceritaku.

“Aku sama sekali tidak pantas menjadi suaminya,” lirihku menambahkan.

“Kapan anda menelpon istri anda terakhir kali hari ini?” pertanyaan Detektif Toni mengejutkanku.

“Sepertinya tidak ada hal yang penting, jadi kami tidak bertelepon hari ini,” jawabku sedikit gugup. “Tapi aku mencoba menghubunginya tadi, sayang ponselnya sudah tidak aktif lagi.”

Kedua detektif itu kembali mengangguk.

“Baiklah, anda silahkan istirahat saja dulu, ini akan menjadi perjuangan yang panjang,” ujarnya.

Kemudian dua detektif itu pamit dan pergi meninggalkan rumahku bersama semua timnya.

Aku sedikit canggung menjalani kegiatanku di rumah sendirian tanpa istriku yang sempurna itu.

Namun sepertinya aku merasakan kebebasan. Aku mandi sesuka hati, menaruh handuk dan pakaian kotor di sana sini.

“Akhirnya kebebasan datang!” sorakku.

Aku memesan ayam goreng dan minuman soda yang banyak, untukku merayakan kebebasan ini seorang diri. Tak perlu mengkhawatirkan kebersihan dan kerapian rumah, aku pun sesuka hati mengotori meja yang ada di kamarku.

“Karena sudah lapor polisi, aku tak perlu menebusnya jika dia sudah mati,” ucapku senang membayangkan uang tebusan 10 milyar yang penculik itu minta. “Uang itu tidak akan bisa lari ke mana-mana lagi.”

Wush!

Angin halus bertiup seketika. Tiba-tiba punggungku merinding, seperti ada seseorang di belakangku. Segera aku menoleh dan melihat istriku sedang berdiri menatapku tajam. Aku mengelus dada menenangkan keterkejutanku.

Namun tak lama, lagi-lagi aku melihat istriku di dapur sedang membersihkan gelas pasangan yang sering kami gunakan bersama. Dari belakang aku sengaja mengendap-endap. Aku menutup wajahku dengan masker dan topi hitam. Lalu segera aku menyergap dan mencekik lehernya.

“Argh!”

Dia menjerit dan melawanku, dan berhasil membuka masker dan topiku. Aku pun terkejut. Misiku gagal dan ketahuan olehnya.

Elena kemudian balas mencekikku dengan tatapan penuh dendam. Gantian, kini aku yang meronta-ronta ingin dilepaskan.

“Aaaa … Elena, stop! Aaakk!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sofyan Yan
bagus jalan ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status