Ada peribahasa yang mengatakan, "Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga." peribahasa itu sepertinya cocok untukku. Cepat atau lambat Rob pasti akan tahu kalau aku menghilangkan sepatu boots pemberiannya. Mungkin bagi kalian ini hanya masalah sepele.
Ayolah itu hanya 'sepatu boots', kau bisa membelinya kapan saja!
Ya, itu memang benar. Itu hanya sepatu boots, biasa bagi kalian tapi tidak bagiku. Itu hadiah ulang tahunku yang ke-17. Aku tahu ini konyol, setiap tahun orang pasti akan mengalami yang namanya 'ulang tahun' -jika Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup-, tapi tidakkah kalian berpikir tentang betapa spesialnya ulang tahun ke-17?
Tahun dimana orang-orang akan mengakuimu sebagai seorang remaja, bukan seorang bocah ingusan lagi. Terlepas dari itu, ada hal
Mobil yang aku kendarai memang sudah berhenti di pekarangan rumah, tapi itu tidak menghentikan getaran pada kedua telapak tanganku yang memegangi stir, jantungku juga masih berdetak lebih cepat dari biasanya. Kelebatan ingatan tentang kejadian memalukan itu masih saja berputar-putar di dalam kepalaku. Seolah mengejekku, ingatan itu enggan menghilang.Kubenturkan kepalaku pada stir, berharap aku bisa amnesia tapi yang kudapat malah memar di dahi. Aku meringis memegangi memar yang baru saja kubuat."Aku harap tidak bertemu dengan Jason lagi seumur hidupku."Aku mendesah panjang, menenggelamkan wajahku pada lipatan lengan di atas stir mobil. Setelah mengatakan hal memalukan itu aku berhasil merampas paper bag-ku dan kabur dari Jason. Entah ini harus disebut keberuntungan atau justru malap
"Lucas, aku bisa berangkat sendiri! Kembalikan kunci mobilku!" teriakku pada Lucas. Dia berpura-pura tidak mendengar. Lucas tetap duduk manis di depan kemudi."Lucas!" raungku frustasi. Lucas tidak juga mau mengembalikan kunci mobilku. Dia menyembunyikannya entah di mana. Kesabaranku mulai habis sekarang. Kutarik lengannya dengan kencang hingga pegangannya pada kemudi terlepas.Lucas menoleh, dia memberiku tatapan tajam."Berhentilah bersikap kekanak-kanakan. Aku hanya melaksanakan amanat dari Ayahmu.""Amanat apanya? Asal kau tahu, biasanya aku selalu berangkat sendiri.""Amanat memastikanmu aman dari jangkauan Jason. Itu pesan Ayahmu. Maka dari itu aku menyita kunci mobilmu. Oh ya,
Aku meringis, Mrs Elena sudah selesai mengobati lukaku dan sekarang tengah membereskan peralatan yang tadi dia gunakan.Sialan, si Brengsek itu membuatku mendapat dua jahitan di dagu, ditambah rasaa nyeri di lututku belum juga hilang. Persetan dengan hukum, aku benar-benar ingin membunuhnya detik ini juga."Jangan cengeng. Luka di dagumu tidak seberapa. Perlu kau tahu, gara-gara sepatu boots -sialan- mu itu aku mendapat lima jahitan di pelipisku."Aku mendongak, menemukan Jason berdiri sambil menyibak tirai. Mati-matian aku menahan emosiku. Keinginan untuk melenyapkan Jason dari muka bumi ini makin kuat.Dia melangkah mendekat, tak sedetikpun aku mengalihkan pandangan darinya. Gerakannya saat membuka kaos juga tidak luput dari penglih
Stephanie Cassen atau Stefie merasa hidupnya menjadi sangat kacau setelah ulang tahunnya yang ke-17. Kesialan-kesialan itu seolah datang bertubi-tubi membuatnya hampir frustasi. Berawal dari sepatu boot hadiah ulang tahun dari ayahnya, lalu jalanan yang licin dan semuanya terjadi begitu saja.Lelaki itu, berandalan sekaligus playboy di sekolah menengah atas tempatnya memulai lembaran masa remaja, Jason Butler, dengan mata kepalanya sendiri, Stefie, melihat betapa mengerikannya luka di pelipis Jason, semengerikan sumpah serapah yang Jason ucapkan pada pemilik sepatu boot yang tak lain adalah dirinya sendiri.# HADIAH DAN MASALAH"Apa kau suka hadiahmu?"Aku tidak dapat menyembunyikan sorot mata takjubku saat menatap sepatu boot pemberian Rob. Ini benar-benar... "Wow," kata itu keluar begitu saja, ini adalah hadiah terkeren yang pernah Rob berikan padaku. "ini... luar biasa."Rob berdeham sebelum menimpali ucapanku."Aku kira k
Mengeratkan mantel, Aku berjalan lebih cepat melewati tempat parkir menuju gedung sepuluh. Salju turun lagi, meskipun tidak lebat tapi cukup untuk membuat jalanan yang sudah licin menjadi semakin licin.Mataku bergerak liar melihat sekeliling yang nampak sepi, kebanyakan murid pasti sudah masuk kelas. Aku memang terlambat keluar dari kelas geografi karena Mr Wright memintaku untuk membantunya mengumpulkan tugas. Tapi itu tak masalah, Mrs Brown selalu datang terlambat di kelasnya. Jadi aku masih punya beberapa menit untuk segera sampai.Aku mempercepat langkah, berusaha sesegera mungkin untuk sampai di kelas biologi Mrs Brown."Oo... ooo."Ketika melewati jalanan yang membeku karena salju yang berubah menjadi es, tubuhku kehilangan keseimbangan. Buku-buku dalam dekapanku jatuh tercecer bersamaan dengan pantatku yang menghantam tanah.Aku meringis merasakan nyeri yang menghantamku, rasa nyeri yang beberapa saat kemudian berubah menjadi mati rasa, membuatk
# KEJUTAN"Miss Cassen, apa kau baik-baik saja?" tanya Mrs Brown yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping mejaku."Ya, Ma'am. Saya... baik-baik saja." Aku menjawab ragu."Apa kau yakin? Wajahmu terlihat pucat. Jika kau tidak enak badan, aku bisa menyuruh Ben mengantarmu ke klinik sekolah."Aku menggeleng lemah, yang kubutuhkan saat ini bukan pergi ke klinik sekolah, tapi pergi ke belahan dunia lainnya agar Jason tidak bisa menemukanku."Ben," Mrs Brown sama sekali tidak memperdulikan penolakanku, ia memanggil Ben, si pirang dengan tubuh jakung dan bola mata biru laut. "tolong antar Miss Cassen ke klinik," kata Mrs Brown begitu Ben berada disisinya."Baik, Ma'am."Aku hanya bisa mendesah pasrah saat Ben membantuku berdiri."Apa kau bisa berjalan?"Aku mengangguk, Ben merangkul bahuku untuk menjaga keseimbanganku ketika kami mulai berjalan."Stephanie." Ben memanggilku pelan.Aku mendesah la
Aku menghela napas, daripada memikirkan omongan Mrs Elena dan sikap aneh Ben lebih baik aku tidur. Biasanya aku akan mudah tertidur setelah minum obat, tapi entah kenapa kali ini berbeda. Meskipun mataku terpejam, aku tidak benar-benar tertidur. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu.Berbagai pertanyaan mulai berputar-putar dalam kepalaku. Dari bagaimana bisa sepatu boot-ku terlepas hingga mengenai kepala Jason.Mungkin jawabannya karena aku kurang kencang mengikatnya dan sepertinya juga karena ukuran sepatu itu sedikit lebih besar dari kakiku, jadi ketika aku terpeleset sepatu itu terlepas bahkan terlontar sampai mengenai kepala Jason.Pertanyaan pertama terjawab, sekarang pertanyaan kedua. Kenapa Jason bisa terluka separah itu? Aku ingat betul berapa banyak darah yang mengalir dari pelipisnya lelaki itu. Aku menghembuskan napas, berusaha menghilangkan rasa tercekat di tenggorokanku. Itu hanya sepatu boot, harusnya ia hanya benjol. Kenapa bisa samp
# PENYELAMATDia di depanku. Bola mata hijaunya menatap ku, membuat sekujur tubuhku gemetar hanya karena melihat betapa tajamnya tatapan seorang Jason Butler. Aku belum pernah melihat mata seindah sekaligus... semenyeramkan itu, menyeramkan? Kau berlebihan Stefie.Aku masih menatapnya tak berkedip, hanya diam tanpa suara saat sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringaian arogan."Aku tahu aku ini sangat tampan, tapi kau tak perlu mengagumiku sampai meneteskan air liur seperti itu," kata Jason, nada suaranya terdengar mengejek.Aku tersentak, buru-buru menggerakkan tangan untuk menyeka mulutku dahiku mengernyit saat mengamati tanganku yang kering, tak ada air liur disana. Kembali kualihkan pandangan ke Jason, dia masih menatapku, kali ini ada sinar geli di bola mata hijaunya."Dasar gadis bodoh," ia menggumam sambil terkekeh pelan.Apa dia bilang? Gadis bodoh? Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Ingin rasanya membalas ucapan tapi