Share

Chapter 2 : Kejutan

# KEJUTAN

"Miss Cassen, apa kau baik-baik saja?" tanya Mrs Brown yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping mejaku.

"Ya, Ma'am. Saya... baik-baik saja." Aku menjawab ragu.

"Apa kau yakin? Wajahmu terlihat pucat. Jika kau tidak enak badan, aku bisa menyuruh Ben mengantarmu ke klinik sekolah."

Aku menggeleng lemah, yang kubutuhkan saat ini bukan pergi ke klinik sekolah, tapi pergi ke belahan dunia lainnya agar Jason tidak bisa menemukanku.

"Ben," Mrs Brown sama sekali tidak memperdulikan penolakanku, ia memanggil Ben, si pirang dengan tubuh jakung dan bola mata biru laut. "tolong antar Miss Cassen ke klinik," kata Mrs Brown begitu Ben berada disisinya.

"Baik, Ma'am."

Aku hanya bisa mendesah pasrah saat Ben membantuku berdiri.

"Apa kau bisa berjalan?"

Aku mengangguk, Ben merangkul bahuku untuk menjaga keseimbanganku ketika kami mulai berjalan.

"Stephanie." Ben memanggilku pelan.

Aku mendesah lagi--kebiasaanku, sebenarnya aku tidak terlalu suka jika seseorang memanggilku Stephanie-well, namaku memang Stephanie, tapi nama Stephanie mengingatkanku pada bibi Stephanie, wanita tua aneh yang tinggal di sebelah rumah, tetanggaku sewaktu aku masih tinggal di Chicago.

"Hm." Aku bergumam malas sebagai jawaban panggilan Ben tadi.

"Kalau... kalau perlu bantuan, kau jangan sungkan mengatakannya padaku."

Mengangkat kepala, aku menoleh ke arah Ben yang entah kenapa seperti terlihat gugup sekarang. Aku hanya diam, menunggu Ben langsung melanjutkan perkataannya yang menurutku masih sedikit menggantung. Bagiku seorang lelaki menawarkan diri untuk membantuku jika aku kesusahan bukanlah hal yang biasa, jadi aku menatap Ben penuh tanya.

Ben melirikku dari ekor matanya, wajahnya menatap lurus ke depan. Ben berdeham beberapa kali sebelum melanjutkan perkataannya.

"Aku hanya menawarkan bantuan sebagai teman, kau 'kan masih belum lama di sini. Jadi kalau...."

"Aku mengerti," potongku cepat. Dia hanya ingin membantu. "terima kasih sudah menawarkan diri, jika aku perlu bantuan aku akan menghubungimu."

Ben mengangguk dan memberikanku seutas senyuman tulus, dia sudah kembali terlihat biasa. Aku menarik sudut bibirku ke atas, berusaha membalas senyuman Ben, tapi sepertinya usahaku tidak begitu berhasil karena yang muncul pasti seringaian aneh. Aku memang terlalu kikuk untuk berinteraksi dengan orang-orang baru, sulit bagiku untuk bersikap ramah pada orang lain meskipun aku ingin. Aku benci mengakui ini, tapi aku memang bukan tipe orang yang mudah bergaul. Aku sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Terhitung lima bulan lebih aku pindah ke sini, tapi belum juga mempunyai satu teman dekat. Aku selalu menghabiskan waktu sendiri ketika di sekolah, meskipun kadang merasa kesepian tapi mau bagaimana lagi? Yang bisa kulakukan hanyalah menikmati kesendirianku.

"Stephanie."

Aku meringis, lagi-lagi Ben memanggilku Stephanie.

"Stefie."

"Apa?"

"Panggil saja Stefie."

"Oh, baiklah. Padahal aku suka nama Stephanie." Ben nyengir memperlihatkan jajaran giginya yang rapi.

Aku mendengus. "Aku tidak terlalu suka nama itu," sahutku spontan.

Ben terkekeh. "Menurutku Stephanie nama yang bagus. Kenapa kau tidak menyukainya?"

"Nama itu mengingatkanku pada wanita tua aneh, tetanggaku waktu masih tinggal di Chicago." Aku menjawab jujur.

"Seberapa aneh wanita itu?" tanya Ben dengan dahi berkerut.

"Apa kau yakin ingin mengetahuinya? Karena aku butuh waktu berjam-jam untuk menyebutkan satu persatu keanehan wanita tua itu."

"Aku tidak keberatan untuk mendengarkan penjelasanmu selama beberapa jam."

Kali ini aku yang mengerutkan kening.

"Tapi kurasa lain kali saja," Ben menyela bahkan sebelum aku sempat berbicara. "bagaimana kalau sabtu depan di kedai kopi depan toko kue keluarga Benson?"

"Ha?" Bola mataku melebar, aku menatap Ben bingung. "kau serius ingin mengetahuinya? Percayalah, itu pasti sangat membosankan."

Ben akan menjadi orang yang lebih aneh dari bibi Stephanie jika ia benar-benar serius ingin tahu tentang keanehan wanita tua itu.

"Tak masalah bagiku jika kau tidak keberatan untuk menceritakannya." Ben tersenyum penuh arti, senyuman yang membuatku bergidik. Dasar lelaki aneh.

Aku tidak melanjutkan obrolan kami karena kami sudah sampai di depan klinik. Ben membuka pintu klinik dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih merangkul bahuku.

Bau obat-obatan yang menyengat hidung dan seorang wanita berkacamata bulat menyambut kedatangan kami. Wanita berkacamata bulat itu bangkit dari kursinya dan berjalan cepat menghampiri kami yang baru saja memasuki klinik.

"Dia kenapa?" tanya wanita berkacamata bulat itu pada Ben.

"Aku merasa sedikit mual dan pusing." Menyadari gelagat Ben yang tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku yang menjawab.

"Kalau begitu lebih baik kau berbaring dulu."

Kemudian wanita berkacamata bulat mengambil-alih diriku dari Ben dan dengan cekatan ia membantuku berbaring di ranjang klinik.

"Callaghan, sekarang kau bisa kembali ke kelas. Biar aku yang mengurus Miss Cassen," kata wanita itu pada Ben yang masih berdiri di samping ranjang yang kutempati.

"Bennedict Callaghan, Apa kau mendengarkanku?"

"Eh, ya?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya melihat tingkah Ben.

"Aku bilang, kau bisa kembali ke kelas. Biarkan Miss Cassen beristirahat," kata wanita itu dengan penuh penekanan.

Aku melirik ke arah Ben yang nampak salah tingkah. Ben mengusap tengkuknya sambil sesekali melempar pandang ke arahku. Aku mengangkat sebelah alisku, menatapnya yang masih belum beranjak.

"Callaghan!" Wanita tua itu menyebut nama belakang Ben dengan langkah tergesanya berbalik menuju pintu klinik dan keluar tanpa sepatah katapun.

Aku kembali mengalihkan pandangan pada wanita berkacamata bulat saat mendengar helaan napasnya.

"Dasar anak remaja jaman sekarang." Gumam wanita itu, pandangannya masih tertuju pada pintu klinik yang baru saja ditutup Ben.

"Ben adalah lelaki yang baik, dia sopan juga perhatian. Beruntung menjadi kekasihnya."

Aku mengangkat sebelah alisku, wanita itu berjalan menuju lemari kayu tempat menyimpan obat-obatan sebelum meraih segelas air dari atas meja. Tak lama berselang, ia kembali menghampiriku yang sudah mengubah posisi menjadi duduk kemudian menyodorkan dua butir pil dan segelas air.

"Maaf, tapi... aku bukan kekasihnya."

Aku mengamati perubahan ekspresi Elena Stanford, itu nama yang tertulis di nametag yang wanita berkacamata bulat kenakan. Mrs Elena tampak sedikit terkejut, kurasa. Tapi tak berselang lama, ekspresi terkejut di wajahnya berubah menjadi senyuman penuh arti.

"Jadi bukan ya," ia masih tersenyum, bulu kudukku berdiri, merinding hanya karena melihat senyuman aneh di wajahnya. "mungkin sebentar lagi."

Aku menatapnya penuh tanya. Mrs Elena tidak memberikan penjelasan lebih atas apa yang baru saja ia ucapkan, ia malah beranjak menutup tirai putih yang menjadi sekat tempatku berbaring dengan tempatnya duduk sebelum aku dan Ben datang.

"Beristirahatlah, Stephanie. Ben sudah mengurus surat ijinmu. Kau bisa langsung pulang setelah merasa lebih baik." Kata Mrs Elena sebelum menghilang di balik tirai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status