Share

3. CEO jadi Kernet

Terminal Bojong Gede. Aku mendongak membaca sebuah papan nama dalam hati. Angkot Abah baru merapat, berbaris rapi di antara beberapa angkot berwarna biru lain.

"Baru datang, Bah? Ujang, mana?" Sapa seorang lelaki di samping angkot Abah. Ia menatapku sekilas.

"Ujang repot, istrinya baru lahiran."

Aku hanya mendengarkan percakapan mereka tanpa ikut berbicara. Melemparkan pandangan ke sekeliling terminal. Ramai. Hilir mudik para penumpang. Banyak para pedagang asongan menawarkan barang jualan mereka.

Tempat yang asing. Aku merasa belum pernah kemari. Matahari kian meninggi, teriknya membakar tubuh. Kuseka peluh yang menetes di pelipis.

"Ali, cari penumpang!" perintah Abah.

Aku mengernyitkan kening. Memutar bola mata ke kiri dan kanan. Menatap beberapa orang yang hilir mudik. Bagaimana cara mencari penumpang?

Haruskah kutarik setiap orang yang lewat agar masuk, dan menaiki angkot Abah?

Masak aku harus bertanya satu persatu pada mereka mau kemana?

Aku mendekat pada lelaki berbadan gemuk dengan kulit kecokelatan itu. Handuk berwarna biru tersampir di leher Abah.

"Bah, bagaimana cara mencari penumpang itu?" tanyaku dengan suara pelan.

Abah menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Kamu teriak yang kenceng, Pasar Anyar, Pasar Anyar, Pasar Anyar …."

"Gitu doank, Bah?"

Abah menganggukkan kepala. Satu alisnya terangkat naik menatapku.

"Pasar Anyar, Pasar Anyar, Pasar Anyar …."

Aku berkata dengan nada cepat dan datar. Mengikuti perintah dari Abah Dadang. Terserah ada yang mendengar atau tidak. Yang penting aku sudah melakukan apa yang diperintahkannya.

"Kenapa pelam amat teriaknya? Belum sarapan Elu, Ali?"

"Pasar Anyar … Pasar Anyar." 

Aku berteriak lebih keras dari sebelumnya. Seorang perempuan mendekat. Ia malah menatapku, bukan pada angkot.

"Abang, ganteng bener? Lagi nyamar, yak? Atau syuting sinetron?"

Aku mengernyitkan Alis, "Pasar Anyar?"

"Naik deh, kalo Abang kernetnya seganteng ini."

Perempuan tadi masuk ke dalam angkot. Aku masih berdiri di samping pintu, mulai berteriak kembali, "Pasar Anyar, Pasar Anyar …."

Lima belas menit berlalu angkot sudah penuh oleh beberapa penumpang. Kebanyakan para perempuan, mulai dari remaja hingga Emak-Emak. Ibu paruh baya yang menenteng belanjaan di deretan sebelah kanan dekat jendela itu terus menatapku. Risih.

Apa mereka tak pernah bertemu lelaki tampan sebelumnya? Haruskah mereka terus menatap tanpa berkedip seperti itu?

"Masih cukup seorang lagi, Ali?"

Aku melongok ke dalam angkot, para penumpang perempuan tersenyum menatapku, "Penuh, Bah!"

Abah menggeleng pada seorang lelaki berkemeja dan membawa tas ransel. Lelaki itu menjauh, dan bertanya pada angkot di sebelah Abah.

"Tariik Ali," ucap Abah sambil menginjak pedal gas.

Aku segera duduk di kursi kayu kecil. Semua kursi sudah penuh. 

"Bang, umurnya berapa?" tanya seorang remaja dengan rambut sebahu padaku. Kursinya tepat di sampingku duduk.

Jangankan umur, nama saja aku tak ingat. Tak mungkin menjelaskan padanya. Aku mengalihkan pandangan ke luar angkot. Menatap jalanan beraspal di luar.

"Cuek amat sih, Bang?" 

Terdengar bisik-bisik di dalam angkot. Para penumpang perempuan itu membicarakanku sepertinya. Terserahlah. 

"Perempatan depan berenti, Bang," teriak Ibu paruh baya yang menenteng belanjaan di deretan sebelah kanan dekat jendela itu.

Abah yang mendengar teriakan Ibu itu memelankan laju angkot. Perlahan angkot menepi ke kiri. Ibu paruh baya itu berjalan dengan menunduk agar tak terantuk dinding angkot. 

Ibu itu mengulurkan selembar uang pecahan dua ribuan.

"Ini, Bang." Sambil berucap ia tersenyum dan mengangguk padaku. Aku membalas anggukan kepalanya.

Empat puluh menit perjalanan, sampailah angkot yang kutumpangi di depan Pasar Anyar. Para penumpang sudah turun semua.

"Istirahat dulu Ali, makan siang," ajak Abah. Ayah dari Wulan itu mengelap peluh menggunakan handuk kecil yang tersampir di lehernya. Abah keluar dari angkot, Aku mengikuti langkahnya perlahan.

"Ehh, Abah! Monggo, masuk Bah!"  Seorang Ibu paruh baya menggunakan daster bermotif bunga mempersilakan kami masuk dan duduk. Logat jawanya begitu kental.

"Ali, hayuk makan dulu kita." 

Aku mengikuti langkah Abah masuk ke warung nasi itu. Duduk di atas kursi kayu memanjang, sebelah Abah. 

"Mau makan apa, Bah?"

"Yang biasa aja, pake sayur bening sama ayam goreng. Jangan lupa sambal." Abah menjawab sambil mengibaskan handuk di lehernya. Bau keringat seketika terhidu. Aku menutup hidung.

"Mas-nya, mau makan apa?"

Ibu paruh baya itu menatapku. Menunggu jawaban.

"Sama aja," jawabku sekenanya. Rasa makanan pasti sama. 

Sambil menunggu pesanan makanan datang. Aku mendongak menatap layar televisi yang dipasang di dinding. Sedang disiarkan acara berita.

"Pewaris The One Property, Alexander Ibrahim yang baru saja melaksanakan pesta pertunangannya dengan Tamara Hilton. Dikabarkan mengalami kecelakaan, jasadnya terjatuh dan hanyut di Sungai Ciliwung sejak seminggu yang lalu …."

"Ini Bah, makanan pesenannya!" 

Aku mengalihkan pandangan dari televisi. Menoleh ke arah suara, Ibu pemilik warung mengantarkan dua piring nasi beserta lauknya. 

"Alhamdulilah," ucap Abah melihat makanan pesanannya datang. Abah mengambil menu pesanannya, langsung makan dengan lahap.

"Sok, dimakan Ali," perintah Abah kemudian.

Aku menurut segera menyendokkan sesuap nasi beserta sayur bening ke dalam mulut. Enak.

Sambil makan kembali aku mendongak menatap layar televisi, berita tadi sudah berganti. Pembawa berita sedang menyiarkan berita tentang COID-19, virus yang melanda seluruh dunia saat ini. 

Abah sudah menyingkirkan piringnya ke dekat dinding. Habis tak tersisa. Merogoh saku, dan mengeluarkan sebungkus rokok. 

"Rokok?"

Aku menggeleng. Abah mengambil sebatang, memasukkan ke dalam mulut. Menyalakan mancis. Asap mulai mengepul.

"Elu, ada inget sesuatu?"

Aku menggeleng. Menatap jauh ke depan. Jalanan macet, yang dipenuhi kendaraan. 

Abah menepuk-nepuk pundakku, "Sabar, nanti pasti inget."

Abah pernah bercerita bahwa aku mengalami Amnesia. Hal ini terjadi karena adanya benturan keras ke kepala. Kata dokter yang memeriksaku jenis amnesia ini umumnya bersifat sementara, namun tergantung pada seberapa parah cedera yang terjadi. 

Kondisi inilah yang menyebabkan aku sempat hilang kesadaran selama dua hari setelah ditemukan oleh Wulan waktu itu.

Saat sadar, aku tak ingat apa-apa. Ada beberapa luka gores di tangan, mungkin saat aku hanyut di Sungai Ciliwung aku terkena batu atau benda lainnya. Sementara kepalaku juga diperban melingkar, mungkin terbentur batu besar.

"Oh, iya, Ali. Elu jadi kernet Abah hari ini, penumpangnya langsung rame. Besok bantuin Abah lagi, ya?"

Aku terdiam beberapa saat, lalu mengangguk. Lebih baik membantu Abah jadi kernet daripada seharian diomeli oleh Wulan. Selain itu, aku bisa pergi ke beberapa tempat. Mungkin, suatu saat aku akan menemukan jejak, atau titik terang tentang masa laluku yang sebenarnya.

"Angkutan Kota, angkot Abah ini dikasih kode 07, melintasi Bojong Gede menuju Pasar Anyar rutenya, catet nih!" Abah menekankan intonasinya, menyuruhku untuk mengingat rute yang akan diberitahukannya.

"Stasiun Bojong Gede, Perum Darusallam, Bojong Green Residence, Villa mutiara Bogor 2, Perumahan Bumi Cilebut damai, perum kintamani, perum pwi, Perum RSCM, Stasiun Cilebut, Perum PMI Bogor, perum Cilebut Residence, perum Permata Cilebut, Perum Intiland Jalan raya Cilebut-Bojong, jalan baru, Kebon Pedes, RSb pasutri, Stadion Padjajaran, bunderan air mancur, Zeni, Yogya Junction, terus Pasar Anyar dah," terang Abah.

"Banyak amat sih, Bah!" cetusku. Semua yang diucapkan Abah masuk ke kuping kiri, lalu keluar melalui kuping kanan.

"Inget?"

"Gak," jawabku cepat.

Kami tertawa bersamaan. Si Ibu penunggu warung ikut tertawa.

"Yodah, kita balik ke terminal Bojong Gede. Sapa tahu, ada banyak penumpang nungguin."

Abah mengeluarkan dompet. Membayar pesanan makanan kami tadi. Segera berjalan keluar dari warung makan menuju angkot.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sisilia Juanita
masih menyimak semoga bagus sampai sini ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status