Share

6. Siapa Aku Sebenarnya?

"Apa itu?"

Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.

Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan.

"Mau kemana?"

"Minum!"

Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.

Sebuah fakta yang begitu mengagetkan. Jika baju yang kupakai saja sebegitu mahal. Berarti aku ini anak orang kaya. Namun, kenapa tak ada orang yang mencariku?

Sial. Kenapa masa laluku bagai terowongan buntu?! Semakin aku berusaha mengingat, semakin tak dapat aku berpikir.

Kubuka kembali kertas lusuh di tangan. Sebuah catatan kecil. Tak lebih dari tiga kalimat. Sialnya, tulisan itu tak terbaca. Tintanya luntur, saat ikut terhanyut di Sungai. Kertas lusuh itu adalah satu petunjuk untuk mengingat masa laluku. Karena hanya benda itu yang tersisa saat aku hanyut di sungai. 

Tak ada dompet, atau tanda pengenal lain. Hanya gumpalan kertas itu dalam saku jas yang kupakai.

"Apa sebenarnya yang tertulis di kertas ini?" pekikku. Kembali kuremas kertas. Emosi, kulempar gumpalan kertas ke arah pintu.

"Aduh!"

Aku menoleh ke arah suara, Wulan mengusap-usap wajahnya. Ia mengambil kertas remasan yang kubuang tadi.

"Maaf, gak sengaja!" ucapku.

"Ali, dendam ma gue, ya?" 

Wulan melebarkan matanya saat menatapku. Intonasi nada bicaranya cepat dan datar. Sebenarnya kata-katanya itu pertanyaan atau tuduhan?

"Udah dibilangin gak sengaja!"

Aku keluar dari dapur. Malas ribut dengan gadis cempreng itu. Usia gadis itu empat tahun di bawahku. Tapi gadis itu tak punya sopan santun. Jika tak ada hal penting atau maksud tertentu, ia tak pernah memanggil Kakak, Mas, atau Bang. Hanya Ali.

"Ali," panggil Wulan.

"Ali …."

"Coba lihat tulisan ini Ali, kayaknya masih bisa dibaca, ini tulisan Hilton. Iya, walaupun samar, sepertinya sih, kata Hilton ini!"

"Ali," ucap Wulan lagi.

Wulan mengikutiku masuk ke kamar. Ia menyodorkan remasan kertas tadi. Gadis itu telah merapikan gumpalan kertas. Namun, tetap saja lusuh dan tak jelas. Penasaran, aku coba meraih kertas itu. Mencoba membacanya.

"Mana?"

"Yang ini."

Telunjuk Wulan menyentuh sebuah tulisan. Tintanya sudah luntur, sama dengan kata lain yang tertulis. Namun, sedikit lebih jelas. Aku mencoba mengamati kata yang ditunjuk Wulan itu lebih seksama. Ya, Wulan benar kata yang tertulis di sana adalah Hilton.

"Hilton?"

Aku mengernyitkan Alis, mengulangi kata yang dapat terbaca itu. Apa maksudnya?

"Hilton teh, nama hotel bintang lima, gede. Tempatnya orang-orang elit dan kaya di Puncak, Bogor sana," terang Wulan.

Aku terdiam, mencoba menggabungkan potongan ingatan, dan bukti-bukti yang mulai kutemui. Bayangan kejadian yang melintas saat aku dipukuli oleh lelaki gondrong di terminal Bojong Gede kemarin, sepertinya di sebuah bangunan besar. Terlihat rapi, dan mewah.

Jas yang ditemukan Wulan juga barang mahal. Mungkinkah sesuatu terjadi setelah aku berada di sana, di hotel Hilton? 

Ada satu kejadian besar yang membuatku jatuh ke sungai? Hingga aku tak ingat apapun sekarang.

"Aarrrgh," geram kupukul kasur.

Aku membalikkan badan, menatap Wulan dengan penuh emosi.

"Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Siapa aku? Dari mana asalku?"

Aku menatap tajam pada Wulan. Berharap dia bisa menjawab semua pertanyaanku. Kedua tangan memegang bahu Wulan. Kugoncang-goncangkan beberapa kali. Gadis itu hanya terdiam. 

Wulan terlihat mengambil napas, matanya berkedip dengan cepat, bibirnya bergetar. Mungkin dia ketakutan melihat ekspresiku.

"Sebenarnya …." 

Wajah Wulan berubah sangat serius. Mungkinkah dia tahu sesuatu? Wulan menghentikan kata-katanya. Aku semakin penasaran. 

"Katakan yang sebenarnya Wulan, cepat!" desakku.

"Sebenarnya … sebenarnya ... kamu adalah pangeran kodok yang menyamar menjadi manusia," kata Wulan. 

Aku mengembuskan napas dengan berat dan kasar. Huh, percuma saja berbicara serius dengan gadis tak waras ini. Kukira dia benar-benar tahu sesuatu tentangku.

"Hahaha …."

Gadis itu kembali tertawa terpingkal-pingkal, memegang perut. Dikiranya ini adalah suatu hal yang lucu.

"Dasar!" 

Aku menjentikkan jari telunjuk, tepat di tengah kening Wulan. 

"Auuh," teriaknya. Wulan memegangi bekas merah di keningnya, "Sakit tau!"

"Sudah diam, sana pergi."

"Udah ditemenin, malah ngusir," sungut Wulan. Bibirnya maju beberapa senti sambil keluar dari kamar. Aku segera menutup pintu. Berjalan menuju ranjang, berbaring.

***

"Kupikir, dengan menerima pertunangan ini. Aku akan bahagia. Namun, aku tak bahagia. Semua ini hanya sandiwara."

"A-apa maksudmu?" Aku maju selangkah mendekat pada seorang gadis cantik, bodynya bak gitar Spanyol. Dress dengan belahan dada yang dikenakan gadis itu sungguh menggoda. 

Namun, semakin aku maju, ia terlihat semakin jauh dari jangkauan tangan. 

"Kenapa? Kupikir kau juga menyukaiku? Bukankah kau juga membutuhkanku sama seperti aku membutuhkanmu?"

Aku berlari berusaha menggenggam tangan gadis itu. Mencegahnya agar tak pergi semakin jauh. 

Kabut asap menyelimuti gadis itu, tak dapat kulihat dengan jelas wajah cantiknya lagi. Kukibaskan tangan berusaha mengusir kabut asap, memperjelas pandangan.

"Kupikir, aku akan menikahimu di hadapan Papa. Namun, tetap berhubungan dengan kekasihku, Jhon."

Lagi suara gadis itu terdengar, kali ini dari samping kanan. Segera aku menoleh, mencari asal suara. Tiba-tiba seseorang menghadang langkah. Wajah itu, sorot mata tajamnya, seringaiannya. Aku merasa mengenal sosok ini.

"Apa aku mengenalmu?"

Sang lelaki mendorongku hingga terjatuh. Kedua sosok itu berpelukan dengan mesra di depan kedua mataku. Perlahan semakin menjauh, masuk ke dalam kabut asap. Bayangan mereka hilang.

"Tidak. Hey, tunggu!"

"Tungguuu …."

"Tamara … Tamara …."

Mataku terbuka tanganku terulur mencoba meraih bayangan tadi. Aku seorang diri dalam kamar. Bunyi detik jam masih berdetak mengikuti irama. Jarum panjangnya terus berputar.

"Apa tadi? Mimpi burukkah aku?"

Aku mengusap kasar wajah yang penuh dengan tetesan peluh keringat. Kenapa mimpi itu terasa nyata, seakan-akan memang terjadi. Apakah tadi itu kilasan kejadian sebelum aku hanyut di sungai?

Ataukah hanya mimpi. Mungkin tadi hanya bunga tidur karena aku terlalu banyak berpikir.

"Tamara? Siapa dia?"

Ah, kenapa akhir-akhir ini, aku sering berbicara seorang diri. Bagaimana lagi? Tak mungkin berbicara dengan gadis yang isi otaknya hanya setengah seperti Wulan.

Abah? Dia sudah tua, banyak hal yang harus dipikirkannya. Aku tak mau menambah masalahnya. Toh, ini tentangku. Semua tentang masa laluku. 

Tamara? Hotel Hilton? Darimana aku harus mulai mencari tahu? Sepertinya keduanya saling berkaitan.

Ah, kepala sialan ini. Kenapa harus hilang ingatan?

Tuhan, kapan kau akan mengembalikan ingatanku?

Kelangsungan hidupku sepertinya sangat bergantung pada ingatan ini. Masa depanku. 

"Aaarrrgh …."

***

Halo para pembaca tersayang, jangan lupa tinggalkan sepatah dua patah kata penyemangat. Atau kritik dan saran, agar cerita ini semakin baik.

Pergi ke telaga, sama pacar tersayang.

Semoga para pembaca, selalu sehat dan berumur panjang.

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
mkn kesini jd mkn menarik ceritanya
goodnovel comment avatar
Sabariyah
bagus alur nya ....
goodnovel comment avatar
Commu Kucu mecha
lanjut thor...keren ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status