Share

5. Rahasia?

(Rahasia?)

Abah memapahku menuju dipan kamar. Wulan? entah pergi kemana anak itu. Setelah angkot Abah terparkir di bawah pohon mangga di depan rumah, gadis itu turun lebih dulu.

Aku duduk di pinggir ranjang. Berusaha mengangkat kaki, kemudian berbaring.

"Istirahat dulu Ali, badan Elu, pasti sakit semua!" titah Abah.

Lelaki paruh baya itu keluar dari kamarku. Aku telentang, tidur di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Hening. Kemana si gadis cempreng itu? Badanku digebuki para preman pasar tadi gara-gara dia.

"Kenapa juga aku belain si Wulan, babak belur jadinya!" gumamku.

"Nyesel, nih?"

Tiba-tiba suara Wulan nyaring terdengar. Aku langsung menoleh, menatap ke arah pintu. Gadis itu melotot tajam padaku, tangan kanannya membawa baskom kecil.

"Kenapa juga belain aku? Wulan, 'kan gak minta?!" tukas Wulan, ia mengernyitkan alis, menunggu jawabanku.

Seharusnya kubiarkan saja para preman pasar tadi melakukan apapun pada Wulan. Apa peduliku? Lihatlah sekarang, tanpa rasa bersalah dia malah mengatakan, kenapa belain dia?

"Dasar Cempreng, udah dibelain bukannya terimakasih. Malah ngomel!" sungutku. Aku membalikkan badan.

"Iya-iya, maaf! Makasih udah nolongin Wulan." Suara gadis cempreng itu memelan. Tangannya meraih lenganku. Aku membalikkan badan.

"Tidur yang bener!" perintahnya.

Wulan sudah berdiri di samping ranjang. Ia menggenggam kain kecil berwarna putih, dua sudut bibirnya terangkat naik sambil menatapku.

"Buka eta kaosna!"

Aku menurut membuka kaos di bagian perut. Wulan duduk di samping ranjang. Ia mengompres perutku yang memar. Kain itu terasa hangat.

"Aduh, pelan-pelan. Sakit!"

"Hiih, udah pelan-pelan. Ini baru keras-keras."

Wulan menekan lebih keras pada perutku. Di bagian yang ditendang oleh lelaki berambut gondrong tadi.

"Aduuuh!" pekikku dengan keras. Aku meringis kesakitan. Gadis cempreng itu malah tertawa cekikikan.

"Ada apa ini?"

Abah melongok ke dalam kamar.

"Ini Bah, si Ali, meni cerewet. Udah diobatin malah ngomel terus. Sakit lah, pelan-pelan, lah. Ya, udah Wulan gas pol aja ngompresnya!"

"Dia itu memang gak bisa kalem," ujar Abah. Lelaki paruh baya itu malah terbahak mendengar penuturan anak gadisnya, lalu berlalu dari kamar.

"Hahaha."

Masih dapat kudengar suara Abah tertawa.

"Nih, kompres sendiri!"

Wulan melempar kain kompres ke tanganku. Aku menggelengkan kepala.

Pelan-pelan kusentuh sendiri bagian perut yang terasa nyeri. Lelaki gondrong tadi menendang perutku dengan keras. Sementara, lelaki bertato memukulku di beberapa bagian tubuh lainnya.

Hari yang benar-benar sial.

Kain tadi kuletakkan di atas perut. Hangatnya memberikan nyaman, juga meredakan rasa nyeri.

Mataku mulai terpejam. Aku mulai mengantuk. Tidur adalah sebuah obat penghilang rasa sakit. Setidaknya untuk beberapa saat aku tak merasakan kesakitan. Entah, nanti jika aku terbangun rasanya akan lebih sakit atau justru lenyap.

***

Sayup-sayup terdengar suara azan, aku menggeliat. Mengerjapkan mata beberapa kali. Menatap benda pipih yang tergantung di dinding kamar. Sudah selama itukah aku tertidur?

Jarum pendek jam di dinding menunjukkan angka enam, aku mengernyit memperjelas pandangan. Menatap pada jam itu, di mana jarum panjangnya berhenti.

"Aargh!" Badanku rasanya sakit semua. Nyeri di sekitar perut, juga bibir.

Kerongkonganku terasa kering. Butuh sedikit pengairan. Aku berusaha menurunkan kaki, berjalan perlahan menuju dapur. Merambat, berpegangan pada dinding.

Kamar Wulan sedikit terbuka. Tampak gadis itu berada di depan sebuah lemari. Tangannya memegang sebuah plastik berwarna hitam.

"Ini gimana, Bah?"

Bola mata Wulan menatap pada bungkusan di tangannya.

"Simpan aja dulu, sepertinya belum saatnya kita katakan sama Ali."

Abah mengernyitkan alis, tangan kanannya mengelus rambut yang mulai memutih di janggut.

Mendengar namaku disebut, timbul rasa penasaran. Apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu di dalam kamar sebenarnya?

"Apa itu? Apa yang kalian sembunyikan dariku?"

Aku membuka pintu kayu berwarna cokelat itu lebih lebar. Menatap tajam pada Wulan yang terbelalak mengetahui aku mendengar percakapan mereka.

Wulan menyembunyikan bungkusan plastik hitam tadi di balik punggungnya.

"Bu-bukan, ini bukan apa-apa. Iya, 'kan, Bah?"

Abah menatapku dan Wulan bergantian. Lelaki paruh baya itu terlihat berpikir.

"Sebenarnya …."

"Abah," panggil Wulan berusaha mencegah Abah Dadang menceritakan sesuatu. Gadis itu menggelengkan kepala beberapa kali.

"Mungkin kini, sudah saatnya Ali mengetahui kebenarannya, Wulan. Katakanlah yang sebenarnya."

Wulan menunduk, gadis itu diam untuk beberapa saat lamanya. Tangannya perlahan mengeluarkan bungkusan plastik hitam tadi dari balik punggungnya.

Gadis itu menatapku sejenak, ia menarik napas dan mengembuskannya dengan berat.

"Sebenarnya, saat pertama kali aku menemukanmu. Kamu memakai pakaian ini. Kupikir tak ada gunanya memberitahukan hal ini padamu. Jadi aku menyimpannya."

Wulan mengulurkan bungkusan plastik berwarna hitam padaku.

Aku segera meraih bungkusan yang disodorkan Wulan. Membuka plastik itu. Terlihat sebuah jas hitam, sangat elegan dan mewah. Kuangkat jas itu setinggi badan, meraba bagian leher, ada sebuah label kecil terjahit dengan rapi.

"Brioni Vanquish II," gumamku.

"Apa kamu tahu? Apa Brioni Vanquish II itu?"

Wulan bertanya padaku. Aku menggelengkan kepala. Tak mengerti kata-katanya. Apa sebegitu pentingnya label di jas itu?

"Aku iseng googling dan mencari tahu nama jas itu, kamu tahu apa hasil penelusuran G****e?"

Aku terdiam. Menunggu Wulan melanjutkan penjelasannya.

"Brioni Vanquish II adalah setelan jas karya perusahaan Italia, Brioni, yang diluncurkan saat krisis ekonomi tahun 2008. Brioni ini telah memproduksi jas berkualitas tinggi sejak tahun 1945."

Wulan menghentikan kata-katanya. Ia memindai wajahku sesaat, "Apa kamu tahu harga setelan jas ini?"

"Ya, mana gue tahu!"

"Empat puluh tiga ribu dolar itu Li, setara dengan enam ratusan juta Rupiah."

"Apa?"

Mataku membelalak lebar mendengar nominal yang disebutkan Wulan di akhir penjelasannya.

"Tutup dong, mulutnya. Jangan nganga gitu. Kemasukan laler nanti!"

Refleks aku mengatupkan mulut.

"Jas yang kamu pakai itu, berbahan serat terlangka di dunia, qiviuk, Brioni Vanquish II juga dibuat dengan jahitan berlapis emas putih. Jahitan berlapis emas putih itulah yang membuat harga jas itu jauh lebih mahal dibanding produk fashion jas lainnya."

Aku kembali menatap jas yang kupegang mulai dari kerah hingga bagian kancing-kancingnya. Apa aku orang sekaya itu, hingga dapat membeli sebuah jas dengan harga ratusan juta rupiah?

Benarkah kenyataan ini?

Tunggu dulu, kilasan balik yang terputar saat aku ditinju oleh pria berambut gondrong di terminal Bojong Gede tadi berarti benar.

Saat aku mendongak menatap si lelaki gondrong. Wajahnya berubah, lebih tampan dengan rambut cepak. Dalam pandanganku lelaki itu mengenakan jas berwarna hitam, dan celana jeans berwarna biru.

Tak salah lagi. Jadi kilasan balik itu benar-benar terjadi. Jadi sebelum aku jatuh di Sungai Ciliwung, aku sedang mengenakan jas ini? Untuk apa?

"Kumat si Ali, ngelamun lagi!"

"Ah, bukan. Sepertinya aku mengingat sesuatu. Berhubungan dengan jas ini."

Wulan menatapku penuh tanya. Alisnya mengernyit berusaha menangkap arti kata-kataku.

"Palingan kamu nyuri jas itu, terus dikejar polisi nyebur dah ke Kali Ciliwung, hahaha …."

Terkadang aku sangat membenci suara cempreng Wulan, apalagi jika ia tertawa. Tak kuhiraukan analisis tak berguna gadis berusia sembilan belas tahun itu. Ngawur.

Aku mencoba meneliti jas, memasukkan tangan ke dalam kantongnya. Sebuah kertas kucel. Diremas menjadi bulatan tak terbentuk. Kaku. Mungkin ikut terhanyut dan basah lalu kering.

Kuambil kertas itu, membukanya. Tulisannya sudah luntur, tak jelas. Sepertinya berisi sebuah catatan.

"Apa itu?"

Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.

Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan.

"Mau kemana?"

"Minum!"

***

See you Next chapter Gaess.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status