(Rahasia?)
Abah memapahku menuju dipan kamar. Wulan? entah pergi kemana anak itu. Setelah angkot Abah terparkir di bawah pohon mangga di depan rumah, gadis itu turun lebih dulu.Aku duduk di pinggir ranjang. Berusaha mengangkat kaki, kemudian berbaring."Istirahat dulu Ali, badan Elu, pasti sakit semua!" titah Abah.Lelaki paruh baya itu keluar dari kamarku. Aku telentang, tidur di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Hening. Kemana si gadis cempreng itu? Badanku digebuki para preman pasar tadi gara-gara dia."Kenapa juga aku belain si Wulan, babak belur jadinya!" gumamku."Nyesel, nih?"Tiba-tiba suara Wulan nyaring terdengar. Aku langsung menoleh, menatap ke arah pintu. Gadis itu melotot tajam padaku, tangan kanannya membawa baskom kecil."Kenapa juga belain aku? Wulan, 'kan gak minta?!" tukas Wulan, ia mengernyitkan alis, menunggu jawabanku.Seharusnya kubiarkan saja para preman pasar tadi melakukan apapun pada Wulan. Apa peduliku? Lihatlah sekarang, tanpa rasa bersalah dia malah mengatakan, kenapa belain dia?"Dasar Cempreng, udah dibelain bukannya terimakasih. Malah ngomel!" sungutku. Aku membalikkan badan."Iya-iya, maaf! Makasih udah nolongin Wulan." Suara gadis cempreng itu memelan. Tangannya meraih lenganku. Aku membalikkan badan."Tidur yang bener!" perintahnya.Wulan sudah berdiri di samping ranjang. Ia menggenggam kain kecil berwarna putih, dua sudut bibirnya terangkat naik sambil menatapku."Buka eta kaosna!"Aku menurut membuka kaos di bagian perut. Wulan duduk di samping ranjang. Ia mengompres perutku yang memar. Kain itu terasa hangat."Aduh, pelan-pelan. Sakit!""Hiih, udah pelan-pelan. Ini baru keras-keras."Wulan menekan lebih keras pada perutku. Di bagian yang ditendang oleh lelaki berambut gondrong tadi."Aduuuh!" pekikku dengan keras. Aku meringis kesakitan. Gadis cempreng itu malah tertawa cekikikan."Ada apa ini?"Abah melongok ke dalam kamar."Ini Bah, si Ali, meni cerewet. Udah diobatin malah ngomel terus. Sakit lah, pelan-pelan, lah. Ya, udah Wulan gas pol aja ngompresnya!""Dia itu memang gak bisa kalem," ujar Abah. Lelaki paruh baya itu malah terbahak mendengar penuturan anak gadisnya, lalu berlalu dari kamar."Hahaha."Masih dapat kudengar suara Abah tertawa."Nih, kompres sendiri!"Wulan melempar kain kompres ke tanganku. Aku menggelengkan kepala.Pelan-pelan kusentuh sendiri bagian perut yang terasa nyeri. Lelaki gondrong tadi menendang perutku dengan keras. Sementara, lelaki bertato memukulku di beberapa bagian tubuh lainnya.Hari yang benar-benar sial.Kain tadi kuletakkan di atas perut. Hangatnya memberikan nyaman, juga meredakan rasa nyeri.Mataku mulai terpejam. Aku mulai mengantuk. Tidur adalah sebuah obat penghilang rasa sakit. Setidaknya untuk beberapa saat aku tak merasakan kesakitan. Entah, nanti jika aku terbangun rasanya akan lebih sakit atau justru lenyap.***Sayup-sayup terdengar suara azan, aku menggeliat. Mengerjapkan mata beberapa kali. Menatap benda pipih yang tergantung di dinding kamar. Sudah selama itukah aku tertidur?Jarum pendek jam di dinding menunjukkan angka enam, aku mengernyit memperjelas pandangan. Menatap pada jam itu, di mana jarum panjangnya berhenti."Aargh!" Badanku rasanya sakit semua. Nyeri di sekitar perut, juga bibir.Kerongkonganku terasa kering. Butuh sedikit pengairan. Aku berusaha menurunkan kaki, berjalan perlahan menuju dapur. Merambat, berpegangan pada dinding.Kamar Wulan sedikit terbuka. Tampak gadis itu berada di depan sebuah lemari. Tangannya memegang sebuah plastik berwarna hitam."Ini gimana, Bah?"Bola mata Wulan menatap pada bungkusan di tangannya."Simpan aja dulu, sepertinya belum saatnya kita katakan sama Ali."Abah mengernyitkan alis, tangan kanannya mengelus rambut yang mulai memutih di janggut.Mendengar namaku disebut, timbul rasa penasaran. Apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu di dalam kamar sebenarnya?"Apa itu? Apa yang kalian sembunyikan dariku?"Aku membuka pintu kayu berwarna cokelat itu lebih lebar. Menatap tajam pada Wulan yang terbelalak mengetahui aku mendengar percakapan mereka.Wulan menyembunyikan bungkusan plastik hitam tadi di balik punggungnya."Bu-bukan, ini bukan apa-apa. Iya, 'kan, Bah?"Abah menatapku dan Wulan bergantian. Lelaki paruh baya itu terlihat berpikir."Sebenarnya ….""Abah," panggil Wulan berusaha mencegah Abah Dadang menceritakan sesuatu. Gadis itu menggelengkan kepala beberapa kali."Mungkin kini, sudah saatnya Ali mengetahui kebenarannya, Wulan. Katakanlah yang sebenarnya."Wulan menunduk, gadis itu diam untuk beberapa saat lamanya. Tangannya perlahan mengeluarkan bungkusan plastik hitam tadi dari balik punggungnya.Gadis itu menatapku sejenak, ia menarik napas dan mengembuskannya dengan berat."Sebenarnya, saat pertama kali aku menemukanmu. Kamu memakai pakaian ini. Kupikir tak ada gunanya memberitahukan hal ini padamu. Jadi aku menyimpannya."Wulan mengulurkan bungkusan plastik berwarna hitam padaku.Aku segera meraih bungkusan yang disodorkan Wulan. Membuka plastik itu. Terlihat sebuah jas hitam, sangat elegan dan mewah. Kuangkat jas itu setinggi badan, meraba bagian leher, ada sebuah label kecil terjahit dengan rapi."Brioni Vanquish II," gumamku."Apa kamu tahu? Apa Brioni Vanquish II itu?"Wulan bertanya padaku. Aku menggelengkan kepala. Tak mengerti kata-katanya. Apa sebegitu pentingnya label di jas itu?"Aku iseng googling dan mencari tahu nama jas itu, kamu tahu apa hasil penelusuran G****e?"Aku terdiam. Menunggu Wulan melanjutkan penjelasannya."Brioni Vanquish II adalah setelan jas karya perusahaan Italia, Brioni, yang diluncurkan saat krisis ekonomi tahun 2008. Brioni ini telah memproduksi jas berkualitas tinggi sejak tahun 1945."Wulan menghentikan kata-katanya. Ia memindai wajahku sesaat, "Apa kamu tahu harga setelan jas ini?""Ya, mana gue tahu!""Empat puluh tiga ribu dolar itu Li, setara dengan enam ratusan juta Rupiah.""Apa?"Mataku membelalak lebar mendengar nominal yang disebutkan Wulan di akhir penjelasannya."Tutup dong, mulutnya. Jangan nganga gitu. Kemasukan laler nanti!"Refleks aku mengatupkan mulut."Jas yang kamu pakai itu, berbahan serat terlangka di dunia, qiviuk, Brioni Vanquish II juga dibuat dengan jahitan berlapis emas putih. Jahitan berlapis emas putih itulah yang membuat harga jas itu jauh lebih mahal dibanding produk fashion jas lainnya."Aku kembali menatap jas yang kupegang mulai dari kerah hingga bagian kancing-kancingnya. Apa aku orang sekaya itu, hingga dapat membeli sebuah jas dengan harga ratusan juta rupiah?Benarkah kenyataan ini?Tunggu dulu, kilasan balik yang terputar saat aku ditinju oleh pria berambut gondrong di terminal Bojong Gede tadi berarti benar.Saat aku mendongak menatap si lelaki gondrong. Wajahnya berubah, lebih tampan dengan rambut cepak. Dalam pandanganku lelaki itu mengenakan jas berwarna hitam, dan celana jeans berwarna biru.Tak salah lagi. Jadi kilasan balik itu benar-benar terjadi. Jadi sebelum aku jatuh di Sungai Ciliwung, aku sedang mengenakan jas ini? Untuk apa?"Kumat si Ali, ngelamun lagi!""Ah, bukan. Sepertinya aku mengingat sesuatu. Berhubungan dengan jas ini."Wulan menatapku penuh tanya. Alisnya mengernyit berusaha menangkap arti kata-kataku."Palingan kamu nyuri jas itu, terus dikejar polisi nyebur dah ke Kali Ciliwung, hahaha …."Terkadang aku sangat membenci suara cempreng Wulan, apalagi jika ia tertawa. Tak kuhiraukan analisis tak berguna gadis berusia sembilan belas tahun itu. Ngawur.Aku mencoba meneliti jas, memasukkan tangan ke dalam kantongnya. Sebuah kertas kucel. Diremas menjadi bulatan tak terbentuk. Kaku. Mungkin ikut terhanyut dan basah lalu kering.Kuambil kertas itu, membukanya. Tulisannya sudah luntur, tak jelas. Sepertinya berisi sebuah catatan."Apa itu?"Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan."Mau kemana?""Minum!"***See you Next chapter Gaess."Apa itu?"Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan."Mau kemana?""Minum!"Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.
Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan."Tuan Alexander …."Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.Siapa yang dipanggilnya? Aku?
Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah."Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja."Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.
"Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ....""Maksud, Papa?"Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Papa terlihat sangat jelas. Wajahnya juga pucat."Saat Papa, mendapat kabar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Penyakit jantung Papa, kumat. Papa langsung tak sadarkan diri, hampir seminggu lamanya dirawat di rumah sakit."Jadi Papa sakit, hingga tak dapat mencariku selama ini? Kasihan sekali dia. Aku merasa jadi anak yang tak berguna. Sudah menyusahkan, tak merawatnya saat sakit lagi.
"Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali.Tunggu pembalasanku Jhonny."Bagaimana dengan si Jhonny, itu?""Alicia gak suka sama dia. Tiga hari setelah Kakak kecelakaan dia datang ke rumah ini. Seenaknya masuk rumah, dan menempati kamar paling ujung. Lelaki itu bilang dia adalah anak tertua ayah pada semua orang. Jhonn
Matahari telah turun dari langit. Gurat kemerahan terlukis di angkasa. Senja selalu indah. Aku menatap seberkas sinar di luar jendela.Tok … tok … tok …!Terdengar suara seorang perempuan. Mungkin itu asisten rumah tangga tadi, Bik Asih. Mataku memicing menatap jarum pendek benda pipih di dinding yang menunjuk ke angka enam. Waktu yang terlalu cepat untuk makan malam.Aku menutup tirai jendela. Segera melangkah ke pintu. Memutar kenop dan membukanya."Tuan Alex, makan malamnya sudah siap!" ucap Bik Asih setelah pintu terbuka.
"Jhonny, dia minta Papa, menandatangani surat perjanjian. Bahwa The One Property adalah miliknya, Jhonny ingin menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan kita. Jika tidak, kerjasama perusahaan kita dengan Hotel Hilton batal.""Apa? Kurang ajar sekali dia itu? Seorang anak haram, yang ingin menjadi pangeran. Menghalalkan segala cara demi memperoleh keinginan.""Lalu apa Papa, menandatanganinya?"Papa menggelengkan kepala beberapa kali. Ia menunjuk ke lantai, sebuah sobekan kertas berwarna putih terjatuh di bawah ranjang.Ini tak bisa dibiarkan. Tingkah Jhonny
"Berikan setengah saham perusahaan di The One Property pada Jhonny. Sebagai ganti telah menelantarkannnya selama dua puluh lima tahun ini."Kata-kata dari perempuan yang mengaku sebagai mama dari Jhonny terus terngiang. Tanpa malu perempuan yang menjadi selingkuhan, sekaligus perusak rumah tangga Papa dan Mama itu meminta setengah saham perusahaan untuk si bedebah Jhonny. Cih!Belum tentu Jhonny benar-benar anak kandung Papa! Bisa saja mereka hanya memanfaatkan harta serta sifat kasihan dari Papa.Semua ini tak bisa terus dibiarkan. Aku menatap tumpukan map yang kuambil dari kamar Papa beberapa hari yang lalu. Segera duduk dan membuka lembar d